Oleh : Cahyaning Iwansari
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan perhatian, teman dan
kasih sayang dari sesamanya. Setiap diri terikat dengan berbagai bentuk ikatan
dan hubungan, diantaranya hubungan emosional, sosial, ekonomi dan hubungan
kemanusiaan lainnya. Maka demi mencapai kebutuhan tersebut adalah fitrah untuk
selalu berusaha berbuat baik terhadap sesamanya. Islam sangat memahami hal
tersebut, oleh sebab itu hubungan persaudaraan harus dilaksanakan dengan baik.
Hubungan persaudaraan sesama muslim mempunyai kewajiban untuk saling
membantu, saling menghormati, menjenguk ketika sakit, mengantarkan sampai ke
kuburan ketika meninggal dunia, saling mendoakan, larangan saling mencela,
larangan saling menghasud dan lain sebagainya.
Semangat persaudaraan di antara sesama Muslim hendaknya didasari karena
Allah semata, karena ia akan menjadi barometer yang baik untuk mengukur
baik-buruknya suatu hubungan.
Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersaudara dengan
seseorang karena Allah, niscaya Allah akan mengangkatnya ke suatu derajat di
surga yang tidak bisa diperolehnya dengan sesuatu dariamalnya.” ( HR. Muslim).
Hubungan di antara cinta dan
persaudaraan adalah hubungan yang sangat kuat. Maka setiap orang yang
dipertalikan oleh Allah dengan hubungan persaudaraan niscaya ia mendapat hak
untuk saling mencintai karena Allah.
B. Tujuan Pembahasan
1.
Untuk memahami kandungan makna dari hadits-hadit
tentang perkembangan persaudaraan islam.
2.
Mengimplikasikan ajaran Rasulullah tenntang persaudaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN
PERSAUDARAAN ISLAM
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ حَدَّثَنِي
مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ
رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى
أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ
وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى - أحمد
Telah
menceritakan kepada kami Isma'il Telah menceritakan kepada kami Sa'id Al
Jurairi dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah
mendengar khutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam ditengah-tengah hari
tasyriq, beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan
ayah kalian satu, ingat! Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam dan bagi orang Ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang
berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang
berkulit merah kecuali dengan ketakwaan”.
Dilalatul Ibarah: Tidak ada kelebihan yang dimiliki oleh
setiap orang kecuali dengan ketakwaan.
Dilalah Isyarahnya: Tidak ada perbedaan bagi manusia di
hadapan Allah kecuali dengan ketakwaannya.
Dilalah Nash dari hadist ini yakni semua manusia di mata Allah
memiliki kesamaan. Allah tidak membeda-bedakan hambanya dari jenis kelamin,
warna kulit, maupun suku bangsa. Karena Allah hanya melihat manusia itu dari
segi ketakwaannya saja. Seperti dalam penggalan surat Al-Hujuraat ayat 13:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.”
Dengan adanya persamaan tersebut akan
diakui kebhinekaan (pluralisme). Berbagai simbol yang merepresentasikan jenis kelamin,
suku, agama, strata, ekonomi, keragaman budaya, kelompok, dan lainnya, tak menjadi
rintangan untuk membangun persatuan sebagai masyarakat yang majemuk.
قَالَ عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا
هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
الْقَسْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ لِجَدِّهِ يَزِيدَ بْنِ أَسَدٍ أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ -
أحمد
Abdullah
berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada
kami Hutsaim berkata; telah mengabarkan kepada kami Sayyar dari Khalid bin
Abdullah Al Qasri dari Bapaknya sesungguhnya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam
bersabda kepada kakeknya, Yazid bin Asad, "Cintailah kepada manusia sebagaimana kamu
mencintai dirimu."
(Ahmad)
Dilalatul Ibarah: Mencintai manusia sebagaimana mencintai diri
sendiri.
Dilalatul Isyarah: Kita diseru untuk mencintai saudara
sesama muslim atau tetangganya yang muslim tanpa ada keraguan sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri dan yang dimaksud mencintai disini adalah
mencintaihal-hal yang baik atau hal
yang mubah.
Dilalah Nash: Mencintai saudaranya dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal
yang baik bagi dirinya, misalnya tidak mau mengurangi kenikmatan
yang menjadi milik orang lain dan saling mengutamakan dan memperhatikan sesame dan selalu siap sedia berkorban untuk meringankan beban saudaranya.
Sampai dia mencintai dirinya sendiri
seperti cintanya dia jika kebaikan juga dia peroleh. Maka, jika kita bahagia karena
sesuatu hal, maka bahagiakanlah dia dengan hal itu. Jika kita tidak menyukai satu
hal, maka jauhilah dia dari hal itu.
Hadits ini secara tidak langsung mengajarkan
kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara
sesama muslim. Baik berupa iri, dengki, dan lainnya.
حدثنا هناد حدثنا
أبو معاوية عن ابن أبي ليلى وحدثنا سفيان بن وكيع حدثنا
حميد بن عبد الرحمن الرواسي عن ابن أبي ليلى عن عطية عن أبي سعيد قال قال رسول
الله صلى الله عليه و سلم من لم يشكر الناس لم يشكر الله. وفي الباب عن ابي هريرة
بن قيس و النعمان بن بشير. قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح - الترمذي
Telah
menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah
dari Ibnu Abu Laila (dalam riwayat lain). Dan telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman Ar
Ruwasi dari Ibnu Abu Laila dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang tidak bersyukur kepada
manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah." Hadits semakna juga diriwyakan
dari Abu Hurairah, Al Asy'ats bin Qais dan An Nu'man bin Basyir. Abu Isa
berkata; Ini adalah hadits hasan shahih”. (Turmudzi)
Dilalatul Ibaroh: Seseorang dikatakan belum bisa bersyukur
kepada Allah jika ia tidak bisa bersyukur kepada manusia.
Dilalatul Isyarah: Seseorang dikatakan ia tidak bisa bersyukur
kepada manusia adalah jika orang itu tidak dapat menjalin hubungan baik dan tidak
dapat berterima kasih kepada sesama manusia.
Sedangkan dalam kehidupan inikita dianjurkan untuk
melakukan hal itu karena hal itu merupakan suatu hal yang disukai oleh Allah
dan merupakan suatu bentuk atau wujud rasa syukur kita kepada Allah. Jika
seseorang tidak dapat melakukan hal itu maka ia belum bisa bersyukur kepada
Allah.
Dilalatun Nash: Adanya rasa syukur berhubungan dengan sikap
berterima kasih. Jika seseorang tidak bisa mengucapkan rasa terima kasihnya
kepada orang lain yang telah membantunya disaat ia mengalami kesulitan, maka
dapat dikatakan bahwa orang itu tidak dapat bersyukur terhadap sesama
manusia.Karena pada dasarnya bentuk rasa terima kasih sesama manusia merupakan
wujud dari rasa syukur manusia kepada manusia lain.Orang yang seperti itu
termasuk orang yang tidak bisa bersyukur kepada Allah dan nikmat-Nya. Bersyukur
terhadap ciptaan-Nya saja tidak bisa ia lakukan apalagi bersyukur terhadap Sang
Pencipta.
Mengucapkan terima kasih (bersyukur) tidak hanya diucapkan dengan lisan saja,
namun apa yang kita syukuri harus bisa dijalankan sesuai dengan peran dan
fungsinya. Jika hal itu terwujud maka akan timbul rasa saling menghargai dan
dihargai sehingga terciptanya keharmonisan.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ
ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ - مسلم
Telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id serta Ali bin Hujr semuanya dari
Isma'il bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepada kami al-Ala' dari
bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman
dari bahayanya." (Muslim)
Dilalatul Ibaroh: Tidak akan masuk surga, orang yang
mana tetangganya tidak aman dari bahayanya.
Dilalatul Isyaroh: Apabila seseorang yang tidak bisa
berbuat baik terhadap tetangganya berarti dia tidak memiliki iman yang sempurna
seperti yang pernah disabdakan Nabi saw, dan Allah pun membencinya, sehingga
menyebabkan dirinya tidak bisa masuk surga.
Dilalatul Nash: Tidak
akan masuk surga, sebelum orang yang menyakiti tetangganya meminta maaf pada
tetangga yang ia sakiti, sehingga tidak ada lagi dosa dengan manusia yang
menghalanginya masuk surga.
Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman dari bahaya
yang diperbuat olehnya, baik melalui tangan atau lisannya. Jelaslah, bahwa Oleh
karena itu, wajiblah kita berbuat baik pada tetangga, agar iman kita semakin
sempurna. Berbuat baik bisa dengan berlaku dermawan padanya serta menyadari
hak-hak tetangga kita.
حدثنا محمد بن أبي يعقوب الكرماني حدثنا حسان حدثنا يونس حدثنا محمد عن أنس بن
مالك رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول مَنْ
سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ
فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ - بخاري
“Telah menceritakan kepada kami dari Muhammad
Bin Abi Ya’kub Al-Kurmani Dari Hasan Dari Yusuf , Muhammad bin Zuhri Anas bin
Malik berkata” Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang
ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. (Bukhari)
Dilalatul Ibaroh: Barang siapa yang ingin dilapangkan
rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali
silaturahmi.
Dilalatul Isyaroh: Barang siapa yang
menyambung tali silaturahmi, maka rizkinya dan umurnya akan diberkahi dan
dilapangkan oleh Allah swt.
Dilalatul Nash: Hadits di atas
menunjukkan bahwa menyambung tali silaturahmi dapat melapangkan rizki, karena
semakin banyak orang yang mengenal kita, maka semakin banyak pula jalan rizki
pada kita. Menyambung silaturahmi juga bisa memanjangkan umur, karena setelah
kita bertemu dengan saudara kita, tentunya kita saling mendoakan dengan
mengucapkan salam, dan ketika akan berpisah, kita juga saling mendoakan agar
bisa bertemu lagi di lain waktu. Memanjangkan umur juga bisa berarti umur kita
diberkahi Allah swt.
Manyambung tali
silaturahmi tidak sebatas dengan keluarga dekat saja, tapi juga bisa dengan
saudara, teman, ataupun tetangga.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ
اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ
لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُ هُمَا الَّذِي
يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ - بخاري
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf
telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Atha` bin Yazid Al
Laitsi dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang laki-laki mendiamkan
saudaranya melebihi tiga malam, (jika bertemu) yang ini berpaling dan yang ini
juga berpaling, dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam." (Bukhari)
Dilalatul Ibaroh: Tidak halal bagi seorang laki-laki yang mendiamkan
saudaranya melebihi tiga malam. Dan jika bertemu, keduanya saling berpaling. Sebaik-baik
dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam ketika bertemu dengan yang satunya.
Dilalatul Isyayroh: Rasul
megharamkan seorang muslim yang saling mendiamkan saudaranya lebih dari tiga
malam karena sebuah pertengkaran. Hendaknya ada salah satu dari mereka yang
mendahului mengucapkan salam, agar perselisihan mereka tidak berlanjut, bahkan
bertambah besar masalahnya.
Dilalatul Nash: Saling mencintai
sesama muslim adalah salah satu cara menghindari perselisihan. Adapun jika
terjadi perselisihan sesama saudara muslim, hendaknya saling mengucapkan salam
dan saling maaf memaafkan, bukan saling mendiamkan dan tidak saling sapa.
Apabila salah satu telah mengucapkan salam, maka ia terbebas dari dosa
mendiamkan saudaranya itu. Apabila salah satunya tidak mau menjawab salam dari
saudaranya, maka ia akan memikul dosanya sendirian.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ الرَّبِيعِ
حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ
بْنَ سُوَيْدٍ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ
سَبْعٍ فَذَكَرَ عِيَادَةَ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعَ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيتَ
الْعَاطِسِ وَرَدَّ السَّلَامِ وَنَصْرَ الْمَظْلُومِ وَإِجَابَةَ الدَّاعِي
وَإِبْرَارَ الْمُقْسِمِ - بخاري
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Ar Rabi'
telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Asy'ats bin Sulaim berkata, aku
mendengar Mu'awiyah bin Suwaid aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radliallahu
'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tujuh
perkara dan melarang kami dari tujuh perkara pula. Maka Beliau
menyebutkan: "Menjenguk
orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang yang bersin, membalas salam,
menolong orang yang dizholimi, memunuhi undangan dan berbuat adil dalam
pembagian". (Bukhari)
Dilalatul Ibaroh: Nabi memerintahkan dalam tujuh perkara dan mencegah pada tujuh perkara. tujuh perkara tersebut diantaranya menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, mendo’akan orang yang
bersin, menjawab salam, menolong orang yang dianiaya, memenuhi
undangan, bersikap adil.
Dilalatul Isyaroh: Sebagai umat muslim hendaknya kita
mempererat ukhuwah islamiyah. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menyambung,
mempererat dan menjaga tali persaudaraan Islam seperti yang telah disebutkan
oleh Nabi saw.
Seorang
muslim sejati mengunjungi
orang sakit, menganggap hal itu sebagai kewajiban Islam dan bukan sebagai suatu
pilihan.Dalam masyarakat Islam, orang yang menderita sakit merasa bahwa dia
tidak sendirian pada saat memerlukan bantuan; empati dan do’a orang-orang di
sekitarnya melindunginya dan meringankan penderitaannya.[1]
Selain dapat mempererat tali persaudaraan di dalam Islam, saling
kunjung-mengunjungi terutama kepada orang sakit adalah salah satu cara yang
akan membawa kita untuk memperoleh cinta dari Allah SWT.
Begitu juga
dengan mengiringi jenazah, Islam mengajarkan kepada umatnya agar mengikuti
penguburan sampai si mayit di kuburkan merupakan cara untuk memperkuat hubungan
persaudaraan dan memperdalam rasa kesetiaan di antara mereka. Melalui
partisipasi mereka, keluarga yang menerima musibah kematian akan memperoleh
ketenangan, merasa terhibur dan tertolong untuk menghadapi kehilangan dengan
sabar.[2]
Kata-kata
yang ditekankan Nabi SAW untuk diucapkan ketika seseorang bersin mempertinggi
tujuan puncak kata-kata
tersebut, yakni untuk menyebut dan memuji Allah, dan memperkuat ikatan
persaudaraan dan persahabatan di antara sesama muslim.[3]
Inilah ajaran Nabi SAW menurut hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
jika
salah seorang di antara kamu bersin, ucapkanlah: “alhamdulillah”, dan hendaknya
saudara atau temannya mengucapkan “yarhamukallah”. Dan jika temannya
mengucapkan “yarhamukallah”, hendaknya yang bersin mengucapkan “yahdikumullah
wa yushlih balakum.” (HR. Bukhari)
Salah satu
aspek perilaku sosisal muslim adalah membiasakan ucapan salam. Nabi SAW
menempatkan salam pada tempat yang
istimewa dan mendorong umat Islam untuk mengucapkan salam itu dalam banyak
hadis, karena beliau memahami pengaruhnya dalam memperluas cinta, memperkuat
ikatan cinta, keakraban dan persahabatan antara individu-individu dan
kelompok-kelompok. Beliau menilai salam sebagai suatu yang akan membimbing
kepada cinta, dan cinta akan membimbing kepada iman, dan iman akan
mengantarkannya ke surga.[4]
Nabi SAW
tidak hanya melarang kezaliman sampai pada batas bahwa perbuatan itu tak
terbayangkan dalam benak seorang muslim sejati, bahkan beliau juga melarang
umat Islam membiarkan saudaranya teraniaya, karena dalam tindakan membiarkan
saudaranya itu terdapat tindakan aniaya yang hebat. Maka nabi berupaya
mendorong seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan saudaranya dan
mengatasi kesulitan-kesulitannya serta menutupi kesalahannya, beliau menegaskan
bahwa kegagalan untuk melakukan hal-hal kebaikan itu merupakan perbuatan aniaya
juga dan merupakan penolakan terhadap tali persahabatan yang mengikat seorang muslim dan saudaranya.[5]
Seorang
muslim yang dibimbing secara benar, ia akan adil dalam menetapkan keputusan.
Dia tidak pernah menyimpang dari kebenaran, apapun keadaannya. Maka, muslim
sejati adalah jujur dan adil di dalam kata dan perbuatan, karena kebenaran dan
keadilan merupakan bagian terdahulu dari warisannya, dan keadilan merupakan
bagian suci keimanannya.[6]
حدثنا قتيبة
حدثنا أبو عوانة عن الأعمش عن ابي صالح عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ
كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الآخرة وَمَنْ سَتَرَ عَلى مُسْلِم سَتَرَهُ
اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ
الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ - الترمذي
Rasulullah saw
bersabda: “barang
siapa yang dapat menghilangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah
akan menghilangkan
kesusahannya kelak di akhiratnya, dan barang siapa yang merahasiakan keburukan orang Islam,
niscaya Allah akan menutup segala keburukannya di dunia dan di akhiratnya; Dan
Allah akan selalu menolong hambanya, selama hambanya itu senantiasa memberikan
bantuan kepada saudaranya.” (Turmudzi)
Dilalatul Ibaroh: Barang siapa menolong kesusahan sesama Mukmin dari kesusahan duniawi maka Allah akan menolong kesusahan orang
tersebut dari kesusahan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya
didunia dan akhirat.Allah
menolong seorang hamba selagi hamba tersebut menolong saudranya sesama muslim.
Dilalatul Isyaroh: Sebagai
umat muslim dianjurkan agar senantiasa tolong menolong serta menutupi aib
saudaranya sesama muslim
Seorang muslim sejati adalah dia menjaga rahasia atau aib dan tidak membuka
segala yang dipercayakan kepadanya. Menjaga rahasia merupakan tanda kekuatan
karakter seseorang. Ini merupakan sikap laki-laki dan perempuan terbaik dalam
Islam, orang yang benar-benar dibimbing oleh ajaran-ajaran Islam. Ini merupakan
salah satu karakteristik mereka yang terbaik dan paling menonjol. Menceritakan
rahasia merupakan salah satu kebiasaaan terburuk yang biasa dimiliki orang
karena tidak ada sesuatu yang bisa dibicarakan dalam kehidupan ini.[7]
Akan halnya menyebut-nyebut berbagai kesalahan dan kekeliruannya, dan
berbagai keburukan keluarganya, maka yang demikian itu adalah fitnah dan haram
hukumnya atas setiap orang muslim. Ada dua hal yang semestinya memalingkan
dirimu darinya.
Pertama, periksalah kondisimu sendiri dan jika engkau menemukan di sana
satu hal yang tercela, maka bersikaplah toleran mengenai apa yang engkau lihat
dalam diri saudaramu itu. Mungkin saja dia tidak sanggup mengendalikan dirinya
dalam sifat khusus itu, sebagaimana halnya engkau tidak kuasa menghadapi
kesulitanmu sendiri.
Kedua, engkau tahu bahwa seandainya engkau mencari-cari seseorang yang
bebas dari segala sifat tercela, maka engkau bakal kelelahan menjelajahi
seluruh makhluk tanpa pernah menjumpai seorang sahabat pun. Sebab, tidak ada
seorang pun yang tidak memiliki sifat baik dan buruk, dan jika kebaikan lebih
banyak jumlahnya dari keburukan, maka itu yang paling bisa diharapkan darinya.[8]
Dilalatul Nash: Tolong
menolong hanya dalam hal kebaikan saja dan bukan hal keburukan. Seperti
menjenguk tetangga yang sedang sakit, menolong teman yang sedang kesusahan, atau
lain sebagainya.
حدثنا خلاد بن يحيى قال حدثنا سفيان عن أبي بردة بن عبدا الله بن أبي بردة عن جده عن أبي موسى عن انبي صلى الله عليه و سلم
قال إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا وَشبك أصابعه - بخاري
“Nabi saw bersabda: sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan
yang lain seperti bangunan. Yang sebagian menguatkan sebagian yang lain. Dan Nabi menggabungkan jari-jari
tangannya”. (Bukhari)
Dilalatul Ibaroh: Seorang mukmin terhadap
mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling
menguatkan bagian yang lain.
Dilalatul Isyaroh: Hakikat hubungan antara sesama kaum mu’min dalam hal kasih sayang, timbul
akibat persaudaraan seiman bukan karena lainya, sehingga kebersatuannya itu
diibaratkan hubugan antara anggota badan, jika salah satu anggota badan sakit
maka yang lainnya pun merasakan sakit.
DilalatunNash: Hakikat orang mu’min jika salah seorang dari mereka terkena musibah
maka yang lain juga merasakan, oleh karena itu mereka berusaha menolong agar tidak
terkena musibah dan bencana, bahkan dengan adanya sikap tolong-menolong akan
dapat mendatangkan kebaikan.
Ini menunjukkan, bahwa orang mukmin terganggu dengan apa saja yang
mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat
saudaranya sedih.
Orang mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya
yang mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang mukmin seperti yang
ia inginkan untuk dirinya sendiri.
Sifat persaudaraan sebagai manifestasi ketaatan
kepada Allah akan melahirkan sifat lemah lembut, kasih sayang, saling
mencintai, tolong menolong.
Persaudaraan sebagai pilar masyarakat sesungguhnya bersifat
sebagai perekat pilar-pilar sosial lainnya seperti unsur persamaan,
kemerdekaan, persatuan dan musyawarah.[9]
حدثنا أحمد بن
حنبل ثنا الوليد بن مسلم ثنا ثور بن يزيد قال حدثني خالد بن معدان قال حدثني عبد
الرحمن بن عمرو السلمي وحجر بن حجر قالا أتينا العرباض بن سارية وهو ممن نزل فيه (ولا
على الذين إذا ما أتوك لتحملهم قلت لا أجد ما أحملكم عليه) فسلمنا وقلنا أتيناك
زائرين وعائدين ومقتبسين فقال العرباض صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات
يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال
قائل يارسول الله كأن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا؟ فقال أوصيكم بتقوى الله
والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم
بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم
ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة - داود
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal
berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah
menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan
kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman
bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi
Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat:
'(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu,
suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak
memperoleh kendaraan orang yang membawamu)’-Qs. At
Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang
kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga
darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan
memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan
hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini
adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada
kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa
kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah
seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan
sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang
teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian
perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru
adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat." (Abu Daud)
Dilalatul
Ibarah: Suatu ketika Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke
arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata
menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah,
seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau
washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian
untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang
memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang
yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah
kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat
petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham.
Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap
perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.
Dilalatul
Isyarah: Seperti yang dilakukan
Rasulullah saw pada hadits di atas, kita harus saling menasehati terhadap
sesama muslim. Jika kita melihat seseorang berbuat yang tidak sesuai dengan
ajaran Islam, maka hendaknya kita mengingatkan dia. Apabila kita yang
diingatkan oleh orang lain, maka kita harus menerima dengan baik dan berterima
kasih padanya, karena ia telah menyelamatkan kita dari perbuatan menyimpang.
Selain itu, kita juga harus bisa mengajak terhadap kebaikan, karena itu adalah
perintah Allah swt.
Dilalatul Nash:
Seorang muslim sejati selalu
aktif dan bersemangat untuk berdakwah. Dia tidak menunggu datangnya keadaan
atau peristiwa tertentu untuk mengajak orang lain melakukan kebaikan, tetapi
dia mengambil inisiatif sendiri untuk mengajak orang kepada kebenaran Islam.[10]
Jika ajakan kita berhasil dan orang yang kita ajak benar-benar melakukan ajakan
kita yang baik, maka kita akan mendapat pahala.
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ ثَنَا الْأَعْمَشُ
عَنْ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ
كُفْرٌ - ابن ماجه
“Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, telah
menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, Telah
menceritakan kepada kami A’masy, dari Syaqiq, dari Ibni Mas’ud berkata,
Rasulullah saw bersabda: Mencela
orang muslim adalah
kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Ibnu Majah)
Dilalatul
Ibarah: Mencela orang muslim adalah suatu kefasikan, dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.
Dilalatul Isyarah: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah di atas menjelaskan tentang larangan mencela orang muslim, karena
perbuatan tersebut adalah perbuatan fasik. Mencela orang tidak harus melalui
lisan, terkadang bisa juga melalui tulisan.
Dilalatul Nash: Seorang
muslim sejati juga harus menghindari tindakan melukai orang lain dan
merendahkan mereka, karena sikap senang terhadap derita (dengki) orang lain adalah
sikap yang keji, melukai, dilarang dan diperingatkan Islam.[11]
Maksud dari melukai adalah baik melukai perasaan, yaitu dengan mencela, ataupun
melukai fisik. Karena dengan perbuatan mencela itu, bisa menjadi awal dari
pertengkaran yang akhirnya bisa sampai saling membunuh.
Awal dari celaan dan pembunuhan adalah rasa benci,
maka hendaklah kita membuang jauh-jauh rasa benci terhadap orang lain dan
menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama muslim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas
dapat penyusun simpulkan bahwa:
ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkanoleh Islam”.
Di dalam kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
a) Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.
b) Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
c) Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
d) Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda,
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, secara garis besar ukhuwah dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ukhuwah Islamiyah yang bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam.
b) Ukhuwah Jahiliyah yang bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal: ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).
Manfaat ukhuwah Islamiyah:
a) Merasakan lezatnya iman.
b) Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
c) Mendapatkan tempat khusus di surga.
Untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah antara lain: Melaksanakan proses Ta’aruf, Melaksanakan proses Tafahum, Melakukan At-Ta’aawun, dan Melaksanakan proses Takaful.
ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkanoleh Islam”.
Di dalam kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
a) Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.
b) Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
c) Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
d) Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda,
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, secara garis besar ukhuwah dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ukhuwah Islamiyah yang bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam.
b) Ukhuwah Jahiliyah yang bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal: ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).
Manfaat ukhuwah Islamiyah:
a) Merasakan lezatnya iman.
b) Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
c) Mendapatkan tempat khusus di surga.
Untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah antara lain: Melaksanakan proses Ta’aruf, Melaksanakan proses Tafahum, Melakukan At-Ta’aawun, dan Melaksanakan proses Takaful.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Abu Hamid. 1994. Menjalin Persaudaraan. Bandung:
Al-Bayan
al-Hasyimi, Muhammad Ali .Muslim Ideal. Yogyakarta: Mitra
Pustakahttp://kuncommunity.blogspot.com/2011/12/makalah-hadisadist.html.
[1]Muhammad
Ali al-Hasyimi, Muslim Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 364.
[2]Ibid.,
h. 372.
[3]Ibid.,
h. 460.
[4]Ibid.,
h. 443-444.
[5]Ibid.,
h. 387.
[6]Ibid.,
h. 385.
[7]Ibid.,
h. 305-307.
[8]Abu
Hamid Al-Ghazali, Menjalin Persaudaraan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), h.
23-24.
[9]Kun Community, “hadist pengembangan persaudaraan islam, di akses pada tanggal 2 Desember 2012 dalam http://kuncommunity.blogspot.com/2011/12/makalah-hadisadist.html.
[10]
Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi
Muslim Ideal (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), h. 336.
[11]
Ibid., h. 389.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar