Senin, 29 April 2013

Empirisme John Locke



Oleh:
Imroatus Shalihah PP & Eka Sulistiyowati 

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi John Locke
John Locke adalah filisof yang berasal dari inggris. Beliau dilahirkan di Wrington Somerst pada tanggal 29 Agustus 1632. Locke belajar di Westminster School selama lima tahun yaitu pada tahun 1647-1652 pada tahun itu juga hingga tahun 1656 ia melanjutkan studinya di Christ Church, Oxford untuk mempelajari agama dan mendapat gelar B.A. disana ia kemudian melanjutkan studinya lagi untuk mendapatkan gelar M.A.
Tahun 1664 Locke diangkat sebagai pejabat penyesor buku-buku filsafat moral. Ia juga belajar ilmu kedokteran dan mahir dalam bidang ini. Sir  walter  vane  ia mengikuti  sebuah misi dipelomatik ke elector of brandenburg tetapi  kemudian  ia menolak  tawaran kerja diplomat dan kembali ke  oxford.  Disana ia  mengonsentrasikan  seluruh perhatiannya  pada filsafat  dan menemukan  minat  yang sama  pada Earl of shaftesbury yang mengundang locke  untuk tinggal  di london house-nya. Disana locke mengembangkan ilmu politik  dan filsafat  sekaligus  menjadi dokter  pribadi bangsawan  earl of  shaftesbury . pada  tahun 1683 shaftesbury  terancam akan  di –impeacchment karena telah melakukan pengkhianatan. Pada saat itu juga locke lari ke Belanda dan di sana ia menulis esai yang berjudul An Essay Concerning Human Understanding yang di terbitkan pada tahun 1690. Setelah revolusi tahun 1688, locke kembali ke inggris untuk mengiringi raja orange yang akan menjadi Queen Mary.
B . Empirisme John Locke
Kata empirisme berasal dari bahasa yunani emperia yang berarti pengalaman. Jadi empirisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan. Empirisme juga berarti sebuah paham yang menganggap bahwa pengalaman manusia didapat dari pengalaman-pengalaman yang nyata dan faktual. Pengalaman yang nyata tersebut didapatkan dari tangkapan pancaindra manusia. Sehingga pengetahuan yang didapat melalui pengalaman merupakan sebuah kumpulan fakta-fakta.  Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri [1]Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran, menurut Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.[2] Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual[3]Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.[4]Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi  pada awal gerak reaksi tadi.Untuk mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata. Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang. Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis.Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran, menurut Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual. Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.[5]
  C     Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes (1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David Hume.
.       John Locke (1632-1704)Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).  Yang  berarti  suatu  doktrin , empirisisme adalah  lawan  rasionalisme .untuk  memahami  isi  doktrin ini perlu  di pahami   lebih dahulu  dua  ciri pokok  empirisme  yaitu  mengenai teori tentang makna  dan teori  tentang makna . dan  teori tentang pengetahuan .teori makna pada aliran  biasanya  dinyatakan  sebagai  teori teantang asal pengetahuan ,yaitu asal usul idea atau konsep. Pada abad pertengahan  teori ini diringkas rumus . Nihil est in intellectu quod non prius fuerit  in sensu ( tidak ada sesuatu di dalam  pikiran kita selain  di dahului  oleh pengalaman )    sebenarnya  pernyataan  ini  merupakan tesis locke yang  terdapat di dalam bukunya An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya  takala ia menteang ajaran idea bahwaan (innate idea) pada orang orang rasionalis . jiwa (mind)  tatkala orang yang dilahirkan dalam keadaan kosong ,laksana kertas  putih atau yang belum ada tulisan di dalamnya . yang maksudnya  dengan pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang  dari obervasi  yang  kita lakukan  terhadap jiwa  kita sendiri.   Dengan alat  penginderan dalam . semua ide  mencakup peginderaan dan emosi . sanggahan orang orang rasionalis  tampak jelas  pada karya  descartes.  Descartes  membedakan  dua fungsi akal : pertama fungsi diskusif yang  menjadikan  kita mampu menangkap kebenaran terakhir dan menangkap  konsep secara  langsung .namun memang banyak pengetahuan yang kita mampu menangkap  kebenaran  terakhir dan menangkap konsep  secara langsung. Namun ,memang banyak pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman indera, tetapi banyak pula idea lainya ,seperti idea tentang  jiwa,tentang  substansi materi, yang mesti di tangkap  dengan   cara a priori  yang menggunakan  intuis  rasional.
                  Pada abad ke-20 kaum empirisis cenderung  menggunakan  teori  makna mereka pada  penentuan apakah suatu konsep  diterapkan  dengan  benar  atau tidak, bukan pada asal-usul pengetahuan .salah satu contoh penggunaan  empirisime secara pragmatis  ini ialah pada  charles sanders peirce dalam kalimat “ tentukanlah apa pengaruh konsep itu pada praktek  yang dapat  dipahami  kemudian  konsep tentang  pengaruh itu, itulah konsep  tentang  objek tersebut .
                     Filsafat empirisime tentang teori  makna amat berdekatan dengan aliran postivisme logis dan filsafat ludwing wittgenstein. Akan tetapi ,teori makna dan empirisisme selalu harus dipahami lewat penafsiran pengalaman.oleh karena itu,bagi orang empiris jiwa dapat  dipahami sebagai gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat  diindera,dan hubungan kausalitas sebagai  urutan peristiwa yang sama.
                     Teori yang kedua,yaitu  teori pengetahuan,dapat diringakaskan sebagai berikut.menurut
       Orang  rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti kejadian tentu mempunyai sebab “ dasar –dasar matematika ,dan beberapa perinsip  dasar etika ,dan kebenaran .itu benar dengan sendirinya yang dikenal dengan istilah  kebenaran  a priori yang di peroleh  lewat  intuisi  rasional .empirissime  menolak pendapat  itu. Tidak ada  kemampuan intiusi  rasional itu. Semua kebenaran  yang di peroleh  lewat observasi .

D. Ajaran –ajaran pokok dari empirisisme
1 pandangan bahwa semua ide  atau gagasan  merupakan  abstraksi  yang dibentuk  dengan  menggabungkan apa  yang dialami.
2 pengalaman indrawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
3 semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data indrawi.
4 semua pengetahuan turun secara lansung, atau disimpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika) .
5 akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indra kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman.
6 empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
























DAFTAR PUSTAKA


Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Cet. IX; Yogyakarta: Kanisius, 1993lihat
Jerome R. Ravertz, The Philosophy of Science, diterjemahkan Saut Pasaribu, Filsafat Ilmu, Sejarah danRuang Lingkup Bahasan (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998),
Harun Hadiwijono, op. cit.,
Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, selanjutnya disebut Bambang, Filsafat Untuk Umum (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003
Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003)


[1]Harun Hadiwijono, op. cit., h. 36.
[2]Bambang Q-Anees dan Radea Juli A. Hambali, Filsafat Untuk UmumJuhaya Sop. cit., h. 26.. Praja um (Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 334.

[3]Juhaya Sop. cit., h. 26.. Praja
[4]Bambang, op. cit., h. 335.
[5]  Tafsir ahmad  filsafat umum .Bandung PT remja Rosdakarya. 2003.

Selasa, 09 April 2013

PETA PEMIKIRAN RENE DESCARTES


Oleh :
Husnul Khotimah & Abd. Shamad           


A.    Pengantar
Pada abad pertengahan, filsafat barat bisa dikatakan mati di tangan gereja atau terpenjara di balik otoritas gereja yang memegang penuh kebenaran. Pada waktu itu, pemikiran-pemikiran boleh lahir selama tidak bertentangan dengan gereja dan apa yang ada dalam kitab Tuhan. Dan mereka yang tidak sejalan lebih banyak berakhir di tiang gantungan. Hal ini berlangsung lama sampai terjadinya aufklarung yang membebaskan filsafat dan mengantarnya pada fase modern.
Berbicara tentang filsafat modern sendiri, tidak bisa lepas dari seorang Rene Descartes sebagai bapak filsafat modern sendiri. Dia mulai membangun kembali rasionalitas filsafat sekaligus merubah orientasinya. Filsafat yang pada masa pertengahan berorientasi pada kitab suci dan hati, mengekang akal untuk mengkritisi bahkan sampai dengan kekerasan fisik. Diawali dari Descartes ini lah akan kembali bebas lewat berbagai pemikiran yang dihasilkannya.
Pada masa modern orientasi filsafat jauh berbeda dari sebelumnya yang lebih mengerucut pada wilayah teologis dogmatis. Seiring perkembangan IPTEK, Descartes dan yang lainnya lebih tertarik pada manusia sebagai pusat dan aktor sejarah. Manusia yang karena akalnya menjadi tampil beda dengan yang lainnya. Maka segala bentuk kebenaran yang sebelumnya di bawah otoritas gereja dipertanyakan kembali dengan berbagai kecenderungan masing-masing.

B.     Biografi Rene Descares
Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf, ilmuwan, fisikawan dan matematikus Prancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya sama sekali. Meskipun Descartes memperoleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar.
Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali.[1] Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan kebenaran.
Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun. (Dipilihnya Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negeri lain-lain, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup).
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Menjadi keinginan Descartes sendiri mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan ilmiahnya dalam buku yang disebut Le Monde (Dunia). Tetapi, di tahun 1633, tatkala buku itu hampir rampung, dia dengan penguasa gereja di Italia mengutuk Galileo karena menyokong teori Copernicus bahwa dunia ini sebenarnya bulat, bukannya datar, dan bumi itu berputar mengitari matahari, bukan sebaliknya. Meskipun di Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik, toh dia berkeputusan berhati-hati untuk tidak menerbitkan bukunya walau dia pun sebenarnya sepakat dengan teori Copernicus. Sebagai gantinya, di tahun 1637 dia menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse on Method).
Discourse ditulis dalam bahasa Prancis dan bukan Latin sehingga semua kalangan intelegensia dapat membacanya, termasuk mereka yang tak peroleh pendidikan klasik. Sebagai tambahan Discourse ada tiga esai. Didalamnya Descartes menyuguhkan contoh-contoh penemuan-penemuan yang telah dilakukannya dengan menggunakan metode itu. Tambahan pertamanya Optics, Descartes menjelaskan hukum pelengkungan cahaya (yang sesungguhnya sudah ditemukan oleh Willebord Snell). Dia juga mempersoalkan masalah lensa dan pelbagai alat-alat optik, melukiskan fungsi mata dan pelbagai kelainan-kelainannya serta menggambarkan teori cahaya yang hakekatnya versi pemula dari teori gelombang yang belakangan dirumuskan oleh Christiaan Huygens. Tambahan keduanya terdiri dari perbincangan ihwal meteorologi, Descartes membicarakan soal awan, hujan, angin, serta penjelasan yang tepat mengenai pelangi. Dia mengeluarkan sanggahan terhadap pendapat bahwa panas terdiri dari cairan yang tak tampak oleh mata, dan dengan tepat dia menyimpulkan bahwa panas adalah suatu bentuk dari gerakan intern. (Tetapi, pendapat ini telah ditemukan lebih dulu oleh Francis Bacon dan orang-orang lain). Tambahan ketiga Geometri, dia mempersembahkan sumbangan yang paling penting dari kesemua yang disebut di atas, yaitu penemuannya tentang geometri analitis. Ini merupakan langkah kemajuan besar di bidang matematika, dan menyediakan jalan buat Newton menemukan Kalkulus.
Setelah dia mendapatkan dasar filsafat yang pasti, yaitu dirinya yang sedang berfikir, yang dalam bukunya Russell biasa disamakan dengan jiwa dan dalam tulisannya Ali Masrur di sebut dengan akal budi, kemudian Descartes membuat suatu logika dalam berfikir supaya terjamin kebenarannya, yaitu sebagai berikut :
Pertama, tidak pernah menerima apa saja sebagai Hal yang benar bila tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai keberadaannya. Orang harus menghindari dengan cermat kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi-prakonsepsi yang terburu-burudan tidak memasukan apa pun kedalam pertimbangannya lebih dari pada yang terpapar, sehingga dengan begitu, tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, memecahkan setiap kesulitan sebanyak mungkin menjadi bagian dari sebanyak yang dapat dilakukan  untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
Ketiga, mengarahkan pemikiran secara tertib dari objek yang paling sederhana dan mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks dan dengan mengandaikan suatu urutan di antara objek yang sebelumnya tidak memiliki ketertiban kodrati.
Keempat, membuat penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga orang dapat merasa pasti dan tidak ada sesuatu pun yang ketinggalan.[2]

C.    Rasionalisme dan Filsafat Descartes
Secara general, rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi). Hal ini merupakan pengembangan dari filsafat Plato tentang ide. Akal sebagai komponen istimewa manusia yang membedakannya dengan makhluk lain memang patut dijadikan landasan. Bahkan merupakan realitas yang sesungguhnya menurut sebagian kalangan.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh dari alam dengan mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengatahuan di peroleh dengan cara berfikir. Alat dalam berfikir ini ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. [3]
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaissans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal ini lah dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Secara garis besar, rasionalisme ada dua macam. Dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan otoritas. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan empirisme yang lebih menekankan pada hal-hal empiris lewat pengalaman dan observasi.[4]
Descartes sebagai salah satu tokoh rasionalis, membangun filsafatnya di atas keraguan (skeptis). Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Di dalam mimpi seolah-olah seorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (juga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi.
Menurut Descartes, sesuatu baru bisa dikatakan benar jika tahan uji. Dan untuk mengujinya, dia meragukannya terlebih dahulu sampai tidak menemukan alasan untuk meragukan kembali. Di sini jelas bahwaa keraguan Descartes bukan untuk menjatuhkan sebagaimana dilakukan kaum sopis modern. Tetapi lebih pada keraguan metodis dalam mencari sebuah kebenaran yang pasti dengan tidak menerima begitu saja kesan-kesan yang didapatkan sebelum dianalisa dan ditelususri lebih dalam. Hal ini sebenarnya sejalan dengan pernyataan Socrates bahwa kehidupan yang tidak diuji tak pantas dijalani.
Pada langkah pertama Descartes dapat meragukan semua benda yang dapat diindera. Bahkan dirinya sendiri yang sedang duduk dan berjalan. Dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi yang nyata dialami walau sebenarnya tidak pernah terjadi. Namun, yang manakah sebenarnya yang nyata dan benar?. Kemudian dia menemukan sesuatu yang ada dalam tiga keadaan (mimpi, ilusi dan halusinasi) dan ketika terjaga. Yang selalu muncul ini adalah gerak, jumlah dan besaran. Sehingga menurutnya ketiga hal ini lebih ada dan nyata dari benda-benda.
Pada langkah selanjutnya, ketiga hal yang diyakini sebagai yang benar-benar ada sebelumnya kembali diragukan. Gerak, jumlah dan besaran yang masuk dalam kategori matematika masih mungkin salah. Sering terjadi kesalahan dalam menjumlah dan mengukur. Sehingga ketiga hal tersebut yang masih menerima keraguan tidak lagi meyakinkan sebagai sesuatu yang lebih nyata dan ada. Belum tahan uji dengan dirinya sendiri. Hal ini menjadi jembatan pada langkah selanjutnya. Sehingga dia dapat menemukan sesutau yang tidak dapat diragukan lagi dari berbagai sisi, tahan uji dan pasti yaitu dirinya sendiri yang sedang meragukan dan berpikir dalam mencari kebenaran.[5]
Dalam kesangsian metodis ini, didapatkan satu hal yang tidak dapat diragukan berupa “saya yang ragu”. Hal ini bukan lagi hayalan tetapi meru[pakan sebuah kenyataan yang tidak bisa diragukan bahwa seseorang sedang ragu. Dengan kata lain keraguan menyatakan bahwa dia yang sedang ragu benar-benar ada tanpa perlu pembuktian dan tidak dapat diragukan lagi. Dua hal yang menjadi landasan diterimanya kebenaran adalah kejelasan dan terpilah-pilah.[6] Menurut Descartes apa yang dapat dipahami dengan sangat jelas dan nyata, itu lah kebenaran.
Dengan cogito ergo sum, Descartes menerima tiga realitas atau subtansi bawaan berupa realitas pikiran, realitas perluasan atau materi dan Tuhan sebagai sebab pertama dari dua realitas sebelumnya. Pikiran merupakan kesadaran yang tidak mengambil ruang dan tidak dapat dibagi dalam bagian-bagian kecil sebagaimana menurut konsep atomisme logik. Materi sendiri merupakan jasad, mengambil ruang dan dapat dibagi ke dalam bagian-bagian kecil. Dan kedua subtansi tadi berasal dari Tuhan sebagai sebab pertama. Di sini Descartes memberikan pembagian yang tegas antara pikiran dan materi.[7]
Konsep berpikir yang digunakan Descartes memiliki pengertian yang sangat luas. Berpikir dalam pandangannya termasuk meragukan, memahami, menolak, beerkehendak, menegaskan, membayangkan bahkan merasakan. Karena perasaan ketika muncul dalam mimpi adalah sebuah bentuk berpikir. Menurutnya berpikir adalah esensi dari pikiran, dan pikiran pasti selalu berpikir bahkan ketika sedang tertidur nyenyak.[8]
Dari keterangan sebelumnya dapat diketahui bahwa Descartes merupakan seorang dualis. Dia melihat manusia tersusun dari dua subtansi berupa jiwa dan materi (tubuh). Berbeda dengan jasmani yang mengalami kematian, jiwa sebagai komponen yang tidak meluas tetap dalam keabadian.
Pendapat Descartes tentang jiwa juga juga berawal dari metode keraguaannya yang melahirkan Cogiyo Ergo Sum. Dia yang meragukan sesuatu dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi tidak dapat meragukan pengalaman jiwanya sendiri yang begitu nyata mengalami ketiganya. Sampai dia menyimpulkan bahwa aktivitas jiwa atau roh rasional itukenyataan yang tidak dapat diragukan.
Selanjutanya Descartes berkesimpulan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang lain, berbeda dengan tubuh. Jiwa lebih mudah untuk mengetahui dan tidak pernah berhenti untuk tetap berada walau tubuh telah mengalami aus dan mati. Tubuh hanyalah sesuatu yang terdiri partikel yang bergerak dan mengalami luas. Sedangkan jiwa yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir adalah immateri sehingga tidak tergantung dengan ruang dan waktu.[9]

D.    Referensi
Abidin,  Zainal. 2006.  Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Masrur, Ali dan  Zubaedi, dkk. Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Kuhn
Mustansyi, Rizal. 1987. Filsafat Analitik. Rajawali Pers; Jakarta.
Maksum, Ali. 2008.  Pengantar Filsafat. Ar-Ruz Media: Yogyakarta.
Russel, Bertrand. 2004, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.




[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kodisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, 733.
[2] Ali Masrur, Zubaedi, dkk. Filsafat Barat: Dari logika baru rene descartes hingga revolusi sains ala Thomas Kuhn, 24. Lihat juga Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik. (Rajawali Pers; Jakarta, 1987), 24 dan Ali Maksum, Pengantar Filsafat. (Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 128-130.
[3]Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2007), 127
[4] Ibid; 127-128
[5] Ibid; 130-132.
[6]Ali Maksum, Pengantar Filsafat. (Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 126
[7] Ibid; 127
[8] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 741.
[9]Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2006), 62-63.