Oleh : Sri Rahmawati & Nur Wahyuni
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam
adalah agama wahyu yang mengatur sistem kehidupan yang kompleks. Kesempurnaan
itu terletak pada tiga aspek yaitu:
a)
Aspek akidah
b)
Aspek syari’ah
c)
Aspek akhlak
Meskipun
aspek yang pertama sangat menetukan tanpa integritas kedua aspek yang lain dalam
perilaku kehipan umat Islam tetapi makna realitas kesempurnaan Islam kurang
utuh bahkan dapat menimbulkan degradasi keimanan pada diri Muslim karena
berbarengan dengan itu eksistensi perilaku lahiriah seseorang adalah perlambangan
batinnya. Sehingga akidah merupakan kumpulan dari berbagai masalah kebenaran
yang pasti dipatuhi oleh akal, pendengaran, dan hati.Manusia meyakininya dengan
menetapkan kebenaran dan memastikan eksistensi dan ketetapannya tanpa keraguan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian dan karakteristik akidah?
2.
Apa saja ruang
lingkup pembahasan akidah Islam?
3.
Berasal dari
mana sumber akidah Islam?
4.
Seberapa penting
akidah bagi umat Islam?
BAB II
CIRI-CIRI
DAN POKOK-POKOK AKIDAH DALAM ISLAM
A.
Pengertian
Akidah Islam
Secara
etimilogis (lughatan), akidah berakar dari kata ‘aqadaya’qidu-‘aqdan-‘aqidatan.‘Aqdan berarti simpul, ikatan,
perjanjian, dan kokoh.Setelah terbentuk menjadi aqidah berarti keyakinan.Relevansi antara arti kata ‘aqdan dan
‘aqidah adalah keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat
mengikat dan mengandung perjanjian.[1]
Sedangkan
menurut istiah terminalogi `aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak
ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya
Jadi,
`Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah
dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman
kepada Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir,
takdir baik dan buruk dan mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang
Prinsip-prinsip Agama, perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang
menjadi Ijman' dari Salafush Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i
(pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan
menurut A!-Qur'an dan AsSunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Karakteristik (Khashaish) adalah sebuah sifat baik yang
sesuatu menjadi istimewa dengannya dan tidak ada sesuatu pun selainnya yang
mempunyai sifat tersebut.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan
universal.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada
wahyu), tidak ada tempat untuk pandapat dan ijtihad di dalamnya.
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[2]
Akidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[2]
Akidah Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki karakteristik berikut ini :
1.
Al Wudhuh wa al Basathah ( jelas dan ringan) tidak ada kerancuan di dalamnya
2.
Sejalan dengan fitrah manusia, tidak akan pernah bertentangan antara aqidah
salimah (lurus) dan fitrah manusia. Firman Allah : “Fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah
Allah..” QS. 30:30
3.
Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari
siapapun. Firman Allah :”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan lain selain
Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?“ QS.
42:21
4.
Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan
pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep akidah lainnya. Aqidah Islam
selalu menegakkan : “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar” QS 2:111
5.
Al Wasthiyyah (moderat) tidak berlebihan dalam menetapkan keesaan maupun sifat
Allah seperti yang terjadi pada pemikiran lain yang mengakibatkan penyerupaan
Allah dengan makhluk-Nya. Akidah Islam menolak fanatisme buta seperti yang
terjadi dalam slogan jahiliyah “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami
menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk
dengan mengikuti jejak mereka” QS.43:22.
Sedangkan
Ahli Sunnah Waljama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian
menjadi ciri dan inti aqidah mereka, yaitu:
1) Aqidah
Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif
(membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa
mengingkarinya
2) Ahli
Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah
kalamullah, bukan makhluk
3) Ahli
Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di
surga dengan kedua mata mereka
4) Ahli
Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah
5) Ahli
Sunnah Waljama’ah memikul amanat ilmu dan memelihara jama’ah
6) Ahli
Sunnah Waljama’ah mengimani qadar dengansegala tingkatannya
7) Ahli
Sunnah Waljama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat
bertambah dan berkurang
8) Ahli
Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’
(cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan pokok keimanannya. Oleh
karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena
kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya
9) Ahli
Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksaan
dan pahala dalam diri seseorang. Namun mereka tidak mewajibkan siksa atau
pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus
10) Ahli
Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan
istri-istri Rasulullah tanpa ada kema’shuman terhadap siapapun kecuali
Rasulullah
11) Ahli
Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah pada wali dan kejadian-kejadian
luar biasa yang dibenarkan Allah kepada mereka
12) Ahli
Sunnah Waljama’ah berpegang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin
yang baik maupun pemimpin yang durhaka.[3]
Karakteristik
(Khashaish) adalah sebuah sifat baik yang sesuatu menjadi istimewa dengannya
dan tidak ada sesuatu pun selainnya yang mempunyai sifat tersebut.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, sebagian diantaranya adalah:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
Karakteristik aqidah islamiah sangatlah banyak, sebagian diantaranya adalah:
1. Dia adalah aqidah ghaibiah (berkenaan dengan masalah ghaib).
Allah Ta’ala berfirman, “Alif Lam Mim.Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, merupakan hidayah bagi orang-orang yang bertakwa.Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(QS. Al-Baqarah: 1-3)
Hampir seluruh permasalahan aqidah islamiah yang wajib diimani oleh seorang hamba adalah bersifat ghaib, seperti rukun iman yang enam beserta rinciannya yang telah kita singgung di atas.
2. Dia adalah aqidah yang bersifat menyeluruh dan universal.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
Hal itu karena Allah Ta’ala menyifatkan agama dan kitab-Nya dengan sifat sempurna, tibyan (penjelas) terhadap segala sesuatu dan pemberi hidayah bagi seluruh makhluk.Maka ketiga sifat ini melazimkan bahwa agama dan kitab-Nya itu telah menjelaskan dan mengatus segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan para makhluk di dunia dan di akhirat.
Keuniversalannya bisa dilihat dari ketiga perkara berikut:
a. Dia mencakup semua jenis ibadah. Karena ibadah itu adalah semua nama untuk semua perkara yang Allah cintai dan ridhai, baik berupa ucapan maupun amalan, yang lahir maupun yang batin.
Maka ibadah mencakup ibadah hati seperti cinta kepada Allah, ibadah lisan seperti membaca Al-Qur`an, ibadah badan seperti shalat serta ibadah harta seperti semua jenis sedekah.Dan dia juga mencakup meninggalkan semua perkara yang dilarang dalam agama dengan syarat dia meninggalkannya karena Allah.
b. Dia mencakup hubungan antara hamba dengan Rabbnya dan hubungan antara sesama manusia.
c. Dia mencakup kehidupan manusia ketika dia masih hidup di dunia, ketika dia hidup di alam barzakh dan ketika dia hidup di negeri akhirat.
3. Dia adalah aqidah yang bersifat tauqifiah (terbatas pada
wahyu), tidak ada tempat untuk pandapat dan ijtihad di dalamnya.
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[4]
Hal itu karena aqidah yang benar haruslah terdapat keyakinan yang pasti di dalamnya, karenanya rujukan dan asalnya juga harus sesuatu yang bisa dipastikan kebenarannya, dan sifat seperti ini (dipastikan kebenarannya) tidak bisa ditemukan kecuali pada kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya -shallallahu alaihi wasallam- yang shahih.
Allah Ta’ala berfirman, “Kalau kelak datang kepada kalian hidayah dari-Ku, maka barangsiapa yang mengikuti hidayah-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (QS. Thaha: 23) Maka Allah menjadikan keselamatan dan kebahagiaan -dalam aqidah dan selainnya- hanya pada apa yang Dia datangkan berupa Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan barangsiapa yang mengikuti selain keduanya maka baginya kecelakaan yang nyata.
Karenanya semua perkara yang bersifat dugaan -seperti kias, akal, anggapan baik, eksperimen- tidak bisa dijadikan rujukan dalam aqidah, apalagi kalau dia hanyalah khayalan dan khurafat seperti mimpi-mimpi dan ucapan seseorang yang jahil.
Akal bukanlah sumber aqidah, bahkan dia adalah sesuatu yang dipakai untuk memahami dan mentadabburi sumber aqidah sebenarnya -yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah yang shahih-. Karenanya akal yang sehat lagi bersih dari semua kotoran tidak akan mungkin bertentangan dengan wahyu.
Semoga Allah Ta’ala merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiah tatkala beliau mengomentari para ahli kalam, “Cukuplah yang menjadi dalil akan rusaknya mazhab mereka (yang mendahulukan akal) adalah: Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempunyai sebuah kaidah yang bersifat baku dalam masalah apa saja yang dianggap mustahil oleh akal. Bahkan di antara mereka ada yang menyangka bahwa akal membolehkan dan mewajibkan sesuatu yang dianggap oleh selainnya bahwa akal menghukumi itu mustahil.Wahai betapa kasihannya, dengan akal yang manakah Al-Kitab dan As-Sunnah akan ditimbang?”[4]
Seiring
dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya dalil yang membenarkan
pengetahuan yang dimiliki-sekalipun tidak terjangkau oleh indra- maka
pengetahuan menembus tempat yang dalam lagi terkokoh.Pada saat itu juga ia
menjadi pengetahuan yang dominan dan fondasinya semakin kokoh. Jika pengetahuan
telah tertanam kokoh dalam jiwa, maka ia akan menjadi pembimbing segala
perbuatan. Ia akan menjadi motor penggerak emosi, sekalipun tidak dapat
dirasakan dan tidak terjangkau oleh indra. Jika telah sampai pada derajat dapat
menggerakkan emosi dan membimbing perilaku dan amal, maka hal itu bernama
akidah.[5]
B.
Ruang
Lingkup Pembahasan Akidah
Meminjam
sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1.
Ilahiyat, yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Illah (Tuhan, Allah)
seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan
lain-lain.
2.
Nubuwat, yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu’zizat dan karamat.
3.
Ruhaniyat, yaitu
pembahasan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti
malaikat, jin, iblis, syetan, dan roh.
4.
Sami’yyat, yaitu
pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat sam’I (dalil
naqli berupa Al-qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur,
tanda-tanda kiamat, dan surge neraka.
Disamping
sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti sistematika arkanul
iman, yaitu:
1.
Iman kepada
Allah SWT.
2.
Iman kepada
Malaikat
3.
Iman kepada
Kitab-Kitab Allah
4.
Iman kepada Nabi
dan Rasul
5.
Iman kepada Hari
Akhir
6.
Iman kepada
Takdir Allah[6]
C.
Sumber
Akidah Islam
Sumber
akidah Islam adalah Al-Qur’an dan sunnah. Artinya apa saja yang disampikan oleh
Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam sunnahnya wajib diimani.[7]
Akal
pikiran tidaklah menjadi sumber akidah, tetapi hanya berfungsi untuk memahami
nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencoba kalau
diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah.Itupun harus disadari oleh suatu kesadaran bahwa kemapuan akal
sangat terbatas, sesuai dengan terbatasnya kemampuan semua makhluk Allah. Akal
tidak akan mampu mencapai masail
ghaibiyah(masalah gaib), bahkan akal tidak akan mampu menjangkau sesuatu
yang tidak terikat dengan ruang dan waktu. Misalnya akal tidak akan mampu
menjawab kekal itu sampai kapan?Oleh sebab itu akal tidak boleh dipaksa
memahami hal-hal ghaib tersebut dan menjawab pertanyaan segala sesuatu tentang
hal-hal ghaib itu.Akal hanya perlu membuktikan jujurkah atau bisakah kejujuran
si pembawa berita tentang hal-hal ghaib tersebut bisa dibuktikan secara ilmiah
oleh akal pikiran.
Penyelewengan
akidah banyak bentuknya, tetapi dinegeri kita yang dianggap paling berbahaya
ada empat yaitu, paham syirik, tahayul dan khufarat, tawasul wal wasilah, dan
paham kebatinan.Keempat paham ini harus dibasmi sampai ke akar-akarnya.[8]
D.
Kebutuhan
Manusia Terhadap Akidah
1.
Manusia tidak
lepas dari akidah
Adanya
seruan (pengakuan) bahwa manusia tidak membutuhkan akidah adalah seruan yang
bathil, bertentangan dengan realitas dan bertolakbelakang dengan sejarah
kemanusiaann yang panjang.Realitas kemanusiaan membuktikan bahwa manusia di
mana saja berada, dalam kondisi bagaimnapun, keadaan yang berbeda dan kondisi
yang bertentangan selamanya manusia membutuhkan akidah, baik aqidah itu benar
atau batil, sahih ataupun rusak.[9]
Di
zaman modern perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang begitu pesat
hampir membutakan banyak mata sehingga manusia cenderung meninggalkan agama dan
akidah namun dibalik hal ini tampak jelas kegelisahan dan ketakutan dalam melihat realitas alam.
Kenyataan ini seolah mengisyaratkan adanya kelemahan rasio yang tidak terbatas.
2.
Membebaskan
keputusan yang menyesatkan
Orang-orang
yang mempunyai konsep pemikiran dengan lantang bersuara menjelaskan kejinya kekafiran
dan pembangkangan dengan menganjurkan agar kembali kepada agama dan iman.Tujuan
menuangkan ketentuan ini adalah menetapkan kebenaran ilmiah yang kuat dan
akurat terhadap setiap peraturan rasio dan syariat, yaitu bahwa manusia selalu
membutuhkan iman, agama, dan akidah.Agama merupakan urgensi kehidupan manusia
dan kebutuhan dirinya.Oleh karenanya, manusia harus beriman kepada Tuhan dan
beribadah kepada-Nya dalam segala hal. Dengan demikian, umat tidak akan kosong
dan selalu ditemukan di muka bumi, karena sejak manusia mengetahui kehidupan,
dia sudah mengenal akidah dan agama.[10]
BAB
III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Aqidah
Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan
segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid dan taat kepada-Nya, beriman kepada
Malaikat-malaikat-Nya. Rasul–rasulnya kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik
dan buruk dan mengimanai seluruh apa apa yang telah shahih tentang
Prinsip-prinsip Agama, perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang
menjadi Ijman' dari Salafush Shalih, serta seturuh berita-berita qath'i
(pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah datetapkan
menurut A!-Qur'an dan AsSunnah yang shahih serta ijma' Salafush Shalih.
Akidah
Islam adalah Aqidah Rabbaniy (berasal dari Allah ) yang bersih dari pengaruh
penyimpangan dan subyektifitas manusia. Akidah Islam memiliki karakteristik
berikut ini :
1.
Al Wudhuh wa al Basathah
2.
Sejalan dengan fitrah manusia
3.
Prinsip-prinsip aqidah yang baku, tidak ada penambahan dan perubahan dari
siapapun
4.
Dibangun di atas bukti dan dalil, tidak cukup hanya dengan doktrin dan
pemaksaan seperti yang ada pada konsep-konsep akidah lainnya
5.
Al Wasthiyyah (moderat)
Sedangkan
Ahli Sunnah Waljama’ah menyepakati prinsip-prinsip penting yang kemudian
menjadi ciri dan inti aqidah mereka, yaitu:
- Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat-sifat Allah: itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa mempersoalkan bentuknya) dan mensucikan-Nya tanpa mengingkarinya
- Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk
- Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di surga dengan kedua mata mereka
- Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan Rasulullah
- Ahli Sunnah Waljama’ah memikul amanat ilmu dan memelihara jama’ah
- Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani qadar dengansegala tingkatannya
- Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat: iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang
- Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang), iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan pokok keimanannya. Oleh karenanya, mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika telah terlepas pokok keimanannya
- Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksaan dan pahala dalam diri seseorang. Namun mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang tertentu kecuali dengan dalil khusus
- Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri Rasulullah tanpa ada kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah
- Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah pada wali dan kejadian-kejadian luar biasa yang dibenarkan Allah kepada mereka
- Ahli Sunnah Waljama’ah berpegang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin yang baik maupun pemimpin yang durhaka
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jazairi,
Abu Bakar. 2001.Pemurnian AkidahJakarta:
Pustaka Amani
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al-Jibrin, Tashil Al-Aqidah Al-Islamiah
Habanakah,
Abdurrahman. 1998. Pokok-Pokok Akidah
Islam. Jakarta: Gema Insani
Hadi al
Mishri, Muhammad Abdul. 1992. Manhaj dan
Aqidah Ahlussunnah WalJama’ah.Jakarta: Gema Insani Press
Ilyas, Yunafan.
1992. Kuliah Akidah Islam. Yogjakarta:
LPPI
UNMU
Palmquist,
Stephen. 1990. Kembali Kepada Akidah Islam. Jakarta:
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar