Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah
BAB 1
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat abad pertengahan dimulai
kira-kira abad ke-5 sampai abad ke-17, khususnya pada filsafat averrous ini
muncul karena gerakan dan aliran Averroisme sejati yang mana
merupakan lompatan besar dalam pemikiran dan semangat keilmuan bangsa Eropa,
khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat.Sebab sebelumnya bangsa Eropa
mengalami kekosonggan dari ilmu pengetahuan, hingga berfikir sempit dan tidak
menghargai akal, sampai berpedoman bahwa kebenaran hanyalah pada Gereja
Kristen.
Filsafat keislaman ini bermulai dari filsafat Avempace
hingga filsafat Avecenna, namun dalam makalah ini akan membahas tentang seluk
beluk pemikiran Averrous, karya-karya yang beliau punya hingga terjadi tiga
persoalan antara Imam Al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Ibn Rusyd ini bisa dikatakan
sebagai komentator dari pikiran Aristoteles. Pembahasan selanjutnya yang lebih
detail akan dibahas dibawah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Siapakah
Filsafat Averrous itu?
2. Jelaskan
karya-karya Filsafat Averrous?
3. Bagaimana
pemikiran Filsafat Averrous itu?
C.
Tujuan
1. Menjelaskan
biografi tokoh Filsafat Averrous.
2. Menjelaskan
karya-karya yang dimiliki oleh Filsafat Averrous.
3. Mengembangkan
satu persatu pemikiran Filsafat Averrous.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu
Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, ia sering dipanggil Ibn
Rusyd dan mempunyai gelar Abu Walid. Ibn Rusyd lahir di Cordova, Ibukota
Andalusia pada 520 H (1126 M)dari keluarga yang alim dalam ilmu fiqh dan dari
kalangan keluarga besar yang terkenal dengan mempunyai kedudukan tinggi di
Andalusia (Spanyol). Ibn Rusyd terkenal di Barat dengan sebutan: Averroes, Aven
Rois, Abenruth, Liveroys, Benroyst, membucis, Ibn Rosdin, Manvitius, Ben Raxid,
Ben Reschod, dll.[1]Ayahnya
yang bernama Abu Al-Qosimmerupakan seorang hakim pemerintahan Andalus, ayahnya
wafat pada bulan Ramadhan 563 H sewaktu Ibn Rusyd berusia 23 tahun.Kakeknya
yang bernama Abu Walied lahir pada abad pertengahan ke-5 di Cordova.Abu Walied
juga pernah menjadi orang yang ahli Fiqh bermazhab Maliki dan ahli ilmu hukum.
Sejak kecil Ibn Rusyd sudah dididik
ayahnya dirumah untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, diantaranya: Ilmu Fiqh,
Ushul, bahasa, kalam, adab. Pada usia 18 tahun Ibn Rusyd pergi ke Maroko dan belajar pada Ibn Thufail,
dan dalam mempelajari ilmu tauhid tersebut ia dapat menghafal buku Al-Muwattha,
dalam ilmu Tauhid ia berpegang pada paham Asy’ariyah dengan Ibn Rusyd
mempelajari ilmu tersebut maka dapat membukakan jalan baginya untuk belajar
ilmu filsafat. Ibn Rusyd juga mempelajari ilmu kedokteran pada Abu Ja’far Harun
dan Abu Marwan ibn Jarbun al-Bansani, sedangkan logika, filsafat dan teologi diperoleh
dari Ibn Thufail. Ia juga mempelajari sastra arab, matematika, fisika dan
astronomi.
Ibn Rusyd terkenal sebagai orang
yang rajin membaca dan belajar, semenjak kecil sampai tua ia tidak
berhenti-hentinya membaca dan menyelidiki
suatu hal. Kecuali hanya dua malam beliau berhenti belajar, yakni malam
meninggal ayahnya dan malam perkawinanya.Kepandaiannya dalam berbagai ilmu
tersebut dapat dikatakan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang yang genius dan gigih
dalam menggembangkan ilmu-ilmunya. Prestasi-prestasi Ibn Rusyd begitu banyak
diantaranya: sebagai guru besar dan pemimpin perguruan, sebagai hakim
pengadilan dan mahkamah agung, sebagai dokter filosof, sebagai penasehat
politik dan sebagai pengarang besar.
Pada
mulanya Ibn Rusyd mendapat kedudukan yang penting dari Khalifah Abu Yusuf
Al-Mansur (masa kekuasaanya 1148-1194 M) sehingga ia pada waktu itu Ibn Rusyd
menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya, dan tidak
ada kata-kata kecuali kata-katanya. Akan tetapi, keadaan tersebut berubah
karena iadipersona-nongratakan oleh Al-Mansur dan dikurung di suatu kampung
Yahudi bernama Alisannah sebagai akibat fitnahan dan tuduhan telah keluar dari
Islam yang dilancarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqaha
masanya.[2]Beberapa
orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansur tentang kebersihan pada diri Ibn
Rusyd dari fitnahan dan tuduhan yang diberikan Ibn Rusyd.Tidak lama kemudian
fitnah dan tuduhan tersebut dibebaskan oleh pemuka kota Saville.
Akhirnya Ibn Rusyd kembali ke
Maraques, Maroko wilayah paling barat dari Afrika Utara, tetapi tidak lama
kemudian ian wafat di kota tersebut tepatnya pada hari Kamis 9 Safar 595 H (10
Desember 1198 M) pada usia 75 tahun.[3]Setelah
tiga bulan berlalu jenazah Ibn Rusyd dipindahkan ke Cordova untuk dikebumikan
ditempat pengkuburan keluarganya.Konon, pada waktu pemindahan jenazahnya
diangkut dua ekor keledai, seekor keledai membawa jenazah dan seekor lagi
membawa tumpukan kitab-kitab dan sejumlah karyanya.[4]
B.
Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd terkenal menulis dalam
banyak bidang.Karya Ibn Rusyd yang paling besar berpengaruh pada dunia Barat
yang dikenal dengan Averroism.Dalam
ilmu filsafat,Ibn Rusyd mencapai puncak karena pemikirannya berpengaruh pada
ahli-ahli pikir Eropa.Atas dasar tersebut beliau diberi gelar sebagai
komentator terhadap filsafat Aristoteles dan Abu Yakub juga menyuruh untuk
mengulas dan mengomentari buku-buku filsafat karangan Aristoteles. Maka Ibn
Rusyd bermulai melaksanakan kewajibannya untuk menafsirkan, menyimpulkan
buku-buku Aristoteles yang mana dapat menghasilkan tiga buku tafsir yaitu:
Al-Ashghar, Al-Ausath dan Al-Akbar. Meskipun Ibn Rusyd terpengaruh dengan pikiran
Aristoteles, bukan berarti ia sangat paham dalam pikiran Aristoteles. Karena
ibn Rusyd sendiri tidak begitu memahami bahasa Yunani yang mana pada
pikiran-pikiran Aristoteles ditulis dalam bahasa tersebut.Namun Ibn Rusyd dapat
memahami pikiran Aristoteles setelah ada bantuan terjemahan pikiran
Aristoteles.Lalu Ibn Rusyd membandingkan antara terjemahan-terjemahan tersebut
hingga menemukan pemahaman yang lebih kuat. Ibn Rusyd tidak menerima begitu
saja pikiran-pikiran buku terjemahan, tetapi ia juga menerima yang setuju dan
menolak yang sebaliknya.[5]
Diantara karangan-karangannya dalam soal filsafat ialah :
a. Tahafutul-Tahafut.
b. Risalah
fi Ta’alluqi ‘Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bil-Juziyat.
c. Tafsiru
ma ba’dath-Thabiat.
d. Fashlul-maqal
fi ma Bainal-himaah wasy-Syirah Minal-Ittishal.
e. Al-Kasyfu
‘an Manahjil ‘Adilag fi ‘aqaidi Ahli Millah.
f. Naqdu
Nadhrariyat Ibnu Sina ‘Anil-Mukmin Lidzatihi wal-Mukmin Ligharihi.
Buku-bukunya yang lebih penting dan
yang sampai pada pembaca ada empat yaitu:
1. Bidyatul-Mujtahid
(ilmu fiqh).
2. Faslul-Maqal
fi ma baina al-Hikmati was (ilmu kalam).
3. Manahij
al-Adillah fi Aqaaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam)
4. Tahafut
al-Tahafut, suatu buku yang terkenal dalam study filsafat dan ilmu kalam yang
dimaksudkan untuk membela filsafat dari serangan Al-Ghazali dalm bukunya
Tahafut al-Falasifah.
C.
Pemikiran
Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd terkenal sebagai
“Pengulas Aristoteles” (Comentaror) dan mendapat gelar tersebut dari Dante
(1265 – 1321) dalam bukunya Komedi Ketuhanan.Gelar tersebut memang tepat untuk
Ibn Rusyd karena pikiran-pikirannya mencerminkan bahwa usahanya yang keras
untuk mengembalikan pikiran Aristoteles pada kemurnian yang sempurna, setelah
bercampur dengan unsur Platonisme yang cukup memburuk.Selama hidupnya beliau
berkeyakinan bahwa filsafat Aristoteleslah yang mempunyai pengetahuan tertinggi
yang dapat dicapai oleh manusia. Banyak pikiran-pikiran Ibn Rusyd yang menonjol
dan banyak dikaji para filosof, pemikiran-pemikiran tersebut diantaranya ialah:
1.
Metafisika
Metafisika merupakan suatu ilmu
yang membahas sesuatu yang berada diluar alam empiris dan bagian terpenting
tersebut adalah “Ilmu Pengetahuan”.Teori Aristoteles menyebutkan bahwa Tuhan
sebagai “Penggerak yang tidak bergerak”, artinya bahwa sebab pertama bagi gerak
seluruh alam wujud.Ibn Rusyd sebagai komentator pendapat Aristoteles tentu
tidak terlepas dari pengaruh Aristoteles tersebut.Menurutnya Tuhan adalah
penggerak yang tidak bergerak, pada dasarnya pemikiran itu untuk mencapai
eksistensi Tuhan dan pengetahuan tentang sifat-sifat-Nya.Oleh karena itu dalam
pembahasan metafisika tentang filsafat ketuhanan Ibn Rusyd berkisar tentang
dalil wujud Allah dan sifat-sifat Allah.
A. Dalil
Wujud Allah
Ibn Rusyd tidak menolak tentang
dalil-dalil yang dikemukakan beberapa golongan sebelumya, karena masing-masing
golongan mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda tentang Tuhan,
dari golongan yang berbeda tersebut banyak hukum-hukum syara’ dari arti
lahirnya kepada takwilan yang berbeda dan disesuaikan dengan
kepercayaan.Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaan itu merupakan syari’at
yang harus dianut oleh semua orang, dan barang siapa yang menyimpang darinya
dianggap kafir atau bid’ah.[6]Pendapat
dari golongan semacam itulah yang menurut Ibn Rusyd tidak sesuai dengan apa
yang ditentukan oleh syara’. Setelah itu Ibn Rusyd meneliti berbagai golongan
yang timbul dalam islam, menurut pendapatnya yang paling terkenal ada empat
golongan, diantaranya:
a. Golongan
Asy’ ariyah mempunyai dalil bahwa adanya Allah berdasarkan pada baharunya alam.
Alam ini baharu karena tersusun dari bagian-bagian yang tidak berbagi dan
berubah. Apabila memperkirakan baharunya alam maka harus ada pembuat baharu,
untuk itu membutuhkan pembuat yang lain.
b. Golongan
Hasywiyah hanya mendasarkan diri dengan dalil wahyu sebagai dalil untuk
mengetahui Tuhan dengan pendengaran bukan dengan akal. Iman bagi golongan ini
hanya mendengarkan apa yang dikatakan syara’ tanpa takwillannya.
c. Golongan
Mu’tazilah ini tidak dapat diperjelaskan oleh Ibn Rusyd karena tidak menemukan
metode-metode yang dipakai kelompok ini. Namun ia hanya memduga bahwa kelompok
tersebut tidak ada bedanya dengan kelompok Asy’ariyah.
d. Golongan
Sufiyyah atau Batiniyyah berdalil pada pengalaman rohani sebagai anugrah dari
Allah kepada hambanya yang mana telah membersihkan jiwanya dari sentuhan hawa
nafsu. Pengetahuan tentang Tuhan dan wujudnya dapat diterima olejh jiwa ketika
pikirannya sudah terlepas dari hambatan.
Karena
tidak sesuai dengan petinjuk Al-Qur’an oleh karena itu Ibn Rusyd mengemukakan
tiga dalil yang dapat dipandangoleh orang awam dan para filosof.
1. Dalil
‘Inayah (Pemeliharaan)
Apabila alam ini diperhatikan maka
dapat diketahui bahwa didalamnya sesuai dengan kehidupan manusia dan
makhluk-makhluknya, dari persesuaian tersebut bukan terjadi secara kebetulaln
begitu saja.Namun menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang
berdasarkan atas ilmu dan kebijaksanaan sebagaimana telah ditunjukan oleh ilmu
pengetahuan modern.
Dalil ‘inayah tersebut mengajak
seseorang untuk memperbanyak penyelidikan dan menyingkapi rahasia-rahasia alam,
bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan.
2. Dalil
Ikhtira’ (Penciptaan)
Dalil ini berdasarkan pada fenomena
yang ada, bahwa hidup, mati, berkembang dan berbuah itu semua tidak terjadi
secara kebetulan tetapi menunjukkan adanya pencipta yang menghendaki agar
makhluk-Nya lebih tinggi dari pada yang lain. Karena itu untuk mengetahui Tuhan
dengan benar maka wajib mengetahui hakikat segala sesuatu dialam ini agar dapat
mengetahui hakiki semua realitas.
3. Dalil
Gerak
Dalil ini berasal dari
Aristoteles dan Ibn Rusyd sendiri memandang sebagai dalil yang menyakinkan
tentang adanya Allah.Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam
suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah.Ibn Rusyd tidak mengikuti pemikiran
Aristoteles karena Aristoteles menyatakan bahwa benda-benda adalah
qadim.Menurut Ibn Rusyd benda-benda langit bergerak beserta geraknya yang
dijadikan oleh Tuhan dari tiada dan bukan dalam zaman, karena zaman tidak
mungkin mendahului wujud perkara yang bergerak.Jadi gerakan menghendaki adanya
penggerak pertama.
B.
Sifat-sifat
Allah
Pemikiran Ibn Rusyd tentang
sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam ghaib dan realitas, maka untuk
mengenal sifat-sifat Allah diperlukan dua cara yang dapat ditempuh yakni dengan
Tasybih yang menetapkan beberapa sifat positif kepada Allah yang dipandang
sebagai kesempurnaan bagi makhluk-Nya, yang kedua dengan cara Tanzih
(pengkudusan) yakni dengan mengakui adanya perbedaan Allah dengan makhluk-Nya
dari sisi kekurangan manusia. Pendapat Ibn Rusyd lebih condong pada paham
Mu’tazilah dalm masalah hubungan dzat dan sifat Allah, karena sifat-sifat Allah
adalah suatu tunggal dengan Dzat-Nya Maha Agung.
2.
Kosmologi
Pemikiran Ibn Rusyd tentang akal
lebih condong pada teori Aristoteles yang sangat radikal.Alam dan seluruh benda
yang ada di alam bersifat partial dan tersusun dari dua elemen yang saling
berlawanan, yakni materi dan bentuk.Materi ialah sesuatu yang dari-Nya ada,
sedangkan bentuk sesuatu yang dengan-Nya menjadi ada setelah tidak ada.Tentang
permasalahan qodimnya alam ini ada dua pendapat bahwa alam ini qadim atau
baharu.Menurut Ibn Rusyd bahwa alam ini eksistensinya dari sesuatu yakni Fa’il
(yang membuat).Ibn Ruysd tidak membenarkan pendapat para ulama bahwa Tuhan
menciptakan alam dari tiada menjadi ada, karena menurut beliau ada dua zat
(perkara) yang azali yakni Tuhan dan alam.[7]Keazalian
alam dan Tuhan berbeda karena Tuhan sebagai pencipta atau penggerak. Tuhan
adalah penggerak alam pertama yang tidak ikut bergerak, sedang alam tidak
mungkin akan bergerak kalau tidak ada yang menggerakkan. Jadi alam berkedudukan
sebagai sesuatu yang digerakkan.
3.
Pengetahuan
tentang Akal
Menurut Ibn Rusyd akal sebagai
penghasil pengetahuan yang bersifat Universal, yang mempunyai tindakan untuk
menyerap gagasan, konsep yang bersifat universal dan hakiki.[8]Akal
mempunyai dua sifat diantaranya yakni akal reseptif adalah akal fikiran yang
berkuasa dalam kehidupan sehari-hari pada manusia.Sifat kedua yaitu sifat
teoritis disebut dengan akal aktif karena akal yang menjadi sumber dari segala
akal manusia yang bersifat satu dan universal. Menurut Ibn Rusyd akal
memungkinkan baru ketika manusia
berhubungan dengan suatu bentuk materi atau tubuh seseorang. Contohnya
ketika seseorang meninggal dunia maka akallah yang memungkinkan sudah tidak ada
lagi. Dengan kata lain akal yang dipunyai orang tersebut tidak abadi, tetapi
yang abadi adalah akal yang bersifat universal.
4.
Tiga
Masalah Ibn Rusyd dengan Al-Ghazali
1. Ilmu
Allah bersifat Kulli (Universal)
Pendapat filosof mengenai ilmu
Tuhan yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui zat-Nya semata-mata karena tidak
mengetahui peristiwa-peristiwa kecil dalam alam.Ibn Sina mengatakan bahwa
fenominal dan parsial tersebut bukanlah diketahui oleh Allah, tetapi dapat
diketahui dengan ilmu kulli. Apabila diketahui sebab-sebabnya maka Allah akan mengetahui
segala akibat yang timbul darinya secara tidak langsung. Sanggahan dari
Al-Ghazali bahwa menurutnya tidak mesti timbulnya perubahan pada Allah karena
hal-hal yang diketahui-Nya karena ilmu-Nya satu, baik sebelum hal itu
dijadikan, atau dalam hal ia dijadikan maupun setelah dijadikan.[9]
Dengan adanya perubahan pada Allah karena ilmu-Nya terhadap yang parsial, maka
tidak ada kemungkinan akan terjadi. Perubahan hanya terjadi pada sasaran atau
obyek yang diketahui sedangkan ilmunya tidak akan berubah.
Ibn Rusyd keberatan dengan
sanggahan tersebut, ia berkata bahwa para filosof telah menarik garis pemisah
antara ilmu Tuhan dan ilmu manusia dengan perbedaan yang esensial. Ilmu manusia
merupakan akibat dari suatu kejadian yang dapat diketahui dan pengetahuannya
itu berubah sejalan dengan berubahnya obyek. Sedangkan ilmu Tuhan merupakan
sebab bagi adanya sesuatu, yaitu bahwa sesuatu itu tidak akan terjadi sekiranya
Tuhan tidak mengetahui sejak azali.
2. Kekadiman
Alam
Pendapat filosof, alam ini qodim dari
segi zaman karena allam ini selalu ada bersama-sama wujudnya Tuhan. Memang dari
segi zat dan tingkatan lebih dahulu Tuhan daripada alam, sebab kalau sekiranya
Tuhan tidak ada maka tentu alampun juga
tidak ada. Al-Ghazali menyanggah dengan pendapatnya bahwa alam ini baharu,
dijadikan Allah pada zaman tertentu dari tidak ada dan kerena iradah-Nya yang
memungkinkan untuk membedakan sesuatu dari yang lainnya yang mana kehendak
Tuhan adalah mutlak.Sedangkan Tuhan lebih dahulu dari segi zaman, maksudnya bahwa
Tuhan sudah ada sendirian sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada
bersama-sama dengan alam.
Menurut Ibn Rusyd ada dua hal yang
azali yakni Tuhan dan alam.Namun keazaliannya berbeda karena Tuhan lebih utama
ada.Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya maka hal itu termasuk
baru mesti ada yang menjadikan dan yang menjadikan itu harus ada pula yang
menjadikan.
3. Kebangkitan
di Akhirat
Menurut filosof, alam akhirat adala
alam kerohanian dan lebih tinggi nilainya disbanding dengan alam material.Maka
kelak di alam akhirat yang dibangkitkan adalah roh (jiwa) saja, bukan badan
atau jasad. Karena seandainya badan ikut dibangkitkan kembali, maka akan
menimbulkan tidak lebih dari tiga kemungkinan, sebagai berikut:[10]
a. Manusia
terdiri atas badan kehidupan, sedangkan jiwa berdiri sendiri sebagai pengatur
badan tetapi tidak ada wujudnya.
b. Jika
manusia tetap berwujud sesudah mati, tetapi tidak lama kemudian jiwa ini
dikembalikan kepada yang pertama dengan anggota itu sendiri (tanpa mengalami
pengganti).
c. Jiwa
manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggota lainnya
yang semula yang dikembalikan ialah manusianya sebab badannya tidak penting,
sedangkan manusia karena jiwanya bukan karena badannya.
Sanggahan Al-Ghazali lebih banyak
ditujukan kepada kemungkinan ketiga yang dikemukakan oleh filosofi bahwasannya
jiwa manusia tetap wujud sesudah mati (berpisah dengan badan) karena ia
merupakan substansi yang berdiri sendiri. Manusia disebut manusia karena
jiwanya, bukan karena badanya. Sebab dengan kembalinya badan tersebut maka jiwa
dapat merasakan rasa sakit dan lezatnya jasmani dan dengan ini maka terjadi
kebangkitan kembali,
Kebangkitan di akhirat menurut Ibn
Rusyd menanganalogikan antara tidur dan mati dapat dipergunakan untuk
menunjukkan bahwa jiwa badan dapat dipisahkan serta membuktikan bahwa jiwa itu
hidup terus, karena aktivitas jiwa berhenti saat tidur saja, akan tetapi
keberadaan atau kehidupan jiwa tidak berhenti. Karen itu ajaran kebangkitan
jasmani yang diajarkan oleh kaum theology yang mengatakan bahwa jiwa adalah
suatu kejadian dan badan jasmani yang muncul adalah sama persis denagn
badan-badan yang rusak, tidaklah benar. Karena apa yang telah rusak terus
menjadi wujud lagi sulit untuk diterima.
Ibn Rusyd selanjutnya menuduh
Al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten pada pemikiran, karena dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah.Al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak
hanya badan tetapi jiwa juga bersangkutan. Tetapi pada bukunya yang lain ia
mengatakan bahwa kebangkitan itu bagi akaum sufi hanya akan terjadi dalam
bentuk rohani dan tidak dalam bentuk jasmani. Oleh karena itu tidak ada
kesapakatan dalam hal ini.Dengan itu maka filosof mengatakan bahwa kebangkitan
dalam bentuk rohani tidaklah dapat dikatakan kafir.Namun demikian Ibn Rusyd
berkesimpulan bahwa orang awam soal pembangkitan di akhirat perlu digambarkan
dalam bentuk jasmani untuk lebih mendorong mereka untuk melakukan perbuatan
yang bail dan menjauhi perbuatan yang jahat.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari pembahasan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Filsafat Averrous yang dikaji oleh Ibn
Rusyd, yang mana Ibn Rusyd merupakan seorang filosof islam yang masuk pada
filsafat abad pertengahan setelah
filsafat skolastik, telah mempengaruhi aliran-aliran di Eropa. Pada zaman
pertengahan tersebut yang dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama
Kristen dan filsafat.Ketika masuk zaman modern, baru muncul filsafat kearaban.
Ibn Rusyd juga seorang filosof
rasional tetapi religius yang mengagumi Aristoteles dan lebih terkenal di Eropa
tengah.Pemikirannya dalam metafisika (pengetahuan Tuhan) telah mengikuti jalan
agama, sedang filsafat alamnya lebih dekat pada teori Aristoteles dan
pemikirannya tentang akal merdeka telah membukakan jalan pikiran orang Eropa.Persoalan
tiga masalah antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd telah dipecahkan secara rasional
dan berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR
PUSTAKA
Sudaryanto, Kasno. 1993. Sinkritisme Filsafat dan
Agama, Surabaya: Alpha.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Jorge JE
dkk.,A Companion to Philosophy in The Middle Ages, Blakwell Publishung
2002.
Hakim,
Atang Abdul, Beni Ahmad Soebani. 2008. Filsafat Umum, Bandung: Pustaka setia.
[2]Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 93
[3]Zaenal Abidin, Riwayat Hidup (Averros) Filosof Islam
Terkenal Di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang), 26-27
[4]Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 114
[5]Ibid, 116
[6]Kasno,Op. Cit, 23
[7]Ibid 29
[8]Ibid 30
[9]Ibid 31-32
[10]Ibid 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar