Selasa, 15 Januari 2013

Karakteristik Akidah Islam



Oleh : Sri Rahmawati & Nur Wahyuni

BAB I
PENDAHULUAN
A.             Latar Belakang
            Islam adalah agama wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang kompleks. Kesempurnaan itu terletak pada tiga aspek yaitu:
a)      Aspek akidah
b)      Aspek syari’ah
c)      Aspek akhlak
Meskipun aspek yang pertama sangat menetukan tanpa integritas kedua aspek yang lain dalam perilaku kehipan umat Islam tetapi makna realitas kesempurnaan Islam kurang utuh bahkan dapat menimbulkan degradasi keimanan pada diri Muslim karena berbarengan dengan itu eksistensi perilaku lahiriah seseorang adalah perlambangan batinnya. Sehingga akidah merupakan kumpulan dari berbagai masalah kebenaran yang pasti dipatuhi oleh akal, pendengaran, dan hati.Manusia meyakininya dengan menetapkan kebenaran dan memastikan eksistensi dan ketetapannya tanpa keraguan.

B.              Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan karakteristik akidah?
2.      Apa saja ruang lingkup pembahasan akidah Islam?
3.      Berasal dari mana sumber akidah Islam?
4.      Seberapa penting akidah bagi umat Islam?






BAB II
CIRI-CIRI  DAN POKOK-POKOK AKIDAH DALAM ISLAM
A.             Pengertian Akidah Islam
Secara etimilogis (lughatan), akidah berakar dari kata ‘aqadaya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan.‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian, dan kokoh.Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.[1]
Sedangkan menurut istiah terminalogi `aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya
Jadi, `Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama, perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi Ijman' dari Salafush Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan menurut A!-Qur'an dan AsSunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Karakteristik (Khashaish) adalah sebuah sifat baik yang sesuatu menjadi istimewa dengannya dan tidak ada sesuatu pun selainnya yang mempunyai sifat tersebut.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan universal.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada wahyu), tidak ada tempat untuk pandapat dan ijtihad di dalamnya.
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[2]
           
Akidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
1. Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya
2. Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah..” QS. 30:30
3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS. 42:21
4. Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep akidah lainnya. Aqidah Islam selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” QS 2:111
5. Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Akidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan mengikuti jejak mereka” QS.43:22.
Sedangkan Ahli Sunnah Waljama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi ciri dan inti aqidah mereka, yaitu:
1)   Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa mengingkarinya
2)   Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk
3)   Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata mereka
4)   Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah
5)   Ahli Sunnah Waljama’ah memikul amanat ilmu dan memelihara jama’ah
6)   Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani qadar dengansegala tingkatannya
7)   Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang
8)   Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan pokok keimanannya. Oleh karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya
9)   Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksaan dan pahala dalam diri seseorang. Namun mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus
10)     Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri Rasulullah tanpa ada kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah
11)     Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah pada wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang dibenarkan Allah kepada mereka
12)     Ahli Sunnah Waljama’ah berpegang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang durhaka.[3]
               Karakteristik (Khashaish) adalah sebuah sifat baik yang sesuatu menjadi istimewa dengannya dan tidak ada sesuatu pun selainnya yang mempunyai sifat tersebut.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, sebagian diantaranya adalah:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan universal.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada wahyu), tidak ada tempat untuk pandapat dan ijtihad di dalamnya.
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[4]
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya dalil yang membenarkan pengetahuan yang dimiliki-sekalipun tidak terjangkau oleh indra- maka pengetahuan menembus tempat yang dalam lagi terkokoh.Pada saat itu juga ia menjadi pengetahuan yang dominan dan fondasinya semakin kokoh. Jika pengetahuan telah tertanam kokoh dalam jiwa, maka ia akan menjadi pembimbing segala perbuatan. Ia akan menjadi motor penggerak emosi, sekalipun tidak dapat dirasakan dan tidak terjangkau oleh indra. Jika telah sampai pada derajat dapat menggerakkan emosi dan membimbing perilaku dan amal, maka hal itu bernama akidah.[5]
B.              Ruang Lingkup Pembahasan Akidah
Meminjam sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1.      Ilahiyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Illah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lain-lain.
2.      Nubuwat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu’zizat dan karamat.
3.      Ruhaniyat, yaitu pembahasan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, syetan, dan  roh.
4.      Sami’yyat, yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’I (dalil naqli berupa Al-qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, dan surge neraka.
Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul iman, yaitu:
1.      Iman kepada Allah SWT.
2.      Iman kepada Malaikat
3.      Iman kepada Kitab-Kitab Allah
4.      Iman kepada Nabi dan Rasul
5.      Iman kepada Hari Akhir
6.      Iman kepada Takdir Allah[6]
C.             Sumber Akidah Islam
Sumber akidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Artinya apa saja yang disampikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani.[7]
Akal pikiran tidaklah menjadi sumber akidah, tetapi hanya berfungsi untuk memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.Itupun harus disadari oleh suatu kesadaran bahwa kemapuan akal sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal tidak akan mampu mencapai masail ghaibiyah(masalah gaib), bahkan akal tidak akan mampu menjangkau sesuatu yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Misalnya akal tidak akan mampu menjawab kekal itu sampai kapan?Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang hal-hal ghaib itu.Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran si pembawa berita tentang hal-hal ghaib tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah oleh akal pikiran.
Penyelewengan akidah banyak bentuknya, tetapi dinegeri kita yang dianggap paling berbahaya ada empat yaitu, paham syirik, tahayul dan khufarat, tawasul wal wasilah, dan paham kebatinan.Keempat paham ini harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.[8]

D.             Kebutuhan Manusia Terhadap Akidah
1.      Manusia tidak lepas dari akidah
Adanya seruan (pengakuan) bahwa manusia tidak membutuhkan akidah adalah seruan yang bathil, bertentangan dengan realitas dan bertolakbelakang dengan sejarah kemanusiaann yang panjang.Realitas kemanusiaan membuktikan bahwa manusia di mana saja berada, dalam kondisi bagaimnapun, keadaan yang berbeda dan kondisi yang bertentangan selamanya manusia membutuhkan akidah, baik aqidah itu benar atau batil, sahih ataupun rusak.[9]
Di zaman modern perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang begitu pesat hampir membutakan banyak mata sehingga manusia cenderung meninggalkan agama dan akidah namun dibalik hal ini tampak jelas kegelisahan  dan ketakutan dalam melihat realitas alam. Kenyataan ini seolah mengisyaratkan adanya kelemahan rasio yang tidak terbatas.
2.      Membebaskan keputusan yang menyesatkan
Orang-orang yang mempunyai konsep pemikiran dengan lantang bersuara menjelaskan kejinya kekafiran dan pembangkangan dengan menganjurkan agar kembali kepada agama dan iman.Tujuan menuangkan ketentuan ini adalah menetapkan kebenaran ilmiah yang kuat dan akurat terhadap setiap peraturan rasio dan syariat, yaitu bahwa manusia selalu membutuhkan iman, agama, dan akidah.Agama merupakan urgensi kehidupan manusia dan kebutuhan dirinya.Oleh karenanya, manusia harus beriman kepada Tuhan dan beribadah kepada-Nya dalam segala hal. Dengan demikian, umat tidak akan kosong dan selalu ditemukan di muka bumi, karena sejak manusia mengetahui kehidupan, dia sudah mengenal akidah dan agama.[10]

 BAB III
PENUTUP


A.    SIMPULAN
            Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama, perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi Ijman' dari Salafush Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan menurut A!-Qur'an dan AsSunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Akidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
1. Al Wudhuh wa al Basathah
2. Sejalan dengan fitrah manusia
3. Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari siapapun
4. Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep akidah lainnya
5. Al Wasthiyyah (moderat)
Sedangkan Ahli Sunnah Waljama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian menjadi ciri dan inti aqidah mereka, yaitu:

  1. Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa mengingkarinya
  2. Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk
  3. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata mereka   
  4. Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah 
  5. Ahli Sunnah Waljama’ah memikul amanat ilmu dan memelihara jama’ah
  6.    Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani qadar dengansegala tingkatannya 
  7. Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang 
  8.  Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan pokok keimanannya. Oleh karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya
  9. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksaan dan pahala dalam diri seseorang. Namun mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus 
  10. Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri Rasulullah tanpa ada kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah 
  11. Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah pada wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang dibenarkan Allah kepada mereka 
  12.  Ahli Sunnah Waljama’ah berpegang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang durhaka

 
DAFTAR PUSTAKA
 
Al-Jazairi, Abu Bakar. 2001.Pemurnian AkidahJakarta: Pustaka Amani

Asy-Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al-Jibrin, Tashil Al-Aqidah Al-Islamiah

Habanakah, Abdurrahman. 1998. Pokok-Pokok Akidah Islam. Jakarta: Gema Insani

Hadi al Mishri, Muhammad Abdul. 1992. Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah WalJama’ah.Jakarta: Gema Insani Press

Ilyas, Yunafan. 1992. Kuliah Akidah Islam. Yogjakarta: LPPI UNMU

Palmquist, Stephen. 1990. Kembali Kepada Akidah Islam. Jakarta: Rineka Cipta


            [1]Ilyas, Yunafan, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI UNMU, 1992),1
[2]Asy-Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al-Jibrin,Tashil Al-Aqidah Al-Islamiah, 16-19.
                [3]Muhammad Abdul Hadi al Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), 124-136
                [4]Asy-Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al-Jibrin, Tashil Al-Aqidah Al-Islamiah, 16-19
                [5]Abdurrahman Habanakah, Pokok-Pokok Akidah Islam (Jakarta: Gema Insani, 1998), 35
                [6]Yunafan Ilyas, Kuliah Akidah Islam…, 5-6
                [7]Ibid., 6-7
            [8]Stephen Palmquist, Kembali Kepada Akidah Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 1
         [9]Abu Bakar al-Jazairi, Pemurnian Akidah (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), 26
[10]Ibid,. 28-29

Tidak ada komentar:

Posting Komentar