Oleh : Erista Nur Amaliyanti
A.
Budaya
dan kebudayaan
Dalam memahami
suatu unsur-unsur budaya diperlukan adanya pemahaman mengenai hakikat atau
definisi khusus tentang budaya dan kebudayaan.
a.
Budaya
Secara
etimologi, budaya terdiri dari serangkaian kata yang berarti budhi dan daya.
Budhi yang berarti akal murni, dan daya yang berarti usaha. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin yaitu Colere.
Kata culture juga terkadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Budaya juga berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah[1],
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Sedangkan dalam pemaknaan secara terminologinya,
budaya adalah suatu
pola hidup menyeluruh. yang bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Budaya juga
dapat dikatakan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya berlangsung
melalui suatu transmisi sosial yang disebut “proses belajar mengajar”.
Sedangkan perawatannya melalui proses penciptaan yang dapat berasal dari
interaksi sosial berupa komunikasi.
Demikian
luasnya pemaknaan budaya mempengaruhi orientasi nilai budaya dalam masyarakat.
Disamping mempunyai hal-hal positif dalam karakteristiknya juga mempunyai
segi-segi negatif apabila mempunyai penekanan yang terlalu. Contoh budaya dari
suku Indian Yanomamo yang tinggal diperbatasan Venezuela Brasilia.[2]
Suku tersebut mempunyai adat yang kemungkinan besar dapat dinilai negatif oleh
kebanyakan masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia.
Bila putra
yanomamo marah kepada orang tuanya maka putra tersebut dianjurkan untuk
memukul, menampar bahkan menempeleng kepala orang tuanya sebagai wujud dari
kemarahannya tersebut. Dan hal itu bagi mereka merupakan hal yang terpuji.
Berbeda sekali dengan kebanyakan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat
Indonesia. Jika di Indobnesia aturan-aturan seperti yang ada di Yanomamo
tersebut dipergunakan, dengan kata lain menggunakan kekerasan sebagai wujud
penghormatan kepada orang tuanya. Maka bertolak belakang sekali dengan di
indonesia. Sebab adat yang seperti itu tidak akan dapat diterima oleh sebagian
besar warga masyarakat. Karena adat tersebut dinilai melanggar sistem sikap,
nilai-nilai dan perilaku yang dimiliki.
Budaya memiliki beberapa fungsi. Pertama, budaya memiliki
suatu peran dalam batas-batas tertentu; yaitu, mampu menciptakan perbedaan antara
satu organisasi dengan organisasi yang lain. Kedua, mampu berfungsi untuk menyampaikan
rasa identitas kepada anggota-anggota lainnya. Ketiga, budaya mempermudah
penerusan komitmen
hingga mencapai batasan yang lebih luas, melebihi batasan ketertarikan
individu. Keempat, budaya mampu mendorong stabilitas sistem sosial.
b.
Kebudayaan
Setelah memahami istilah budaya, baik dari segi
etimologi maupun terminologi, yakni mengenai kemampuan budaya dalam
mempertahankan kebenaran yang dianggapnya benar itu merupakan salah satu bentuk
kebudayaan.[3]
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain. ditambah lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Sedangkan menurut
Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.[4]
Stabilitas dan perubahan dalam kebudayaan bersifat
dinamis, bukan statis.[5]
serta bersifat stabil akan tetapi juga senantiasa berubah. Perubahan kebudayaan
dapat dipelajari dengan cara membandingkan keadaan sekarang dengan masa yang
lampau. Contoh: Perubahan dalam diri setiap orang. Ketika seseorang melihat
potret dirinya pada masa lampau dan dibandingkan dengan dirinya yang sekarang
maka akan tampak jelas perubahan mode dari pakaiannya.
Dari beberapa penjelasan diatas
dapat diketahui bahwasannya perbedaan antara istilah budaya dengan kebudayaan
ialah jika budaya lebih ditekankan pada cipta, karya, dan rasa yang menjunjung
tinggi sebuah konsep ide dari akal sehingga mampu menciptakan sebuah hasil. Dan
dari hasil inilah yang lantas pada akhirnya disebut dengan istilah kebudayaan.
B.
Identitas
Dalam pembahasan tentang identitas budaya
seringkali dikacaukan dengan istilah identitas sosial. Identitas sosial
terbentuk dari struktur sosial yang dibentuk dalam sebuah masyarakat. Sedangkan
identitas budaya terbentuk melalui struktur kebudayaan suatu masyarakat. Dengan
kata lain struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan,
sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku social.[6]
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris “identity” yang
berarti ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau .
sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Identitas juga merupakan
keseluruhan atau totalitas yang menunjukkan ciri-ciri atau keadaan khusus
seseorang atau jati diri dari factor-faktor biologis, psikologis, dan
sosiologis yang mendasari tingkah laku individu.[7]
Menurut
Liliweri, identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena
orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok tertentu. Itu meliputi pembelajaran tentang penerimaan
tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan.
Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel,
identitas budaya merupakan adalah karakter khusus dari sistem komunikasi
kelompok yang muncul dalam situasi tertentu.
Dari beberapa
pendapat diatas, dapat diketahui bahwasanya ketika sebuah kelompok mempunyai
symbol-simbol serta norma-norma untuk diwariskan secara turun temurun, maka
kelompok tersebut dapat dikatakan telah memiliki identitas budaya. Secara
realnya, identitas budaya sangat berpengaruh terhadap perkembangan komunikasi
antar budaya. Baik berdasarkan adat, strata, serta kepercayaan antara yang satu
dengan yang lain.
Ada beberapa
komponen yang dapat membangun adanya identitas budaya. Diantaranya:
1.
Pembelajaran
serta penerimaan tradisi berdasarkan Pandangan hidup, kosmologi, dan ontology
dari kepercayaan, sikap dan nilai yang diajarkan.
2.
Adanya
pembelajaran serta penerimaan norma-norma yang menunjukkan standart dan aturan
perilaku yang berlaku dilingkungan masyarakat.
3.
Penerimaan
tentang adanya konsep waktu dulu dan sekarang yang kemungkinan berbeda jauh.
Komponen-komponen
tersebut merupakan awal pembentukan karakter dari identitas setiap budaya yang
berkembang disetiap daerah. Dengan kata lain, budaya tidak dapat terlahir tanpa
adanya sebuah pembelajaran dari tradisi-tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Adapun atribut
identitas budaya menurut Daphne A. Jameson, diantaranya:
1.
Dapat berubah
sesuai dengan waktu.
Pernyataan ini dibuktikan dengan adanya budaya yang
dinamis. Dengan kata lain, budaya masa lampau selalu berbeda dengan budaya masa
yang akan datang. Contoh: budaya dalam cara berpakaian.
2.
Dapat
dipengaruhi oleh hubungan dekat antar individu maupun kelompok.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya lingkup
masyarakat tertentu. Walaupun individu didalamnya berbeda-beda, namun mereka
akan cenderung memberikan reaksi yang sama pada gejala-gejala tertentu. Hal ini
dikarenakan mereka memiliki sikap-sikap umum yang relative sama dengan
nila-nilai dan perilaku yang sama. Hal-hal yang dimiliki bersama itulah yang
kemudian melahirkan kebudayaan. Contoh: budaya Tasyakuran.
3.
Dapat
dinegosiasi melalui komunikasi.[8]
komunikasi merupakan salah satu proses pertukaran
budaya namun, dapat pula dikatakan sebagai titik temu dalam memahami kebudayaan.
Sebab dalam realitas budaya, komunikasi mampu menjajaki makna serta pola
tindakan tentang bagaimana makna dan pola tersebut dapat dibuktikan secara real
dalam sebuah kelompok sosial, politik, ekonomi, serta lingkungan lain yang
turut melahirkan interaksi manusia sehingga terciptanya sebuah cipta, karya,
serta karsa manusia
Secara realnya, budaya terdiri dari
dua macam. Yaitu:
1)
Identitas individual
Sebuah identitas atau jati diri yang dimiliki
seseorang yang di dapat sejak lahir maupun dari proses interaksi yang dialami
mulai dari lahir. Contoh : seorang gadis desa tidak berani membangkang perintah
ibu atau bapaknya sehingga ia dijuluki sebagai gadis penurut. Penurut adalah
identitas individual dari gadis desa itu, sebab tidak semua gadis desa adalah
seorang anak yang penurut terhadap orang tua.
2) Identitas komunal
Sebuah
identitas atau jati diri dalam suatu karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri
dari suatu kelompok atau koloni yang menunjukkan secara utuh tentang kepribadian
koloni itu. contoh: anak punk dengan gayanya yang serba hitam dan identitas
dengan alkohol, jalanan dan pergaulan bebas merupakan identitas dari koloni
anak punk tersebut. Hal-hal itu adalah pembeda antara koloni anak punk dengan
koloni atau kelompok lain.[9]
Pentingnya
identitas dapat membantu masyarakat luas untuk dapat mengenal individu atau
kelompok baik dari segi budaya, agama, ataupun politik dan berbagai aspek
kehidupan yang lain. Identitas juga dapat memandu seseorang dalam memilah perjalanan
dari tujuan hidupnya, misalnya seseorang yang ingin masuk di sebuah komunitas,
maka orang tersebut harus mengenal identitas komunitas itu, dengan demikian
maka untuk selanjutnya apabila sudah mengenal dan mengerti tentang
karakteristik komunitas tersebut dia bisa akan tetap masuk apabila komunitas
tersebut positif, sebaliknya akan meninggalkan apabila komunitas tersebut
negatif.
[1] J.W.M. Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Kanisius, 1984), 31
[2] T.O Ihromi. Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), 14
[3]
Musa Asy’arie, dkk. Agama, Budaya, dan Pembangunan Menyongsong
Era Industrialisasi (Yogyakarta: IAIN Sunan kalijaga Press, 1988), 66
[5] Soejono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur
Masyarakat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 165
[7]
J.W.M. Bakker SJ. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
Kanisius, 1984), 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar