Selasa, 15 Januari 2013

Persaudaraan Sesama Muslim



Oleh : Cahyaning Iwansari

BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan perhatian, teman dan kasih sayang dari sesamanya. Setiap diri terikat dengan berbagai bentuk ikatan dan hubungan, diantaranya hubungan emosional, sosial, ekonomi dan hubungan kemanusiaan lainnya. Maka demi mencapai kebutuhan tersebut adalah fitrah untuk selalu berusaha berbuat baik terhadap sesamanya. Islam sangat memahami hal tersebut, oleh sebab itu hubungan persaudaraan harus dilaksanakan dengan baik.
Hubungan persaudaraan sesama muslim mempunyai kewajiban untuk saling membantu, saling menghormati, menjenguk ketika sakit, mengantarkan sampai ke kuburan ketika meninggal dunia, saling mendoakan, larangan saling mencela, larangan saling menghasud dan lain sebagainya.
Semangat persaudaraan di antara sesama Muslim hendaknya didasari karena Allah semata, karena ia akan menjadi barometer yang baik untuk mengukur baik-buruknya suatu hubungan.
Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang bersaudara dengan seseorang karena Allah, niscaya Allah akan mengangkatnya ke suatu derajat di surga yang tidak bisa diperolehnya dengan sesuatu dariamalnya.” ( HR. Muslim).
Hubungan di antara cinta dan persaudaraan adalah hubungan yang sangat kuat. Maka setiap orang yang dipertalikan oleh Allah dengan hubungan persaudaraan niscaya ia mendapat hak untuk saling mencintai karena Allah.

B.  Tujuan Pembahasan
1.      Untuk memahami kandungan makna dari hadits-hadit tentang  perkembangan persaudaraan islam.
2.      Mengimplikasikan ajaran Rasulullah tenntang persaudaraan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERKEMBANGAN PERSAUDARAAN ISLAM
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى - أحمد
Telah menceritakan kepada kami Isma'il Telah menceritakan kepada kami Sa'id Al Jurairi dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khutbah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam ditengah-tengah hari tasyriq, beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu, ingat! Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam dan bagi orang Ajam atas orang Arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan ketakwaan.

Dilalatul Ibarah: Tidak ada kelebihan yang dimiliki oleh setiap orang kecuali dengan ketakwaan.
Dilalah Isyarahnya: Tidak ada perbedaan bagi manusia di hadapan Allah kecuali dengan ketakwaannya.
Dilalah Nash dari hadist ini yakni semua manusia di mata Allah memiliki kesamaan. Allah tidak membeda-bedakan hambanya dari jenis kelamin, warna kulit, maupun suku bangsa. Karena Allah hanya melihat manusia itu dari segi ketakwaannya saja. Seperti dalam penggalan surat Al-Hujuraat ayat 13:
 إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.”
Dengan adanya persamaan tersebut akan diakui kebhinekaan (pluralisme). Berbagai simbol yang merepresentasikan jenis kelamin,  suku, agama, strata, ekonomi, keragaman budaya, kelompok, dan lainnya, tak menjadi rintangan untuk membangun persatuan sebagai masyarakat yang majemuk.

قَالَ عَبْد اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ أَخْبَرَنَا سَيَّارٌ عَنْ خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْقَسْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَدِّهِ يَزِيدَ بْنِ أَسَدٍ أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ - أحمد
Abdullah berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada kami Hutsaim berkata; telah mengabarkan kepada kami Sayyar dari Khalid bin Abdullah Al Qasri dari Bapaknya sesungguhnya Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda kepada kakeknya, Yazid bin Asad, "Cintailah kepada manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu." (Ahmad)

Dilalatul Ibarah: Mencintai manusia sebagaimana mencintai diri sendiri.
Dilalatul Isyarah: Kita diseru untuk mencintai saudara sesama muslim atau tetangganya yang muslim tanpa ada keraguan sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri dan yang dimaksud mencintai disini adalah mencintaihal-hal yang baik atau hal yang mubah.
Dilalah Nash: Mencintai saudaranya dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi dirinya, misalnya tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain dan saling mengutamakan dan memperhatikan sesame dan selalu siap sedia berkorban untuk meringankan beban saudaranya.
Sampai dia mencintai dirinya sendiri seperti cintanya dia jika kebaikan juga dia peroleh. Maka, jika kita bahagia karena sesuatu hal, maka bahagiakanlah dia dengan hal itu. Jika kita tidak menyukai satu hal, maka jauhilah dia dari hal itu.
Hadits ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara sesama muslim. Baik berupa iri, dengki, dan lainnya.

حدثنا هناد حدثنا أبو معاوية عن ابن أبي ليلى وحدثنا سفيان بن وكيع حدثنا حميد بن عبد الرحمن الرواسي عن ابن أبي ليلى عن عطية عن أبي سعيد قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من لم يشكر الناس لم يشكر الله. وفي الباب عن ابي هريرة بن قيس و النعمان بن بشير. قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح - الترمذي
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari Ibnu Abu Laila (dalam riwayat lain). Dan telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Waki', telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman Ar Ruwasi dari Ibnu Abu Laila dari 'Athiyyah dari Abu Sa'id ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah." Hadits semakna juga diriwyakan dari Abu Hurairah, Al Asy'ats bin Qais dan An Nu'man bin Basyir. Abu Isa berkata; Ini adalah hadits hasan shahih”. (Turmudzi)

Dilalatul Ibaroh: Seseorang dikatakan belum bisa bersyukur kepada Allah jika ia tidak bisa bersyukur kepada manusia.
Dilalatul Isyarah: Seseorang dikatakan ia tidak bisa bersyukur kepada manusia adalah jika orang itu tidak dapat menjalin hubungan baik dan tidak dapat berterima kasih kepada sesama manusia.
Sedangkan dalam kehidupan inikita dianjurkan untuk melakukan hal itu karena hal itu merupakan suatu hal yang disukai oleh Allah dan merupakan suatu bentuk atau wujud rasa syukur kita kepada Allah. Jika seseorang tidak dapat melakukan hal itu maka ia belum bisa bersyukur kepada Allah.
Dilalatun Nash: Adanya rasa syukur berhubungan dengan sikap berterima kasih. Jika seseorang tidak bisa mengucapkan rasa terima kasihnya kepada orang lain yang telah membantunya disaat ia mengalami kesulitan, maka dapat dikatakan bahwa orang itu tidak dapat bersyukur terhadap sesama manusia.Karena pada dasarnya bentuk rasa terima kasih sesama manusia merupakan wujud dari rasa syukur manusia kepada manusia lain.Orang yang seperti itu termasuk orang yang tidak bisa bersyukur kepada Allah dan nikmat-Nya. Bersyukur terhadap ciptaan-Nya saja tidak bisa ia lakukan apalagi bersyukur terhadap Sang Pencipta.
Mengucapkan terima kasih (bersyukur) tidak hanya diucapkan dengan lisan saja, namun apa yang kita syukuri harus bisa dijalankan sesuai dengan peran dan fungsinya. Jika hal itu terwujud maka akan timbul rasa saling menghargai dan dihargai sehingga terciptanya keharmonisan.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ - مسلم
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id serta Ali bin Hujr semuanya dari Isma'il bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepada kami al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman dari bahayanya." (Muslim)

Dilalatul Ibaroh: Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman dari bahayanya.
Dilalatul Isyaroh: Apabila seseorang yang tidak bisa berbuat baik terhadap tetangganya berarti dia tidak memiliki iman yang sempurna seperti yang pernah disabdakan Nabi saw, dan Allah pun membencinya, sehingga menyebabkan dirinya tidak bisa masuk surga.
Dilalatul Nash: Tidak akan masuk surga, sebelum orang yang menyakiti tetangganya meminta maaf pada tetangga yang ia sakiti, sehingga tidak ada lagi dosa dengan manusia yang menghalanginya masuk surga.
Tidak akan masuk surga, orang yang mana tetangganya tidak aman dari bahaya yang diperbuat olehnya, baik melalui tangan atau lisannya. Jelaslah, bahwa Oleh karena itu, wajiblah kita berbuat baik pada tetangga, agar iman kita semakin sempurna. Berbuat baik bisa dengan berlaku dermawan padanya serta menyadari hak-hak tetangga kita.

حدثنا محمد بن أبي يعقوب الكرماني حدثنا حسان حدثنا يونس حدثنا محمد عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ - بخاري
Telah menceritakan kepada kami dari  Muhammad Bin Abi Ya’kub Al-Kurmani Dari Hasan Dari Yusuf , Muhammad bin Zuhri Anas bin Malik berkata” Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”. (Bukhari)

Dilalatul Ibaroh: Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.
Dilalatul Isyaroh: Barang siapa yang menyambung tali silaturahmi, maka rizkinya dan umurnya akan diberkahi dan dilapangkan oleh Allah swt.
Dilalatul Nash: Hadits di atas menunjukkan bahwa menyambung tali silaturahmi dapat melapangkan rizki, karena semakin banyak orang yang mengenal kita, maka semakin banyak pula jalan rizki pada kita. Menyambung silaturahmi juga bisa memanjangkan umur, karena setelah kita bertemu dengan saudara kita, tentunya kita saling mendoakan dengan mengucapkan salam, dan ketika akan berpisah, kita juga saling mendoakan agar bisa bertemu lagi di lain waktu. Memanjangkan umur juga bisa berarti umur kita diberkahi Allah swt.
Manyambung tali silaturahmi tidak sebatas dengan keluarga dekat saja, tapi juga bisa dengan saudara, teman, ataupun tetangga.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُ هُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ - بخاري
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari 'Atha` bin Yazid Al Laitsi dari Abu Ayyub Al Anshari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal bagi seorang laki-laki mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam, (jika bertemu) yang ini berpaling dan yang ini juga berpaling, dan sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam." (Bukhari)

Dilalatul Ibaroh: Tidak halal bagi seorang laki-laki yang mendiamkan saudaranya melebihi tiga malam. Dan jika bertemu, keduanya saling berpaling. Sebaik-baik dari keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam ketika bertemu dengan yang satunya.
Dilalatul Isyayroh: Rasul megharamkan seorang muslim yang saling mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam karena sebuah pertengkaran. Hendaknya ada salah satu dari mereka yang mendahului mengucapkan salam, agar perselisihan mereka tidak berlanjut, bahkan bertambah besar masalahnya.
Dilalatul Nash: Saling mencintai sesama muslim adalah salah satu cara menghindari perselisihan. Adapun jika terjadi perselisihan sesama saudara muslim, hendaknya saling mengucapkan salam dan saling maaf memaafkan, bukan saling mendiamkan dan tidak saling sapa. Apabila salah satu telah mengucapkan salam, maka ia terbebas dari dosa mendiamkan saudaranya itu. Apabila salah satunya tidak mau menjawab salam dari saudaranya, maka ia akan memikul dosanya sendirian.

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ الرَّبِيعِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْأَشْعَثِ بْنِ سُلَيْمٍ قَالَ سَمِعْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ سُوَيْدٍ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ فَذَكَرَ عِيَادَةَ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعَ الْجَنَائِزِ وَتَشْمِيتَ الْعَاطِسِ وَرَدَّ السَّلَامِ وَنَصْرَ الْمَظْلُومِ وَإِجَابَةَ الدَّاعِي وَإِبْرَارَ الْمُقْسِمِ - بخاري
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Ar Rabi' telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al Asy'ats bin Sulaim berkata, aku mendengar Mu'awiyah bin Suwaid aku mendengar Al Bara' bin 'Azib radliallahu 'anhuma berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara pula. Maka Beliau menyebutkan: "Menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, mendoakan orang yang bersin, membalas salam, menolong orang yang dizholimi, memunuhi undangan dan berbuat adil dalam pembagian". (Bukhari)

Dilalatul Ibaroh: Nabi memerintahkan dalam tujuh perkara dan mencegah pada tujuh perkara. tujuh perkara tersebut diantaranya menjenguk orang yang sakit, mengantar jenazah, mendo’akan orang yang bersin, menjawab salam, menolong orang yang dianiaya, memenuhi undangan, bersikap adil.
Dilalatul Isyaroh: Sebagai umat muslim hendaknya kita mempererat ukhuwah islamiyah. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menyambung, mempererat dan menjaga tali persaudaraan Islam seperti yang telah disebutkan oleh Nabi saw.
Seorang muslim sejati mengunjungi orang sakit, menganggap hal itu sebagai kewajiban Islam dan bukan sebagai suatu pilihan.Dalam masyarakat Islam, orang yang menderita sakit merasa bahwa dia tidak sendirian pada saat memerlukan bantuan; empati dan do’a orang-orang di sekitarnya melindunginya dan meringankan penderitaannya.[1] Selain dapat mempererat tali persaudaraan di dalam Islam, saling kunjung-mengunjungi terutama kepada orang sakit adalah salah satu cara yang akan membawa kita untuk memperoleh cinta dari Allah SWT.
Begitu juga dengan mengiringi jenazah, Islam mengajarkan kepada umatnya agar mengikuti penguburan sampai si mayit di kuburkan merupakan cara untuk memperkuat hubungan persaudaraan dan memperdalam rasa kesetiaan di antara mereka. Melalui partisipasi mereka, keluarga yang menerima musibah kematian akan memperoleh ketenangan, merasa terhibur dan tertolong untuk menghadapi kehilangan dengan sabar.[2]
Kata-kata yang ditekankan Nabi SAW untuk diucapkan ketika seseorang bersin mempertinggi tujuan puncak kata-kata tersebut, yakni untuk menyebut dan memuji Allah, dan memperkuat ikatan persaudaraan dan persahabatan di antara sesama muslim.[3] Inilah ajaran Nabi SAW menurut hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari:
jika salah seorang di antara kamu bersin, ucapkanlah: “alhamdulillah”, dan hendaknya saudara atau temannya mengucapkan “yarhamukallah”. Dan jika temannya mengucapkan “yarhamukallah”, hendaknya yang bersin mengucapkan “yahdikumullah wa yushlih balakum.” (HR. Bukhari)
Salah satu aspek perilaku sosisal muslim adalah membiasakan ucapan salam. Nabi SAW menempatkan  salam pada tempat yang istimewa dan mendorong umat Islam untuk mengucapkan salam itu dalam banyak hadis, karena beliau memahami pengaruhnya dalam memperluas cinta, memperkuat ikatan cinta, keakraban dan persahabatan antara individu-individu dan kelompok-kelompok. Beliau menilai salam sebagai suatu yang akan membimbing kepada cinta, dan cinta akan membimbing kepada iman, dan iman akan mengantarkannya ke surga.[4]
Nabi SAW tidak hanya melarang kezaliman sampai pada batas bahwa perbuatan itu tak terbayangkan dalam benak seorang muslim sejati, bahkan beliau juga melarang umat Islam membiarkan saudaranya teraniaya, karena dalam tindakan membiarkan saudaranya itu terdapat tindakan aniaya yang hebat. Maka nabi berupaya mendorong seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan saudaranya dan mengatasi kesulitan-kesulitannya serta menutupi kesalahannya, beliau menegaskan bahwa kegagalan untuk melakukan hal-hal kebaikan itu merupakan perbuatan aniaya juga dan merupakan penolakan terhadap tali persahabatan yang mengikat seorang muslim dan saudaranya.[5]
Seorang muslim yang dibimbing secara benar, ia akan adil dalam menetapkan keputusan. Dia tidak pernah menyimpang dari kebenaran, apapun keadaannya. Maka, muslim sejati adalah jujur dan adil di dalam kata dan perbuatan, karena kebenaran dan keadilan merupakan bagian terdahulu dari warisannya, dan keadilan merupakan bagian suci keimanannya.[6]

حدثنا قتيبة حدثنا أبو عوانة عن الأعمش عن ابي صالح عن ابي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الآخرة وَمَنْ سَتَرَ عَلى مُسْلِم سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ - الترمذي
Rasulullah saw bersabda: barang siapa yang dapat menghilangkan kesusahan seorang mukmin di dunia, niscaya Allah akan menghilangkan kesusahannya kelak di akhiratnya, dan barang siapa yang merahasiakan keburukan  orang Islam, niscaya Allah akan menutup segala keburukannya di dunia dan di akhiratnya; Dan Allah akan selalu menolong hambanya, selama hambanya itu senantiasa memberikan bantuan kepada saudaranya.” (Turmudzi)

Dilalatul Ibaroh: Barang siapa menolong kesusahan sesama Mukmin dari kesusahan duniawi maka Allah akan menolong kesusahan orang tersebut dari kesusahan akhirat. Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan menutupi aibnya didunia dan akhirat.Allah menolong seorang hamba selagi hamba tersebut menolong saudranya sesama muslim.
Dilalatul Isyaroh: Sebagai umat muslim dianjurkan agar senantiasa tolong menolong serta menutupi aib saudaranya sesama muslim 
Seorang muslim sejati adalah dia menjaga rahasia atau aib dan tidak membuka segala yang dipercayakan kepadanya. Menjaga rahasia merupakan tanda kekuatan karakter seseorang. Ini merupakan sikap laki-laki dan perempuan terbaik dalam Islam, orang yang benar-benar dibimbing oleh ajaran-ajaran Islam. Ini merupakan salah satu karakteristik mereka yang terbaik dan paling menonjol. Menceritakan rahasia merupakan salah satu kebiasaaan terburuk yang biasa dimiliki orang karena tidak ada sesuatu yang bisa dibicarakan dalam kehidupan ini.[7]
Akan halnya menyebut-nyebut berbagai kesalahan dan kekeliruannya, dan berbagai keburukan keluarganya, maka yang demikian itu adalah fitnah dan haram hukumnya atas setiap orang muslim. Ada dua hal yang semestinya memalingkan dirimu darinya.
Pertama, periksalah kondisimu sendiri dan jika engkau menemukan di sana satu hal yang tercela, maka bersikaplah toleran mengenai apa yang engkau lihat dalam diri saudaramu itu. Mungkin saja dia tidak sanggup mengendalikan dirinya dalam sifat khusus itu, sebagaimana halnya engkau tidak kuasa menghadapi kesulitanmu sendiri.
Kedua, engkau tahu bahwa seandainya engkau mencari-cari seseorang yang bebas dari segala sifat tercela, maka engkau bakal kelelahan menjelajahi seluruh makhluk tanpa pernah menjumpai seorang sahabat pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang tidak memiliki sifat baik dan buruk, dan jika kebaikan lebih banyak jumlahnya dari keburukan, maka itu yang paling bisa diharapkan darinya.[8]
Dilalatul Nash: Tolong menolong hanya dalam hal kebaikan saja dan bukan hal keburukan. Seperti menjenguk tetangga yang sedang sakit, menolong teman yang sedang kesusahan, atau lain sebagainya.

حدثنا خلاد بن يحيى قال حدثنا سفيان عن أبي بردة بن عبدا الله بن أبي بردة عن جده عن أبي موسى عن انبي صلى الله عليه و سلم  قال إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشبك أصابعه - بخاري
“Nabi saw bersabda: sesungguhnya orang mukmin yang satu dengan yang lain seperti bangunan. Yang sebagian menguatkan sebagian yang lain. Dan Nabi menggabungkan jari-jari tangannya”. (Bukhari)

Dilalatul Ibaroh: Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian yang lain.
Dilalatul Isyaroh: Hakikat hubungan antara sesama kaum mu’min dalam hal kasih sayang, timbul akibat persaudaraan seiman bukan karena lainya, sehingga kebersatuannya itu diibaratkan hubugan antara anggota badan, jika salah satu anggota badan sakit maka yang lainnya pun merasakan sakit.
DilalatunNash: Hakikat orang mu’min jika salah seorang dari mereka terkena musibah maka yang lain juga merasakan, oleh karena itu mereka berusaha menolong agar tidak terkena musibah dan bencana, bahkan dengan adanya sikap tolong-menolong akan dapat mendatangkan kebaikan.
Ini menunjukkan, bahwa orang mukmin terganggu dengan apa saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang membuat saudaranya sedih.
Orang mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang membuat gembira saudaranya yang mukmin dan menginginkan kebaikan untuk saudaranya yang mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri.
Sifat persaudaraan sebagai manifestasi ketaatan kepada Allah akan melahirkan sifat lemah lembut, kasih sayang, saling mencintai, tolong menolong.
Persaudaraan sebagai pilar masyarakat  sesungguhnya bersifat sebagai perekat pilar-pilar sosial  lainnya seperti unsur persamaan, kemerdekaan, persatuan dan musyawarah.[9]

حدثنا أحمد بن حنبل ثنا الوليد بن مسلم ثنا ثور بن يزيد قال حدثني خالد بن معدان قال حدثني عبد الرحمن بن عمرو السلمي وحجر بن حجر قالا أتينا العرباض بن سارية وهو ممن نزل فيه (ولا على الذين إذا ما أتوك لتحملهم قلت لا أجد ما أحملكم عليه) فسلمنا وقلنا أتيناك زائرين وعائدين ومقتبسين فقال العرباض صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب فقال قائل يارسول الله كأن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا؟ فقال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة - داود
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim berkata, telah menceritakan kepada kami Tsaur bin Yazid ia berkata; telah menceritakan kepadaku Khalid bin Ma'dan ia berkata; telah menceritakan kepadaku 'Abdurrahman bin Amru As Sulami dan Hujr bin Hujr keduanya berkata, "Kami mendatangi Irbadh bin Sariyah, dan ia adalah termasuk seseorang yang turun kepadanya ayat: '(dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, suapaya kami memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata, "Aku tidak memperoleh kendaraan orang yang membawamu)’-Qs. At Taubah: 92- kami mengucapkan salam kepadanya dan berkata, "Kami datang kepadamu untuk ziarah, duduk-duduk mendengar sesuatu yang berharga darimu." Irbadh berkata, "Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat." (Abu Daud)
Dilalatul Ibarah: Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam shalat bersama kami, beliau lantas menghadap ke arah kami dan memberikan sebuah nasihat yang sangat menyentuh yang membuat mata menangis dan hati bergetar. Lalu seseorang berkata, "Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasihat untuk perpisahan! Lalu apa yang engkau washiatkan kepada kami?" Beliau mengatakan: "Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, senantiasa taat dan mendengar meskipun yang memerintah adalah seorang budak habsyi yang hitam. Sesungguhnya orang-orang yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.
Dilalatul Isyarah: Seperti yang dilakukan Rasulullah saw pada hadits di atas, kita harus saling menasehati terhadap sesama muslim. Jika kita melihat seseorang berbuat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, maka hendaknya kita mengingatkan dia. Apabila kita yang diingatkan oleh orang lain, maka kita harus menerima dengan baik dan berterima kasih padanya, karena ia telah menyelamatkan kita dari perbuatan menyimpang. Selain itu, kita juga harus bisa mengajak terhadap kebaikan, karena itu adalah perintah Allah swt.
Dilalatul Nash: Seorang muslim sejati selalu aktif dan bersemangat untuk berdakwah. Dia tidak menunggu datangnya keadaan atau peristiwa tertentu untuk mengajak orang lain melakukan kebaikan, tetapi dia mengambil inisiatif sendiri untuk mengajak orang kepada kebenaran Islam.[10] Jika ajakan kita berhasil dan orang yang kita ajak benar-benar melakukan ajakan kita yang baik, maka kita akan mendapat pahala.

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ ثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ ثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ شَقِيقٍ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ - ابن ماجه
Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, telah menceritakan kepada kami  Isa bin Yunus, Telah menceritakan kepada kami A’masy, dari Syaqiq, dari Ibni Mas’ud berkata, Rasulullah saw bersabda: Mencela orang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Ibnu Majah)

Dilalatul Ibarah: Mencela orang muslim adalah suatu kefasikan, dan membunuhnya adalah suatu kekufuran.
Dilalatul Isyarah: Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah di atas menjelaskan tentang larangan mencela orang muslim, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan fasik. Mencela orang tidak harus melalui lisan, terkadang bisa juga melalui tulisan.
Dilalatul Nash: Seorang muslim sejati juga harus menghindari tindakan melukai orang lain dan merendahkan mereka, karena sikap senang terhadap derita (dengki) orang lain adalah sikap yang keji, melukai, dilarang dan diperingatkan Islam.[11] Maksud dari melukai adalah baik melukai perasaan, yaitu dengan mencela, ataupun melukai fisik. Karena dengan perbuatan mencela itu, bisa menjadi awal dari pertengkaran yang akhirnya bisa sampai saling membunuh.
Awal dari celaan dan pembunuhan adalah rasa benci, maka hendaklah kita membuang jauh-jauh rasa benci terhadap orang lain dan menumbuhkan rasa cinta terhadap sesama muslim.







 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa:
ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkanoleh Islam”.
Di dalam kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
a) Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.
b) Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
c) Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
d) Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda,
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, secara garis besar ukhuwah dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ukhuwah Islamiyah yang bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam.
b) Ukhuwah Jahiliyah yang bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal: ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).
Manfaat ukhuwah Islamiyah:
a) Merasakan lezatnya iman.
b) Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
c) Mendapatkan tempat khusus di surga.
Untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah antara lain: Melaksanakan proses Ta’aruf, Melaksanakan proses Tafahum, Melakukan At-Ta’aawun, dan Melaksanakan proses Takaful.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Ghazali, Abu Hamid. 1994. Menjalin Persaudaraan. Bandung: Al-Bayan
al-Hasyimi, Muhammad Ali .Muslim Ideal. Yogyakarta: Mitra Pustakahttp://kuncommunity.blogspot.com/2011/12/makalah-hadisadist.html.
 




[1]Muhammad Ali al-Hasyimi, Muslim Ideal, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 364.
[2]Ibid., h. 372.
[3]Ibid., h. 460.
[4]Ibid., h. 443-444.
[5]Ibid., h. 387.
[6]Ibid., h. 385.
[7]Ibid., h. 305-307.
[8]Abu Hamid Al-Ghazali, Menjalin Persaudaraan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), h. 23-24.

[9]Kun Community, “hadist pengembangan persaudaraan islam, di akses pada tanggal 2 Desember 2012 dalam http://kuncommunity.blogspot.com/2011/12/makalah-hadisadist.html.

[10] Muhammad Ali al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001),       h. 336.
[11] Ibid.,  h. 389.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar