Jumat, 23 Maret 2012

Islam dan Pluralisme

Oleh: Abd Shamad


 
      A. Latar Belakang
            Memilih agama adalah suatu hal yang paling prinsipil,paling pribadi dan hak semua manusia yang paling pribadi.Namun,entah dengan alasan apa masih saja banyak atau ada sebagian golongan yang memaksakan agama atau ideologi mereka pada yang lain seakan mereka adalah satu-satunya yang benar sedangkan yang lain salah dan harus dibasmi.Fanatisme dalam berakidah memang wajib bagi pemeluknya sebagai wujud kemantapan akan akidahnya.Namun,fanatisme di sini bukan berarti gampang menyalahkan orang lain dan menganggap akidah kita paling benar dalam konteks global ketika kita ber-hablun min al-nas.Fanatisme di sini lebih pada pengokohan akidah yang kita yakini dan dianut sehingga tak gampang goyah saat ada serangan-serangan dari luar atau ada distorsi akidah.
            Manusia diciptakan berbangsa-bangsa,bersuku-suku dan membawa sekian perbedaan baik fisik,sosial politik dll sejak lahir.Hal ini bukanlah untuk dikonfrontasikan tetapi disatu padukan dengan diawali perkenalan.Perbedaan tersebut bukanlah sebagai acuan stratifikasi sosial dengan memarginalkan kelompok-kelompk kecil.

     B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang beberapa hal berikut;
1. Bagaimana pandangan Islam tentang pluralisme?
2. Adakah ayat atau hadits tentang pluralisme?

     C. Tujuan
Dengan membaca makalah ini pembaca diharapkan mengerti dan paham tentang;
1. Pandangan Islam tentang pluralisme
2. Ayat atau hadits tentang pluralisme


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pluralisme Dalam Islam
     Perbedaan memang hal yang wajar,keberadaannya bukan untuk diperdebatkan atau dikonfrontasikan,tetapi bagaimana kita lebih toleran.Perbedaan ini bukanlah hal yang baru lagi,tetapi memang sejak dahulu baik dalam soal ideology atau keyakinan dan lainnya.Tanpa adanya perbedaan-perbedaan kita justru akan bosan hidup di dunia bukan justru sebagai pemicu kerusuhan yang tak kan pernah terselesaikan.Kita harus menghargai perbedaan dan atau mentolerirnya sebagai sunnatullah ,bukan lantas mewanti-wantinya dan memaksa mereka harus sama dengan kita.Seharusnya kebenaran yang kita anut adalah kebenaran dalam konsep kita dan mereka juga menganut sebuah kebenaran dalam konsep mereka.Kita dikaruniai akal untuk berpikir dan memilih sesuai konsep-konsep dan paradigma berfikir yang melandasinya.Seandainya kita mau berfikir,mungkin kita akan lebih mentolerir mereka yang keberadaannya juga diridhoi Tuhan.Allah saja yang Maha segala-galanya membiarkan perbedaan itu dan tidak menjadikan umat ini menjadi satu ikatan.
     Nabi diutus untuk menyampaikan wahyu dan menyempurnakan akhlak yang bobrok pada masa itu,bukan Islamisasi secara paksa.Diantara mereka ada yang menerima  dan banyak yang menolak bahkan menentang dan melecehkan beliau.Beliau sekedar menyampaikan dan memberikan pilihan-pilihan bukannya memaksakan ajaran.Soal keyakinan adalah urusan individu tiap orang dengan Tuhan bukannya dengan kita-kita,kita hanya menyampaikan dan memberikan pilihan-pilihan selanjutnya terserah mereka mau menerima atau tidak.
     Kalau kita melihat sejarah,tak pernah kita temukan sebuah pemaksaan dalam penyiaran Islam baik pada masa Nabi maupun pada masa sahabat-sahabat.Tak pernah ada perang yang berlandaskan pemaksaan akidah Islam,yang ada justru pembebasan dan pembelaan akan ancaman.Dalam sejarah disebutkan bahwa perang-perang yang dilakukan Nabi bukanlah perang keyakinan yang memaksakan ajaran Islam tetapi lebih pada pembebasan mereka dari penjajahan.Hal itu dibuktikan dengan tak adanya pemaksaan akidah atau keharusan masuk Islam bagi mereka yang kalah perang.Tetapi mereka  diberi pilihan antara masuk Islam atau tetap pada keyakinan mereka dan membayar jizyah atau pajak yang nilainya jauh lebih rendah dari penjajah mereka sebelum pembebasan Islam.Mereka yang tetap pada keyakinannya biasanya dan membayar pajak biasanya dissebut kafir dzimmi dan mendapat hokum yang sama juga mendapat pembelaan dalam Islam.Selain kafir dzimmi ada juga kafir musta’min yang keberadaannya tidak mengganggu Islam atau ada perjanjian damai.
     Akhir-akhir ini banyak kita temukan berbagai faham atau ideologi yang tumpang tindih,saling menyalahkan dan menganggap hanya diri mereka yang paling benar yang lain salah.Mereka saling memaksakan kehendak dan ideology mereka dan menjadikan perbedaa-perbedaan sebagai pemicu konflik.Hal ini tak hanya terjadi antar agama,tetapi di dalam Islam sendiri sering terjadi konfrontasi yang banyak dipicu oleh perbedaan ideology dan kepentingan-kepentingan politik juga lainnya.Banyak dari umat ini yang menolak pluralisme atau kebebasan beragama,menganggap yang lain salah(fanatisme yang berlebihan),mengatas namakan agama,jihad dalam memperjuangkan ideologinya atau konsep kebenaran yang mereka anut.Mereka melupakan sejarah dan memahami Islam luarnya saja tanpa mengetahui pokok permasalahan yang sebenarnya.

      B.  Ayat-Ayat Pluralisme
     Sesuai pembahasan sebelumnya,Islam sangat mentolerir pluralisme dalam agama sebagai hak manusia yang paling asasi menyangkut hubungan pribadi mereka dengan Tuhan.Terkait dengan pluralisme dalam Al-Baqarah 256
 لآ إكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطّاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لاانفصام لها والله سميع عليم
Artinya;
“Tak ada paksaan dalam memeluk suatu agama tertentu,sudah jelas berbeda antara yang benar dengan yang tersesat.Barang siapa yang kafir(menentang) syaithan  dan beriman kepada Allah,maka orang tersebut telah berpegang pada aqidah yang kuat”.
     Menurut Ibnu Jarir,sesuai keterangan yang beliau peroleh dari Sa’id atau Akromah dari Ibnu Abbas berkata:”Ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki Nasrani yang mengikuti jejak Nabi(memeluk Islam),sementara kedua anaknya tetap memeluk agama Nasrani.Laki-laki tadi bertanya kepada Rasul “Apakah saya harus memaksa mereka berdua(anak) untuk memeluk Islam,pada hal mereka berdua sama-sama menentang kecuali tetap memeluk Nasrani?”.Maka diturunkanlah ayat di atas sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut.Dari ayat dan asbabun nuzulnya ini,sudah jelas sekali bagaimana Allah melalui wahyu-NYA menyikapi perbedaan agama atau keyakinan.Tak ada paksaan dalam memeluk Islam atau agama-agama lain,semuanya bebas memilih sesuai keyakinan dan konsep-konsep mereka tentang kebenaran.
Dalam konteks lain, Allah juga berfirman mengenai pluralisme tersebut yaitu dalam surat Al-Kafirun. 
قل يا أيها الكافرون..لآأعبد ما تعبدون..ولآ انتم عابدون ما أعبد..ولا انا عابد ما عبدتم..ولآ انتم عابدون ما أعبد... لكم دينكم ولي دين..........
Artinya;
“ Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah.Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah.Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Bahkan Allah pernah menegur Rasul dalam hal pluralisme agama,sebagaimana tertera dalam Alqur’an surat Al-Baqarah 75.
* tbqãèyJôÜtGsùr& br& (#qãZÏB÷sムöNä3s9 ôs%ur tb%x. ×,ƒÌsù öNßg÷YÏiB tbqãèyJó¡o zN»n=Ÿ2 «!$# ¢OèO ¼çmtRqèùÌhptä .`ÏB Ï÷èt/ $tB çnqè=s)tã öNèdur šcqßJn=ôètƒ ÇÐÎÈ
Artinya;
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu,padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah,lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya,sedang mereka mengetahui?”.
     Dalam keterangan lain,ada beberapa firman Allah yang sering dikutip para Ulama’,seperti “Seandainya Mau,maka Allah akan menjadikan kamu sebagai umat yang satu.Namun,Allah ingin menguji kamu mengenai hal-hal yang dianugrahkan kepadamu”.”Sesungguhnya Kamu Muhammad tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai.Tatapi Allah akan member petunjuk kepada mereka yang dikehendaki-Nya”.


BAB III
PENUTUP

    A. Kesimpulan
          Perbedaan adalah sunnatullah yang harus kita hargai bukan lantas menjadikannya sebagai pemicu konflik.Kalau Tuhan meridhai perbedaan,kenapa kita-kita sebagai makhluk Tuhan justru mempermasalahkannya yang tak akan pernah menemukan ujung dari permasalahan tersebut.Sebagai sunnatullah,kita tak mungkin bisa menyatukannya tetapi harus kita hargai atau kita tolerir.
            Memilih agama adalah sesuatu yang paling asasi menyangkut urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya.Kita tak perlu ikut campur dalam hal tersebut dan hanya diperbolehkan dalam menyampaikan pilihan-pilihan kebenaran,selebihnya urusan urusan mereka dengan Tuhan.
            Menurut sejarah,tak pernah ada pemaksaan dalam penyebaran Islam baik pada masa Nabi atau para sahabat dan setelahnya.Adapun perang-perang yang terjadi pada masa itu tak lebih dari perang pembebasan penjajahan dan perang yang dipicu kepentingan politik bukan berlandaskan pemaksaan atau penyebaran akidah Islam.Hal itu ditandai dengan tak adanya pemaksaan memeluk agama Islam bagi mereka yang kalah perang.
            Adapun ayat-ayat alqur’an yang berkaitan dengan kebebasan beragama atau pluralism sengat banyak sekali,diantaranya surat Al-Baqarah  256
لآ إكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطّاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لاانفصام لها والله سميع عليم
Artinya;
“Tak ada paksaan dalam memeluk suatu agama tertentu,sudah jelas berbeda antara yang benar dengan yang tersesat.Barang siapa yang kafir(menentang) syaithan  dan beriman kepada Allah,maka orang tersebut telah berpegang pada aqidah yang kuat”.



Tasawuf Menjawab


-->

<><> </><><> </> <><> </>
NAMA           : ABD.SHAMAD
NIM                : (E01211001)
KLS/SMT      : I A/ I
JURUSAN     : AF
JUDUL          : TASAWUF MENJAWAB

 


PENDAHULUAN
                                      

A. Latar Belakang

Ketika mendengar kata-kata sufi, tasawuf atau tarikat, terbayang dalam benak kita sosok orang ahli dzikir, suka menyepi dan tidak memperhatikan dunia (lebih memilih miskin dan tidak butuh harta/lebih memperhatikan dimensi batin) dll. Pada hal, tasawuf tidaklah seperti itu. Hanya saja, banyaknya cerita atau biografi para sufi yang banyak ditemukan lebih banyak menonjolkan sebagian sisinya saja telah membentuk mainstream berpikir kita. Selain itu, kita lebih suka menelaah mentah-mentah konsep tasawuf ortodoks tanpa memperhatikan keberadaan sosial politik dan budaya yang berkembang pada waktu itu. Pada hal konsep-konsep tasawuf sebagai hasil dari sebuah pemikiran yang berkembang pada waktu itu tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial politik dan budaya. Kajian tentang supremasi konsep tasawuf modern sangat minim sekali. Kita lupa pada beberapa sufi konglomerat seperti Syaikh Faridu Ad-Din Aththar, Syaikh Sadzili yang mengatakan “Harta adalah washilah (perantara) terpercaya agar dapat bertemu Tuhan”. Kita lupa pada Nabi Sulaiman yang kaya raya namun tergolong Nabi yang zuhud atau lebih bertasawuf dan lainnya. Di sini terjadi kesalah pahaman yang disebabkan pengetahuan yang tidak integral juga karena doktrin-doktrin tertentu.

Tasawuf merupakan ilmu mengolah hati, rasa agar dapat melahirkan akhlak karimah (mulya). Di sinilah letak nilai pokok (fundamental values) dari tasawuf sebagai manifestasi dari Ihsan. Konsep boleh saja berbeda sesuai perkembangan dan tuntutan zaman dengan tujuan yang sama, pembersihan jiwa dalam membentuk akhlak mulia. Kalau asal-mula tasawuf adalah ketidak puasan akan kesewenang-wenangan dan dekadensi moral pada waktu itu, maka pada zaman sekarang yang semuanya begitu praktis dan cepat dalam pertukaran informasi dan segalanya, juga problem-problem sosial yang begitu kompleks tentunya sangat menunggu sentuhan tasawuf. Korupsi, prostitusi, pemerkosaan, perampokan dan lainnya begitu marak dan seakan tak dapat dihindari lagi. Di sinilah pembaruan konsep-konsep tasawuf perlu ditransformasikan dalam rangka mengubah mainstream mereka tentang tasawuf dan mengembalikan mereka pada jalan yang sebenarnya. Diakui atau tidak, mereka yang mencari kebahagiaan dengan harta dan kekuasaan tidak akan pernah menemukannya kecuali lewat tasawuf sebagai penyucian jiwa. Tidak sedikit kita temukan orang kaya atau berkuasa bunuh diri dan stress pada zaman sekarang ini. Maka dari itu, kami tertarik untuk menulis makalah terkait tasawuf sebatas apa yang saya ketahui dari berbagai literatur sufi.

Berangkat berbagai fenomena di atas, perlu rasanya ada sosialisasi pembaharuan konsep-konsep tasawuf sesuai tuntutan zaman. Selain itu juga dibutuhkan pemahaman yang holistic tanpa reduksi terhadap tasawuf. Oleh karena itu kami mencoba menulis makalah dengan judul “Tasawuf Menjawab” dengan berangkat dari kejelasan pengertian, asal usul dan perkembangannya dilanjutkan dengan konsep tasawuf modern.


PEMBAHASAN

A. Ihsan dan Tasawuf

Dalam Islam, kita kenal tiga dimensi (konsep) ajaran yang terkait dengan urusan jasmani (dzahir) dan rohani (bathin). Ketiga dimensi tersebut berupa Iman, Islam dan Ihsan. Mengenai konsep Iman dan Islam, sudah menjadi bahasan teologi dan fikih yang berkembang jauh sebelum tasawuf atau Ihsan itu sendiri. Tiga dimensi ini memang berbeda. Tetapi dalam menempuh Islam sejati, ketiganya tidak dapat dipisahkan seperti bangunan segitiga yang tidak pernah bisa berdiri tanpa salah satu garis yang membangunnya. Dikotomi konsep-konsep Islam tersebut hanya akan melahirkan ketidak sempurnaan dan kepincangan keberagamaan sendiri. Selain itu, dikotomi merupakan langkah destruktif multi-dimensional Islam sebagai agama universal dan komplit. Di sini dperlukan kajian mendalam dalam rangka memperoleh pemahaman yang holistic tentang islam dengan segala aspeknya.

Tentang pengertian ihsan, Nabi pernah bersabda kepada Sahabat yang bertanya kepada Beliau dalam haditsnya yang artinya;
Ihsan adalah kalian beribadah kepada Allah seakan-akan kalian melihatnya. Dan jika tidak bisa (mampu), maka sesungguhnya Allah Melihat kalian”.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->
Dari sini dapat disimpulkan bahwa secara sederhana ihsan adalah penghayatan keagamaan itu sendiri yang seterusnya berkembang dalam ranah tasawuf atau sufisme dengan berbagai polesan dan warna-warna seiring perkembangan zaman. Namun, sangat disayangkan ketika dalam perkembangannya konsep-konsep tasawuf sebagai hasil pemikiran mengalami kerancuan dengan doktrin-doktrin Islam. Seakakn-akan konsep-konsep tersebut adalah paten dan tidak dapat dirubah sebagaimana dogma atau ajaran Islam itu sendiri. Pada hal tidak ada sakralisasi (pentaqdisan) dalam Islam, semua yang masih tergolong hasil pemikiran bersifat dinamis sesuai tuntutan zamannya.

            Terkait dengan tasawuf, banyak sekali penafsiran dan pemahaman yang berbeda. Namun, sebenarnya intinya sama saja dan perbedaan tersebut tak lebih dari perbedaan sudut pandang saja dan perbedaan pengalaman spiritual mereka yang sangat subyektif dengan inti dan hasil yang sama. Menurut Abu Muhammad Al-Jariri tasawuf adalah masuk kedalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina.<!--[if !supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]--> Tasawuf di sini merupakan salah satu keilmuan yang lebih menekankan faktor-faktor esoteris dalam diri manusia sebagai penggerak dari segala aktivitasnya dengan tetap memprhatikan syari’ah. Mengetahui keadaan batin atau spiritual seseorang kayaknya tidak dimungkinkan. Namun, sebenarnya hal itu dapat sedikit diketahui dengan berbagai tindakan yang mereka lakukan. Tak salah lagi apabila ada sebuah kaidah yang artinya “Apa yang tampak dalam realitas manusia merupakan petunjuk dari keberadaan batin seseorang”. Spiritual yang terkait dengan kondisi batin seseorang merupakan motor atau inspirator dari segala tindakan. Meskipun terkait dengan hal-hal yang tidak tampak, tasawuf dalam sejarahnya banyak melahirkan perubahan-perubahan dalam dunia Islam.

            Istilah taswuf ini baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriyah dengan berbagai konsepnya. Sebelumnya, timbul berbagai istilah seperti zuhhad, qurra’, nussakh, sahabat, qashshash dan istilah-istilah lainnya. Sejak abad ke-1H dan 2H sudah ada benih-benih tasawuf bahkan pada masa Nabi sekalipun sebagai Insan kamil. Pada abad pertama, muncul Hasan Al-Basri dengan ajaran khauf- nya dan pada akhir abad ke-2H muncul Rabi’ah Al-Adawiyah dengan mahabbah- nya. Namun dalam sejarahnya, mereka lebih dimasukkan pada kelompok zuhhad yang merupakan salah satu konsep tasawuf. Kecuali dalam catatan para mutashawwif, mereka merupakan sejarah besar mereka pada abad pertama dan kedua Hijriyah.

B.  Asal Usul Tasawuf dan Perkembangannya

Islam pada masa Nabi mungkin hanya biasa-biasa saja, tak banyak bahkan tidak pernah kita temukan pertentangan-pertentangan yang ekstrim. Nabi sebagai sosok yang sempurna dan pemimpin tunggal baik dalam Negara dan keagamaan dapat menyelesaikan segalanya dengan mendapat bimbingan langsung dari Tuhan. Setelah Nabi wafat mulai timbul perselisihan dengan dibuka oleh persoalan imamah sebagai pengganti Beliau. Namun semuanya masih biasa-biasa saja dan dapat diatasi pada era kepemimpinan khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Puncak dari kontroversi dalam Islam terjadi setelah fitnatu Al-Kubra pembunuhan khalifah Usman yang berlanjut pada peristiwa tahkim (arbitrase) pada masa kepemimpinan Ali. Pada waktu itulah benih-benih perbedaan yang ada sejak sebelumnya mulai muncul kepermukaan dan melahirkan ilmu kalam (teologi) yang diteruskan dengan munculnya ilmu fiqih (ubudiyyah) padamasa-masa setelahnya. Teologi dan fiqih ini terkait dengan konsep Iman dan Islam dalam agama Islam dan belum sampai pada pembahasan Ihsan yang terkait dengan kondisi batin atau spiritual umat Islam.

Sebagaimana pembahasan sebelumnya, benih-benih tasawuf sudah ada sejak masa Nabi dan pada abad ke-1H dan 2H ditandai dengan munculnya Hasan Al-Basri (642M-728M) dan Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185H) yang individualis dan praktis.<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> Namun perkembangannya sebagai sebuah konsep keilmuan terjadi pada abad ke-3H sebagai bentuk ketidak puasan akan legalisme dan formalisme fiqih juga rasionalisme kalam yang banyak diselewengkan oleh para penguasa sebagai dalil-dalil kedzalimannya atas nama Islam. Pada waktu itulah tasawuf sebagai manifestasi dari Ihsan atau dimensi ketiga dalam agama Islam muncul dan berkembang menjawab kebobrokan moral dan kesewenang-wenangan penguasa pada waktu itu.

Orang-orang tasawuf yang lebih dikenal sebagai sufi tidaklah puas dengan berbagai ketaatan yang sederhana dan hakikat spiritualnya. Dalam menjawab hal itu, pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai metodologi pandangan batinnya dan pembimbing spiritual. Dzun Nun (w. 249H/859M) adalah orang yang dipercaya para sufi dan mampu mengklasifikasikan tingkat-tingkat perkembangan kerohanian yang seterusnya dikenal dengan istilah Maqamat. Klasifikasi ini sebagai kontrol dan kritik dalam rangka standarisasi dan obyektivikasi pengalaman-pengalaman mereka kaum sufi.<!--[if !supportFootnotes]-->[4]<!--[endif]-->

Dalam sejarahnya, banyak kita temukan organisasi-organisasi sufi yang sebenarnya pada awal perkembangannya ditandai dengan halaqah-halaqah (lingkaran) yang diisi dengan diskusi keagamaan dan latihan-latihan spiritual. Halaqah-halaqah ini seterusnya berkembang menjadi organisasi-organisasi formal  (thariqah) para sufi khususnya saat banjirnya peminat dan terjadi pencampuran budaya. Kalau kita lihat buku “Tasawuf Kontekstual”, thariqat tersebut bermula pada abad ke-5 Hijriyah. Namun, pertumbuhan mulai menjamur pada abad ke-7 Hijriyah saat terjadi transmisi ajaran atau silsilah juga aturan-aturan, muncullah qadariyah, Naqsabandiyah dll.<!--[if !supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]--> Setelah itu, konsep-konsep syi’ah tentang Imamah dan Al-Mahdi juga kristianitas mulai mempengaruhi praktek-praktek sufi dalam thariqat. Selain itu masuknya filsafat yunani ke dunia Islam juga banyak mempengaruhi pada perkembangan selanjutnya (seperti; Neo-Platonis). Praktik-praktik sufi mulai kerasupan bid’ah dan khurafat yang banyak ditentang oleh para Fuqaha’ (ahli fiqih). Nyanyian dan tarian mulai masuk dalam dzikir dan praktik-praktik lainnya. Selain itu, tasawuf semi falsafi yang berkembang pada waktu itu lebih menekankan pada penyatuan dengan Tuhan dan pandangan-pandangan lain yang ditolak para Ulama’. Bahkan, banyak diantara mereka yang meninggalkan syari’at dan fokus ke dunia lain (esoteris) belaka di tengah-tengah ketidak terpisahan mereka dari hal-hal duniawi dalam hidup.

Setelah ajaran tasawuf mulai tercampur aduk dengan doktrin-doktrin dalam Islam juga dipengaruhi kebudayaan di luar Islam dan ditolak para Fuqaha’ bahkan diharamkan mempelajarinya, banyak para ulama’ yang mencoba untuk memurikan kembali ajaran-ajaran tersebut. Puncak pemurnian tersebut terjadi pada masa Hujjatu Al-Islam Al-Ghazali (450H/1058M - 505H/1111M) yang mampu memurnikan dan menghidupkan kembali ajaran tasawuf dari berbagai kerancuan. Bahkan beliau sanggup menggabungkan tasawuf dengan teologi Asy’ariyah dan fikih Syafi’iyah dalam karya monumentalnya “Ihya’ Ulum Al-Din”. Setelah itu, Tasawuf mulai diterima kembali di kalangan para ulama’ yang intinya tetap tidak meninggalkan realitas kenabian (syari’ah). Pada waktu ini, tasawuf semi falsafi dapat diredam dan hanya bergerak di bawah tanah (under ground) walaupun pada masa-masa selanjutnya mulai muncul kembali.

Selain berbagai hal di atas, banyak ayat alqur’an yang membahas tentang ajaran-ajaran atau nilai-nilai tasawuf yang menarik minat umat Islam untuk mengkajinya dan menemukan rahasia-rahasianya. Kehidupan dunia yang dinegasikan dengan kehidupan akhirat, keutamaan kehidupan akhirat dll. Diantara ayat-ayat tersebut adalah:

z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# 
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Al-Imran; 14)

(#þqßJn=÷æ$#ur !$yJ¯Rr& öNà6ä9ºuqøBr& öNä.ß»s9÷rr&ur ×puZ÷GÏù žcr&ur ©!$# ÿ¼çnyYÏã íô_r& ÒOŠÏàtã ÇËÑÈ
Artinya: Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Al-Anfal: 28)


$tBur ÍnÉ»yd äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ×qôgs9 Ò=Ïès9ur 4 žcÎ)ur u#¤$!$# notÅzFy$# }Îgs9 ãb#uquptø:$# 4 öqs9 (#qçR$Ÿ2 šcqßJn=ôètƒ
Artinya: Dan tiadalah kehidupan dunia Ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang Sebenarnya kehidupan, kalau mereka Mengetahui. (Al-Ankabut: 64)

<!--[if !supportLists]-->C.     <!--[endif]-->Konsep Tasawuf Moderen

            Terkait dengan konsep tasawuf modern, sebenarnya sebelumnya sudah ada pemikiran tokoh akhlak dan filsuf Islam yang menurut hemat saya sangat cocok untuk diterapkan. Beliau adalah Ibnu Maskawaih dalam pendapatnya tentang zuhud yang identik dengan pengasingan diri dari kehidupan sosial kemasyarakatan. Menurut Beliau zuhud justru merupakan kezaliman terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Seorang zahid hanya melakukan interaksi searah tanpa apresiasi terhadap masyarakat. Selain itu, menurut Beliau kebaikan dan cinta itu akan tampak dalam pergumulan dengan masyrakat yang di dalamnya penuh dengan tantangan dalam mempertahankan sebuah pendirian bukan dengan kesendirian di tempat sepi yang memang tidak ada tantangan sama sekali terkait dengan pendiriannya.

            Ilmu Tasawuf adalah karya atau hasil pemikiran manusia yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Konsep-konsep tasawuf ortodoks tidak mungkin diterapkan sekarang, era yang jauh berbeda dengan masa lalu saat konsep-konsep tersebut muncul dan berkembang. Dalam berbagai konsep yang berbeda, ada kesamaan yang disebut nilai pokok (fundamental values) sebagai dasar semuanya. Jadi, konsep atau bentuk yang kita jalankan boleh saja berbeda dengan tujuan yang sama berupa pencerahan spiritual. Untuk masa sekarang perlu rasanya aktualisasi tasawuf dengan berbagai pembaharuan sesuai tuntutan zaman.

            Kalau kita lihat sejarah, konsep tasawuf ortodoks yang lebih menekankan pada dunia lain (esoteris) tak lebih dari ketidak mampuan mereka dalam melawan para penguasa yang lalim, individualis, sistem kerajaan dan terorganisir. Sehingga, mereka lebih memilih mengasingkan diri sebagai wujud ketidak puasan. Sedangkan mereka yang terang-terangan atau mencoba menentang akan berakhir di ujung pedang. Berbeda dengan keberadaan sosial politik sekarang khususnya negara kita Indonesia yang lebih demokratis, plural dan dalam masa-masa pembangunan. Kita tidak hanya hidup sendiri dan memiliki latar belakang sejarah dan tujuan yang sama. Kita tidak bisa menerapkan hasil pemikiran klasik dalam menjawab tantangan zaman sekarang, apalagi dalam keadaan sosial kemasyarakatan yang berbeda. Karena hal itu hanyalah sebuah pemikiran, kita bisa saja melakukan perubahan-perubahan sesuai kebutuhan.

            Sebenarnya tasawuf ada tiga bagian, pertama tasawuf amali yang berupa tuntutan praktis dan lebih dikenal dengan thariqat. Kedua tasawuf akhlaki berupa penghiasan diri dengan akhlak yang baik dan pembersihan jiwa dari akhlak tercela. Ketiga tasawuf falsafi berupa kajian mendalam dengan tnjaun filosofis.<!--[if !supportFootnotes]-->[6]<!--[endif]--> Dalam tasawuf amali dan tasawuf amali dibutuhkan seorang guru dalam membimbingnya, dan hal itu tidaklah dibutuhkan dalam tasawuf akhlaki yang berupa pembentukan watak, mental dan perilaku baik. Konsep tasawuf yang relevan dengan masa sekarang yang dikungkung dalam dekadensi moral, harus berorientasi pada perbaikan moral dan kehidupan sosial kemasyarakatan dan tidak lagi memperhatikan diri sendiri secara individual. Ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan, Misalnya;

a.)  Lebih memperhatikan lingkungan fisik
      Lingkungan fisik sangat berpengaruh pada keadaan jiwa masyarakat sekarang, seperti kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat sangat mempengaruhi bagi jiwa bahkan keberagamaan mereka. Bukan saatnya sekarang lebih memperhatikan jiwa terlebih dahulu sementara meninggalkan lingkungan fisik layaknya sufi-sufi ortodoks. Tidak memperhatikan lingkungan fisik sama saja dengan menyerahkan kehidupan kita pada orang lain. Dunia sekarang yang digambarkan sebagai perjuangan antar kelas akan menyisakan kematian di balik ketidak perhatian. Ketika kemiskinan dan lingkungan fisik lainnya sudah mendapat perhatian dan teratasi problema-problemanya, maka semuanya akan lebih mudah ketika masuk dalam dunia jiwa. Hal inilah yang sangat mempengaruhi kondisi spiritual sosial kemasyarakatan.

b.)  Dari perbaikan moral individu ke sosial
      Kalau sufi-sufi terdahulu lebih pada perbaikan moral individual itu tak lebih dari pengaruh kerajaan. Sementara sekarang, di tengah-tengah demokrasi dan globalisasi tasawuf tidak lagi bisa begitu sebagai salah satu keilmuan Islam yang juga memiliki tanggung jawab sosial dalam kemajuan dan perkembangan umat Islam. Dekadensi moral masyarakat juga menjadi tanggung jawabnya sebagai wujud dari Ihsan dalam Islam. Dalam Islam kita diajarkan saling mengingatkan (tawashaw bi al-haqqi wa tawashaw bi al-shabri), amar ma’ruf dan nahi mungkar. Hal ini tidak hanya terkait pada diri sendiri, tetapi lebih pada lingkungan sosial kemasyarakatan sebagai saudara seiman dan saling membutuhkan.
c.) Dari meditasi dan isolasi ke tindakan terbuka (perubahan sosial politik)
      Meditasi dan isolasi dari kehidupan sosial kemasyarakatan merupakan kebanggaan sebagai perwujudan konsep-konsep sufi klasik. Namun pada masa sekarang, hal tersebut tidaklah relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kecuali pelakunya akan dikucilkan sebagai orang yang tidak punya perhatian antar sesamanya. Sekarang bukan lagi masa kerajaan yang otoriter dan tiran, rakyat adalah kekuatan terbesar dalam demokrasi. Di sini kita memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan, memberantas kemaksiatan dan memperbaiki moral. Tidak seperti sufi terdahulu yang berakhir di ujung pedang dalam memperjuangkan kebenaran.

d.) Pasif ke aktif
      Tasawuf klasik sebagai reaksi kekalahan kesalehan di dunia ini bersifat individualis dan lebih berorientasi pada dunia lain. Hal ini tak lebih karena pengaruh zamannya, system yang teratur dan mempengaruhi keadaan sosial kemasyarakatan pada waktu itu. Pada masa sekarang tasawuf dituntut peranannya dalam pembangunan cita-cita dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (eskatologi). Tindakan pasif, menyendiri (uzlah), wiridan terus tanpa kerja bukanlah hal yang baik pada zaman sekarang di tengah-tengah modenisasi dan globalisasi. Kecuali kita akan termarginalkan dan mati. Tindakan pasif juga melahirkan perubahan kecil terkait dengan individu masing-masing. Pada hal kita tidak bisa berdiam diri dan bertindak apriori terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Bukan hanya kebaikan diri sendiri yang diutamakan, tetapi kebaikan yang lain sebagai saudara kita juga perlu diperhatikan.

e.) Dari kesatuan hayal ke persatuan nyata
      Kalau para sufi klasik lebih pada Wihdatu Al-Wujud, Wihdatu Al-Syuhud dan konsep-konsep kesatuan dan persatuan dengan Tuhan, pada zaman sekarang lebih dibutuhkan persatuan dan kesatuan masyarakat sendiri dalam menegakkan keadilan dan memberantas dekadensi moral juga problema-problema lain pada zaman sekarang. Hal-hal itulah yang lebih dibutuhkan dalam kesejahteraan dan mencapai aufklarung spiritual. Ketika persatuan dan kesatuan masyarakat sudah kokoh, maka akan semakin mudah dalam mewujudkan dan memperjuangkan akhlak-akhlak mulia sebagai akhlak Tuhan yang coba kita terapkan dalam mencapai ketenangan dan kesempurnaan.<!--[if !supportFootnotes]-->[7]<!--[endif]-->
KESIMPULAN
                   Tasawuf sebagai pengembangan dari Ihsan dalam Islam yang merupakan penghayatan seseorang atas agamanya. Tasawuf di sini merupakan penyucian atau pembersihan jiwa dalam pembentukan akhlak mulia dan terhindar dari akhlak tercela. Namun dalam perkembangannya, tasawuf menjadi sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan perkembangan sosial politik pada waktu itu. Pada abad ke-5 Hijriyah muncullah apa yang disebut dengan tharikat-tharikat dengan Imam pembimbingnya dan konsep-konsep tertentu. Tharikat inilah sebagai organisasi formal para mutashawwif yang muncul belakangan.
            Secara historis, abad ke-3 Hijriyah menjadi awal mula berdirinya tasawuf menjadi sebuah keilmuan. Sebenarnya benih-benih tasawuf ini sudah ada sejak abad pertama Hijriyah bahkan pada masa Nabi sebagai Insan Kamil. Hanya saja pada waktu itu belum berkembang menjadi sebuah keilmuan dan muncul ke permukaan. Pada abad ketiga, saat dekadensi moral mulai meraja lela, para penguasa mulai melakukan penyelewengan atas nama Islam tasawuf muncul sebagai bentuk ketidak puasan atas legalisme dan formalisme fikih juga rasionalisme kalam yang tidak memberikan harapan dalam penyelesaian masalah yang terjadi dan belum memberikan kebahagian yang seutuhnya. Selain itu dalam alqur’an kita juga sering menemukan ayat-ayat yang terkait dengan kehidupan dunia yang seakan permainan belaka dan kehidupan akhirat (eskatologi) yang sesungguhnya seperti:
$tBur ÍnÉ»yd äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ×qôgs9 Ò=Ïès9ur 4 žcÎ)ur u#¤$!$# notÅzFy$# }Îgs9 ãb#uquptø:$# 4 öqs9 (#qçR$Ÿ2 šcqßJn=ôètƒ