Oleh : Sri Rahmawati
A. LatarBelakang
Ahli teori sosiologi-fenomenologi
yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang
berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan
karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia
muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol. Mungkin cara terbaik untuk mendekati
karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk interaksionisme yang lebih sistematik
dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun,
dia tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi
melalui suatu kritik sosiologi
terhadap karya Weber.
Sebagai
catatan akademik, pemikiran Peter L. Berger, terlihat cukup utuh di dalam
bukuberjudul “the Social Construction of
Reality: A Treatisein the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini
mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial,
karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi
oleh kajian positivistik. Peter L. Berger meyakini secara substantif bahwa realitas
merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality
is socially constructed”.
Anthony
Giddens adalah teoritis sosial Inggris masa kini yang sangat penting dan salah seorang
dari sedikit teoritisi yang sangat berpengaruh di dunia. Karya Giddens mencapai
puncaknya dengan terbitnya buku The Constitution of Society : Outline
of the Theory of Society, yang merupakan pernyataan tunggal bahwa sifat dualism
tidak selalu bisa dihapus dari hubungan antara pelaku dan struktur.
B.
RumusanMasalah:
1. Bagaimana
teori fenomenologi Alfred Schutz?
2. Bagaimana
teori konstruksi social Peter L. Berger?
3. Bagaimana
teori Strukturasi Anthony Giddens?
BAB
II
TEORI
FENOMENOLOGI ALFRED SCHUTZ, TEORI KONSTRUKSI SOSIAL PETER L. BERGER, DAN TEORI
STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS
A.
Teori Fenomenologi: Alfred Schutz
Alfred Schutz mengatakan bahwa
reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia,
meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “arus-pengalaman” (stream of experience). Sebutan fenomenologis berarti
studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita,
dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran
pengalaman-pengalaman inderawi yang berkesinambungan yang kita terima
melalui panca indera kita.[1]
Fenomenologi tertarik dengan
pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna,
suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara
terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara
kesadaran-kesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak
(acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk
menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu
yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidentifikasikannya
melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan
latar belakangnya.[2]
Hal ini mengantarkan kita kepada
salah satu perbedaan yang jelas antara fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan:
“tindakan” sejauh ini mengacu pada tindakan manusia dalam berhubungan satu dengan
yang lain dan lingkungannya. Bagi fenomenologi juga sama halnya, bahkan
tindakan terutama ditujukan kepada proses internal dari kesadaran (manusia),
baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu ditransformasikan ke dalam
fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini mempunyai
konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis menjadi
sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi.
Menurut Schutz, cara kita
mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses
tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari
pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman dilihat bahwa objek-objek tertentu
pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke
tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam.[3]
Jadi, apa yang Schutz sebutkan
sebagai “hubungan-hubungan makna” (meanings contexs),
serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita
ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna diorganisir secara bersama-sama, juga
melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan”
(stock of knowledge).
Kalau kita tetap pada tingkat
kumpulan pengetahuan umum (commomsense knowledge),
kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai
situasi-situasi tertentu, yang merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme
simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk
memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Tiadasatupun studi empiris yang
menggunakannya secara sistematik kecuali melalui pengembangan etnometodologi.
Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk
mengembangkan fenomenologi menjadi suatu teori mengenai
masyarakat.
Sosiologi-fenomenologi memiliki
kemampuan tertentu untuk bersifat sangat menarik dan sekaligus membosankan.
Khususmya di dalam fungsionalisme structural, ia merupakan suatu perubahan yang
menyegarkan, yang bergerak dari kategori-kategori teoritis yang sangat abstrak,
yang sedikit sekali keitannya dengan dunia sosial yang kita alami, dan langsung
masuk ke dalam kehidupan sehari-hari.[4]
B.
Teori Konstruksi Sosial: Peter
L. Berger
Sebagai catatan
akademik, pemikiranPeter L. Berger, terlihat cukup
utuh di dalam buku berjudul “the Social
Construction of Reality: A Treatisein the Sociology of Knowledge”.
Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya
para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu
sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Peter L.
Berger meyakini secara substantif bahwa realitas
merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial
terhadap dunia sosial di sekelilingnya,
“reality is socially constructed”.
Tentu saja, teori ini
berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi
sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.
Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas
kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons
terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial, individu
manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatifbebas di dalam
dunia sosialnya.
Dalam penjelasan Deddy
N Hidayat, bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran
suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang
dinilai relevan oleh pelaku sosial.[5].
Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi
sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis.
Pemikiran Peter
L. Berger terpengaruh oleh pemikiran Schutzian
tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”,
Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta
Mead tentang “interaksi simbolik”. Dalam konteks itulah, Poloma menyimpulkan
pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan
interaksionisme.
Pendapat Peter L. Berger tentang teori konstruksi sosial adalah
bahwa:
- Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya
- Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan
- Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus
- Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Peter
L. Berger mengatakan institusi masyarakat tercipta
dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun
masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi.
Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan
oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat
generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis
yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi
legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai
bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya,
jika dilihat dari perspektif teori Peter
L. Berger berlangsung melalui interaksi sosial
yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective
reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga
berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi,
objektivikasi dan internalisasi.
a.
Objective reality,
merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan
) serta rutinitas tindakan dan tingkah
laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara
umum sebagai fakta.
b.
Symblolic reality,
merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk
industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang
ada di film-film.
c.
Subjective reality,
merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing
individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi,
atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.
Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi
melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.[6]
Melalui sentuhan Hegel
yakni tesis-antitesis-sintesis, Peter
L. Berger menemukan konsep untuk menghubungkan
antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal
dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.
1.
Eksternalisasi
ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”.
2.
Objektivasi
ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
mengalami institusionalisasi. “Society is
an objective reality”.
3.
Internalisasi
ialah individu mengidentifikasi diri di
tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut
menjadi anggotanya. “Man is a social
product” [7] .
Jika teori-teori sosial
tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga
momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan,
artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu
berada di luar (objektif) dan kemudian
ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu
yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif.
C.
TeoriStrukturasi:
Anthony Giddens
Salah satu teori yang mengintegrasikan agen-struktur
adalah teori strukturasi yang berusaha mencari ”jalan tengah” mengenai
dualisme yang menggejala dalam ilmu-ilmu sosial. Ada dua pendekatan yang
kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial.Pertama, pendekatan yang
terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti,
fungsionalisme struktural, yang cenderung ke obyektivisme).Kedua, pendekatan
yang terlalu menekankan pada individu (seperti, interaksionisme simbolik, yang
cenderung ke subyektivisme).
Giddens berpandangan dualisme yang terjadi antara
agen-struktur terjadi karna struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak
pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam
stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk
kontingensi dari aktivitas agen. sedangkan konstruksionisme-fenomenologis, yang
baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia
ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran
tersebut.
Teori strukturasi mengawinkan dua pendekatan yang
berseberangan itu dengan melihat hubungan dualitas antara agen dan struktur dan
sentralitas ruang dan waktu. Dimulai dualitas (hubungan timbal-balik) yang
terjadi antara agen dan struktur di dalam “praktik sosial (social practices)
yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu”, praktik social social yang
berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individu yang mereproduksi struktur
tersebut. Misalnya kebiasaan menyebut pengajar di perguruan tinggi dengan
sebutan dosen.
Pelaku (agen) dalam strukturasi adalah “orang-orang yang
konkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia”sedangkan struktur
didefinisikan “aturan (rules) dan sumber daya (source) yang terbentuk
dari dan membentuk perulanan praktik sosial.” Sehingga alur dualitas
agen-struktur tersebut terletak pada “struktur sosial merupakan hasil (Outcome)
dan sekaligus . Dualitas itu terdapat dalam fakta struktur bagai panduan
dalam menjalankan praktik-praktik sosial di berbagai tempat dan waktu sebagai
hasil tindakan kita. Sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang (timeless
and spaceless) serta maya (virtual) , sehingga bisa diterapkan
pada berbagai situasi dan kondisi.
Kedua, giddens melihat sentralitas waktu dan ruang, sebagai
poros yang menggerakkan teori strukturasi dimana sentralitas waktu dan ruang
menjadi kritik atas statik melawan dinamik maupun stabilitas melawan perubahan,
waktu dan ruang merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian
masyarakat. Hubungan waktu dan ruang bersifat kodrati dan menyangkut makna
serta hakikat tindakan itu sendiri.
Jadi tindakan yang disengaja
(dengan tujuan tertentu sering mengakibatkan akibat yang tak diharapkan).
Dualitas Struktur dan sentralitas waktu dan ruang menjadi poros terbentuknya
teori strukturasi dan berperan dalam menafsirkan kembali fenomena-fenomena
modern, seperti negara-negara, globalisasi, ideologi, dan identitas. Teori
strukturasi menunjukkan bahwa agen manusia secara kontinyu mereproduksi
struktur sosial – artinya individu dapat melakukan perubahan atas struktur
sosial. Giddens berpandangan perubahan itu dapat terjadi bila agen dapat
mengetahui gugus mana dari struktur yang bisa ia masuki dan dirubah, gugus
tersebut antara lain gugus signifikansi, dominasi, dan legitimasi.
Dualitas antara struktur dan pelaku
berlangsung sebagai berikut kita ambil pengertian struktur sebagai sarana
prraktik sosial. Dalam perusahaan, tindakan tidak membuka komputer milik
kayawan lain, menjaga kebersihan diri dan tempat kerja mengandaikan struktur penandaan
tertentu, misalnya norma yang terdapat pada sebuah perusahaan tersebut yang
menjadi praktik tindakan saling menghormati antar karyawan tersebut. Demikian
pula penguasaan dan penggunaan aset finansial (ekonomi) atau pengontrolan
majikan atas para buruh (politik) mengandaikan skemata dominasi. Pola yang sama
juga berlaku ketika manajer memberi hukuman bagi karyawan yang melakukan
kesalahan, pemberian sanksi ini merupakan struktur legitimasi.
Tetapi struktur tidak seta merta
menjai struktur tanpa didahului perulangan praktik sosial, misalnya dalam
sebuah perusahaan, pembakuan peraturan perusahaan sebagai struktur signifikansi
hanya terbentuk melalui perulangan berbagai informasi mengenai wacana peraturan
perusahaan tersebut. Peraturan perusahaan sebagai struktur dominasi semakin
baku hanya terbentuk karena perulangan berbagai praktik penguasaan yang terjadi
dalam wadah-wadah tunggal tetentu misalnya adanya divisi kepatuhan yang
bertugas mengecek penerapan peraturan perusahaan. Dan struktur legitimasi peraturan
perusahaan menjadi semkin kokoh, misalnya melalui keterulangan penerapan sanksi
terhadap para karyawan yang sering terlambat masuk kantor.
Namun sebagaimana nampak dalam
skema diatas, dualitas antara struktur dan tindakan selalu melibatkan sarana-antara.
Dalam contoh diatas, peraturan perusahaan mengandaikan ’bingkai-interpretasi’
mengenai peraturan perusahaan, yaitu peraturan perusahaan merupakan tata aturan
dari perusahaan yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan. Dalam dualitas
antara struktur dominasi dan praktik penguasaan, yaitu divisi kepatuhan
memiliki fasilitas untuk memanggil karyawan yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perusahaan. Mengenai dualitas legitimasi dan sanksi,
peraturan perusahaan bisa menjadi dasar untuk menegur atau memecat karyawan
yang telah menyalahi peraturan tersebut. Reproduksi sosial berlangsung melalui
dualitas dan praktik sosial seperti itu . MenurutGiddens
lalu memberikan definisi mengenai struktur yaitu sebagai berikut :
Menurut Giddens Struktur, merupakan
komponen teori strukturasi, struktur didefinisikan sebagai “property-properti
yang berstruktur (aturan dan sumber) dayaproperty yang memungkinkan praktik
social berupa yang dapat dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu
yang membuatnya menjadi bentuk sistemik”. Struktur dapat terwujud jika terdapat
aturan dan sumber daya. Sehingga konsep strukturasi menyatakan bahwa “struktur
hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia” Jadi Giddens
mengemukakan definisi struktur yang berbeda dari durkeim dimana struktur
sebagai suatu yang berada di luar actor dan mementukan arah actor secara
mutlak. Giddens tidak sepakat bahwa struktur berada “diluar” dan “eksternal”
terhadap aktivitas individu. Seperti yang diungkapkan struktur adalah apa yang
membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu
sendiri yang membentuk dan menentukan kehidupan sosial itu. Sehingga dalam
permasalahan ini menganggap adanya dwi rangkap struktur yang menunjukkan bahwa
agen manusia secara kontinyu mereproduksi struktur sosial – artinya individu
dapat melakukan perubahan atas struktur sosial.
Struktur seperti ekspektasi hubungan, kelompok peran dan
norma-norma, jaringan komunikasi dan institusi sosial baik pengaruh dan
mempengaruhi oleh aksi masyarakat. Struktur-struktur di sini memfasilitasi
secara individu dengan aturan-aturan yang memandu aksi mereka, tetapi aksi
mereka menciptakan aturan-aturan baru dan mereproduksi yang lama. Interaksi dan
struktur dekat dengan kata lain kita melakukan untuk melengkapi intensi kita
tetapi pada waktu yang sama, aksi kita memiliki unintended consequences
(konsekuensi tidak terintensi) membangun struktur yang mempengaruhi aksi ke
depan kita. Sejatinya yang menjelaskan bagaimana
struktur bisa terbentuk melalui perulangan praktik sosial adalah kesadaran.
Giddens membagi tiga dimensi kesadaran, yaitu motivasi tak sadar(unconsciousness motives),
kesadaran praktis (practical consciousness), dan kesadaran diskursif(dircusive consciousness).
‘Motivasi tak sadar’ menyangkut keinginan atau kebutuhan yang berpotensi
mengarahkan tindakan, tetapi bukan tindakan itu sendiri, misalnya jarang
‘tindakan’ kita kuliah digerakkan untuk mendapatkan gelar kesarjanaan, kecuali
pergi ke kampus pada hari wisuda.
Lain dengan motivasi tak sadar, ‘kesadaran diskursif’
mengacu pada kapasitas kita merefleksikan dan memberikan penjelasan rinci serta
eksplisit atas tidakan kita, misalnya mengapa karyawan mencoba datang tidak
terlambat di kantor karena karyawan menghindari teguran atasan. ‘kesadaran
praktis’ menunjuk pada gugus pengetahuan praktis yang tidak selalu bisa diurai.
Misalnya mahasiswa ketika akan mengikuti kuliah wajib bersepatu tanpa
dipertanyakan lagi, dengannya kita melaksanakan kehidupan sehari-hari tanpa
harus terus-menerus menanyakan apa yang harus dilakukan. rutinitas hidup
personal maupun social terbentuk melalui kinerja gugus kesadaran praktis.
Kesadaran praktis ini merupakan kunci memahami proses
tindakan dan praktik sosial kita lambat-laun menjadi struktur dan bagaimana
struktur itu mengekang serta memampukan tindakan praktik sosial kita.
Reproduksi struktur sosial berlangsung lewat keterulangan praktik sosial yang
jarang kita pertanyakan lagi, rutinitas kuliah menggunakan baju berkerah dan
bersepatu serta tepat waktu, pada gilirannya membentuk skemata menghargai
kampus sebagai tempat intelektual, proses strukturasi ini terjadi pada tingkat
kesadaran praktis dan pada tingkat ini pula struktur dibangun dan dilanggengkan
dalam rutinisasi dan direproduksi. Ini bisa berlangsung karena pada tindakan
sosial yang berulang-ulang berakar suatu rasa aman ontologis.
Namun bukan berarti reproduksi struktur sosial yang ada
tanpa adanya perubahan, perubahan menjadi hal yang selalu mengikuti reproduksi
sosial betapapun kecilnya perubahannya. Munculnya gagasan intropeksi dan mawas
diri (reflexive monitoring of conduct) dari Giddens menyatakan pelaku
dapat memonitor tindakannya dimana terbentuk daya refleksifitas dalam diri
pelaku untuk mencari makna/nilai dari tindakannya tersebut kemudian
agen mengambil jarak dari struktur akhirnya meluas hingga berlangsung
’de-rutinisasi’. Derutinisasi adalah gejala dimana schemata yang selama ini
menjadi aturan dan sumberdaya tindakan serta praktik social dianggap tidak lagi
dapat untuk dipakai sebagai prinsip pemakanaan dan pengorganisasian praktik
social sehingga terjadi tindakan yang
menyimpang dari rutinitas. Akhirnya muncul keusangan struktur dikarenakan semakin
banyaknya agen yang mengadopsi kesadran diskursif dan mengambil jarak dengan
struktur, maka dibutuhkan perubahan struktur agar lebih sesuai dengan praktik
sosial yang terus berkembang secara baru.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Deddy N.1999.Paradigma dan Perkembangan Penelitian
Komunikasi dalam Jurnal Ikatan
Sarjana Komunikasi Indonesia. Jakarta: IKSI dan ROSDA.
Priyono, Herry. 2002.Anthony Giddens suatu pengantar.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Ritzer, George . 2007. TeoriSosiologi Modern.
Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerdjono.1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sukidin,
Basrowi. 2002. Metode Penelitian Kualitatif
Perspektif Mikro. Surabaya : Insan Cendekian.
Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[6]Dedy N Hidayat, Konstruksi Sosial Industri Penyiaran : Kerangka Teori Mengamati Pertarungan di
Sektor Penyiaran, Makalah dalam diskusi “UU Penyiaran, KPI dan
Kebebasan Pers, di Salemba 8 Maret 2003
[7]Basrowi, Sukidin, Metode
Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro (Surabaya : Insan
Cendekian, 2002), 206
[8] B. Herry Priyono, Anthony Giddens
suatu pengantar. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002). 23-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar