Oleh : Tanwirotul Bariroh dkk
A. STRUKTUR SOSIAL
1.
Pengertian
Struktur Sosial
Struktur
social berasal dari bahasa Latin yaitu Structum
yang berarti menyusun atau membangun.Struktur adalah sebuah susunan
bangunan yang terdiri dari beberapa bagian atau unsur berbeda.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, struktur mempunyai beberapa arti diantaranya :
Ø
Sesuatu yang disusun atau dibangun
Ø
Yang disusun dengan pola tertentu
Ø
Pengaturan unsur atau bagian suatu benda
Secara harfiah,
struktur bisa diartikan sebagai susunan atau bentuk. Struktur tidak harus dalam
bentuk fisik, ada pula struktur yang berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah
tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Susunannya bisa
vertikal atau horizontal.
- Struktur sosial : pola perilaku dari setiap individu masyarakat yang tersusun sebagai suatu sistem.
- Masyarakat merupakan suatu sistem sosial budaya terdiri dari sejumlah orang yang berhubungan secara timbal balik melalui budaya tertentu.
- Setiap individu mempunyai ciri dan kemampuan sendiri, perbedaan ini yang menyebabkan timbulnya perbedaan sosial.
- Perbedaan sosial bersifat universal, ini berarti perbedaan sosial dimiliki setiap masyarakat dimanapun.
- Perbedaan dalam masyarakat seringkali menunjukkan lapisan-lapisan yang bertingkat.
- Lapisan yang bertingkat dalam masyarakat disebut Stratifikasi sosial
- Ukuran yang digunakan untuk menggolongkan penduduk dalam lapisan-lapisan tertentu yaitu :
- Ukuran kekayaan (kaya miskin, tuan tanah penyewa, )
- Ukuran kekuasaan (penguasa/ dikuasai) penguasa punya wewenang lebih tinggi
- Ukuran kehormatan (berpengaruh / terpengaruh) ukuran ini ada di masyarakat tradisional(pemimpin informal)
- Ukuran ilmu pengetahuan (golongan cendekiawan/ rakyat awam)
Pakar-pakar
konsep struktur sosial seperti A.R. Radclif-fe-Brown dari British Social
Anthropologists atau Josselin de Jong dari aliran Leiden berpendapat bahwa
orang harus mempelajari susunan-susunan hubungan antara individu-individu yang
menimbulkan adanya bentuk dan sistem masyarakat.
Perumusan-perumusan
dan susunan-susunan hubungan antarindividu dalam masyarakat itulah yang disebut
struktur sosial. Struktur sosial dari suatu masyarakat budaya terdapat di balik
berbagai aktivitas individu.[1] Dalam
teori strukturasi yang dikemukakan oleh Anthony Giddens merupakan teori yang
paling berpengaruh dalam usaha memecahkan perbedaan antara makro dan mikro
dalam apresiasi peran budaya dalam kehidupan sosial. Struktur memiliki
keberadaan yang sebenarnya dalam pola piker, berisi aturan-aturan dan
sumber-sumber (pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan praktis) yang diperoleh
seseorang melalui sosialisasi.[2]
Kebudayan
dihasilkan oleh masyarakat yang berproses tidak saja menurut kaidah-kaidah
tertentu yang konsisten tetapi juga menurut aneka kaidah yang tidak harus
koheren dengan sendirinya menjadi tidak
mudah untuk mengidentifikasi subjek kebudayaan seperti itu. Salah satu metode
paling tua yang digunakan untuk memahaminya adalah melalui penggunaan konsep “struktur sosial.
Dengan demikian tidak dapat dihindari, bahwa masyarakat
dipahami sebagai suatu sistem yang terdiri dari jalinan dan jaringan tindakan
dan perilaku dari para warga masyarakat yang ‘dikemudian’ sesuai dengan
keinginan-keinginan (E: expectations) dari mainstream masyarakat.
Kebenaran (atau kesalahan) dari tindakan dan perilaku itu ditetapkan
berdasarkan tujuannya sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat, yang
dalam kerangka hukum biasanya diharapkan sebagai keadilan[3]Kendati begitu, sejarah
memperlihatkan bahwa keadilan kerapkali bukanlah tujuan utama yang niscaya
hendak dicapai oleh kehidupan bersama. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa
sebagai sistem[4].
Masyarakat mengatur dan mengorganisasikan dirinya secara
dinamis yang dengan demikian senantiasa menggeser skala prioritas tujuan
bersama mereka. Dalam pergeseran skala prioritas itulah ‘keadilan’ terus
menerus digeser ke ujung skala yang lebih jauh. Masyarakat yang mengatur dan
mengorganisasikan dirinya secara dinamis itulah yang menjadi objek dari
kibernetika, yaitu suatu cabang ilmu yang oleh Deutsch tugasnya dirumuskan
sebagai “memperoleh kejelasan tentang bagaimana aturan-aturan undang-undang
atau pranata-pranata yang khusus berfungsi dalam kerangka sistem politik atau
sosial tertentu, dan perubahan fungsi apa yang akan terjadi jika aturan-aturan
dan undang-undang atau pranata-pranata yang khusus itu diterapkan dalam suatu sistem
yang lain. Singkat kata, kibernetika itu berurusan dengan tatanan regulasi yang
berfungsi untuk membuat masyarakat itu tidak menjadi kaotik. Teranglah, bahwa
pemahaman Deutsch ini relevan untuk masyarakat-masyarakat industrial namun
belum tentu berlaku untuk jenis masyarakat lainnya seperti masyarakat agraris
atau pra-industrial.
Dalam kenyataannya di masyarakat, keadilan itu adalah
perkara yang terlalu abstrak untuk harus dicapai sebagai tujuan. Semakin
kompleks suatu masyarakat, semakin kompleks juga pemahaman mereka mengenai
keadilan. Dan semakin sukar pula bagi mereka untuk sepaham mengenai keadilan.[5]
Karena itu, ketimbang mengejar keadilan, tujuan yang
lebih langsung dari hukum sebenarnya adalah justru ketertiban, kendati
kenyataan ini kerap tidak diakui terang-terangan. Semakin kompleks suatu
masyarakat, akan semakin dibutuhkan juga ketertiban. Bahkan juga jika acapkali
dia ditegakkan dengan mengorbankan keadilan.Banyak masyarakat bisa tetap tegak
dengan bertumpu pada ketertiban, kendati masih terus memperdebatkan kesepahaman
mengenai ‘keadilan’. Sebaliknya tidak ada masyarakat yang bisa tegak karena
tidak tertib dan tidak kunjung selesai juga dengan perdebatan mengenaikonsep
‘keadila’, sementara untuk mencapai keadilan tanpa melalui ketertiban itu
adalah ilusi belaka. Indikasi ini bisa kita dpatkan dari observasi terhadap
tingginya tingkat resepsi rakyat Rusia pasca runtuhnya Uni Soviet bagi gaya
pemerintahan Vladimir Putin yang ‘bergaya soviet’ dan bernuansa otoriter namun
menertibkan, ketimbang gaya pemerintahan Boris Yeltsin yang ‘bergaya
Perestroika’ ketimbang gaya pemerintahan Boris Yeltsin yang ‘bergaya
Perestroika’ dan bernuansa liberal namun membawa chaos.
Dalam kerangka pemikiran Parsons, terdapat tiga referensi
bagi perilaku manusia dalam dinamika kibernetika tersebut: perilaku yang
mengacu pada sistem pribadi, sistem sosial, serta kebudayaan.[6] Baik
Parsons maupun Luhmann mengonsentrasikan diri lebih jauh kepada perilaku yang
mengacu kepada sistem sosial, yang oleh Lukhmann dirumuskan sebagai “jalinan
keterkaitan makna dari perilaku sosial[7]Artinya, fokus diletakkan pada perilaku yang menimbulkan
dampak pada hubungan antar anggota masyarakat. Jalinan berbagai
perilaku sosial itu tidak berlangsung secara acak, melainkan mengenal suatu
tingkat stabilitas tertentu. Bagi Parsons, stabilitas itu bertumpu pada
konsensus (disadari atau tidak) dari para anggota masyarakat, yang oleh Jurgen
Habermas (1929) dikembangkan sebagai konsep intersubjektivitas[8].
Dalam konteks kebudayaan, relasi intersubyek itulah
yang berperan besar dalam mendimanisasi berbagai aspek kebudayaan dan pada
akhirnya membuat kompleks kebudayaan itu bisa menjadi semakin canggih, semakin
lebar dan semakin berlipat-lipat. Keadaan inilah yang secara hipotesis mendesak
manausia untuk membangun acuan-acuan bagi perilaku bersama.Acuan-acuan itu kita
kenal sebagai pranata sosial.
Sebaliknya adalah relasi intersujek juga, apalagi
yang sarat konflik, maupun yang mendistorsi proses kebudayaan sehingga
masyarakat pendukungnya mengalami anomali nilai yang bisa berujung dalam
situasi chaos. Kemungkinan itu bisa terjadi jika penyelenggaraan relasi antar
subjek itu tidak mempunyai acuan perilaku yang bisa dijadikan pegangan untuk
memperkirakan, mana perilaku yang akan diterima baik atau akan dibenci oleh
kehidupan bersama. Jujur saya mau bilang, bahwa masyarakat Indonesia,
lebih-lebih yang urban, sedang menghadapi resiko ini.Potret itu bisa kita lihat
terutama dari perilaku pengguna dan pengatur lalu lintas serta dari sikap kita
terhadap korupsi. Kedua macam fenomena itu memperlihatkan bahwa kita praktis
sudah tenggelam dalam sandiwara dengan norma sedemikian rupa, sehingga di satu
sisi kita dengan mudah memang mengakui bahwa pelanggaran terhadap norma memang
salah, tetapi disisi lain kita tidak menganggapnya terlau jelek karena nyatanya
kita masih bisa hidup terusdengan pelanggaran-pelanggaran itu. Kendati
memang jangan ditanya, kualitas hidup bagaimana yang kita hasilkan.
B.
Pranata Sosial
Struktur sosial itu sebagai konsep merupakan hasil dari
konstruksi pikiran manusia yang seringkali tidak disadari oleh kebanyakan
orang, tetapi justru yang mereka jalani dalam tataran empiris dari Lebenswelt.
Dia diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya melalui berbagai pranata.
Raymond Firth (1901-2002) memandang struktur sosial terdiri dari dua komponen:
kelompok sosial sebagai substansinya (dengan batas-batas yang tidak selalu
jelas) dan Social institutions sebagai format perwujudannya (pranata
sosial yang cenderungdefinitif).[9]
pranata adalah perilaku berpola serta kebiasaan-kebiasaan yang ditaati dan
pelanggaran terhadapnya diancam dengan sanksi. Karena pikiran manusia bukan
barang mati dan begitu pula konvensi intersubjektif yang dihasilkannya,
struktur sosial serta pranata yang mewujudkannya juga terus mengalami
pergeseran, berkembang dan berubah. Dia tidak terjadi sekonyong-konyong,
melainkan melalui suatu proses (evolusi) sosial yang sebenarnya menampung
kreatifitas (dan bisa juga kebingungan) dari suatu masyarakat. Mula-mula dia
menjelma sebagai gaya hidup (folkways, Harsojo menyebutnya ‘cara hidup’)
yang tidak mengikat (bandingkan dengan kebiasaan pria maupun wanita di Burma
untuk mengenakan sarung sebagai pakaian sehari-hari). Raymond Firth menyebut
gejala ini sebagai patterns of behavior.[10]Kemudian dia berkembang menjadi
kebiasaan yang dianggap sebagai terbaik (custom, misalnya mendidik
anak). Jika berbagai kebiasaan dipadukan melalui suatu rasionalisasi, dia
menjadi semacam adat (L: mores) yang melibatkan berbagai hak dan
kewajiban yang timbal balik antara sekolah dan orang tua. Jika adat itu
dikokohkan dengan semacam kode etik yang dihormati secara
Beberapa
pendapat sosiolog mengenai struktur social, diantaranya :
a.
Borgatta dan Borgatta berpendapat bahwa struktur social
adalah lingkungan social bersama yang tak dapat di ubah oleh orang perorang,
yang menyediakan konteks atau lingkungan bagi tingdakkan manusia.
b.
Coleman berpendapat bahwa struktur social adalah pola
hubungan antara manusia dan antar kelompok manusia.
c.
William Kornblum mendefinisikan struktur sosila sebagai pola
prilaku berulang – ulang yang menciptakan hubungan antarindividu dan
antrarkelompok dalam masyarakat.
d.
Talcolt Parson mengemukakan bahwa struktur social berbicara
mengenai kesalingterkaitan antarmanusia.
e.
Menurut Geogre Simmel struktur sosilal adalah kumpulan
individu serta pola prilakunya.
f.
Menurut Soerjono Soekanto struktur social adalah hubungan
timbale balik antara posisi – posisi social dengan peran social.
Menurut
definisi tersebut dapat di simpulkan bahwa struktur social adalah tatanan dalam
kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara
status dan peranan dengan batas – batas perangkat unsur – unsur social yang
mengacu pada keteraturan kehidupan di dalam masyarakat.
Di
samping itu, terdapat peran dan status.Peran adalam tugas yang harus dijalankan
sesuai dengan hak dan kewajiban dari statusnya.Sedangkan status adalah kumpulan
hak dan kewajiban. Status dapat di golongkan ke dalam beberapa macam, menurut
cara memperolehnya. Diantaranya :
a.
Ascribed Status adalah status yang diperoleh
sejak lahir ( warisan ).
b.
Achieved Status adalah status yang diperolah
melalui usaha terlebih dahulu.
c.
Asigned Status adalah status yang diperoleh
dengan cara penghargaan dari Negara.
2. Ciri – ciri struktur sosial
a. Bersifat
abstrak artinya tidak dapat dilihat dan tidak dapat disentuh.
b. Terdapat dimensi horizontal dan vertical.
c. Sebagai
landasan sebuah proses social dalam suatu masyarakat.
d. Merupakan
bagian dari sistem pengaturan tata kelakuan dan pola hubungan masyarakat.
e. Struktur
social selalu dapat berkembang dan dapat berubah.
3. Fungsi Struktur Sosial:
a. Sebagai
sebuah dasar untuk menanamkan disiplin social.
b. Sebagai pengawas social, artinya struktur
social menekan adanya pelanggaran nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
sehingga disiplin kelompok dapat dipertahankan.
c. Merupakan
karakteristik yang khas dalam suatu masyarakat.
d. Fungsi
identitas sebagai fungsi memperkuat identitas kelompok social.
e. Fungsi
integrasi mencakup koordinasi antar unit dalam suatu sistem kelompok social
terutama pada kontrabusi terhadap struktur social.
f. Fungsi pembelajaran
g. Fungsi
mempertahankan pola berkaitan erat dengan hubungan antara masyarakat sistem
social dengan sub sistem kebudayaan.
h. Fungsi control
i.
Fungsi pencapaian tujuan menyangkut penentuan tujuan yang
sangat penting.
j.
Fungsi adaptasi ( penyesuaian ).
4. Jenis – jenis Struktur Sosial
1.
Dilihat dari sifatnya, struktur social dapa dibedakan
menjadi :
a)
Struktur social kaku
adalah struktur social yang tidak dapat dirubah dan masyarakat sulit melakukan
mobilitas social.
b)
Struktur social luwes adalah suatu struktur social dimana
masyarakat punya kesempatan untuk berganti lapisan social.
c)
Struktur social formal adalah struktur social yang diakui
keberadaannya oleh pihak berwenang ( resmi ).
d)
Struktur social informal adalah kebalikan dari formal atau
tidak punya kekuatan hukum.
2.
Dilihat dari identitas kenggotaan masyarakat struktur social
dapat dibagi menjadi:
a)
Struktus social homogen.
b)
Struktur social
heterogen.
3.
Dilihat dari pola komunikasi dibagi menjadi
a)
Struktur social terbuka.
b)
Struktur social tertutup.
4.
Dilihat dari ketidaksamaan social yang dilihat secara
vertical atau horizontal dibagi menjadi:
a)
Diferensiasi social.
Stratifikasi social.
5. Perubahan Struktur Sosial
Perubahan struktur dipengaruhi
oleh dua factor, yaitu :
a. Faktor
Internal yaitu kondisi dalam masyarakat baik dalam kondisi fisik maupun dalam
kondisi social budaya, antara lain
a)
Adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan perkembangan zaman.
b)
Adanya penemuan baru yang dirasa lebih cocok dan lebih efektif.
c)
Adanya gerakan social yang dimotori oleh tokoh – tokoh
masyarakat dan didukung oleh masyarakat luas.
b. Faktor
Eksternal yaitu factor dari luar yang muncul karena adanya timbale balik
melalui proses hubungan masyarkat, antara lain:
a)
Adanya keinginan untuk meniru kebudayaan masyarakat lain
yang dirasa lebih cocok.
b)
Adanya adaftasi terhadap perubahan – perubahan yang terjadi
pada lingkungan alam.
c)
Berusaha untuk melakukan penyesuaian.
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan, Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan
Antropologis, 2000, Pustaka pelajar Office: Yogyakarta.
Bekker, Filsafat Kebudayaan,
1984, J.W.M: Yogyakarta.
Duverger, Maurice, Sosiologi Politik, 1998,
PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Hans, Fink, Filsafat Sosial, 2003,
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat
Kebudayaan, 2009, Jalasutra: Yogyakarta.
Sutrisno, Mudji, Putranto, Hendar, Teori-Teori
Kebudayaan, tt, Kanisius: Yogyakarta.
Syarifuddin, Sosial Budaya
Dasar, 2010: Jakarta.
[1]Irwan
Abdullah, Manusia Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis, 2000,
Pustaka pelajar Office: Yogyakarta,
89.
[2]Mudji
Sutrisno, Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan, tt, Kanisius:
Yogyakarta, 187.
[3]Alfred
bullesbach, Systemtheoretische Ansatze, dalam Kaufmann, 373
[4]Ibid, 377
[5]Kusumohamidjojo:
2004
[6]Alfred
Bullesbach, Systemtheoretische Ansatze, dalam Kaufmann, 382
[7]Ibid,
386
[8]Ibid,
382, 400. Teori konsensus itu dianut juga oleh Hart dan Rawls
[9]Harsojo,
137
[10]Linton,
96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar