Oleh : Izrin Mauidhatul Hasanah
Markus Aurelius Augustinus (354-430) lahir dan hidup
dalam kondisi zaman yang sudah berkembang di wilayah sekitar Laut Tengah sampai
sebelah Timur Teluk Persia. Dalam masa tersebut telah terdapat tiga unsur pokok
yang mewarnai dan menentukan, yaitu tersebarnya kebudayaan Helenisme, muncul
dan meluasnya kerajaan Roma, dan tampilnya Gereja Kristiani. Waktu mudahnya ia
menyelami filsafat yang bermacam-macam coraknya. Dalam agama pun ia mengenal
beraneka aliran. Setelah ia berumur 33 tahun menjadi Katolik.
Pada saat itu terdapat dua aliran
yang berpengaruh luas dan lama, yaitu Stoa dan Epikurisme. Para penganut aliran
tersebut merasa telah mendapatkan dasar pandangan hidup untuk bisa bertahan
dalam gejolak-gejolak politik yang baru. Aliran tersebut menjadi pedoman dalam
politik.
Dalam pandangan Agustinus, orang
yang bijaksana ialah orang yang nafsunya ditaklukkan kepada pemerintahan
pikiran atau rasio. Ajaran Agustinus berbeda dengan ajaran Stoa, yang mau
menyingkirkan segala nafsu dan segala apa saja yang telah bersifat irrasional.
Jadi ajaran Stoa itu lebih mengutamakan pikiran atau rasio dibandingkan dengan
nafsu.
Stoa berusaha merasionalkan kehidupan manusia secara total, sambil
mencita-citakan keadaan “apatheia”, keadaan tanpa nafsu, hasrat, dan
keinginan. Agustinus tidak melangkah sejauh itu dalam menentukan apa yang
bersifat etis atau moral. Ia hanya berbicara tentang penaklukan nafsu
kepada yang lebih tinggi, yakni rasio. Kalau penaklukan itu tidak jadi, maka
sebabnya ialah sikap manusia yang bebas. Manusialah yang menentukan jadi
tidaknya penaklukan itu, dan ia pun bertanggung jawab atasnya. Kalau penaklukan
tidak jadi, hidup manusia kacau dan tak teratur, terbawa oleh nafsu.[1]
Kekacauan atau ketidakteraturan hidup manusia dikehendaki oleh kuasa yang lebih
tinggi dari manusia, yakni Allah. Dalam buku-buku atau karya-karya yang ditulis
oleh Agustinus, tidaklah semata-mata memuat filsafat saja, tetapi juga
merupakan penerangan agama. Dan di dalamnya telah nampak juga pendapat
filsafatnya.
Sekitar abad pertama sebelum Masehi, telah terjadi penggeseran titik
berat pada kekuasaan politik dari Timur ke Barat dengan pusat di Roma. Kerajaan
roma telah mencapai kemakmuran dan kemajuan sekitar abad pertama Masehi sampai
pertengahan abad ketiga. Selain itu, pemerintahan Roma memberikan kebebasan
besar kepada semua aliran asal tidak membahayakan keamanan dan kesatuan negara.
Pada saat itu juga pejabat tinggi negara yang sekaligus seorang filusuf
terkenal, yaitu Kaisar Markus Aurelius penganut Stoa dan pengarang dalam bahasa
Yunani. Disamping itu juga, telah muncul aliran filsafat kuno terakhir, yaitu
Neoplatonisme dengan pendirinya, yaitu Plotinus. Aliran tersebut berasal dari
Mesir yang telah dipengaruhi alam pikiran Timur dan cepat berpengaruh di Roma.
Plotinus secara tidak langsung ingin memperbaharui filsafat Plato yang
dianggap cocok dalam kebutuhan agamanya dan sekaligus ia juga belajar dari
aliran Stoa. Filsafat Neoplatonisme itu lebih dinamis dibandingkan dengan
filsafat Plato. Karena perkembangan filsafat Plato dianggap kurang dari
filsafat Neoplatonisme.
Pada pertengahan abad pertama juga muncul Gereja Kristiani. Penyebaran
ajaran agamanya cukup didukung oleh kebudayaan Helenisme dan kesatuan yang
terjadi pada masyarakat dalam kerajaan Roma. Ajaran agama Kristiani mulai
berkembang pesat, karena telah mendapatkan dukungan yang besar untuk
masyarakat.
Setelah tahun 313 dalam lingkungan Gereja Kristiani muncullah puluhan
pemikir besar yang berusaha menyoroti pokok-pokok iman Kristiani dilihat dari
sudut pengertian dan akal budi. Mereka sering dinamai “Pujangga Gereja” dan
dianggap sebagai teolog dengan akibat bahwa filsafat yang termuat dalam ajaran
mereka kurang diangkat meski tetap sejalur dengan lanjutan Neoplatonisme. Salah
satu dari antara mereka adalah Agustinus.[2]
Manusia itu tidak hanya merupakan perseorangan,
melainkan juga merupakan perkawinan. Perkawinan ini mengandung hubungan
jasmani. Manusia yang terikat dalam perkawinan jasmani ini merupakan
masyarakat. Tentu saja manusia karena ikatan rohani, yang berwujud kasih dan
cinta dapat juga merupakan masyarakat rohani, yaitu gereja.[3]
Perkembangan
Pemikiran Agustinus
Agustinus berasal dari wilayah yang
sama dengan Tertulianus, provinsi Numidia di Afrika Utara dengan ibukota
Kartago. Ia mendapatkan pendidikan Kristiani dari ibunya, yakni Monika. Tetapi
ketika Agustinus mulai dewasa atau muda, iman iman tersebut sudah tidak berarti
lagi baginya, terutama pada saat ia belajar di Madaura. Kemudia ia pergi ke
Kartago untuk mempelajari tata bahasa, retorika supaya ia mampu berkomunikasi
di muka umum, dan menjadi orang yang sukses.
Menurut pengakuan Agustinus sendiri,
selama masa mudanya, ia hidup berfoya-foya. Ia mempunyai latar belakang
pemikiran filsafat dari aliran Manikeisme yang mempunyai pandangan hidup
dualistis. Agustinus merasa tidak memperdulikan keadaan yang ada dan ia selalu
merasa kurang dalam pengetahuaan sehingga ia selalu ingin memperdalam
pengetahuan.
Filsafat ini memberikan toleransi besar terhadap segala kelemahan manusia
dengan beranggapan bahwa kaum “jasmani” atau para “pendengar” tidak dapat lain
dari pada berharap bahwa pada penitisan kembali, mereka akan lahir sebagai yang
“terpilih” dan mendapatkan keselamatan. Untuk sementara waktu dalam hidup “jasmani”
ini mereka memberi toleransi pada kejasmanian dan kelemahan mereka.[4]
Setelah Agustinus pindah ke Roma, ia pindah dan memakai aliran
Skeptisisme yang menganggap dirinya sebagai ahli waris terakhir dari Plato.
Aliran ini sedikit menyimpang dengan Plato. Karena ia mempunyai anggapan bahwa
manusia tidak mungkin mencapai kepastian dan kebenaran yang tetap dan mereka
menganut relativisme mutlak dalam bidang pengetahuan dan nilai-nilai norma pada
etika yang benar.
Usaha mendirikan perguruan di Roma gagal bermodalkan pengalaman hidupnya
sendiri dan berdasarkan skeptisisme para penganut Akademi seakan-akan ia tak
sanggup lagi mengejar kebenaran atau menyetujui adanya pedoman hidup yang baik.
Akhirnya ia mendapat undangan untuk mengajar di Milano.[5]
Di tengah kegagalan yang telah dialami oleh Agustinus, ia belum juga menyerah
dan ia masih ingin mengetahui perkembangan yang ada. Dalam kondisi yang
merosot, ia berkenalan dengan karya Plotinus yang diubah oleh Porfirius yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Marius Victorinus. Mulanya ia
merasa terkesan dengan ajaran Neoplatonisme yang menjadisistem filsafat pertama
yang dikenalkan dalam kehidupannya. Dalam ajaran itu telah terdapat pemikiran
yang konsisten dan bukan dualis.
Harapan beberapa dari temannya, yakni ia kembali kepada iman Kristiani.
Tetapi disisi lain ia juga berkenalan dengan Uskup Ambrosius di Milano yang
mana pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Origenis. Agustinus mengaku bahwa
keyakinan intelektualnya diperoleh melalui Neoplatonisme seakan-akan hanya
untuk menuntut suatu kelangsungan dalam praktek hidup yang sekiranya tidak
berasal dari filsafat tersebut.
Agustinus mengaku kagum saat membaca karya Plotinus, bahkan ia telah
menggoreskan perasaannya seakan-akan belum sampai pasa sesuatu yang telah dirumuskan
setelah ia beriman. Karena di dalam karya Neoplatonisme, Kristus belum terdapat
dalam tulisannya. Itulah ringkasan singkat yang terdapat dalam pemikiran
Agustinus. Dan untuk selanjutnya sudah termuat dalam karyanya, yakni
Confessiones.
Epistemologi Agustinus bersifat Iluminisme. Agustinus berkeyakinan bahwa
manusia tidak sanggup mencapai kebenaran tanpa terang khusus dari Allah.
Menurut ajaran Agustinus dapatlah budi mencapai kebenaran dan kepastian.
Kebenaran dan kepastian itu dipaparkan dengan putusan-putusan yang baka,
niscaya dan tak berubah. Adapun putusan-putusan ini, demikianlah Agustinus,
berdasarkan atas realitas yang baka, niscaya dan tak berubah yang mengatakan
budi dan pikiran manusia. Realitas itu haruslah rohani dan merupakan pesona,
sumber segala hidup dan berpikir. Realitas itu ialah Tuhan sendiri.[6]
Dalam bidang etika, perlu diingat bahwa Agustinus bertahun-tahun lamanya
mengalami ketidakmampuan untuk menyelenggarakan hidupnya dengan baik dan latar
belakang dualisme manikeisme. Setelah Agustinus menjadi Kristen dan Uskup,
Agustinus beranggapan keras afas Pelagius da pelagianisme. Karena mereka
beranggapan bahwa ketegasan dan kerajinan manusia sendiri dapat berbuat baik
dan dapat menyelamatkan diri. Dengan begitu manusia memiliki kesejajaran
iluminisme tentang pengetahuan dalam bidang etika tanpa rahmat Allah.
shipppppp
BalasHapus