Oleh : Diana & Nur Khalimatus Sadiyah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semenjak
abad ke 17 rasionalisme Rene Descartes mencapai posisi penting bagi ilustrasi
keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akal adalah alat terpenting untuk
memperoleh pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan empirisme yang mencapai puncak
pada masa David Hume yang mana pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman dan
terbatas pada dunia cerapan indera saja. Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah
positivisme yang diperkenalkan oleh Auguste Comte yang mana ia sebagai kelanjutan dari empirisme tapi dalam bentuk yang
lain yang lebih objektif.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup seorang Auguste Comte?
2.
Apa pengertian positivisme?
3.
Bagaimana pemikiran positivisme dari Auguste Comte?
4.
Jelaskan konsep sentral dan komparasidari ajaran positivisme?
5.
Jelaskan kritik-kritik dari positivisme?
C. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk lebih meningkatkan lagi pemahaman
kita mengenai filsafat barat pada umumnya, dan filsafat positivisme pada
khususnya. Pada filsafat ini nanti akan kami bahas mengenai riwayat hidup dari
Auguste Comte, sejarah dari positivisme, pemikiran positivisme dari Auguste
Comte, konsep sentral serta komparasi dari ajaran lain dan kritik-kritik dari
pemikiran. Selain itu juga akan kami bahas berbagai sub bab/pokok yang
berkaitan dengan positivisme. Sehingga diharapkan setelah membaca makalah yang
kami susun ini, kita semua bisa mengetahui tentang positivisme itu sendiri dan
dapat mengambil hal positif untuk dipublikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Biografi Auguste Comte
Filsafat positivisme diantarkan
oleh Auguste Comte pada abad ke 19. Auguste Comte memiliki nama yang panjang
yaitu Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte. Beliau dilahirkan di
Montpellier pada tanggal 19 Januari 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama
katolik dan meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857 pada umur 59
tahun. Karyanya yang pokok adalah Cours de philosophie positive, atau
“kursus tentang filsafat positif” tahun 1830-1842 yang diterbitkan dalam 6
jilid.[1]
dan Discours L’esprit positive tahun
1844.
Comte kecil tinggal di
sebuah kota kecil bagian barat daya dari negara Perancis. Setelah
bersekolah disana, ia melanjutkan pendidikannya di École
Polytechnique di Paris (1814), yang kemudian menghantarkannya menjadi
seorang matematikawan yang brilian. Comte memulai karir profesionalnya dengan
memberi les dalam bidang matematika. Meskipun ia telah memperoleh pendidikan
dalam bidang matematika, namun perhatian yang sebenarnya ialah masalah-masalah
kemanusiaan dan sosial. Perhatiannya tersebut kemudian berkembang setelah ia
bertemu dengan Henri de Saint-Simon, seorang ahli teori sosial yang tertarik
pada reformasi utopis dan pendiri awal sosialisme Eropa, yang kemudian
mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.
Dengan Simon,
Comte menjalin kerjasama yang erat dalam pengembangan karya awalnya. Namun,
setelah tujuh tahun pasangan ini akhirnya pecah karena perdebatan mengenai
kepengarangan karya bersama, dan Comte pun meninggalkan pembimbingnya tersebut.Namun,
walaupun Comte tidak lagi bekerjasama dengan Simon, pengaruhnya tetap saja
melekat sepanjang hidup Comte.
Pasca
meninggalkan Simon, Comte selanjutnya meneliti tentang filosofi Positivisme.
Rencananya ini kemudian dipublikasikan dengan nama“Plan de travaux scientifiques nécessaires pour réorganiser la société”pada
tahun 1822 (Rencana studi ilmiah untuk pengaturan kembali masyarakat). Tetapi
ia gagal mendapatkan posisi akademis sehingga menghambat penelitiannya.
Sementara Comte
sedang mengembangkan filsafat positifnya yang komprehensif, ia menikah dengan
seorang bekas pelacur bernama Caroline Massin. Comte dikenal arogan, kejam dan
mudah marah sehingga pada tahun 1826 dia dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa,
tetapi ia kabur sebelum sembuh. Kemudian setelah kondisinya distabilkan oleh Massin,
ia mengerjakan kembali apa yang dulu direncanakannya. Namun sayangnya, pada
tahun 1842 ia bercerai dengan Massin. Saat-saat di antara pengerjaan kembali
rencananya sampai pada perceraiannya, ia mempublikasikan bukunya yang berjudul “Course
of Positive Philosophy”.
Pada tahun 1844,
Comte menjalin kasih dengan Clothilde de Vaux, seorang wanita yang sedang di
tinggal suaminya.Perasaan Comte terhadap Clothilde cukup besar, namun sayangnya
hal itu tak berlangsung lama karena Clothilde mengidap TBC dan akhirnya
meninggal. Hal ini mengakibatkan Comte cukup terguncang, sampai bersumpah bahwa
ia akan membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari” nya tersebut.
Sifat tulisan
Comte umumnya berubah secara mencolok pasca menjalin hubungan dengan Clothilde.
Dalam karya keduanya “System of Positive Politics”, ia menggagas bahwa kekuatan
yang sebenarnya mendorong orang dalam dalam kehidupannya adalah perasaan, bukan
pertumbuhan intelegensi manusia yang mantap. Dia mengusulkan suatu reorganisasi
masyarakat, dengan sejumlah tata cara yang dirancang untuk membangkitkan cinta
murni tanpa egois demi kebesaran manusia. Tujuannya ialah mengembangkan suatu
agama yang baru yaitu agama Humanitas. Dan pada gilirannya ia menyatakan diri
sebagai pendiri agama universal, Imam Agung Humanitas.[6]
Meskipun egois
dan egosentris, Auguste Comte mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat
sampai akhir hayatnya.Ia meninggal karena kanker perut di Paris pada tanggal 5
September 1857.
2.
Positivisme
Semenjak
abad ke 17 rasionalisme Rene Descartes mencapai posisi penting bagi ilustrasi
keilmuan manusia, pemikirannya bahwa akal adalah alat terpenting untuk
memperoleh pengetahuan. Lalu dilanjutkan dengan empirisme yang mencapai puncak
pada masa David Hume yang mana pengetahuan hanya bersumber dari pengalaman dan
terbatas pada dunia cerapan indera saja. Selanjutnya pada abad ke 19 muncullah
positivisme yang diperkenalkan oleh Auguste Comte.
Pandangan
ini bukan barang yang sama sekali baru karena sebelum Kant sudah berkembang
empirisme yang dalam beberapa segi bersesuaian dengan positivisme.[2]
Kesamaan positivisme dengan empirisme adalah bahwa keduanya mengutamakan
pengalaman. Perbedaannya terletak pada;
bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman obyektif,
tetapi empirisme juga menerima pengalaman-pengalaman batiniah atau
pengalaman-pengalaman yang subyektif.[3]
Untuk Positivisme sendiri berasal dari bahasa
Inggris: “positivism”; dari bahasa latin“positivus,ponere” yang berarti
meletakkan. Positivisme sekarang merupakan suatu istilah umum untuk posisi
filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan
ilmiah. Dan umumnya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan
faktualpada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau dengan kata lain,
positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam
(empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai
kognitif dari studi filosofis atau metafisik. [4]
Filsafat positivisme diturunkan
dari kata “positif”. Filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui,
yang faktual, yang positif. Segala uraian dan persoalan di luar apa yang ada
sebagai fakta atau kenyataan dikesampingkan. Artinya yang dijadikan sumber
pengetahuan adalah hal-hal atau gejala yang tampak. Segala fakta yang
menyajikan diri kepada kita sebagai penampakan atau gejala, kita terima seperti
apa adanya. Setelah itu kita berusaha untuk mengatur fakta-fakta tadi menurut
hukum tertentu, akhirnya dengan berpangkal kepada hukum-hukum yang telah
ditemukan tadi kita mencoba melihat ke masa depan, apa yang akan tampak sebagai
gejala dan menyesuaikandengan dirinya.
Pada
dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia menyempurnakan
empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran
ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan
penting positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air
mendidih adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan
yang lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya. Ukuran -
ukuran tadi adalah operasional, kuantitatif, tidak memungkinkan perbedaan
pendapat.
Intinya,
positivisme tidak hanya menggunakan metode rasionalisme saja atau empirisme
saja, tetapi menggabungkan keduanya dengan cara melihat gejala yang fakta dan
nampak lalu merasionalkannya dengan mencoba meramalkan gejala yang akan terjadi
setelahnya. Contohnya hari ini langit mendung, itu adalah bagian dari
empirisme, lalu diperkirakan sebentar lagi akan turun hujan, itu merupakan
bagian dari rasionalisme. Jadi ide positivisme di sini adalah berpatokan pada
gejala yang telah nampak.
3.
Pemikiran Auguste Comte
3.1
Hukum tiga tahap
Menurut
Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman,
yaitu zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau zaman positif.
3.1.1
Tahap Teologis
Pada zaman atau tahap
teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu. Jadi
orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan yang mutlak. Oleh
karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin, bahwa di belakang tiap
kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada tahap ini
terdapat 3 tahap lagi, yaitu: a) tahap yang paling bersahaja atau primitif,
ketika orang menganggap, bahwa segala benda berjiwa (animisme); b) tahap ketika
orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing
diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya,
sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya
sendiri (politeisme); c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang
bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
3.1.2
Tahap Metafisik
Zaman yang kedua, yaitu
zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman
teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian atau dengan
pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian dipersatukan dengan sesuatu yang
bersifat umum yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala
penampakan atau gejala yang khusus.
3.1.3
Tahap Positif
Zaman positif adalah zaman
ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau
pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis.
Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada
di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau
disajikan padanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada
zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan
dengan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu
fakta yang umum saja.
Hukum
3 zaman atau 3 tahap di atas bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani
seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri.
Seperti contoh: sebagai kanak-kanak orang adalah seorang teolog, sebagai pemuda
ia menjadi seorang metafisikus dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang
fisikus.
Contoh
praktisnya adalah dalam pelajaran matematika sebuah rumus bagi
anak-anak hanya dijadikan sebuah teori dan tidak ada usaha untuk mengkritisinya
atau mempraktekannya. Ketika remaja dia sudah mulai mengkritisi dan
mempraktekannya dan mempunyai gambaran-gambaran atau abstraksi metafisik
tentang rumus tersebut. Dan ketika sudah dewasa dia telah menemukan hasil dari
nilai praktis rumus tersebut.
3.2 Prinsip-prinsip
Keteraturan Sosial
Sejalan
dengan perspektif organiknya, Comte sangat menerima saling ketergantungan yang
harmonis antara bagian-bagian masyarakat, dan sumbangan terhadap bertahannya
stabilitas sosial. Meskipun keteraturan sosial dapat terancam oleh anarki
sosial, moral, dan intelektual, selalu akan diperkuat kembali. Analisis Comte
mengenai keteraturan sosial dapat dibagi dalam dua fase.Pertama, usaha untuk menjelaskan keteraturan sosial secara empiris
dengan menggunakan metode positif.Kedua,
usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan
positivisme, tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek.[5]
Menurut comte, individu dipengaruhi dan dibentuk oleh
lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat asasi adalah bukan individu-individu,
melainkan keluarga. Dalam keluargalah individu diperkenalkan kepada masyarakat.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian
pekerjaan dan kerja sama ekonomi. Individu menjalankan kegiatan ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan individunya. Akan tetapi begitu pembagian pekerjaan muncul,
partisipasi individu dalam kegiatan ekonomi menghasilkan kerja sama, kesadaran
akan saling ketergantungan dan muncul ikatan-ikatan sosial baru. Pembagian
pekerjaan meningkat bersama industrialisasi, dan bertambahnya spesialisasi yang
berhubungan dengan itu mendorong individualisme, sekaligus meningkatkan derajat
saling ketergantungan.Jadi, keteraturan yang stabil dalam suatu masyarakat
kompleks, berbeda dengan masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan
berdiri sendiri, berstandar pada saling ketergantungan itu yang perkembangannya
dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat tinggi.
3.2 Agama Humanitas
Wawasan Comte tentang konsekuensi-konsekuensi agama
yang menguntungkan dan ramalannya terhadap tahap positif postreligius dalam
evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah rumit. Melirik fakta sejarah, ia
tidak bisa menafikan peran penting agama terhadap keteraturan sosial yang
paling utama. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah (positif),
agama didasarkan pada kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah
berkembang pada saat-saat awal perkembangan intelektual manusia. Lalu,
pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah bagaimana keteraturan sosial
itu dapat dipertahankan dalam masyarakat
positif pada masa-masa yang akan datang, Dengan satu dasar tradisi pokok
mengenai keteraturan sosial yang digali oleh positivisme.
Mengatasi masalah tersebut, Comte kemudian
mengemukakan gagasan untuk mendirikan satu agama baru yakni agama Humanitas,
dan mengangkat dirinya sebagai imam agung agama tersebut.Ini aspek kedua dari
perhatian Comte mengenai keteraturan sosial.Aspek pertama meliputi suatu
analisis objektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat, sedangkan
aspek kedua ini meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama
Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positive di
bawah bimbingan moral agama Humanitas makin lama makin terperinci.Misalnya, dia
menyusun satu kelender baru dengan hari-hari tertentu untuk menghormati
ilmuan-ilmuan besar dan lainnya, yang sudah bekerja demi kemanusiaan dan
kemajuan manusia. Akan ada beberapa ritus doa yang disusun untuk menyalurkan
hasrat-hasrat individu dan memasukkannya ke dalam “the great being of humanity”.
Selain itu, ada juga ritual dimana Comte sebagai imam agung berlutut didepan
altarnya sambil memegang seikat rambut kepala Cothilde de Vaux.Ia juga bahkan
mengusulkan agar kuburan de Vaux dijadikan sebagai tempat ziarah.[6]
Dalam agama baru ini, moralitas
tertinggi adalah cinta dan pengabdian kepada kemanusiaan. Allah pada abad
pertengahan digantikan dengan “Le Grand Etre” (Ada Agung), yakni Kemanusiaan.[7]
3.3 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Comte membagi ilmu pengetahuan berdasarkan gejala-gejala dan
penampakan-penampakan, yang mana ilmu pengetahuan harus disesuaikan oleh itu
semua. Segala gejala yang dapat diamati hanya akan dapat dikelompokan dalam
beberapa pengertian saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan sedemikian rupa
sehingga penelitian tiap kelompok menjadi dasar bagi penelitian kelompok
berikutnya.Sehingga terjadilah dikotomi ilmu pengetahuan yang mana asal
mualanya adalah satu. Lalu terjadi dikotomi dari ilmu pengetahuan itu berdasarkan
gejala yang diamati lalu muncullah kelompok peneliti lain yang memungkinkan
dikotomi yang lain hingga mencapai gejala yang paling sederhana. Gejala yang
sederhana ini adalah gejala yang tidak memiliki kekhususan hal-hal yang
individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala yang pertama-tama dalam dua hal
yaitu gejala yang bersifat organis dan yang tidak bersifat anorganis.Yang
dimaksud dengan sifat organis adalah segala hal yang bersifat makhluk hidup.Dan
sifat anorganik adalah yang tidak bersifat hidup. Menurutnya dalam mempelajari
yang organis harus terlebih dahulu mempelajari hal-hal yang bersifat anorganis,
karena dalam makhluk hidup terdapat hal-hal yang kimiawi dan mekanis dari alam
yang anorganis, contoh: manusia yang makan, yang mana didalamnya terdapat
proses kimiawi dari sesuatu yang anorganis yaitu makanan.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anorganis dibagi menjadi dua hal
yaitu tentang astronomi, yang mempelajari segala gejala umum yang ada dijagat
raya dan tentang fisika serta kimia yang mempelajari segala gejala umum yang
terjadi dibumi. Menurutnya, pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab
proses-proses kimiawi lebih rumit dibanding dengan proses alamiah dan tergantung
daripada proses alamiah.[8]
Dan ajarannya tentang yang organis juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
proses-proses yang berlangsung dalam individu-individu dan proses-proses yang
berlangsung dalam jenisnya yang lebih rumit. Ilmu yang diusahakan disini adalah
ilmu biologi, yang menyelidiki proses dalam individu. Kemudian muncul sosiologi
yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarakatannya dan ilmu sosial
baru harus dibentuk atas dasar pengamatan dan pengalaman (pengetahuan positif)
Demikianlah sosiologi yang menurutnya menjadi puncak bangunan ilmu
pengetahuan.Akan tetapi ilmu ini baru dapat berkembang jika segala sesuatu
telah mencapai kedewasaanya.
3.4 Kedudukan
Ilmu Pasti dan Psikolog
Kedudukan ilmu pasti yang mana ilmu pasti bukan
sebagai sesuatu yang bersifat empiris, dan bagaimana dengan psikologi yang berarti
mempelajari jiwa manusia, diri sendiri ataupun orang lain. Menurut Comte ilmu
pasti merupakan dasar dari filsafat karena ia memiliki dalil-dalil yang
bersifat umum dan paling abstrak, dalam hal ini ia setuju dengan Descartes dan
Newton. Dan menurutnya pula bahwa ilmu pasti adalah ilmu yang paling bebas.
Sedangkan psikologi tidak diberi ruang dalam system Comte. Hal ini
sesuai dengan pendapatnya bahwa manusia tidak akan pernah menyelidiki diri
sendiri. Tetapi orang masih dapat menyelidiki nafsu-nafsunya karena menurutnya
nafsu-nafsu itu terpisah dari manusia.[9]
4. Konsep Sentral dan Komparasi dari ajaran Positivisme
Konsep sentral dari ajaran positivisme ini lebih pada tahap-tahap
pemikiran manusia atau hukum 3 tahap dan masyarakat, karena dengan pemikiran
tersebut Auguste Comte juga disebut Bapak dari sosiologi.
Sedang komparasi terhadap ajaran positivisme ini lebih pada pemikiran
empirismenya Hegel. Kesamaan antara positivisme
dengan empirisme seperti yang timbul di Inggris, keduannya mengutamakan
pengalaman. Bahwa ajaran positivisme hanya membatasi diri pada
pengalaman-pengalaman yang bersifat obyektif. Namun untuk empirisme hanya
menerima pengalaman-pengalaman yang bersifat bathiniah atau pengalaman yang
subyektif.Untuk ajaran Comte tentang masyarakat yang mewujudkan suatu filsafat
tentang sejarah. Bahwasannya ajaran Comte tentang hukum 3 tahap atau 3 zaman,
secara formal sejenis dengan dialetikanya Hegel.Sama seperti Hegel, Comte
memeriksa banyak sekali fakta-fakta sejarah serta menggabungkannya menjadi
suatu sistem. Kedalam filsafat sejarah itu dimasukkan perkembangan kenegaraan,
kehakiman, dan kemasyarakatan, juga perkembangan kesenian, agama, ilmu dan
filsafat.[10]
Disinilah Comte melebihi Hegel. Di mana-mana ditemukannya hukum 3
tahap. Tiap tahap sesuai dengan suatu bentuk masyarakat tertentu.Umpamanya,
pada zaman teologi di bidang social terdapat kepercayaan kepada hukum ilahi,
sedang di bidang pemerintahan terdapat bentuk feodalisme.
5. Kritikan dari Positivisme Auguste Comte
Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena
generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa
semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika,
atau kimia” dan bahwa ”proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan
antar tindakan-tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat direduksi
kedalam sistem fisika”.
Untuk pemakalah sendiri ada dua hal yang menjadi
landasan atas kritikan dari ajaran Positivisme. Pertama, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang
digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Positivisme
secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai
”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih
merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Kritik kedua, menunjuk bahwa positivisme
tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter
konservatif.Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik
tertentu.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang
positif, sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam
pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri
sendiri.Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerjasama.
Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perluanya eksperimen dan
ukuran-ukuran. Dengan demikian positivisme sama dengan empirisme plus rasionalisme
Dalam kaitannya tentang sosial, positivisme merupakan doktrin Comte yang
menjadi pondasi strategi rekonstruksi masyarakat. Bagi Comte, sosiologi
merupakan puncak perkembangan positivisme dan menjadikannya ratu dari ilmu-ilmu
sosial. Sehingga, sosiologi positif diharapkan Comte mampu menjadi kunci
kemajuan sosial dimasa depan
Ujung dari pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Auguste Comte adalah
falsafahnya tentang hidup manusia yang membutuhkan hubungan dengan zat yang
sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori sosiologinya.
2. Saran
Kami menghimbau
kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang Positivisme Auguste Comte yang belum dapat kami bahas pada makalah
ini. Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi
manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini
pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
DAFTAR PUTAKA
Harun Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta:
Kanisius
Hardiman, Budi. 2007. Filsafat Modern. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama)
Abdul Hakim,
Atang. 2008. Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia)
Bagus, Lorens. 2005. Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)
Hardiman, Budi. 2003. Melampaui
Positivisme dan Modernisme, (Yogyakarta: Kanisius)
[1]Dr. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
110
[2]F. Budi
Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernisme, (Yogyakarta: Kanisius,
2003), 54
[3]Dr. Harun
Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1980),
110
[4]Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 858
[5]Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum, (Bandung; Pustaka Setia, 2008) hlm 296.
[6]Ibid., 311
[7]Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2007) hlm, 206.
[8]Harun Hadiwijono, sari sejarah filsafat barat ,
hal: 111-112
[9]Ibid., 112-113
[10]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal
113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar