Minggu, 03 Maret 2013

Makna Sebuah Ritual dan Teologi Masyarakat Gunung Kawi

Oleh : Abd.Shamad dkk



A.    Teologi Masyarakat Gunung Kawi
Masyarakat pegunungan biasa lebih dekat dengan alam. Hal ini selain mempengaruhi pencaharian mereka juga fenomena sosial keagamaan dan lainnya. Sehingga ketika masyarakat Gunung Kawi sebagaimana penjelasan Kuncen lebih memilih Islam Kejawen itu bisa dimaklumi mengingat ajaran dan ritualnya lebih dekat dengan alam. Misalnya selamatan dan ruwatan. Karena kekuatan alam yang tidak bisa dikendalikan memang lebih akrab dengan mereka.
Keberadaan Kejawen sendiri dimanfaatkan Walisongo dalam penyebaran Islam dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya dan memangkas atau mengganti hal-hal yang bertentangan secara prinsip tanpa menghilangkan warna-warna khas dari sebuah tradisi yang lebih lekat dengan masyarakat. Hal ini lebih mudah diterima dan sejalan dengan keberadaan Islam yang luwes sebagai rahmatan lil alamin.
Pada hakekatnya Kejawen merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan tradisi Jawa. Namun bersandingnya kata Kejawen dengan Islam jelas berbeda dengan aliran Kejawen atau yang biasa disebut aliran kebatinan yang dipahami sebelum masuknya Islam. Aliran ini sudah mengalami akulturasi dengan Islam yang datang setelahnya. Dari segi istilah hal ini tampak dalam kata selamatan yang diambil dari kata salima salamatan dalam bahasa Arab yang artinya selamat. Sebelumnya tradisi tersebut oleh masyarakat Jawa disebut dengan wilujeng.
Tidak cukup hanya dengan istilah, dalam prakteknya pun demikian. Pelaksanaan ritual yang diawali dengan basmalah dan ditutup dengan syahadat merupakan buah dari akulturasi. Selain itu, mantra-mantra yang tidak sesuai diganti dengan doa-doa yang disalin dalam bahasa Jawa agar lebih akrab. Dan yang lebih penting adalah keyakinan yang ada di balik semuanya. Kalau sebelumnya Allah tidak dikenal dan pelaksanaan ritual lebih tertuju pada para Dewa, setelah datangnya Islam keyakinan pada Allah ditanamkan walau dalam warna yang berbeda. Dan keberadaan ritual hanya sebagai media bukan satu-satunya tujuan.
Tetap lestarinya sebuah ritual atau tradisi memang tidak sepenuhnya menjadi pertanda bahwa mereka setia pada Animisme dan Dinamisme. Dan dua hal dalam bentuk yang sama secara kasat mata tidak selamanya bisa disamakan dalam hal hakekat. Begitu juga ritual yang tidak bisa dilihat sekedar dari satu sudut pandang. Yang paling penting dari semuanya adalah niat dan keyakinan.
Berbicara tentang keyakinan, maka hal ini menjadi privasi dan urusan masing-masing dengan Tuhan. Karena semua itu terkait dengan hati yang sulit dimengerti. Sehingga tidak perlu lagi justisifikasi yang ujung-ujungnya mau menang sendiri. Sementara tidak ada yang bisa memberikan garansi akan keselamatan dan kebenaran hakiki yang menjadi milik Tuhan. Dan semua orang hanya mengupayakan untuk terus mendekatinya. Kecuali justisifikasi yang dibutuhkan dalam pemberlakuan hukum duniawi yang ditetapkan dengan berbagai pertimbangan dan kebutuhan.
Heterogenitas dan faktor geografis memaksa (mengantarkan) masyarakat Kawi untuk lebih pluralis. Tidak mempermasalahkan perbedaan sementara tetap dalam satu tujuan, Tuhan. Bukankah Tuhan hanya satu, yang menciptakan alam. Dan begitu banyak jalan menujuNya. Dari sini kecenderungan untuk sinkretis lebih terbuka mengingat lingkungan yang heterogen dan tidak terpisah.
Yang menarik lagi menurut keterangan Kuncen, di sana dalam satu RW ada sekitar tiga agama  yang hidup rukun dan saling bekerja sama. Mereka saling membantu bahkan dalam pembangunan tempat ibadah masing-masing. Ini merupakan bentuk nyata dari pluralisme atau wihdatul adyan  Ibnu Arab dalam kehidupan sehari-hari
.
B.  Makna Teologis Ritual
Sebuah tradisi yang terus mengakar sampai sekarang di mana perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi begitu pesat tentunya memiliki makna yang tinggi bagi pelaksananya atau memiliki ketahanan sangat kuat sampai tidak tergantikan. Begitu pula berbagai ritual yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Terlepas dari kalangan agama atau aliran apa yang melaksanakan, yang jelas ada sesuatu yang kuat mengikat sehingga hal tersebut masih dirasa perlu dilaksanakan.
Sesuatu yang sudah tertanam begitu dalam memang sulit untuk dihapus secara total atau bahkan tidak bisa. Paling tidak hanya bisa dikikis pelan-pelan atau hanya diperbaharui dengan berbagai nilai baru yang dimasukkan tanpa menghapusnya sebagaimana dahan pohon yang sudah tua dan bengkong. Dan apa yang dilakukan Walisongo dengan akulturasi dalam penyampaian Islam begitu tepat sehingga mudah diterima dari pada mengangkat pedang dan menyeru dengan kekerasan yang kadang berakhir dengan balas dendam.
Dengan akulturasi, tanpa sadar Islam ditelan dan menjadi bagian dari mereka. Sampai pada akhirnya tidak bisa dibedakan lagi dan ddianggap sebagai sesuatu yang seharusnya demikian. Sehingga untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya dalam memperkenalkan Islam akan lebih mudah dan tahan.
Berbicara tentang makna selamatan tidak lepas dari istilah yang digunakan sebagai perwakilan dalam mengungkap sebuah makna ritual secara keseluruhan. Selain untuk melestarikan budaya sebagai sebuah kekayaan, yang lebih penting mereka mengharapkan keselamatan  atau kelanggengannya dengan menjadikan ritual selamatan sebagai media yang dipercaya sejak sebelumnya. Dan sesuatu itu dipercaya bukan tidak karena apa-apa, yang jelas mereka sudah merasakan kemanfaatan baik langsung atau tidak langsung.
Di sini perlu di garis bawahi bahwa antara kepercayaan dan keyakinan itu berbeda dan tidak selamanya selalu bersama. Kalau dalam prinsip teologis la haula wa la quwwata, maka tidak adanya kemampuan api untuk membakar tanpa kekuasaan dan kehendak Tuhan termasuk dalam keyakinan. Sementara apa yang sudah menjadi kebiasaan dari sifat dasar api yang membakar itu masuk dalam kepercayaan. Bedanya percaya pada sifat dasar api ini bukanlah suatu kemusyrikan, tapi tidak keyakinan pada kekuatan api sebagai penyebab yang masuk dalam kemusyrikan.
Kepercayaan pada sebuah ritual ini sah-sah saja sebagaimana ketika seseorang lapar dan makan. Namun tidak semua orang yang lapar memakan sesuatu yang sama dalam memuaskannya. Tetapi semua masih dipengaruhi oleh faktor geografis, ekonomis dan sosial budaya. Begitu pula tentang kepercayaan pada ritual dan keselamatan. Semua itu bukan satu-satunya jalan bagi mereka, tetapi sebagai media atau fasilitator yang dengan mengikuti prosedurnya diharapkan tujuannya lebih cepat dicapai. Dan semua orang atau kalangan memiliki cara-cara sendiri yang tidak harus sama terkait dengan hal ini sesuai dengan kondisi spiritual dan psikologis mereka sebagai bagian dari usaha.
Selamatan sendiri biasa diiringi dengan makanan yang di dalamnya mengandung nilai shadaqah. Dan hal ini sebagai anjuran, dalam Islam sendiri diajarkan bahwa shadaqah selain mempermudah rizki juga dapat menolak balak. Nabi dalam hadisnya menerangkan bahwa mereka yang bershadaqah akan mendapat balasan sepuluh kali lipat juga anjuran berlomba-lomba (berpagi-pagi) dalam melaksanakan shadaqah. Hal inilah yang lebih penting dari sekedar melihat bentuk ritual dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Kalau memperhatikan keterangan Ibu Susianawati, dapat dipetik bahwa pelaksanaan ritual juga merupakan pelepasan beban psikologis yang membuat seseorang tidak tenang. Apa lagi terkait dengan nadzar yang pemenuhannya memang merupakan suatu kemestian. Karena walau bagaimanapun ritual ini sudah lama melekat dan memenuhi otak pelakunya. Sehingga ketika tidak dilaksanakan akan terasa seperti ada yang mengganjal. Dari ketengan ini, semua akan menjadi lebih mudah.
Dalam sebuah hadis qudsi yang artinya “Aku (Tuhan) sebagaimana apa yang dipersangkakan hamba kepada-Ku”. Jika seseorang berprasangka baik pada Tuhan entah dengan jalan apa dia mendekatiNya, maka Tuhan akan baik pula bahkan lebih baik lagi kepadanya. Yang terpenting adalah tujuan bukan bungkus dari sebuah pekerjaan (ritual).
Sebuah ritual tidak bisa dipahami dari sisi luarnya saja. Banyak simbol-simbol yang menjadi doa tanpa sajak di dalamnya. Banyak pelajaran yang dapat diambil tanpa disuarakan. Terlepas dari bagaimana seseorang memahaminya, semua tergantung kepada mereka. Dan di sinilah yang sering terjadi kesalahan ketika tidak ada kemampuan untuk memahami yang sesungguhnya. Dalam cerita pewayangan Batara Guru dan Batara kala misalnya, bukan masalah percaya pada dewa atau tidak (bagi yang muslim). Tetapi yang lebih penting adalah pelajaran sebagai wahana intropeksi diri bahwa seorang Dewa pun tidak bisa mengendalikan nafsunya dan dapat menimbulkan kekacauan dengan cinta yang berubah jadi amarah.
Beberapa hal secara umum sudah begitu jelas terkait dengan selamatan dan keselamatan. Lebih spesifik lagi masuk pada tataran ruwatan yang biasa diisi dengan tanggap wayang dan beberapa hal lain yang dibutuhkan. Ruwatan ini dilakukan pada dasarnya sebagai media untuk mendapat keselamatan juga. Hal ini biasa dilakukan sebelum terjadinya malapetaka atau sesudahnya sebagaimana selamatan pada umumnya. Hanya saja bentuknya lebih besar dengan tanggapan wayang.
Ruwatan sendiri dari segi makna merupakan pelepasan kesalahan. Hal ini bisa disamakan dengan istilah tobat oleh kalangan tertentu. Hanya saja cakupannya lebih luas dengan dibarengi makanan sebagai shadaqah (mengikuti tobat dengan amal baik) dan tanggapan wayang yang tidak sekedar untuk membahagiakan orang lain. Lewat cerita dalang yang pada masa Walisongo diselipkan dakwah Islam, diharapkan mereka lebih mudah untuk intropeksi diri dan melakukan perbaikan setelahnya.
Ruwatan di atas sebagaimana dilakukan dalam peletakan batu pertama peribadatan Kwan Im yang sebelumnya rusak. Dalam pandangan mereka kerusakan ini ada sangkut pautnya dengan letak Kwan Im yang lebih tinggi dari pesarean. Sehingga pembangunan kedua dipindah ke tempat lain dan dilakukan ruweatan dalam menebus kesalahan.
Karena analisa ini tidak hanya terkait dengan makna teologis bagi umat Islam, maka apa yang ada di luar Islam juga tidak bisa ditinggalkan. Apa lagi ruwatan ini sejatinya milik Hindu Budha. Hanya saja sudah mengalami akulturasi oleh Walisongo.
Dalam pandangan hindu Budha, ruwatan tidak bisa lepas dari mitos atau cerita Batara Guru (Dewa Syiwa) dan Batara Kala secara utuh. Di sini pelaksaan ruwatan dilakukan agar apa yang diruwat tidak menjadi korban Batara Kala yang selalu memangsa yang salah.
Tidak bisa ditinggalkan lagi di sini tentang ziarah kubur yang selain sebagai untuk mengingat kematian yang nantinya akan mendorong diri untuk lebih dekat dengan Tuhan juga mengenang jasa perjuangan dua tokoh untuk kemudian dijadikan teladan dalam perbaikan diri. Menurut keterangan mas Aji sebagai salah satu peziarah yang beragama Budha, dalam ajaran agamanya sendiri ziarah kubur ini memang tidak ditentang. Berbeda dengan tanggapan kaum muslim masih yang memperdebatkannya.
Selain itu, keadatangan peziarah ke pesarean tertentu adalah untuk mendoakannya agar diampuni dosanya, diterima amalnya dan nantinya akan mendapat limpahan berkahnya juga doa mereka. Dalam literatur agama sendiri dijelaskan bahwa doa meraka yang ada di kubur (doa orang mati) akan lebih mudah diterima oleh Tuhan. Dan berangkat dari hal ini, anjuran untuk dekat dengan para ulama sebenarnya tetap berlaku sampai wafatnya.
Ziarah ke pesarean mana pun sebenarnya sama saja dari segi teologis. Namun hal ini menjadi berbeda dalam segi psikologis. Karena walau bagaimana pun mereka yang sebelum wafatnya memiliki kontribusi besar dalam sebuah perjuangan juga lebih setia pada kebaikan akan lebih meyakinkan. Apa lagi jika melihat kematian mereka yang ditangisi, yang jelas-jelas berbeda dengan mereka yang dibanggakan akan kematiannya. Hal ini menjadi alasan kenapa pesarean-pesarean tertentu lebih terpilih seperti Pesarean Gunung Kawi.
Berbagai hal ini menandakan adanya hubungan manusia dengan roh. Di mana roh mereka yang mati tidak bisa member kemanfaatan pada dirinya sendiri dan membutuhkan yang hidup untuk mendoakannya. Dan mereka yang hidup juga mengharapkan doa mereka yang lebih mudah terkabul. Hal ini juga termasuk dalam bagian tiga amal yang tidk terputus berupa ilmu yang bermanfaat. Mereka yang dengan ilmu dan amal baiknya semasa hidup, pesareannya menjadi sebuah destinasi wisata religi yang dibanjiri peziarah untuk mendoakannya. Dari sini peziarah dapat mengambil pelajaran dalam perbaikan dan intropeksi diri.