Oleh : Ts@_Ny
A.
Pengantar
Masa
keemasan umat Islam sudah lama tenggelam. Kekuasaan Abbasiyah yang telah
melahirkan banyak ilmuwan dan mujtahid diruntuhkan tentara Mongol. Banyak
warisan intlektual yang dibakar dan umat Islam mulai stagnan dan terjerat
belenggu taklid. Mereka yang sibuk dengan romantisme masa lalu begitu mudah
direnggut oleh para imprealis Eropa. Wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai
kaum muslimin dan belum tersentuh Mongol dilucuti oleh para Imprealis. Namun
keberadaan mereka (Imprealis) yang membawa ide-ide baru pada akhirnya juga
menguntungkan kaum muslimin. Dari sana umat Islam mulai merenung kembali sampai
lahirnya apa yang disebut pembaruan.
Setalah
terjadinya perkawinan budaya dan intlektual Barat dan Timur, muncullah banyak
tokoh yang menggagas pembaruan. Islam sebagai agama kaffah tak
seharusnya mati di tengah perkembangan zaman. Mereka mulai mengadopsi ide-ide
baru yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Meskipun tidak semuanya setuju,
dengan gayanya sendiri-sendiri mereka mencoba membangun kembali Islam. Di
antara sekian banyak tokoh yang muncul salah satunya adalah Jamaluddin
al-Afghani dengan pan-islamismenya.
Sayyid
Jamaluddin al-Afghani adalah seorang tokoh
penting penggerak pembaruan dan kebangkitan islam pada abad ke-19. Ia
disenangi sekaligus dimusuhi oleh kalangan
islam sendiri. Disenangi karena aktivitas dan gagasan politiknya menjadi
inspirasi bagi upaya pembebasan umat islam dari penjajahan bangsa-bangsa Barat.
Sebaliknya, ia dimusuhi karena menjadi batu sandungan bagi penguasa-penguasa
dunia islam yang otoriter, korup, dan despotis ketika itu. Jamaluddin dianggap
membahayakan dan menentang kekuasaan mereka sehingga Jamaluddin dituduh
pemberontak dan dihukum oleh penguasa di masanya.
B.
Biografi
Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin
al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838 M dan meninggal 9 Maret 1897 M. Ayahnya
bernama Sayyid Safdar, seorang penganut madzhab Hanafi. Konon Silsilah keturunannya sampai pada Nabi SAW. melalui
Husain ibn Ali ibn Abi Thalib, suami Fatimah putri Nabi SAW. Terdapat perbedaan
tentang kelahirannya. Sebagian orang mengklaim bahwa ia adalah orang Iran,
namun ia menyembunyikan ke-Syi’ah-annya (taqiyah)
di tengah-tengah penguasa dan masyarakat muslim yang mayoritas menganut Sunni.
Sebagian lain menyatakan bahwa ia adalah orang Afghanistan, sebagaimana yang
tercantum di belakang namanya.
Sejak kecil Jamaluddin
telah menekuni berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, tasawuf,
dan filsafat Islam. Ia juga belajar bahasa Arab dan Persia. Dan ketika remaja
ia mulai menekuni filsafat dan ilmu eksakta menurut system pelajaran Eropa
modern. Tentang filsafat, ia belajar dari tokoh-tokoh ulama Syi’ah seperti
Syekh Murtadha Anshari, Mulla Husain al-Hamadi, Sayyid Ahmad Teherani, dan
Sayyid Habbubi.
Ketika berusia 18
tahun, ia berangkat ke India dan tinggal di sana selama setahun. Dari India kemudian
bertolak ke Tanah Suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah itu kembali lagi ke Afghanistan. Sepulang dari
Mekkah, saat berusia 22 tahun, ia sudah diangkat menjadi pembantu Pengeran Dost
Muhammad Khan di Afghanistan. Dan setelah Muhammad Khan meninggal dunia pada
1864, penggantinya Sir Ali Khan mengangkat Jamaluddin sebagai penasehatnya.
Setelah itu ia pun diangkat menjadi perdana mentri pada pemerintahan Muhammad
Azham Khan. Namun ini tidak lama, karena Azham Khan akhirnya dijatuhkan oleh
jelompok oposisi yang didukung Inggris, yang saat itu sudah mulai menancapkan
kekuasaannya di negeri itu. Untk menghindari pengaruh buruk yang mungkin akan
menimpa, Jamaluddin bertolak kembali ke India dan pergi haji lagi tahun 1869.[1]
C.
Pembaruan
Teologi Jamaluddin al-Afghani
Pada masa Jamaluddin,
umat Islam yang tertidur di bawah naungan imprealis dihadapkan pada
budaya-budaya Barat yang jauh dari nuansa teologis, ateistis dan materialistis.
Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara penjajahan Barat di negeri Islam
membawa gambaran yang berbeda untuk menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang
Islam yang bersumber dari ajaran Alquran. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk
menjalin kesatuan di kalangan kaum muslimin. Ia memperingatkan segala gambaran
yang dilihatnya itu, diantaranya adalah usaha untuk merusak aqidah orang Islam
baik dengan cara memecah belahnya maupun dengan usaha memalingkannya dari
ajaran agama.
Afghani pada waktu itu
menentang keras aliran materialisme dan Naturalisme yang mendasarkan
tinjauannya pada alam dan menolak eksistensi Tuhan. Sedangkan Materialisme
adalah orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas segala-galanya. Al-Afghani sangat menentang aliran Naturalis (Ateis) yang
tersebar luas di India di tahun 1879. Tentang aliran ini al-Afghani mengatakan
bahwa aliran ini akan membelah kaum muslimin menjadi dua kelompok; kelompok
lama dan baru, kelompok yang tunduk kepada penjajah dan kelompok oposisi.
Aliran ini juga akan memecah hubungan umat Islam India dari kekhalifahan
Utsmani di sisi lain.
Afghani melihat
berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk merusak
kepribadian Islam yang bersumber dari Alquran dan menyatukan umat Islam dalam
satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha merusak
aqidah dari hatinya. Maka aliran Naturalisme dan Materialisme – yang di India
dikenal sebutan kaum Ateis – dianggap sebagai senjata melawan kekuatan umat
Islam yang sumbernya agama. Menurut al-Afghani, bahaya aliran ini, orang yang
mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan aqidah
kaum muslim.
Ada tiga hal penolakan
al-Afghani terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya agama bagi masyarakat,
bahaya aliran Ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu
agama dan aqidah di atas agama-agama lain. Ia juga berpendapat, keyakinan agama
sebagai suatu aqidah menjamin tiga unsur penting bagi masyarakat, yaitu ; rasa
malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga unsur tersebut sangat penting
bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki oleh ajaran Ateisme.[2]
Melihat berbagai
kerusakan pemikiran dan keyakinan yang tercoreng oleh bid’ah, takhayul dan
khurafat, Jamaluddin berusaha memperbaiki akidah umat Islam yang telah
terkontaminasi dengan mengembalikan mereka pada sistem kepercayaan (akidah)
Islam yang benar. Menurutnya, penyimpangan dari akidah Islam yang benar membuat
umat Islam tak mampu menjadi umat yang terhormat. Dalam keyakinannya, Islam
yang dipahami dan diamalkan dengan benar dapat memimpin umatnya kea rah
kemajuan dan membebaskan mereka dari otoritarianisme penguasa serta
kolonialisme bangsa-bangsa asing.[3]
Dalam
proyek pembaruannya, Afghani mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah,
yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan
kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni
seperti yang diamalkan oleh generasi pertama Islam, yang biasa disebut al-salaf
al-shaleh (pendahulu yang saleh). Di
sini sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang mempelopori
aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori yang
serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi salafiyah
dari Afghani berneda dari sebelimnya terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama,
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin terwujud
kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan meneladani
pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Al-Khulafa al-Rasyidin. Kedua,
perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi
maupun kebudayaan. Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam
bidang ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat
dalam dua bidang tersebut, yang pada hakikatnya hanya mengambil kembali apa
yang dahulu disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara
selektif dan kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan
kembali dunia Islam. Adapun alairan-aliran salafiyah sebelum Afghani
hanya terdiri dari unsur pertama saja[4]
Dilihat
dari pemikiran dan gerakannya, teologi yang digagas Jamaluddin lebih mengarah
pada teologi politik yang mencoba menghidupkan kembali umat Islam yang lama
tenggelam dan persatuan umat Islam dalam melawan penjajah. Ali Rahnema dalam
bukunya yang diterjemahkan Ilyas Hasan, Para Perintis Zaman Baru Islam menuliskan
bahwa Afghani adalah pencetus paling penting kecenderungan untuk mengubah Islam
dari kepercayaan keagamaan (dengan elemen kendali sosial dipegang ulama dan
pihak yang berkuasa) menjadi ideologi politik-agama yang menekankan sasaran
yang secara tradisional dianggap tidak religius[5].
Kecenderungan Jamaluddin tersebut tampak dalam berbagai gerakan politisnya.
Melihat
berbagai gagasan Afghani, dia tampak sebagai orang yang rasional. Dalam
pandangannya, Islam memiliki nilai-nilai modern yang perlu dikembangkan. Dan
agama pada umumnya memberikan kepada akal manusia tiga kepercayaan. Pertama,
manusia sebagai pemilik dunia dan
makhluk yang paling mulia. Kedua, umat Islam adalah umat yang paling
mulia. Ketiga, manusia berada di dunia ini untuk memperoleh
kesempurnaan. Dengan tiga kepercayaan ini, manusia dituntut untuk terus maju
dan berkembang dengan menggunakan akalnya sebagai faktor pembeda antara manusia
yang satu dengan yang lainnya
Lebih
lanjut Afghani mengedepankan kelebihan Islam dibanding agama lainnya. Islam
sebagai agama yang memimpin akal dengan tauhid dan menyucikannya dari karat
kepercayaan yang salah. Islam juga mengokohkan manusia dengan kesempurnaan akal
dan jiwa. Oleh karena itu, manusia dituntut untuk menggunakan akalnya sebagai
anugerah terbesar. Kepercayaan kepada sesuatu tanpa dalil dan sekedar
ikut-ikutan (taklid) merupakan tindakan yang dicela. Seharusnya akal
menjadi lawan bicara dalam bertindak dan menjadi rujukan dalam sebuah
perbandingan.
Dalam
berbagai gagasannya, Jamaluddin berharap nilai-nilai Islam menjadi ruh dalam
segala tindakan dan gerakan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa khulafaurrasyidin.
Pada masa itu, umat Islam benar-benar mengesakan Tuhan dan tidak terjerat
perpecahan dengan perbedaan mazhab dan kepercayaan. Mereka rela mengorbankan
apa yang sangat berharga bagi dirinya demi menegakkan akidah dan kemuliaan.[6]
Terkait
dengan kemunduran umat Islam, salah satunya dikarenakan oleh kecenderungan
mereka pada teologi Jabariyah dan kesalahan dalam memahami qada dan qadar.
Sehingga mereka berpaling dari kesungguh-sungguhan dalam bekerja dan lainnya.
Menurut Afghani, paham qada dan qadar telah dirusak dan diubah menjadi paham
fatalism yang menyeret umat pada keadaan statis, beku dan tenggelam di atas
hidup yang terus berkembang. Qada dan qadar sebenarnya mengandung arti bahwa
segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab akibat. Dan kemauan manusia
sendiri merupakan salah satu dari mata rantai sebab akibat. Di masa silam
keyakinan pada qada dan qadar ini memupuk keberanian dan kebesaran jiwa umat
dalam menghadapi segala macam bahaya dan kesukaran. Karenanya umat Islam bersifat
dinamis dan mencapai peradaban yang tinggi. Berkaca pada hal tersebut,
Jamaluddin meredifinisi qada dan qadar yang disalah pahami untuk mengangkat
kembali umat Islam.[7].
D.
Referensi
Ali Rahnema. Para
Perintis Zaman Baru Islam. Terj. Ilyas Hasan, (Mizan: Bandung.1996).
Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta: PT.
Grasindo, 2003).
Hasanuddin
Amin, Pengantar Pengembangan Pemikiran Muslim, (Surabaya: PT Sinar
Wijaya, 1988).
Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Kencana, 2010)
Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993).
[1]Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta. Kencana, 2010) 58-60.
[2]Hasanuddin
Amin, Pengantar Pengembangan Pemikiran Muslim (Surabaya: PT Sinar
Wijaya, 1988), 128.
[3]Muhammad Iqbal,
Pemikiran Politik Islam, 61.
[4]Munawir Sajdzali, Islam dan Tata Negara:
Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), 124-125.
[6]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta: PT.
Grasindo, 2003), 11-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar