Senin, 14 Januari 2013

Takfir dan Tadhlil


Oleh : Zainuddin & Siti Alinda

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sudah tidak asing lagi Fenomena pensesatan (tadlil) dan pengkafiran (takfir) dalam kehidupan saat ini apalagi baru-baru ini diguncangkan dengan berita di media masa tentang pembakaran pemukiman warga yang diyakini milik kelompok syi’ah di sampang madura, dan kalau kita membaca dalam buku sejarah tentang aliran-aliran sesudah wafatnya Nabi banyak skali ditemukan penyesata dan pengkafiran antar kelompok.
Dari pengantar di atas inilah ingin sekali menguak awal mula fonomena terjadinya penyesatan dan pengkafiran serta konsep penyesatan dan pengkafiran.

B.  Rumusan Masalah
1.      Sejak kapan terjadinya fenomena tadlil dan takfir..?
2.      Dan seperti apa konsep tadlil dan takfir..?
C.  Tujuan
1.      Ingin mengetahui kapan terjadinya fenomena tadlil dan takfir
2.      Agar tahu seperti apa konsep tadlil dan takfir


BAB II
FENOMENA ADANYA TADLIL DAN TAKFIR

A.    Sejarah Munculnya Tadlil dan Takfir dalam Islam.
Keberadaan orang-orang sesat (dallun) dan orang-orang kafir (kafirun) telah ditegaskan sejak awal turunnya wahyu dalam Islam. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa adanya tadlil dan takfir baru muncul setelah terjadinya arbitrase sebagai jalan penyelesain persengketaan tentang khilafah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang berakibat keluarnya pengikut Ali lalu membentuk golongan sendiri yang disebut sebagai khawarij dan, ditangan khawarijlah yang pertama melakukan fenomena tadlil dan  takfir.
Dalam sejarah ilmu kalam disebutkan bahwa pengkafiran bermula dari ketidak disiplinan seorang khilafah. Sebut saja Usman ibnu Affan dan ali golongan khowarij menyebut keduanya kafir, dalam bukunya harun nasution dijelaskan. Usman mereka anggap kafir telah menyeleweng mulai dari ahun ke tujuh dari masa khalifahnya, dan ali mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase.[1]
Dalam kitab al-Iman, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa perselisihan antara dua kata makna iman dan kufr merupakan perselisihan Intern pertama yang terjadi di antara orang-orang Islam. Masalah inilah yang membuat masyarakat muslim terpecah menjadi beberapa sekte dan golongan yang berbeda-beda dalam menafsirkan kitab suci dan sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut “kafir”.
Dari sejarahnya, kemunculan kelompok khawarij dipicu oleh persoalan politik, yaitu masalah khilafah. Oleh karena itu Ahmad Amin menyatakan bahwa kelompok khawarij, bersama kelompok pendukung dan penentang Ali sesungguhnya dapat disebut sebagai kelompok-kelompok  politik.[2] Akan tetapi, mereka segera memperluas persoalan tersebut ke wilayah teologis dengan memformulasikan pertanyaan-pertanyaan dasar: “Apakah pengikut dan pendukung Ali sebagai kafir ataukah mukmin?” dan “Apakah pengikut dan pendukung Mu’awiyah sebagai kafir ataukah mukmin?”. Kedua pertanyaan tersebut dapat dirumuskan dengan satu pertanyaan yang lebih teoritis, “Apakah orang yang melakukan dosa besar masih bisa dianggap sebagai orang mukmin atau karenanya ia menjadi kafir?”, jawaban kelompok khawarij terhadap pertanyaan tersebut ialah jelas kafir.
Dalam perkembangan sejarahnya fenomena tadlil dan  takfir dalam Islam ditangan kelompok-kelompok lain lebih melebar todak hanya mereka yang melakukan dosa besar, tetapi juga dosa apapun.[3] Dengan kata lain, pintu terbuka lebar bagi tadlil dan takfir, hingga tak ada batasan mengenai seberapa jauh seseorang harus melangkah dan kapan harus berhenti. Jadi seseorang dapat menunjuk kepada siapapun dengan saudara muslimnya untuk mengatakannya sebagain “sesat dan kafir”. Hambali mengkhafirkan Asy’ari dan sebaliknya. Pada sisi lain, Asy’ari mengkhafirkan Mu’tazilah dan sebaliknya.[4] Situasi semacam ini mengugah kegelisahan beberapa kalangan Ulama’. Salah satu diantaranya adalah al-Ghazali yang kemudian menulis Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah  dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad, yang diantaranya berisi konsep Takfirnya.

B. Konsep Tadlil dan Takfir.
Tadlil dan takfir merupakan dua kata transitif dari kata dasar dalal dan kufr, sehingga secara bahasa tadlil berarti menyesatkan dan takfir berarti mengkafirkan. Kedua kata tersebut, sesungguhnya, berada dalam satu kerangka pemaknaan, walaupun kadang-kadang bisa memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Karenanya kadang-kadang juga keduanya bisa saling ditukar satu sama lain. Ketika disebut tadlil, maka juga berarti takfir dan begitu sebaliknya. Pemaknaan konsep tadlil dan takfir semacam itu bisa dilihat dalam realitas masyarakat yang saling melakukan tad}lil dan takfir.
Yang dimaksud dengan tadlil dan takfir adalah menstigma seseorang sebagai orang yang sesat dan atau dan oleh karenanya kafir.
 Dalam konsep takfir al-Gazali yang ada di dua kitabnya yang saya sebutkan di atas. Baginya masalah takfir adalah masalah hukum syar'i. Artinya ketika dinyatakan bahwa seseorang itu kafir, maka pernyataan ini pada dasarnya memiliki tiga implikasi, yaitu :
1.      Implikasi hukum akhirat, yaitu masuk neraka selamanya
2.      Implikasi hukum dunia, yaitu tidak memiliki hak qisas, tidak berhak menikahi wanita muslimah, tidak dilindungi darah dan hartanya, dan lain sebagainya
3.      Implikasi terbunuh karakternya dan dicap sebagai pelaku dusta[5]
Karena persoalan takfir adalah persoalan hukum syar'i, maka landasan yang benar untuk melakukannya adalah wahyu, bukan akal. Untuk menstigma seseorang sebagai kafir atau muslim, hanya bisa dilakukan dengan pengetahuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau dalam berijtihad dari kedua sumber hukum Islam tersebut. [6] Tidak ada ruang bagi akal semata untuk menetapkan seseorang sebagai kafir.
Adalah tidak benar orang mengatakan bahwa dasar penetapan seseorang sebagai kafir atau muslim adalan akal semata, bukan syara’, dan bahwa orang yang tidak mengetahui Allah adalah orang kafir dan orang yang mengetahui Allah adalah orang mukmin. Menetapkan seseorang sebagai kafir berarti menetapkan kehalalan darahnya bagi dia dan menetapkannya masuk neraka. Kedua hal yang terakhir ini merupakan wilayah hukum syar’i[7] dan hak prerogatif Allah.    
Kekufuran dan kesesatan terjadi ketika terjadinya pengingkaran dan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya. Konsep kufur semacam ini sebagai kebalikan dari konsep iman sebagai pembenaran terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullullah.[8] Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang kafir adalah siapa saja yang mendustakan terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullu[9]
Namun tidak semua takdzib kepada Rasulullah SAW berakibat kekufuran, ada yang hanya berakibat kesesatan. Ada beberapa tingkatan takdzib kepada Rasulullah SAW :
a)      Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara pasti (qath’iy) berdasarkan nash-nash al-Quran, seperti kekufuran oarang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan para penyembah berhala (QS an-Nisa: 150-151). Mereka adalah orang-orang kafir, karena ajaran mereka mendustakan Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang di bawanya. Yahudi, misalnya, mempercayai semua Nabi selain Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Nasrani mempercayai semua Nabi, tetapi mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi.[10]
b)      Kaum Brahman dan materialisme, karena yang pertama tidak hamya mengingkari Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mengingkari seluruh Nabi, dan karena yang kedua mengingkari Allah sebagai Pencipta Alam, maka mereka lebih layak dianggap kafir dari Yahudi dan Nashrani. Orang-orang yang meyakini ajaran bahwa semua agama saat ini benar termasuk kelompok ini pula.[11]
c)      Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara ijtihadiy, seperti para filosof yang meyakini ajaran (1) bahwa kebangkitan kembali secara fisik di akhirat tidak mungkin terjadi, (2) bahwa Allah tidak mengetahui juziyat, dan (3) bahwa alam itu kekal. Mereka oleh al-Ghazali dianggap kafir karena ketiga ajaran mereka tersebut tidak lain dari pada takdzib secara terang-terangan terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW.[12]
Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mengingkari ajaran Islam yang maklum min al-din bi al-darurah, seperti rukun Iman dan rukun Islam.[13] 
Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah termasuk kelompok ini pula, karena ajaran mereka yang mengingkari inqitha’ al-nubuwwah sebagai ajaran yang sudah mujma’ alaih. Begitu juga kelompok-kelompok yang mengingkari ajaran yang sudah mujma’ alaih yang lain,
d)     Takdzib yang tidak menyebabkan kekufuran tetapi menyebabkan kesesatan (bid’ah), seperti Syi’ah Imamiyah yang secara ajaranya secara implisit mengingkari ayat-ayat al-Quran yang memuji-muji para sahabat sebagai golongan yang terhormat, yakni kelompok yang dimuliakan Allah.
Mu'tazilah dan antropomorfis termasuk kelompok ini, karena mereka telah melakukan penakwilan dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an dengan sekehendaknya.
Wilayah takfir adalah masalah-masalah usul atau prinsip-peinsip agama. Tidak ada ruang bagi takfir persoalan-persoalan furu' atau cabang-cabang agama.[14] Yang dimaksud dengan usu, di sini, adalah usul al-iman yang meliputi iman kepada Allah, Rasulnuya, dan hari akhir. Selain itu masuk kategori furu'.[15]
Oleh karena itu, dia berpesan :
فان تكف لسانك من اهل القبلة ما امكنك ماداموا قائلين لااله ال الله محمد رسول الله غير مناقضين لها والمناقضة تجويزهم الكذب علي رسول الله صلي الله عليه وسلم بعذر او غير عذر, وان التكفير فيه خطر والسكوت لا خطرفيه [16]
   Kalau kita setuju dengan konsep takfir al-Gazali seperti di atas, maka yang berhak memutuskan bahwa seseorang itu sesat dan kafir hanya Syari', yaitu Allah, dan orang-orang yang diberi mandat dan wewenag olehNya, yaitu Rasulullah dan ulil al-Amri. Yang dimaksudkan dengan ulil al-amri menurut sebagian ulama' tafsir adalah pemerintah.  menurut sebagian ulama' tafsir yang lain, yang dimaksudkan dengan ulil al-amri adalah orang-orang yang memiliki kompetensi dalam memahami sumber hukum syari'at, yaitu al-Qur'an dan al-Hadis. Kompetensi dalam memahami sumber hukum syari'at ini mensyaratkan adanya pengetahuan dasar :
1.      Pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan
2.    Pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat dan hadis nabi
3.    Pengetahuan tentang hubungan antara sebagian teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan sebagian yang lain
4.    Pengetahuan tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan hukum
5.    Pengetahuan tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan maqasid syar’ayyah.
Kedua pendapat ahli tafsir tersebut tidak bertentangan, bahkan sangat ideal kalau bisa digabungkan keduanya. Apakah MUI dalam konteks Indonesia merepsentasikan ideal ini,semoga.




BAB III
KESIMPULAN
                        jadi kesimpulan yang kiata peroleh dari lieratur  diatas adalah. Fenomena adanya tadlil dan takfir itu di prekarsai oleh orang-orang terdahulu yaitu golongan khowarij setelah terjadinya arbitrase dimana golongan ini menganggap ali kafir karna menyetujui adanya arbitrase.
Sedangkan konsep tadlil dan takfir adalah terjadinya Kekufuran dan kesesatan bila terjadi ke pengingkaran dan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya. Konsep kufur semacam ini sebagai kebalikan dari konsep iman sebagai pembenaran terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullullah. Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang kafir adalah siapa saja yang mendustakan terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullu Namun tidak semua takdzib kepada Rasulullah SAW berakibat kekufuran, ada yang hanya berakibat kesesatan. Ada beberapa tingkatan takdzib kepada Rasulullah SAW :

Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara pasti (qath’iy) berdasarkan nash-nash al-Quran, seperti kekufuran oarang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan para penyembah berhala (QS an-Nisa: 150-151).
Kaum Brahman dan materialisme, karena yang pertama tidak hamya mengingkari Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga mengingkari seluruh Nabi, dan karena yang kedua mengingkari Allah sebagai Pencipta Alam, 
Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara ijtihadiy, seperti para filosof yang meyakini ajaran (1) bahwa kebangkitan kembali secara fisik di akhirat tidak mungkin terjadi, (2) bahwa Allah tidak mengetahui juziyat, dan (3) bahwa alam itu kekal.  Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mengingkari ajaran Islam yang maklum min al-din bi al-darurah, seperti rukun Iman dan rukun Islam.  Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah termasuk kelompok ini pula, karena ajaran mereka yang mengingkari inqitha’ al-nubuwwah sebagai ajaran yang sudah mujma’ alaih. Begitu juga kelompok-kelompok yang mengingkari ajaran yang sudah mujma’ alaih yang lain,
Takdzib yang tidak menyebabkan kekufuran tetapi menyebabkan kesesatan (bid’ah), seperti Syi’ah Imamiyah yang secara ajaranya secara implisit mengingkari ayat-ayat al-Quran yang memuji-muji para sahabat sebagai golongan yang terhormat,






DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. III, Cairo, 1963.
Ibnu Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwal wa an-Nihal, vol. IV Cairo, 1317-1321 H.     
Al-Gazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah.
Al-Gazali, al-Iqtisad fi al-I'tiqad.
Harun nasution, teologi islam:aliran-aliran sejarah analisa dan perbandingan, cet.5 jakarta universitas indonesia (UI press),1986t


                          [1]harun nasution teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa dan perbandingan
[2]Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. III, Cairo, 1963, hlm. 5.

[3]Ibnu Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwal wa an-Nihal, vol. IV Cairo, 1317-1321 H,
[4] Al-Gazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hlm. 79

[5]Al-Gazali, al-Iqtis}a>d fi> al-I'tiqa>d, hlm. 80.
[6]Ibid.
[7]Al-Gazali, Faisal, hlm. 98
[8]Ibid, hlm. 78
[9]Al-Gazali, al-Iqtis}a>d fi> al-I'tiqa>d, hlm. 80.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid, hlm. 81
[13] Ibid, hlm. 82
[14]Al-Gazali, Faisal, hlm. 89
[15]Ibid
[16]Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar