Sabtu, 06 September 2014

Kritik Wacana Agama; Nasr Hamid Abu Zaid

Oleh : Ts@_Ny


A.   Pendahuluan
Sejarah Islam pada masa awal penuh dengan berbagai cerita manis yang membanggakan. Berbagai kemajuan dicapai, khususnya dalam bidang intelektual yang berkembang pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir besar seperti Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Syafi’i dan masih banyak lagi pemikir-pemikir lainnya yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban. Tidak mengherankan ketika pada masa itu lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan mulai dari ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, tasawuf dan lain sebagainya.
Kemajuan tersebut tidak bisa lepas dari masuknya rasionalitas filsafat Yunani yang ditanggapi positif pada waktu itu. Dipadukan dengan Alquran, filsafat Yunani menemukan bentuk barunya di dunia Islam. Dan universalitas Alquran melahirkan jaring-jaring kecil kebenaran dalam interpretasi kaum muslimin menjawab tantangan zaman membuktikan Islam Rahmatan Lil Alamin.
Perkembangan pesat pemikiran Islam pada waktu itu menjadi kiblat pemikiran Barat yang terjangkit penyakit stagnasi intelektual di bawah otoritas gereja. Pada akhirnya mereka terinspirasi dan berhutang budi pada dunia Islam yang membantu mereka untuk bisa mengenyam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles dan filsuf-filsuf Yunani lainnya.
Namun, entah terkena badai apa era keemasan di atas tidak terus berlanjut sampai sekarang. Dunia Islam tenggelam seiring runtuhnya Turki Usmani dan hanya bernostalgia dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa awal. Orang-orang islam terjangkit virus stagnasi menggantikan Barat. Dan mereka mau tidak mau mulai berkiblat pada kemajuan Barat yang sebelumnya terinspirasi oleh dunia Islam. Pemikiran-pemikiran tokoh terdahulu menjelma menjadi doktrin-doktrin sakti yang suci dan tak bisa dikritisi. Tetapi diterima dan dijalani saja tanpa memikirkan kembali dengan melihat perbedaan konteks. Di sini alquran-alquran baru muncul menyembunyikan Alquran yang seharusnya menjadi rujukan awal dengan berbagai pendekatan.
Stagnasi pemikiran di dunia Islam yang banyak dilukiskan oleh para penulis pada akhirnya membangunkan beberapa kalangan dari tidurnya untuk memikirkan kembali agama dan menyelamatkannya dari stagnasi yang telah lama menjeratnya. Beberapa tokoh bermunculan kembali walau mereka harus rela ditentang bahkan terkadang dikafirkan ketika mencoba memikirkan kembali agama Islam.
Salah satu di antara beberapa tokoh yang bermunculan dalam membangun kembali pemikiran Islam dan dikecam beberapa kalangan adalah Nasr Hamid Abu Zaid yang diangkat oleh penulis dalam karya kecil ini dalam mengkaji salah satu bukunya yang berjudul Naqd al-Khithab al-Diny.
Buku ini mengekspresikan kegundahan Abu Zayd atas penafsiran tekstualis para aktivis militan Islam yang acap mempolitisasi ayat-ayat Alquran. Baginya, Alquran harus dipahami secara objektif dan kontekstual dan sebaliknya Alquran tak boleh dipahami secara harfiah demi kepentingan ideologis dan politis seperti yang dilakukan kalangan Islam garis keras. Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab yang menganjurkan perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian Alquran tak boleh dibajak guna melegalkan kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

B.     Biografi Tokoh
Nasr Hamid Abu Zayd  lahir di Thanta, Mesir pada 10 Juli 1943 dan menghembuskan nafas terakhir pada Senin 5 Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya. Berasal dari keluarga yang taat beragama, sejak dini beliau mendapat pengajaran agama dari keluarganya sebagai guru pertama dalam perjalanan akademisnya.
Riwayat pendidikanya terbaca sejak menjadi pelajar sekolah teknik Thanta yang diselesaikan pada tahun 1960. Delapan tahun kemudian, pada tahun 1968 sambil bekerja sebagai teknisi di bidang elektronik pada organisasi komunikasi nasioanal Kairo. Dia masuk fakultas sastra jurusan bahasa dan sastra arab Universitas Kairo dan lulus dengan nilai cumlaud pada tahun 1972, lalu dia diterima sebagai asisten dosen pada almamaternya. Lima tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan gelar magisternya. sedangkan gelar Ph.D. didapat pada tahun 1981 dengan judul disertasi: The Philosophy of Interpretation: A Study of Ibn Araby’s Hermeneutics of Alquran selama periode 1976-1987, Nasr Hamid Abu Zaid juga memilki aktivitas mengajar bahasa arab untuk orang asing di pusat diplomat dan menteri pendidikan.[1]
Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun 1992 dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, yang menyebabkannya divonis “murtad” yang dikenal dengan peristiwa Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd. Baru pada Juni 1995 dia menjadi profesor penuh. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Sernenjak peristiwa tersebut dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Di Netherland Nasr semula rnenjadi profesor tamu studi Islam di Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995-1998, hingga 27 Desember 2000 Nasr dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas Leiden.
Kecemerlangan Nasr Hamid Abu Zayd diperlihatkan dari berbagai prestasi yang pernah dicapainya, antara lain :
1)        Meraih beasiswa dari ford foundation untuk studi di universitas Amerika, Kairo, tahun 1975-1977.
2)        Meraih beasiswa yang sama untuk studi pada Center For Middle East Studies Universitas Pennsylvandia-Phildelpdia, USA tahun 1978.
3)        Tahun 1982 dia mendapat penghargaan Abd Al-Aziz Al-Ahwani Prize For Humanities.
4)        Menjadi professor tamu di Osaka University Of Foreign Studies, Jepang selama tahun 1985-1989.
5)        Memperoleh pengakuan pada tahun 1995 sebagai professor penuh di bidang studi islam yang diampunya sejak tahun 1982.
6)        Menjadi professor tamu di Leiden, Netherlands, dari tahun 1995-1998.[2]
Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni wacana agama Islam yang terisolasi dari dunia ilmu pengetahuan Barat. Perhatiannya yang sangat besar di bidang interpretasi Alquran rnendorongnya untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, yaitu tentang hermeneutika, sebagai upaya dialog keilmuan antara ilrnu ke-”Islarn”-an dengan ilmu Barat.
Nasr Hamid Abu Zayd ilmuwan muslim yang sangat produktif. Dia menulis lebih dari dua puluh sembilan (29) tulisan sejak tahun 1964 sampai 1999, baik yang berbentuk buku, maupun artikel. Ada delapan  karyanya yang penting yang sudah dipublikasikan, yaitu:
1.        The al- Qur’an: God and Man in Communication (Leiden, 2000).
2.        Al-Khitab wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000)
3.        Dawair al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Oar el-Beidah, 1999 )
4.        AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah: a/-Fikr al-Diniy bayna lrdaat al­Ma’rifah wa lradat al-Haymanah (Cairo, 1995)
5.        AI- Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa al­Khurafah (Cairo, 1995)
6.        Naqd al-Khitab al-Diny (Cairo, 1994)
7.        Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994)
8.        Falsafat al-Ta’wil: Dirasah fi al-Ta’wil al-Qur ‘an ‘ind Muhyi al-Din Ibn ‘Arabiy (Beirut, 1993)
9.        Al-Ittijah al-’Aqli fi al-Tafsir: Dirasah. Qadiyyat al-Majaz fi al­-Qur‘an (Beirut, 1982)
Di antara sekian banyak buku dan tulisan-tulisannya, ada dua buku yang paling disoroti pada waktu itu bahkan mengancam karirnya. Kedua buku tersebut adalah Naqdu al Khithab al Diny (Kritik Wacana Agama) dan  al Imam al Syafi’i wa Ta’sis al Aidiulujiyyah al Wasatiyyah. Banyak kalangan menolak tulisan tersebut bahkan sampai mengkafirkan Nasr Hamid dan membawanya ke pengadilan. Tetapi banyak juga yang membelanya, mendukungnya dan memberikan apresiasi pada tulisan-tulisannya. Pertentangan sengit kedua kubu dicerminkan dalam berbagai tulisan yang saling menyerang. Dan karena pertentangan ini, Nasr Hamid pada akhirnya harus meninggalkan kampong halamannya ke Belanda.[3]
Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai produk latar belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan dia pernah bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi sebelum itu, dia telah hafal lengkap Alquran sejak usia 8 tahun. Seringkali ini yang menjadi penyebab mengapa dia memiliki perhatian yang cukup besar terhadap interpretasi Alquran. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk menafsirkan Alquran dengan meuggunakan teori kritik sastra? Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan sastra Arab pada fakultas sastra universitas Kairo. Kemudian dia melanjutkan studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya dia juga konsen melakukan kajian terhadap wacana keagamaan, karena studi pasca sarjananya, baik S-2 maupun S-3nya mengambil konsentrasi bahasa Arab dan Islamic Studies.
Pemikiran keagamaannya mulai terbangun sejak usia sebelas (11) tahun, ketika dia bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslimin adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam dan pemikiran Islam. Selanjutnya pergumulannya dengan dunia sastra, mengantarkannya untuk bersentuhan dan bermesraan dengan teori dan kritik sastra serta filsafat termasuk di dalamnya hermeneutika. Sementara, perhatiannya terhadap pemikiran Islam membawanya untuk berdialog dengan pendekatan-pendekatan ilmiah Barat, rasionalisme, kritisisme, dan fenomenologi.

C.    Fokus Persoalan
Buku ini merupakan upaya penulis untuk memetakan secara umum trend-trend pemikiran keagamaan yang berkembang secara khusus di Mesir. Namun, pemetaan ini tidak dimasudkan untuk menjelaskan siapa-siapa saja yang masuk dalam kelompok trend tertentu. Dan yang menjadi perhatian utama atau titik tekan penulis di sini adalah aspek produksi makna dari masing-masing trend.
Lebih rinci lagi, dalam pandangan penulis trend wacana keagamaan yang disoroti tersebut secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu: Pertama, yang disebut  dengan trend institusi keagamaan formal dan oposisi agama yang biasa disebut dengan kanan agama. Kedua, kiri Islam. Ketiga, trend yang sebenarnya mencoba menengahi kedua trend tersebut yang menyebutkan dirinya sebagai trend kaum pencerahan. Namun oleh lawan-lawannya lebih banyak disebut sebagai kaum sekuler.
Jadi secara umum permasalahan yang disoroti dalam buku ini seputar wacana agama di mesir tempat kelahiran sang tokoh. Tidak berhenti di ditu saja, mekanisme-mekanisme pembentukan wacana diungkap secara kritis untuk mencari sekiranya ada kepentingan atau faktor-faktor pembentuk wacana yang bernuansa ideologis praktis dan bagaimana menyikapinya sesuai posisi Nasr Hamid dengan wacananya sendiri yang mencoba keluar dari dua kubu ekstrim.
Dua kubu ekstrim di atas dalam wacana keagamaan di mesir adalah ekstrim kanan yang skriptual dan kiri yang lebih rasional. Dan Nasr Hamid sendiri mencoba menjembatani dua ekstrim sebagai sintesa dari keduanya. Walaupun dia sendiri pada akhirnya banyak dikecam dan disebut-sebut sebagai tokoh sekuler.
Persoalan wacana sendiri tidak lepas dari Turats. Yaitu Alquran sebagai sumber utama atau agama itu sendiri. Bagaimana memposisikan Turats dan memproduksi hukum darinya sejak zaman dahulu sampai sekarang. Selain itu, yang banyak disoroti di sini juga terkait dengan pemikiran keagamaan yang menjelma menjadi doktrin-doktrin sakti.

D.    Definisi dan Pendekatan
Nasr Hamid menggunakan metode Historic-Literary-Critic dengan menggunakan pendekatan hermeneutik linguistik yang memanfaatkan analisa mikro struktural dan analisa makro struktural. Dengan landasan konsep teks ini beliau dapat merumuskan pemahaman ilmiah atas teks primer agama setelah itu.
Kritik wacana agama memperoleh kriteria yang jelas dalam membongkar teks-teks sekunder yang menumpuk di sekitar teks primer tadi. Adapun dua analisa yang dimaksud adalah:
1.        Analisa Mikro Stuktural: yaitu analisa tehadap system intern wacana itu sendiri yang menyangkut status literernya. Pada pada pemikiran dan pengungkapan pengertian tekstualnya. Sebelum beralih ke signifikasi sosio-politik-kritik ideology. Hal ini digunakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan anlisa mekanis-reflektif yang gerak metodologisnya dari luar ke dalam.
2.        Analisa Makro Struktural : yaitu upaya untuk memfokuskan perhatian kritik wacana yang ditujukan guna mengunkap signifikasi eksternal dari wacana itu. Signifikasi itu merupakan berupa konteks bagi kelahiran wacana itu sendiri. Dengan ini maka setiap wacana realitas dapat dirujukan pada setting histories dan lingkungan sosial budaya tertentu. Dengan demikian maka menurut Nasr, kritik wacana itu sendri terdapat dua fungsi. Pertama, berupaya membuktikan bahwa setiap wacana merupakan bagian dari kesatuan pemikiran yang lebih di mana dia hanya menjadi bagian dari penggal sejarah tertentu. Kedua, harus dapat merekonstruksi wacana yang diam sehingga dapat menempatkan dalam konteks idiologis yang membentuk dan dengan kata lain kritik wacana harus dapat menampilkan signifikasi sosio-politik dari setiap produksi dan praksis kekuasaan yang tengah dijalani dan dijalankan.

E.     Bidang Kajian
a)        Problematika Wacana Keagamaan
Wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat sejak abad XVI hingga abad XX M. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilmu pengetahuan tersebut karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan oleh para cendekiawan muslim. Di mata Nasr, baik Islamis radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan  mekanisme berpikir yang sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah dan Pembacaan Nas, teks yang subyektif :
1.         Hakimiyyah
Menurut Nasr, prinsip dakwah Islam bertumpu pada penguatan peran akal dalam aspek berpikirnya, dan penegakan keadilan pada aspek sosialnya. Dua hal tersebut harus mendapat perhatian serius dan menjadi prinsip utama di kalangan dai muslim untuk kepentingan pemberdayaan umat dari ketertinggalan dan kebodohan serta pembebasan dari tirani kedzaliman.
Dalam perjalanannya, peran akal menjadi terkebiri oleh pemikiran yang menjadikan teks sebagai dasar hukum. Pemikiran ini yang akhirnya mengubah kebebasan kemerdekaan berpikir menjadi pengikut yang tunduk pada teks-teks. Pemikiran ini tumbuh subur dan hanya mengarah pada upaya interpretasi terhadap teks dengan segala macam pola dan bentuk, hingga akhirnya menjadi sebuah hegemoni terhadap wacana keagamaan. Dan peran akal menjadi benar-benar terekskusi dan jumud pasca al-­Makmun. Di sisi lain kajian filsafat juga mengalami kemandegan setelah pukulan mematikan dilancarkan al-Ghazali. Bersamaan dengan kejumudan berpikir dan kematian berfilsafat, secara politik pemerintahan Islam juga mengalami kekalahan dengan jatuhnya Baghdad.
Meski pada akhimya ada upaya untuk kembali kepada kemurnian Islam dengan maraknya gerakan pembaruan pemikiran Islam, namun masih saja berkutat pada belenggu tahkim al-nas, menjadikan nas sebagai hukum (sumber segala sumber hukum). Padahal untuk kembali pada Islam harus\dengan mengembalikan otoritas akal dalam pemikiran dan kebudayaan.
Hilangnya otoritas akal dan penolakan terhadap perbedaan dan keberagaman (pluralitas) pendapat, bertumpu pada dua prinsip yang seharusnya tidak dimiliki umat Islam, yaitu: mensejajarkan posisi Tuhan dengan manusia.
Tahkim al-nas adalah cara berpikir yang selalu menjadikan nas sebagai legitimasi penyelesaian semua persoalan yang dihadapi dalam masyarakat muslim, meski terkadang cenderung dipaksakan. Atau tidak beranjak dari nas yang tersurat dan memaksakan diberlakukannya hukum yang tertulis dalam nas tanpa ada kesediaan mencari makna yang ada di balik yang tersurat, schingga nas-nas yang diklaim memiliki sifat universal itu menjadi sempit kebermaknaannya dalam masyarakat yang plural.
Prinsip terlarang yang kedua adalah mensejajarkan posisi Tuhan dengan manusia. Tuhan dengan segala sifat kesempurnaannya diposisikan sejajar dengan manusia dengan segala sifat kekurangan dan kealpaannya. Dengan kata lain, Kalam Allah dengan segala kesempurnaannya, diturunkan dengan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Sementara akal manusia dengan segala keterbatasannya, mencoba memahami Kalam Allah tersebut. Proses yang demikian ini tidak mustahil menjadikan Kalam Allah yang sempurna itu terdistorsi oleh keterbatasan akal manusia dalam memahami pesan-pesannya. Muhammad (Nabi dan Rasul) meski lebih sempurna dibanding dengan manusia lain, tetapi dia tidak lebih sempurna jika dibanding dengan kesempurnaan Allah. Jadi tidak mustahil Kalam Allah yang universal tidak kenal ruang dan waktu tersebut tidak tercover secara tuntas oleh bahasa Muhammad yang mengenal ruang dan waktu. Terlebih para sahabat (khususnya Usman Ibn ‘Affan) yang jaminan keterjagaannya dari dosa tidak sebanding dengan Muhammad, tentu saja tidak memiliki otoritas untuk mengeksekusi kreatifitas ilmiah para sahabat lain dalam upaya pembukuan, pembakuan, maupun pemaknaan teks al-Qur ‘an.

2.        Pembacaan Nas, Teks yang Subyektif
Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, kajian terhadap teks agama yang selama ini berkembang jauh dari aspek kesejarahan. Yang dimaksud di sini bukan jauh dari peristiwa sejarah yang menyertai turunnya nas, yang biasa disebut asbab al-nuzul, tetapi jauh dari historisitas makna yang terkandung dalam teks. Kajian ini biasanya merupakan kajian terhadap historisitas bahasa teks, termasuk di dalamnya masalah bahasa dan budaya masyarakat yang memproduk, membangun, atau menyusun teks tersetut. Seharusnya kajian terhadap sebuah teks tidak hanya berhenti pada makna yang tersurat teks tersebut, tetapi apa yang dimaksud di balik makna teks (signifikansi) yang tersurat.
Teks yang menjadi obyek kajian, juga tidak disentuh secara menyeluruh. Meski semua wacana keagamaan membenarkan dilakukannya kajian ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, namun hanya terbatas pada persoalan perundang-undangan agama (fiqh), dan sama sekali tidak menyentuh bahkan menolak kajian terhadap persoalan aqidah dan cerita-cerita agama.
Teks-teks tentang aqidah seharusnya diperlaukan sama sebagaimana teks perundangan (fiqh) yang terus dikaji, sehingga ditemukan substansi makna bahkan yang ada di balik subtansi tersebut, demikian juga dengan cerita-cerita dalam teks tersebut. Jika teks agama (Alquran) dikaji secara menyeluruh tanpa ada diskriminasinya obyek kajian, dengan menggunakan paradigma dan pendekatan ilmu pengetahuan yang berkembang akhir-akhir ini, sebagaimana yang disarankan baik oleh M. Arkoun maupun Ibrahim Ibn Rabi’,  maka universalitas Alquran akan dapat dirasakan oleh tidak hanya masyarakat muslim tetapi oleh semua manusia.
Sementara persamaan mekanisme pemikirannya terletak pada:[4]
a.         Pengidentikan antara pemikiran dan agama dan pengabaian jarak antara subyek dan obyek.
b.        Penjelasan terhadap semua fenomena yang beragam dengan mereduksinya menjadi prinsip atau sebab utama. Penjelasan tersebut mencakup semua fenomena sosial atau ilmiah.
c.         Berpegang teguh pada belenggu atau tradisi masa lalu. Hal ini dilakukan setelah mengubah teks tradisional yang menjadi literature (teks) sekunder menjadi teks primer yang dianggap suci hampir sama dengan kesucian teks primer.
d.        Keyakinan mental dan intelektual yang absolute dan menolak perbedaan pemikiran, kecuali dalam persoalan yang detail atau sub-sub kajian, bukan persoalan yang prinsip
e.         Pengabaian dan ketidakmau-tahuan terhadap aspek historis dan terlena dalam tangisan masa lalu yang indah, masa keemasan khilafah al-rashidah yang empat dan masa Ottoman Turki (Turki Usmani).
Berdasarkan persoalan tersebut, Nasr Hamid Abu Zayd memberikan tawaran penggunaan paradigma hermeneutika dalam mcngkaji teks agama.
b)        Hermeneutika Sebagai Paradigma Takwil
Kajian teks agama semula dilakukan, dengan cara pembacaan dan penafsiran saja, dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu Alquran dan bahasa. Dalam perkembangannya kajian teks beralih menggunakan paradigma ilmu humaniora dan ilmu sosial. Selanjutnya kajian teks menggunakan, paradigma hermeneutika dalam filsafat. Salah satunya adalah kajian teks agama dengan menggunakan pendekatan kritik sastra dan semiotik.
Dua paradigma terakhir tcrsebut (ilmu humaniora, ilmu social, dan hermeneutika dalam filsafat) yang nampaknya ingin dikembangkan oleh Nasr dalam melakukan takwil terhadap teks agama (Alquran), yang dikenal dengan hermeneutika Alquran.
Takwil, secara etimologi kata takwil sepadan dengan Interpretation, explanation dalam bahasa lnggris, penjelasan dalam bahasa Indonesi.[5] Secara terminology Nasr Hamid Abu Zayd mendefinisikan kata takwil sebagai upaya mengembalikan sesuatu yang nampak dari topik kajian kepada alasan awal atau asal sebab, menjelaskan makna peristiwa atau kejadian, menjelaskan alasan atau sebab yang tersembunyi, penelitian dan pencapaian tujuan, atau meneliti makna pertama atau pengertian semula.[6]
Kaitannya dengan kajian teks agama, takwil adalah menjelaskan makna asal sebuah teks. Artinya menjelaskan makna teks dengan segala macam historisitasnya, termasuk di dalamnya historisitas penulis, (sumber/pemilik ide teks) budaya, juga bahasa. Itulah sebabnya perlu menggunakan paradigma sejarah, sosiologi, antropologi, dan philology, untuk mengungkap rnakna yang sesungguhnya dimaksudkan oleh author, penulis teks agama. Pembacaan secara ekstrim dengan cara ini, tidak mustahil dapat menyebabkan sebuah teks kehilangan kebermaknaannya. Hilangnya kebermaknaan teks disebabkan karena mengabaikan, keberadaan interpreter dengan segala macam ideologi yang ingin diperjuangkannya, tidak mendapat legitimasi dari teks agama yang dikajinya.
Berbeda dengan takwil, talwin sepadan maknanya dengan coloring dalam bahasa lnggris, memberi warna/corak dalam bahasa Indonesia. Talwin rnencoba menjelaskan makna teks dari kacamata pembaca (interpreter). Pembaca dengan segala macam historisitasnya, terutarna ideologi yang dimilikinya memiliki daya dorong yang kuat untuk mcngungkap makna yang terkandung di dalam sebuah teks sesuai dengan wama yang diinginkannya. Pembacaan yang demikian ini hasilnya akan sangat tendensius. Subyektifitas akan sangat tampak jika interpreter lebih mengedepankan ideologi yang diperjuangkannya dibandingkan dengan upaya tulus mengungkap maksud dan tujuan penulis yang tersurat maupun tersirat dalarn teks.
Alquran, di satu sisi merupakan teks agarna yang diklaim sebagai kitab suci yang sarat akan pesan-pesan universal, di sisi lain Alquran adalah sebuah teks yang profan untuk dikaji scbagaimana teks-teks lain, yang tidak satupun yang terlepas dari historisitasnya. Oleh karena itu. Alquran seharusnya dipahami makna dan kandungannya dengan dua cara tersebut. Karena itu Nasr menegaskan bahwa rnengkaji teks harus menggunakan dua cara tersebut, takwil dan talwin sekaligus.[7] Hal ini dimaksudkan agar proses interpretasi berjalan secara obyektif -meski tidak dapat terlepas sarna sekali dari subyektifitas interpreter. Hasil interpretasi yang obyektif tersebut akan menghasilkan interpretasi yang produktif. Interpretasi yang paling tidak mendekati maksud dan tujuan penulis, author. Dengan demikian takwil adalah sehuah proses bcrfikir yang melampaui dua dunia, dunia penulis dan dunia interpreter, atau dcngan bahasa Nasr lakwil adalah circle asal dan tujuan atau circle makna asal dan signifikansi.

F.     Konstribusi Tokoh dalam Perkembangan Pemikiran di Dunia Islam
“Pembacaan Nasr Hamid Abu Zayd terhadap teks agama melampaui batas pemahaman teks agama (Alquran) yang mapan”, demikian komentar John H. Meuleman, Staf Pengajar Universitas Leiden dan Guru Besar Luar Bdiasa Universitas Islam Negeri Jakarta, sebagaimana yang dikutip oleh Moch. Nur Ichwan dalam sampul bukunya yang berjudul Meretas Kesarjanaan kritis Alquran. Nasr tidak hanya membongkar karya wacana keagamaan para ilmuwan muslim di bidang keagamaan yang mayoritas hanya berputar dan/atau berhenti pada persoalan fiqih dan ritual keagamaan saja, tetapi dia sampai menyentuh pada persoalan “aqidah”. Alquran yang dianggap “suci” juga dia pertanyakan “keazaliannya”, bahkan dengan berani dia menyatakan bahwa tekstualitas Alquran adalah produk budaya.
Keberanian Nasr menggugah wacana keagamaan yang sudah mapan, merupakan hasil kerja kerasnya yang cukup panjang dalam mengamati realitas wacana keagamaan Islam disertai dengan dialog yang intens terhadap paradigma ilmu humanities termasuk di dalamnya filsafat, bahasa dan sastra, sains, dan ilmu sosdial.
Upaya yang dilakukan Nasr tersebut membuka wacana keagamaan baru yang sudah lama tertutup rapat. Wacana keagamaan dapat bermesraan dengan waeana ilmu lain yang berkembang di Barat maupun di belahan dunia yang lain. Wacana keagamaan yang semula tidak tuntas mengupas seluruh aspek hidup dan kehidupan masyarakat, dapat menyentuh dan berdiskusi dengan aspek tersebut seeara tuntas. Dan yang paling esensial, bahwa universalitas Alquran yang hanya sebatas wacana dapat dibuktikan melalui pembacaan yang obyektif-produktif sebagaimana yang ditawarkan oleh Nasr.

G.    Penutup
Berdasarkan kajian terhadap tulisan Nasr Hamid Abu Zayd yang berjudul Naqd al-Khitab al-Diniy dalam paparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.        Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipengaruhi oleh dua hal:
a.         Latar belakang pendidikannya Nasr hafal Alquran sejak usia 3 tahun, kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, selanjutnya program pascasarjananya mengambil konsentrasi Islarnic Studies
b.         Pergulatan pemikiran keagamaan Masuknya Nasr pada organisasi lkhwan al-Muslimin, dialognya dengan wacana keagamaan di Mesir, Islamis (Radikal & Moderat) dan Sekularis (Radikal & Moderat), dan dialognya dengan ilmu Humaniora, sosial, serta ilmu alam
2.        Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari kegelisahannya menghadapi wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam. Wacana keaganaan yang tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilrnu pengetahuan tersebut menurutnya karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan. Di mata Nasr, baik Islam is radikal maupun Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah (Tahkim al-Nas) dan Pembacaan Nas, teks yang subyektif.
3.        Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan hermeneutika sebagai paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya berhenti pada yang terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signiiikansi (maghza), makna yang tidak terkatakan.
4.        Kontribusi Nasr Hamid Abu Zayd terhadap wacana keagamaan adalah:
a.     Terbukanya wacana keagamaan baru yang sudah lama tertutup rapat.
b.    Wacana keagamaan dapat bermesraan dengan wacana ilmu lain.
c.     Wacana keagamaan dapat menyentuh dan berdiskusi dengan aspek hidup dan kehidupan ummat manusia secara tuntas.
d.    Universalitas Alquran yang hanya sebatas wacana dapat dibuktikan melalui pembacaan yeng obyektif-produktif sebagaimana yang ditawarkan oleh Nasr.

H.    Daftar Pustaka
Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlo. 1996. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak: Jokjakarta.
Hakim Taufik dan M. Aunul Abid  Syah. 2001. Nashr Hamid Abu Zaid: Reinterpretasi Pemahaman Teks Al-Quran. Dalam Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Mizan: Bandung.
Hans Wehr. 1980. A Dictionary of Modem Written Arahic; ed. J.. Milton Cowan Bairut: Maktabah Lubnan.
Hilman Latief. 2003. Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan. eLSAQ Press: Jogjakarta.
Nasr Hamid Abu Zayd. Naqd al-Khilab al-Diny.




[1]Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (2003,eLSAQ Press: Jogjakarta)., 38-39.
[2]Ibid., 39-40.
[3]Ibid., 48-53. Lihat juga Hakim Taufik dan M. Aunul Abid  Syah, Nashr Hamid Abu Zaid: Reinterpretasi Pemahaman Teks Al-Quran. Dalam Islam Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (2001, Mizan: Bandung)., 294-297.
[4]Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, 67
[5]Hans Wehr, A Dictionary of Modem Written Arahic; ed. J.. Milton Cowan (Bairut: Maktabah
Lubnan, 1980), 35; Atabik AIi, Ahmad Zuhdi Muhdlo. , Kamus Kontemporer Arab Indonesia (Jokjakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996),391.
[6]Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, 140.
[7]Nasr Hamid abu Zayd, Naqd al-Khitab al-Diny, 142.