Kamis, 27 Desember 2012

Henoteisme



Oleh : Ana & Diana


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Setiap orang, bangsa, atau golongan pasti memiliki sistem kepercayaan. Namun, dalam sejarah kepercayaan umat manusia, hanya tercatat beberapa perkembangan sistem kepercayaan. Yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme dan monoteisme. Kepercayaan yang paling primitive adalah dinamisme, sedangkan kepercayaan yang paling tinggi adalah monoteisme. Untuk mencapai kepada kepercayaan monoteisme terlebih dulu melalui henoteime. Karena keyakinan henoteisme merupakan peralihan dari politeisme berkembang menjadi kepercayaan monoteisme.
Salah satu penganut kepercayaan henoteisme adalah bangsa Yunani Kuno. Oleh sebab itu, untuk memperdalam pemahaman mengenai Henoteisme, pemakalah akan membahas lebih rinci tentang henoteisme dalam makalah ini, baik mengenai sejarah, pengertian, maupun penganut kepercayaan ini.
A.  Rumusan Masalah
1.    Apakah pengertian kata Henoteisme?
2.    Bagaimana sejarah munculnya keyakinan Henoteisme?
3.    Bangsa manakah yang menganut paham Henoteisme?
4.    Bagaimana jika dihubungkan dengan analisis historis dan analisis fenomenal?
C. Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui tentang konsep pengertian kata Henoteisme dari berbagai literatur.
2.    Mengetahui tentang konsep sejarah munculnya keyakinan Henoteisme.
3.    Mengetahui penganut-penganut paham Henoteisme.
4.    Mengetahui hubungannya dengan analisis historis dan analisis fenomenal.



BAB II
KEYAKINAN HENOTEISME
1.      Pengertian Henoteisme
Henoteisme berasal dari bahasa Yunani, heis atau enos yang berarti satu dan theos yang berarti Tuhan, suatu bentuk politeisme dari banyak Tuhan yang ada salah satunya adalah penguasa tertinggi mereka, yang padanya Tuhan-Tuhan lain harus mengungkapkan kesetiaan dan ketaatan mereka.[1]
Di buku lain juga disebutkan bahwa henoteisme disebut juga monolatry. Berasal dari kata heno yang berarti satu dan latreuin yang artinya menyembah. Merupakan salah satu aliran dalam filsafat agama yang mengakui dan menyembah satu Tuhan, namun mereka juga tidak mengingkari adanya Tuhan-Tuhan bagi agama lain.[2]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia henoteisme berarti keyakinan kepada satu Tuhan tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus.
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa henoteisme adalah kepercayaan yang tidak menyangkal adanya Tuhan banyak, tetapi hanya mengakui satu Tuhan Tunggal sebagai Tuhan yang disembah. Henoteisme juga berarti mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai tuhan sendiri-sendiri. Tuhan-Tuhan bangsa lain tetap diakui tetapi tidak lagi sederajat dengan Tuhan tertinggi.
Henoteisme juga mengandung tiga pengertian. Pertama, yang berkuasa atas dunia ini tidak banyak melainkan satu, namun penguasa disatu tempat berbeda dengan satu penguasa ditempat lain. Kedua, ada banyak dewa, tetapi hanya satu yang Maha Kuasa. Ketiga, dewa atau penguasa di satu zaman berbeda dengan penguasa di zaman lain.

2.      Sejarah Munculnya Henoteisme 
Berawal dari kepercayaan politeisme, yakni percaya banyak Tuhan. Dalam hal ini orang-orang percaya bahwa di dunia ini ada banyak dewa. Dan dalam politeisme dewa-dewa telah mempunyai tugas-tugas tertentu. Misalnya ada dewa api, dewa angin, dewa taufan, dewa Guntur, dewa perang, dewi kesuburan, dewi kecantikan, dan lain-lain. Dalam pertumbuhannya yang mula-mula, politeisme itu mempercayai banyak dewa, yang antara satu dengan yang lainnya sederajat kekuasaannya, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Bahkan saling bersaing dan bertentangan, misalnya antara dewa api dan dewa hujan, dewa musim panas dengan dewa musim dingin, dewa kesuburan dengan dewa musin kemarau, dan lain sebagainya.
Tetapi lama-kelamaan diantara dewa-dewa itu ada yang dianggap lebih tinggi kesaktiannya, sehingga lebih dihormati dan dipuja, akhirnya timbul pemujaan terhadap tiga dewa diatas dewa lainnya. Dalam agama Hindu pada masa permulaan Weda, ada tiga dewa yang menonjol yaitu dewa Indra, Mithra, Waruna. Dalam perkembangan selanjutnya ada pemujaan atas trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu, dan Syiwa. Dalam agama Mesir kuno ada dewa Osiris, Isis (istrinya), dan Horus (anaknya). Dalam agama Arab jahiliyyah kita mengenal dewa Lata, ‘Uzza, dan Manata.
Ada pula kalanya satu dari dewa-dewa itu ada yang meningkat di atas segala dewa yang lain seperti Zeus  dalam agama Yunani kuno, Yupiter dalam agama Romawi dan Ammon dalam agama Mesir kuno. Ini bukan berarti  pengakuan pada satu Tuhan, tetapi baru pada pengakuan dewa terbesar diantara dewa yang banyak. Paham ini belum meningkat pada paham monoteisme atau henoteisme, tetapi masih dalam tingkat politeisme. Tetapi kalau dewa yang terbesar itu saja yang kemudian dihormati dan dipuja sedangkan dewa lain ditinggalkan, paham demikian telah keluar dari politeisme dan meningkat pada henoteisme.[3] Selain itu henoteisme muncul karena ketidakpuasan terhadap sistem kepercayaan politeisme. Oleh sebab itu mereka mencari sistem kepercayaan yang lebih memuaskan dan masuk akal, karena kepercayaan kepada satu Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima oleh akal sehat.
Istilah henoteisme ini pertama kali diciptakan oleh Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854) untuk menggambarkan apa yang dia pikir sebagai tahap awal untuk monoteisme. Jadi henoteisme merupakan cikal bakal dari monoteisme. Kemudian kata henoteisme ini dibawa ke dalam penggunaan umum oleh ahli bahasa Max Müller (1823-1900) untuk mengkarakterisasi keyakinan agama yang ditemukan dalam Veda dari Hindu.
Selanjutnya antropolog Edward Burnett Tylor (1832-1917) yang mengatakan bahwa kepercayaan ada yang dari monoteis ke politeis tapi ada juga yang dari politeis ke monoteis. Kepercayaan dari onoteis menjadi polities karena manusia mudah takjub, sehingga mereka enciptakan Tuhan-Tuhan yang banyak. Jadi peralihan kepercayaan ini karena jiwa manusia tidak mampu mempertahankan diri terhadap ke Esaan Tuhan, sedangkan peralihan kepercayaan dari politeis ke monoteis dapat diketahui dari fenomena-fenomenanyang terjadi pada zaman dulu. Jika dihubungkan dengan teori  E.B Taylor diatas, henoteisme merupakan fase alami dalam perkembangan pembangunan agama dimana budaya seharusnya berevolusi dari politeisme, melalui henoteisme, ke puncak monoteisme sebagai manifestasi tertinggi pemikiran keagamaan.
Mengenai hubungannya dengan teori Plato tentang idea of good, bahwa dari ide kebaikan ini henoteisme berevolusi dari poleteisme, karena dari dewa-dewa yang banyak itu pasti ada yang lebih unggul atau dianggap kebaikannya lebih mutlak yaitu sebagai dewa utama atau dewa Nasional. Jika dalam kebaikan mutlaknya teori Plato adalah Tuhan, maka dalam henoteisme kebaikan mutlaknya adalah Dewa Nasional.
Yang menarik dari henoteisme adalah paham ini mencari kepuasan dan kemasuk akalan dari paham politeisme dengan mencari Tuhan utama, Tuhan utama adalah Tuhan satu yaitu Tuhan nasional untuk satu bangsa. Karena dengan kepercayaan kepada satu Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima oleh akal sehat.
Cara-cara untuk mencari Tuhan ini terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, sebagai mana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan yang Maha Esa. Manusia memang perlu mencari Tuhannya yang tunggal untuk mencapai kebahagiaan.

3.      Penganut Kepercayaan Henoteisme
Didunia yang menganut Henoteisme adalah bangsa Yunani Kuno, Romawi dan umat agama Yahudi.  Namun yang paling menonjol dari henoteisme ditemukan dalam budaya Yunani kuno dan Roma. Agama Yunani-Romawi dimulai sebagai politeisme, tapi benar-benar menjadi henoteisme dari waktu ke waktu.
Penganut paham henoteisme selain Yunani kuno dan Roma adalah umat Yahudi. Yahweh adalah Tuhan agama Yahudi dan merupakan Tuhan nasionalnya tetapi tidak merupakan Tuhan bagi sekalian alam. Sewaktu masyarakat Yahudi masih pada tahap animisme, kemudian datang tuhan dari bukit Sinai yang bernama Yahweh. Yahweh ini dianggap sebagai Tuhan nasional dan menghilangkan Tuhan-Tuhan yang lain.
Paham teologi agama Yahudi menonjolkan Tuhan yang bersifat kebangsaan menimbulkan rasa sombong dalam diri mereka. Mereka menganggap bangsa merekalah yang paling hebat dan pintar daripada bangsa lain di dunia ini karena mereka keturunan Tuhan yang hebat juga. Dengan teologi yang demikian mereka menganggap Tuhan Yahweh adalah Tuhan yang selalu menang dalam peperangan melawan Tuhan-Tuhan bangsa lain. Dalam Alquran bangsa Yahudi atau bangsa Israel adalah bangsa yang selalu memprotes para Nabi. Namun, juga perlu diakui bahwa mayoritas Nabi setelah Nabi Ibrahim dari keturunan bani Israel. Hal ini ada dua kemungkinan, pertama karena bani Israel terlalu sombong dan nakal, sehingga perlu diberi Nabi lebih banyak. Kedua, karena bani Israel disayang Tuhan, “ini sesuai dengan pengakuan mereka”. Namun yang kedua nampaknya tidak cocok karena Tuhan selalu menimpakan bencana kepada mereka berupa adzab. Dengan demikian tinggal pada alasan pertama.[4]
4.      Analisis
a.       Analisis Historis
Dalam Hinduisme, ide Tuhan yang personal berkembang perlahan-lahan. Pada permulaan periode Vedis, ada politeisme yang mencolok. Kendati demikian tampak gejala henoteisme dengan jelas. Karena sering dilakukan permohonan kepada dewa-dewa individual yang dianggap sebagai yang tertinggi dan yang paling kuasa. Max Muler mendefinisikan henoteisme sebagai kepercayaan akan dewa-dewa individual satu sesudah yang lain yang dianggap sebagai yang tertinggi, dewa yang disembah pada saat itu diperlakukan sebagai dewa yang tertinggi. Bagaimanapun keshahihan teori henoteisme yang diterapkan pada agama vedis, studi kritis dapat memberikan argument, dan memang telah dilakukannya, bahwa menyembah satu dewa pada suatu saat sebagai yang tertinggi mungkin merupakan bentuk pujian yang dilebih-lebihkan, yang dibaktikan oleh orang-orang Arya pertama pada dewa pilihan mereka. Praktek ini membimbing orang vedis pada suatu identifikasi satu dewa dengan dewa yang lain, bahkan dengan semuanya.[5]
b.      Analisis fenomenal
Manusia zaman dulu ingin mencari dari Tuhan yang banyak menjadi Tuhan yang utama. Oleh sebab itu, henoteisme ini merupakan peralihan dari politeisme ke monoteisme. Fenomena henoteisme ini bisa dilihat dalam perkembangan kepercayaan Yunani Kuno, yang mana pada mulanya dewa Yunani Kuno berjumlah dua belas, namun seiring berjalannya waktu karena masyarakat Yunani Kuno ini ingin mencari dewa utama dari kedua belas dewanya dan dari dewa-dewa meningkat meningkat menjadi yang utama, maka dianggaplah Zeus sebagai Dewa utama, Yupiter dalam agama Romawi dan Ammon dalam agama Mesir kuno.


 
BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Henoteisme adalah kepercayaan yang menerima pernyataan adanya Tuhan banyak tetapi hanya menyembah satu Tuhan. Kepercayaan ini muncul sebagai bentuk perkembangan dari politeisme. Penganut paham henoteisme adalah umat Yahudi. Yahweh adalah Tuhan agama Yahudi dan merupakan Tuhan nasionalnya tetapi tidak merupakan Tuhan bagi sekalian alam. Henoteisme juga berarti mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai tuhan sendiri-sendiri. Tuhan-Tuhan bangsa lain tetap diakui tetapi tidak lagi sederajat dengan Tuhan tertinggi. Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara henoteisme dan monoteisme adalah bahwa dalam agama akhir ini Tuhan tidak lagi merupakan “Tuhan Nasional” tetapi “Tuhan Internasional”, Tuhan semua bangsa di dunia ini bahkan Tuhan alam semesta. Henoeisme merupakan peralihan dari politeisme, karena penganut politeisme merasa tidak puas terhadap politeisme sehingga mereka mencari keyakinan lain yang lebih masuk akal, yakni henoteisme.
B.     Saran
Sebagai umat islam kita wajib mempercayai dan menyembah Tuhan yang satu yaitu Allah swt. meskipun di luar sana ada anggapan Tuhan yang banyak. Allah adalah satu-satunya Tuhan yang melingkupi sekalian alam.





DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama.  Jakarta: Rajawali Pers.
Manaf, Mudjahid Abdul. 1994. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
TIM Penulis Rosda, 1995. Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


[1]TIM Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1995), 133
[2]Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1996), 88-89
[3]Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994),13-14
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),  72-73
[5]Mariasusai dhavamony, Fenomenologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), 124-125.

Teologi Sayyid Amir Ali



Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah & A. Munif


BAB I
PENDAHULUAN


1.                              Latar Belakang
Dalam sejarah dan peradaban umat Islam telah dijumpai berbagai macam aliran pemikiran yang masing-masing mempunyai corak dan karasteristik yang berbeda-beda. Perbedaan yang ada tentunya tidak dapat menolak atau menyangkal begitu saja tanpa melakukan sebuah penyelidikan atau upaya untuk mencari akar sebuah aliran pemikiran.
Hal ini dapat dicermati mulai dari priode klasik Islam (650-1250), priode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800 M dan seterusnya). Setiap periode mempunyai cirri dan keunikan tersendiri, terutama pada periode modern.
Periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam, yang ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Eropa yang pada akhirnya menjadikan umat Islam ini insaf atas kelemahan-kelemahannya serta sadar bahwa di Barat telah muncul sebuah peradaban baru yang lebih tinggi dan super power yang merupakan acaman yang serius terhadap umat Islam.

2.                              Rumusan Masalah
a.       Bagaimana latar belakang Sayyid Amir Ali sebelum menjadi seorang pemikir teologi?
b.      Bagaimana pemikiran Sayyid Amir Ali?

3.                              Tujuan
a.       Menjelaskan latar belakang Sayyid Amir Ali.
b.      Menjelaskan satu persatu pemikiran Sayyid Amir Ali.


 BAB II
SAYYID AMIR ALI

1.      Biografi
Sayyid Amir Ali adalah salah satu pemikir pembaharu muslim di India. Beliau banyak mengajak umat islam untuk meninjau sejarah masa lampau, untuk membuktikan bahwa agama Islam yang mereka anut bukanlah agama yang menyebabkan kemunduran dan bukan agama yang menghambat kemajuan. Sayyid Amir Ali merupakan seorang ahli hukum dan pemikir modern di india. Ia berasal dari keluarga Syi’ah pada zaman Nadir Syah (1736-1747) yang pindah dari Khurasan, Persia, dan menetap di Mohan, Oudh, India pada abad pertengahan ke-18. Amir Ali lahir pada 6 April 1849 M di Cuttack, India. Sayyid Amir Ali meninggal dalam usia 79 tahun pada 3 Agustus 1928 di Sussex, Inggris.[1]
Amir Ali memperoleh pendidikan diperguruan tinggi Hooghly dekat Calcutta, dengan mempelajari bahasa Arab, sastra dan hukum Inggris.[2] Pada  tahun 1869 beliau pergi ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya dan selesai pada tahun 1873 dengan meraih gelar kesarjanaan dalam bidang hukum. Sayyid Amir Ali juga menerbitkan karyanya dengan judul A Critical Examination of the Life and Teaching of Mohammed, ini merupakan buku pertama yang menjadi interpretasi kaum modernis Muslim tentang Islam, yang menjadikan terkenal baik di Barat ataupun di Timur.[3]
Setelah lulus, ia kembali ke India dan bekerja pada berbagai lapangan penting sebagai guru besar dalam hukum Islam, pengacara, pegawai pemerintah Inggris, politikus dan penulis. Pada bidang politik inilah ia semakin terkenal dengan buku karangannya The Spirit of Islam dan A Short Story of the Saracens. Di tahun 1877 ia membentuk National Muhammaden Association yang merupakan wadah persatuan umat Islam India, dan tujuannya adalah untuk membela kepentingan umat Islam dan untuk melatih mereka dalam bidang politik. Perkumpulan ini mempunyai 34 cabang di berbagai wilayah di India. Di tahun 1883 ia diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota Dewan Raja Muda Inggris (The Viceroy’s Council) di India. Ia adalah satu-satunya anggota Islam dalam majelis itu.
Pada tahun 1904 Amir Ali menetap di London bersama istrinya yang berbangsa Inggris, tak lama lagi ia diangkat menjadi anggota The Judical Committee of the Privy Council ( Komite Kehakiman Dewan Raja), merupakan orang India pertama yang menduduki jabatan tersebut. Seperti halnya Sir Ahmad Khan, Sayyid Amir Ali juga merupakan seorang pemimpin Muslim yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pemerintahan Inggris di India. Dia melihat pemerintahan Inggris adalah suatu alternatif untuk menghindari pengaruh dan dominasi orang Hindu setelah memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Inggris. Setelah bermukim di London ia mendirikan cabang Liga Muslim didirikan pada 1906.[4]
  
2.      Pemikiran Sayyid Amir Ali

  1. Ajaran Tentang Akhirat
Dalam bukunya The Spirit of Islam, Sayyid Amir Ali menjelaskan tentang akhirat bahwa bangsa yang pertama kali menimbulkan kepercayaan pada kehidupan akhirat adalah bangsa Mesir kuno. Agama Yahudi pada mulanya tidak mengakui adanya hidup selain hidup di dunia, namun dengan adanya pekembangan dalam ajaran-ajaran Yahudi yang timbul kemudian baru dijumpai adanya hidup yang kedua. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada umumnya menggambarkan bahwa di hidup kedua itu manusia akan memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Lebih singkat lagi ajaran ini membawa kepada peningkatan moral golongan awam, apabila ganjaran dan balasan di akhirat digambarkan dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh panca indera.

  1. Perbudakan
Dalam soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem perbudakan dalam sejarah peradaban manusia telah ada semenjak zaman purba.Yunani, Romawi, dan Jerman di masa lampau mengakui dan memakai sistem perbudakan dan agama Kristen tidak membawa ajaran untuk menghapus sistem perbudakan. Sementara agama Islam berbeda dengan agama-agama sebelumnya, Islam datang dengan menghapus sistem perbudakan. Dosa-dosa tertentu dapat ditebus dengan memerdekakan budak, budak harus diberi kebebasan untuk membeli kemerdekaannya dengan upah yang ia peroleh. Budak harus diperlakuakan dengan baik dan tidak boleh dibedakan dengan manusia lain. Oleh karena itu, dalam sejarah peradaban Islam, tercatat bahwa ada di anatara budak-budak yang akhirnya menjadi perdana menteri.[5]

  1. Poligami
Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang wanita. Di masa Rasulullah poligami dilakukan agar kedudukan wanita setara dengan kedudukan para pria. Usaha Rasul ini dilakukan dengan cara penghapusan kawin kontrak (mut’ah). Rasul memberikan hak-hak kepada wanita yang sebelumnya tidak mereka miliki dan menempatkan wanita pada posisi yang persis sama dengan pria dalam menjalankan semua kewenangan dan semua hukum. Rasul juga membatasi jumlah maksimal istri-istri yang boleh dinikahi yaitu sampai emapt orang saja. Ini bararti agama Islam tidak pernah mengajarakan poligami melainkan monogami. Jika seseorang tidak dapat berbuat adil terhadap semuanya, maka wajib untuk menikah seorang istri saja. Persyaratan adil di sini sangat penting karena keadilan mutlak dalam hal-hal yang berkaitan dengan rasa (cinta kasih) tidak mungkin terwujud, maka pernyataan yang ada dalam al-Qur’an itu pada hakikatnya adalah larangan.[6]
            Meskipun Islam menekankan monogami, Amir Ali juga tidak memungkiri poligami. Di mana poligami itu dilakukan pada saat-saat tertentu dan dalam keadaan bahwa poligami itu benar-benar dilakukan agar kaum wanita terhindar dari kemelaratan dan kemiskinan. Seorang istri juga bias mengajukan gugat cerai pada suaminya ini menunjukkan penghargaan terhadap martabat wanita.
            Kesimpulan dari poligami menurut al-Qur’an dan Sayyid Amir Ali adalah poligami itu dilarang dan diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu.[7]

  1. Kemunduran Umat Islam
Sayyid Amir Ali berpedapat bahwa penyebabnya terletak pada keadaan umat Islam di zaman modern menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan tidak boleh lagi melakukan ijtihad, bahkan itu adalah dosa. Orang harus tunduk kepada pendapat ulama abad ke-9 Masehi, yang tidak dapat mengetahui kebutuhan abad ke-20. pendapat ulama yang disusun pada beberapa abad yang lalu masih tetap diyakini sesuai dan dapat dipakai untuk zaman modern.
Selain itu, penyebab kemunduran umat ini, umat Islam di zaman modern tidak percaya pada kekuatan akal, sedangkan nabi Muhammad memberi penghargaan tinggi dan mulia terhadap akal manusia. Ulama kita sekarang, menurut Amir Ali, menjadikan berpikir dan menggunakan akal sebagai dosa dan kejahatan. Dan penyebab lain adalah tidak adanya perhatian yang serius terhadap ilmu pengetahuan, baik sains maupun perkembangan teknologi, dan ini sangat berbeda pada zaman klasik Islam yang puncaknya pada priode Abbasiyah.
Kemajuan ilmu pengetahuan ini dapat dicapai oleh umat Islam di zaman klasik, karena mereka kuat berpegang pada ajaran nabi Muhammad dan berusaha keras untuk melaksanakannya. Eropa pada waktu yang bersamaan masih dalam kemunduran intelektual dan kebebasan berpikir belum ada karena dunia Eropa berada di bawah kekuasaan gereja. Sementara Islamlah yang pertama membuka pintu berpikir untuk menggali potensi akal. Dan inilah, menurut Sayyid Amir Ali, membuat umat Islam menjadi promotor ilmu pengetahuan dan peradaban, sedangkan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari kebebasan berpikir. Setelah kebebasan berpikir menjadi kabur di kalangan umat Islam, mereka menjadi ketinggalan dalam perlombaan menuju kemajuan. [8]

  1. Konsep  Ketuhanan
Sayyid Amir Ali lebih banyak memberi perhatian tentang keadilan Tuhan dan hubungannya dengan kebajikan manusia. Keadilan merupakan animasi yang prinsipil dari perbuatan manusia dan sesungguhnya Tuhan mengontrol alam ini dengan keadilan, selain itu ujian terhadap kebaikan dan kejahatan bukanlah keinginan dari seorang individu, melainkan adalah kebajikan manusia.
Lebih dari itu, Sayyid Amir Ali berpegang teguh terhadap adanya kekuatan hukum yang berlaku di alam ini, ia memaparkan bahwa dalam al-Qur’an telah banyak dijumpai tentang keputusan Tuhan yang secara jelas menerangkan tentang hukum-hukum alam (Laws of Nature). Bintang-bintang dan planet masing-masing mempunyai peran tujuan tertentu dalam penciptaannya.  Gerakan benda-benda angkasa, fenomena alam, hidup dan mati,semuanya dikendalikan oleh hukum. Dan kehendak Tuhan bukanlah sekedar kehendak atau keinginan yang muncul begitu saja, namun keinginan Tuhan adalah keinginan yang mendidik. Kebajikan manusia, keadilan dan hukum, semua ini merupakan kategori yang mendasar dalam pandangan Sayyid Amir Ali tentang konsep ketuhanan.




  1. Konsepsi antara Kenabian dan Akal
Konsepsi Sayyid Amir Ali terhadap kenabian benar-benar sangat naturalistik sebagaimana yang ia paparkan dalam bukunya The Spirit of Islam, dengan pandangan bahwa kekuatan akal dan kapasitas intelektual seorang nabi tumbuh dan berkembangsama dengan manusia yang lain. Selanjutnya Amir Ali memberikan sebuah ilustrasi,bahwa beberapa surah yang terdapat dalam al-Qur’an telah mendeskripsikan tentang kenikmatan syurga, baik secara figuratif atau lisan yang diwahyukan kepada nabi tidak serta merta diturunkan secara keseluruhan, akan tetapi melalui beberapa tahapan.
Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas akal dan intelektual mengalami perkembagan untuk memahami surah demi surah yang diturunkan. Demikian pula perkembangan akal seorang guru tidak hanya berkembang sejalan dengan perjalanan waktu dan kesadaran keagamaannya, namun juga berkembang sesuai dengan kepercayaannya dalam memahami konsepsi spiritual.

  1. Konsepsi tentang Free Will and Free Act
Sayyid Amir Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam al-Qur’an bukanlah jiwa fatalisme, tetapi adalah jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Jiwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Nabi Muhammad,demikian ia menulis lebih lanjut, berkeyakinan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan keinginan. Sebenarnya apa yang hendak ditegaskan oleh Sayyid Amir Ali, adalah Islam bukanlah dijiwai oleh paham qada’ dan qadr atau jabariah, tetapi oleh paham Qadariah, yaitu kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Paham qadariah inilah yang selanjutnya menimbulkan rasionalisme dalam Islam, semetara paham qadariah dan rasionalisme itu sendiri menimbulkan peradaban yang kuat pada zaman klasik Islam.[9]

  1. Islam Menurut Sayyid Amir Ali
Salah satu yang sangat menonjol yang ada pada Sayyid Amil Ali, terutama dalam tulisan-tulisannya, adalah pembelaannya terhadap Islam dari serangan-serangan, baik dari luar maupun dari dalam. Di kalangan Orientalis barat, Amir Ali terkenal sebagai apolog terbesar di antara penulis-penulis Muslim, atau lebih dikenal sebagai apologis modern dalam bidang kebudayaan Islam.
Sayyid Amir Ali berusaha untuk membuktikan pada dirinya atau orang lain bahwa Islam adalah baik. Apologi merupakan suatu hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin memahami pemikiran–pemikiran modern dunia Islam, karena sebagian besar pemikiran kaum modernis masuk pada kategori ini.
Para apologi Muslim ini berusaha untuk melawan pandangan-pandangan yang salah tentang Islam lebih daripada menerangkan Islam itu sendiri, dan mereka ingin menjadi pembela Islam yang lebih daripada usaha untuk memahami Islam terutama untuk menjawab langsung serangan barat terhadap Islam, khususnya sebelum perang dunia pertama hingga perang dunia kedua berakhir yang sangat merugikan umatIslam, karena serangan tersebut mengatas namakan agama (Kristen). Dalam hal ini para pemikir Muslim modern harus berusaha memikirkan pertahanan terhadap Islam lebih daripada Islam itu sendiri. Sayyid Amir Ali, menurut H.A. Mukti Ali, adalah contoh yang paling tepat tentang apologi Islam, karena tulisan dan karya-karyanya sangat jelas mempertahankan dan membela ajaran-ajaran Islam di hadapan pengadilan opini Barat.
 



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Sayyid Amir Ali,seorang pembaharu di dunia islam keturunan Syi’ah  berhijrah dari Persia ke India. Dari sanalah Sayyid Amir Ali memulai pendidikannya dengan mempelajari bahasa Arab kemudian bahasa dan sasrta Inggris.
Selanjutnya ia menempuh studi di Inggris dan menjadi seorang ahli dalam hukum Inggris, kemudian ia kembali ke India dan terlibat dalam dunia akademisi dan politk sekaligus berafiliasi dengan pemerintahan Inggris, hal ini merupakan suatu upaya untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, tidak hanya yang ada di India, tetapi juga keutuhan khilafah Utsmania di Turki.
Pandangan Sayyid Amir Ali tidak hanya mencakup hal-hal yang berhubungan dengan pemikiran dan teologi, seperti hari akhirat, isu sosial dan perbudakan, poligami, kelemahan umat Islam, konsepsi tentang ketuhanan, kenabian dan akal,
Meskipun demikian, Sayyid Amir Ali tetap menjadi seorang apolog Islam modern yang membela eksistensi Islam dari berbagai serangan, baik internal maupun eksternal.





DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2003, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
Ali, Mukti. 1993, Alam Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan.
Ma’shum, Drs. 2012, Pemikiran Teologi Islam Modern, Surabaya:
Gibb, H.A.R. 1996, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Saefuddin Didin. 2003, Pemikiran modern dan postmodern Islam, Jakarta: Gramedia
Amin, Ahmad. 1995, Islam dari Masa ke Masa, Jakarta: Remaja Rosdakarya
Karim, Abdul, Karim. 2003, Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Yogyakarta:LKIS Yogyakarta
Sou’yb, Josoef, 1987, Perkembangan Teologi Modern, Jakarta: Rainbow.


[1]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 174
[2]Mukti Ali, Alam Pikiran Isalm Modern di India dan Pakistan, (Bandung: Mizan, 1993), 142.

[3]Ibid, hlm142
[4]Ibid, hlm, 143
[5]Ma’shum, Pemikiran Teologi Islam Modern, (Surabaya:2012), 65
[6]H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 159
[7]Ma’shum, Op.Cit,, hal. 68
[8]Didin Saefuddin, Pemikiran modern dan postmodern Islam, (Jakarta: Gramedia, 2003), 65
[9]Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa,(Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1995), 234