Selasa, 03 Desember 2013

Wajah Uin yang Bopeng Sebelah



 By: Mahasiswa Unyu-Unyu Peduli IAIN



Berdirinya IAIN Sunan Ampel Surabaya sebagai salah satu perguruan tinggi yang bernafas Islam, tidak terlepas dari para tokoh masyarakat muslim jawa timur, yang bernaung di bawah lembaga Departemen Agama. Pada akhir decade 1950, gagasan untuk mendirikan IAIN di Surabaya dan Malang mensublimasi kepermukaan, dan pada tahun 1961 pertemuan para tokoh jawa timur yang bertempat di Jombang menghasilkan beberapa keputusan. Keputusan yang di buat oleh para tokoh yang hadir pada kesempatan tersebut yaitu: (1) membentuk panitia pendirian IAIN, (2) mendirikan fakultas syariah di Surabaya, dan (3) mendirikan fakultas tarbiyah di malang. Hadir pada waktu itu professor soenarjo, sebagai nara sumber untuk menyampaikan pokok pemikiran yang di jadikan landasan berdirinya perguruan tinggi agama islam tersebut. Dan di tahun 1965 berdirilah IAIN di atas tanah seluas 8 hektare yang bertempat di jalan A. Yani No. 117.
Dari pemaparan di atas, kemunculan IAIN Sunan Ampel sebagai perguruan tinggi negeri merupakan sebuah bentuk representasi pendidikan islam yang masih ingin mempertahankan ciri khas keilmuan yang berorientasi terhadap al-quran dan hadist serta pemikiran intelektual muslim. Ciri khas ini akan selalu menjadi symbol keberadaan IAIN di tengah kampus-kampus umum yang berorientasi Sains semata. Sehingga nuansa keilmuan tidak melulu berkiblat ke Negara barat sebagai poros ilmu pengetahuan, melainkan bisa di gali melalui pemikiran muslim yang “sempat”menelurkan beberapa karya fenomenal.
Namun, angin perubahan nama IAIN menjadi UIN yang sedang berlangsung menimbulkan keresahan yang begitu mendalam. Di mulai dari pembangunan yang masih tersendat, aliran dana dari pihak asing yang turut mencampuri pembangunan kampus, atau mungkin saja latar belakang twin towers sebagai paradigma yang menjadi landasan wajah UIN Sunan Ampel “baru” ini menjadi noda awal proyek UINisasi pihak pengelola kampus. Sehingga tidak sesuai dengan kehendak para mahasiswa yang masih belum kehilangan “identitas”.
Pembangunan yang masih “direncanakan” akan di mulai pada awal maret tahun 2014 ini dan harus selesai juni awal 2015, seperti mengulang cerita Roro Jonggrang yang menginginkan pembuatan seribu candi kepada Damar Wulan sebelum subuh membuka cerita pagi. Konon, pembuatan seribu candi tersebut, hanya mampu di bangun sebanyak 999 candi. Dan Damar Wulan tidak bisa menepati syarat yang di inginkan Roro Jonggrang. Dan apa yang akan di lakukan oleh pihak rektorat, jika pembangunan infratruktur proyek UINisasi ini tidak akan tepat pada waktunya? Apakah harus mengundang salah satu “JIN”dari pihak Damar Wulan untuk merampungkan proyek itu selesaidalam semalam? Atau mungkin saja lebih mengandalkan sumbangan dana dari IDB (Islamic Development Bank) yang seakan menjadi ketergantungan dari pihak pengelola kampus jika anggaran dana dari proyek UINisasi tersendat. Padahal salah satu keinginan IDB ini adalah memonopoli kebijakan kampus yang di danainya sebagai produk kapitalisme industry yang bergaji murah. Dan pergeseran identitas dari IAIN ke “UIN”, seakan mempertegas kormersialitas pendidikan. Dan yang harus lebih banyak di soroti adalah integrated twin towers sebagai paradigm keilmuan mahasiswa ”UIN”. Penyatuan antara dunia keilmuan islam dan pengetahuan umum, menjadi dikotomi ketika keduanya berjalan berbarengan. Meski aksioma dari paradigm yang di anut “UINSA, SAS, SBY, atau semacamnya” pada akhirnya akan melahirkan interdepedensi keilmuan yang dialektis, akhirnya harus ada yang tergerus oleh zaman yang semakin absurd ini seiring kapitalis-kapitalis industry pendidikan semakin menjamur. Mansour fakih, dalam pengantar ideology pendidikan, memaparkan dua konsepsi yang berbeda. Yang pertama, pendidikan yang berorientasi terhadap dehumanisasi pendikan, yang di gagas oleh Paulo Feire, yang memperjuangkan pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Yang kedua, melalui kaca mata teori yang di paparkan oleh boswel, yang menginginkan peserta didik sebagai alat kapitalisme pendidikan semata. Lalu, dengan adanya integrated twin towers sebagai paradigm dalam dunia pendidikan, akankah masih idealkah cita-cita perumus paradigm keilmuan ini? Atau kita sebagai mahasiswa akan di korbankan sebagai tumbal dari proyek ini.
Semua kembali lagi kepada peran mahasiswa dalam mengontrol kebijakan yang terjadi, apakah harus bersifat naïf terhadap keadaan sekitar atau kritis dalam pengertian yang sedalam-dalamnya terkait penganyaan proyek UINisasi yang sedang berlangsung. Atau mungkin kita bertingkah seolah-olah proyek ini sebagai salah satu gagasan tepat untuk kemajuan mahasiswa dalam hal “keILMUan”.  Atau mahasiswa saat ini hanyalah sekumpulan manusia tanpa otak yang hanya meneruskan tradisi gelak tawa dan tubuh yang rasis. Begitu!?