Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah & A. Munif
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Dalam
sejarah dan peradaban umat Islam telah dijumpai berbagai macam aliran pemikiran
yang masing-masing mempunyai corak dan karasteristik yang berbeda-beda.
Perbedaan yang ada tentunya tidak dapat menolak atau menyangkal begitu saja
tanpa melakukan sebuah penyelidikan atau upaya untuk mencari akar sebuah aliran
pemikiran.
Hal
ini dapat dicermati mulai dari priode klasik Islam (650-1250), priode
pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800 M dan seterusnya). Setiap
periode mempunyai cirri dan keunikan tersendiri, terutama pada periode modern.
Periode
modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam, yang ditandai dengan jatuhnya
Mesir ke tangan Eropa yang pada akhirnya menjadikan umat Islam ini insaf atas
kelemahan-kelemahannya serta sadar bahwa di Barat telah muncul sebuah peradaban
baru yang lebih tinggi dan super power yang merupakan acaman yang serius
terhadap umat Islam.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana latar
belakang Sayyid Amir Ali sebelum menjadi seorang pemikir teologi?
b.
Bagaimana
pemikiran Sayyid Amir Ali?
3.
Tujuan
a.
Menjelaskan
latar belakang Sayyid Amir Ali.
b.
Menjelaskan satu
persatu pemikiran Sayyid Amir Ali.
BAB
II
SAYYID AMIR ALI
1.
Biografi
Sayyid
Amir Ali adalah salah satu pemikir pembaharu muslim di India. Beliau banyak
mengajak umat islam untuk meninjau sejarah masa lampau, untuk membuktikan bahwa
agama Islam yang mereka anut bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan
bukan agama yang menghambat kemajuan. Sayyid Amir Ali merupakan seorang ahli
hukum dan pemikir modern di india. Ia berasal dari keluarga Syi’ah pada zaman
Nadir Syah (1736-1747) yang pindah dari Khurasan, Persia, dan menetap di Mohan,
Oudh, India pada abad pertengahan ke-18. Amir Ali lahir pada 6 April 1849 M di
Cuttack, India. Sayyid Amir Ali meninggal dalam usia 79 tahun pada 3 Agustus 1928 di
Sussex, Inggris.[1]
Amir Ali memperoleh pendidikan diperguruan tinggi
Hooghly dekat Calcutta, dengan mempelajari bahasa Arab, sastra dan hukum
Inggris.[2] Pada tahun 1869 beliau pergi ke Inggris untuk
melanjutkan pendidikannya dan selesai pada tahun 1873 dengan meraih gelar kesarjanaan
dalam bidang hukum. Sayyid Amir Ali juga menerbitkan karyanya dengan judul A
Critical Examination of the Life and Teaching of Mohammed, ini merupakan buku
pertama yang menjadi interpretasi kaum modernis Muslim tentang Islam, yang
menjadikan terkenal baik di Barat ataupun di Timur.[3]
Setelah
lulus, ia kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting sebagai
guru besar dalam hukum Islam, pengacara, pegawai pemerintah Inggris, politikus
dan penulis. Pada bidang politik inilah ia semakin terkenal dengan buku
karangannya The Spirit of Islam dan A Short Story of the Saracens.
Di tahun 1877 ia membentuk National Muhammaden
Association yang merupakan wadah persatuan umat Islam India, dan tujuannya
adalah untuk membela kepentingan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam
bidang politik. Perkumpulan ini mempunyai 34 cabang di berbagai wilayah di
India. Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Dewan
Raja Muda Inggris (The Viceroy’s Council) di India. Ia adalah
satu-satunya anggota Islam dalam majelis itu.
Pada tahun
1904 Amir Ali menetap di London bersama istrinya yang berbangsa Inggris, tak lama
lagi ia diangkat menjadi anggota The
Judical Committee of the Privy Council ( Komite Kehakiman Dewan Raja),
merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut. Seperti halnya
Sir Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali juga merupakan seorang pemimpin Muslim yang
mempunyai hubungan yang dekat dengan pemerintahan Inggris di India. Dia melihat
pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari pengaruh dan
dominasi orang Hindu setelah memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Inggris.
Setelah bermukim di London ia mendirikan cabang Liga Muslim didirikan pada
1906.[4]
2.
Pemikiran
Sayyid Amir Ali
- Ajaran Tentang Akhirat
Dalam
bukunya The Spirit of Islam, Sayyid Amir Ali menjelaskan tentang akhirat bahwa
bangsa yang pertama kali menimbulkan kepercayaan pada kehidupan akhirat adalah
bangsa Mesir kuno. Agama Yahudi pada mulanya tidak mengakui adanya hidup selain
hidup di dunia, namun dengan adanya pekembangan dalam ajaran-ajaran Yahudi yang
timbul kemudian baru dijumpai adanya hidup yang kedua. Agama-agama yang datang sebelum
Islam pada umumnya menggambarkan bahwa di hidup kedua itu manusia akan
memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.
Selanjutnya
ia menjelaskan bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar pengaruhnya dalam
mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Lebih
singkat lagi ajaran ini membawa kepada peningkatan moral golongan awam, apabila
ganjaran dan balasan di akhirat digambarkan dalam bentuk yang dapat ditangkap
oleh panca indera.
- Perbudakan
Dalam
soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan dalam
sejarah peradaban manusia telah ada semenjak zaman purba.Yunani, Romawi, dan
Jerman di masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan dan agama Kristen
tidak membawa ajaran untuk menghapus sistem perbudakan. Sementara agama Islam
berbeda dengan agama-agama sebelumnya, Islam datang dengan menghapus sistem
perbudakan. Dosa-dosa tertentu dapat ditebus dengan memerdekakan budak, budak
harus diberi kebebasan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia
peroleh. Budak harus diperlakuakan dengan baik dan tidak boleh dibedakan dengan
manusia lain. Oleh karena itu, dalam sejarah peradaban Islam, tercatat bahwa
ada di anatara budak-budak yang akhirnya menjadi perdana menteri.[5]
- Poligami
Poligami
adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang wanita. Di
masa Rasulullah poligami dilakukan agar kedudukan wanita setara dengan
kedudukan para pria. Usaha Rasul ini dilakukan dengan cara penghapusan kawin
kontrak (mut’ah). Rasul memberikan hak-hak kepada wanita yang sebelumnya tidak
mereka miliki dan menempatkan wanita pada posisi yang persis sama dengan pria
dalam menjalankan semua kewenangan dan semua hukum. Rasul juga membatasi jumlah
maksimal istri-istri yang boleh dinikahi yaitu sampai emapt orang saja. Ini
bararti agama Islam tidak pernah mengajarakan poligami melainkan monogami. Jika
seseorang tidak dapat berbuat adil terhadap semuanya, maka wajib untuk menikah
seorang istri saja. Persyaratan adil di sini sangat penting karena keadilan
mutlak dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa (cinta kasih) tidak mungkin
terwujud, maka pernyataan yang ada dalam al-Qur’an itu pada hakikatnya adalah
larangan.[6]
Meskipun
Islam menekankan monogami, Amir Ali juga tidak memungkiri poligami. Di mana
poligami itu dilakukan pada saat-saat tertentu dan dalam keadaan bahwa poligami
itu benar-benar dilakukan agar kaum wanita terhindar dari kemelaratan dan
kemiskinan. Seorang istri juga bias mengajukan gugat cerai pada suaminya ini
menunjukkan penghargaan terhadap martabat wanita.
Kesimpulan dari poligami menurut al-Qur’an dan Sayyid
Amir Ali adalah poligami itu dilarang dan diperbolehkan dengan syarat-syarat
tertentu.[7]
- Kemunduran Umat Islam
Sayyid
Amir Ali berpedapat bahwa penyebabnya terletak pada keadaan umat Islam di zaman
modern menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan tidak boleh lagi
melakukan ijtihad, bahkan itu adalah dosa. Orang harus tunduk kepada pendapat
ulama abad ke-9 Masehi, yang tidak dapat mengetahui kebutuhan abad ke-20.
pendapat ulama yang disusun pada beberapa abad yang lalu masih tetap diyakini
sesuai dan dapat dipakai untuk zaman modern.
Selain
itu, penyebab kemunduran umat ini, umat Islam di zaman modern tidak percaya
pada kekuatan akal, sedangkan nabi Muhammad memberi penghargaan tinggi dan
mulia terhadap akal manusia. Ulama kita sekarang, menurut Amir Ali, menjadikan
berpikir dan menggunakan akal sebagai dosa dan kejahatan. Dan penyebab lain
adalah tidak adanya perhatian yang serius terhadap ilmu pengetahuan, baik sains
maupun perkembangan teknologi, dan ini sangat berbeda pada zaman klasik Islam
yang puncaknya pada priode Abbasiyah.
Kemajuan
ilmu pengetahuan ini dapat dicapai oleh umat Islam di zaman klasik, karena
mereka kuat berpegang pada ajaran nabi Muhammad dan berusaha keras untuk
melaksanakannya. Eropa pada waktu yang bersamaan masih dalam kemunduran
intelektual dan kebebasan berpikir belum ada karena dunia Eropa berada di bawah
kekuasaan gereja. Sementara Islamlah yang pertama membuka pintu berpikir untuk
menggali potensi akal. Dan inilah, menurut Sayyid Amir Ali, membuat umat Islam
menjadi promotor ilmu pengetahuan dan peradaban, sedangkan ilmu pengetahuan
tidak bisa dipisahkan dari kebebasan berpikir. Setelah kebebasan berpikir
menjadi kabur di kalangan umat Islam, mereka menjadi ketinggalan dalam
perlombaan menuju kemajuan. [8]
- Konsep Ketuhanan
Sayyid
Amir Ali lebih banyak memberi perhatian tentang keadilan Tuhan dan hubungannya
dengan kebajikan manusia. Keadilan merupakan animasi yang prinsipil dari
perbuatan manusia dan sesungguhnya Tuhan mengontrol alam ini dengan keadilan,
selain itu ujian terhadap kebaikan dan kejahatan bukanlah keinginan dari
seorang individu, melainkan adalah kebajikan manusia.
Lebih
dari itu, Sayyid Amir Ali berpegang teguh terhadap adanya kekuatan hukum yang
berlaku di alam ini, ia memaparkan bahwa dalam al-Qur’an telah banyak dijumpai
tentang keputusan Tuhan yang secara jelas menerangkan tentang hukum-hukum alam
(Laws of Nature). Bintang-bintang dan planet masing-masing mempunyai peran
tujuan tertentu dalam penciptaannya.
Gerakan benda-benda angkasa, fenomena alam, hidup dan mati,semuanya
dikendalikan oleh hukum. Dan kehendak Tuhan bukanlah sekedar kehendak atau
keinginan yang muncul begitu saja, namun keinginan Tuhan adalah keinginan yang
mendidik. Kebajikan manusia, keadilan dan hukum, semua ini merupakan kategori
yang mendasar dalam pandangan Sayyid Amir Ali tentang konsep ketuhanan.
- Konsepsi antara Kenabian dan Akal
Konsepsi
Sayyid Amir Ali terhadap kenabian benar-benar sangat naturalistik sebagaimana
yang ia paparkan dalam bukunya The Spirit of Islam, dengan pandangan bahwa
kekuatan akal dan kapasitas intelektual seorang nabi tumbuh dan berkembangsama
dengan manusia yang lain. Selanjutnya Amir Ali memberikan sebuah
ilustrasi,bahwa beberapa surah yang terdapat dalam al-Qur’an telah
mendeskripsikan tentang kenikmatan syurga, baik secara figuratif atau lisan
yang diwahyukan kepada nabi tidak serta merta diturunkan secara keseluruhan,
akan tetapi melalui beberapa tahapan.
Hal
ini menunjukkan bahwa kapasitas akal dan intelektual mengalami perkembagan
untuk memahami surah demi surah yang diturunkan. Demikian pula perkembangan
akal seorang guru tidak hanya berkembang sejalan dengan perjalanan waktu dan
kesadaran keagamaannya, namun juga berkembang sesuai dengan kepercayaannya
dalam memahami konsepsi spiritual.
- Konsepsi tentang Free Will and Free Act
Sayyid
Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an bukanlah jiwa
fatalisme, tetapi adalah jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Jiwa manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya. Nabi Muhammad,demikian ia menulis lebih
lanjut, berkeyakinan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan
keinginan. Sebenarnya apa yang hendak ditegaskan oleh Sayyid Amir Ali, adalah
Islam bukanlah dijiwai oleh paham qada’ dan qadr atau jabariah, tetapi oleh
paham Qadariah, yaitu kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Paham
qadariah inilah yang selanjutnya menimbulkan rasionalisme dalam Islam, semetara
paham qadariah dan rasionalisme itu sendiri menimbulkan peradaban yang kuat
pada zaman klasik Islam.[9]
- Islam Menurut Sayyid Amir Ali
Salah
satu yang sangat menonjol yang ada pada Sayyid Amil Ali, terutama dalam
tulisan-tulisannya, adalah pembelaannya terhadap Islam dari serangan-serangan,
baik dari luar maupun dari dalam. Di kalangan Orientalis barat, Amir Ali terkenal
sebagai apolog terbesar di antara penulis-penulis Muslim, atau lebih dikenal sebagai
apologis modern dalam bidang kebudayaan Islam.
Sayyid
Amir Ali berusaha untuk membuktikan pada dirinya atau orang lain bahwa Islam
adalah baik. Apologi merupakan suatu hal yang harus diketahui oleh orang yang
ingin memahami pemikiran–pemikiran modern dunia Islam, karena sebagian besar
pemikiran kaum modernis masuk pada kategori ini.
Para
apologi Muslim ini berusaha untuk melawan pandangan-pandangan yang salah
tentang Islam lebih daripada menerangkan Islam itu sendiri, dan mereka ingin
menjadi pembela Islam yang lebih daripada usaha untuk memahami Islam terutama untuk
menjawab langsung serangan barat terhadap Islam, khususnya sebelum perang dunia
pertama hingga perang dunia kedua berakhir yang sangat merugikan umatIslam,
karena serangan tersebut mengatas namakan agama (Kristen). Dalam hal ini para
pemikir Muslim modern harus berusaha memikirkan pertahanan terhadap Islam lebih
daripada Islam itu sendiri. Sayyid Amir Ali, menurut H.A. Mukti Ali, adalah
contoh yang paling tepat tentang apologi Islam, karena tulisan dan
karya-karyanya sangat jelas mempertahankan dan membela ajaran-ajaran Islam di
hadapan pengadilan opini Barat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat
disimpulkan bahwa Sayyid Amir Ali,seorang pembaharu di dunia islam keturunan
Syi’ah berhijrah dari Persia ke India.
Dari sanalah Sayyid Amir Ali memulai pendidikannya dengan mempelajari bahasa
Arab kemudian bahasa dan sasrta Inggris.
Selanjutnya
ia menempuh studi di Inggris dan menjadi seorang ahli dalam hukum Inggris,
kemudian ia kembali ke India dan terlibat dalam dunia akademisi dan politk
sekaligus berafiliasi dengan pemerintahan Inggris, hal ini merupakan suatu
upaya untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, tidak hanya yang ada di
India, tetapi juga keutuhan khilafah Utsmania di Turki.
Pandangan
Sayyid Amir Ali tidak hanya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran
dan teologi, seperti hari akhirat, isu sosial dan perbudakan, poligami, kelemahan
umat Islam, konsepsi tentang ketuhanan, kenabian dan akal,
Meskipun
demikian, Sayyid Amir Ali tetap menjadi seorang apolog Islam modern yang
membela eksistensi Islam dari berbagai serangan, baik internal maupun
eksternal.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun. 2003, Pembaharuan
dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali,
Mukti. 1993, Alam Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, Bandung:
Mizan.
Ma’shum, Drs. 2012, Pemikiran
Teologi Islam Modern, Surabaya:
Gibb,
H.A.R. 1996, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada
Saefuddin
Didin. 2003, Pemikiran modern dan postmodern Islam, Jakarta: Gramedia
Amin, Ahmad. 1995, Islam
dari Masa ke Masa, Jakarta: Remaja Rosdakarya
Karim,
Abdul, Karim. 2003, Syari’ah Sejarah
Perkelahian Pemaknaan, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta
Sou’yb, Josoef, 1987, Perkembangan Teologi Modern, Jakarta: Rainbow.
[1]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 174
[2]Mukti Ali, Alam
Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), 142.
[3]Ibid,
hlm142
[4]Ibid,
hlm, 143
[5]Ma’shum,
Pemikiran Teologi Islam Modern, (Surabaya:2012), 65
[6]H.A.R.
Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996), 159
[7]Ma’shum,
Op.Cit,, hal. 68
[8]Didin
Saefuddin, Pemikiran modern dan postmodern Islam, (Jakarta: Gramedia,
2003), 65
[9]Ahmad
Amin, Islam dari Masa ke Masa,(Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1995), 234
Tidak ada komentar:
Posting Komentar