Oleh : Zainuddin & Siti Alinda
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sudah tidak asing lagi Fenomena pensesatan (tadlil) dan
pengkafiran (takfir) dalam kehidupan saat ini apalagi baru-baru ini diguncangkan
dengan berita di media masa tentang pembakaran pemukiman warga yang diyakini
milik kelompok syi’ah di sampang madura, dan kalau kita membaca dalam buku
sejarah tentang aliran-aliran sesudah wafatnya Nabi banyak skali ditemukan
penyesata dan pengkafiran antar kelompok.
Dari pengantar di
atas inilah ingin sekali menguak awal mula fonomena terjadinya penyesatan dan
pengkafiran serta konsep penyesatan dan pengkafiran.
B. Rumusan
Masalah
1.
Sejak kapan terjadinya fenomena
tadlil dan takfir..?
2.
Dan seperti apa konsep tadlil dan
takfir..?
C. Tujuan
1.
Ingin mengetahui kapan terjadinya
fenomena tadlil dan takfir
2.
Agar tahu seperti apa konsep tadlil
dan takfir
BAB
II
FENOMENA
ADANYA TADLIL DAN TAKFIR
A.
Sejarah Munculnya Tadlil dan Takfir
dalam Islam.
Keberadaan
orang-orang sesat (dallun) dan orang-orang kafir (kafirun) telah ditegaskan
sejak awal turunnya wahyu dalam Islam. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa
adanya tadlil dan takfir baru muncul setelah terjadinya arbitrase
sebagai jalan penyelesain persengketaan tentang khilafah Ali bin Abi Thalib
dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, yang berakibat keluarnya pengikut Ali lalu membentuk
golongan sendiri yang disebut sebagai khawarij dan, ditangan khawarijlah yang
pertama melakukan fenomena tadlil dan
takfir.
Dalam sejarah ilmu kalam disebutkan bahwa pengkafiran
bermula dari ketidak disiplinan seorang khilafah. Sebut saja Usman ibnu Affan
dan ali golongan khowarij menyebut keduanya kafir, dalam bukunya harun nasution
dijelaskan. Usman mereka anggap kafir telah menyeleweng mulai dari ahun ke
tujuh dari masa khalifahnya, dan ali mereka pandang menyeleweng sesudah
peristiwa arbitrase.[1]
Dalam
kitab al-Iman, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa perselisihan antara dua kata
makna iman dan kufr merupakan perselisihan Intern pertama yang
terjadi di antara orang-orang Islam. Masalah inilah yang membuat masyarakat
muslim terpecah menjadi beberapa sekte dan golongan yang berbeda-beda dalam
menafsirkan kitab suci dan sunnah sehingga satu sama lain saling menyebut
“kafir”.
Dari
sejarahnya, kemunculan kelompok khawarij dipicu oleh persoalan politik, yaitu
masalah khilafah. Oleh karena itu Ahmad Amin menyatakan bahwa kelompok
khawarij, bersama kelompok pendukung dan penentang Ali sesungguhnya dapat
disebut sebagai kelompok-kelompok politik.[2]
Akan tetapi, mereka segera memperluas persoalan tersebut ke wilayah teologis
dengan memformulasikan pertanyaan-pertanyaan dasar: “Apakah pengikut dan
pendukung Ali sebagai kafir ataukah mukmin?” dan “Apakah pengikut dan pendukung
Mu’awiyah sebagai kafir ataukah mukmin?”. Kedua pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan dengan satu pertanyaan yang lebih teoritis, “Apakah orang yang
melakukan dosa besar masih bisa dianggap sebagai orang mukmin atau karenanya ia
menjadi kafir?”, jawaban kelompok khawarij terhadap pertanyaan tersebut ialah
jelas kafir.
Dalam
perkembangan sejarahnya fenomena tadlil dan takfir dalam Islam ditangan
kelompok-kelompok lain lebih melebar todak hanya mereka yang melakukan dosa
besar, tetapi juga dosa apapun.[3]
Dengan kata lain, pintu terbuka lebar bagi tadlil dan takfir,
hingga tak ada batasan mengenai seberapa jauh seseorang harus melangkah dan
kapan harus berhenti. Jadi seseorang dapat menunjuk kepada siapapun dengan
saudara muslimnya untuk mengatakannya sebagain “sesat dan kafir”. Hambali
mengkhafirkan Asy’ari dan sebaliknya. Pada sisi lain, Asy’ari mengkhafirkan
Mu’tazilah dan sebaliknya.[4]
Situasi semacam ini mengugah kegelisahan beberapa kalangan Ulama’. Salah satu
diantaranya adalah al-Ghazali yang kemudian menulis Faisal at-Tafriqah baina
al-Islam wa al-Zandaqah dan al-Iqtisad
fi al-I’tiqad, yang diantaranya berisi konsep Takfirnya.
B.
Konsep Tadlil dan Takfir.
Tadlil dan takfir merupakan dua kata
transitif dari kata dasar dalal dan kufr, sehingga secara bahasa tadlil
berarti menyesatkan dan takfir berarti mengkafirkan. Kedua kata
tersebut, sesungguhnya, berada dalam satu kerangka pemaknaan, walaupun
kadang-kadang bisa memiliki tingkat kedalaman yang berbeda. Karenanya
kadang-kadang juga keduanya bisa saling ditukar satu sama lain. Ketika disebut tadlil,
maka juga berarti takfir dan begitu sebaliknya. Pemaknaan konsep tadlil
dan takfir semacam itu bisa dilihat dalam realitas masyarakat yang
saling melakukan tad}lil dan takfir.
Yang dimaksud dengan tadlil dan takfir
adalah menstigma seseorang sebagai orang yang sesat dan atau dan oleh karenanya
kafir.
Dalam konsep takfir al-Gazali yang ada di dua kitabnya
yang saya sebutkan di atas. Baginya masalah takfir adalah masalah hukum
syar'i. Artinya ketika dinyatakan bahwa seseorang itu kafir, maka pernyataan
ini pada dasarnya memiliki tiga implikasi, yaitu :
1. Implikasi hukum akhirat, yaitu masuk neraka
selamanya
2. Implikasi hukum dunia, yaitu tidak memiliki
hak qisas, tidak berhak menikahi wanita muslimah, tidak dilindungi darah dan
hartanya, dan lain sebagainya
Karena persoalan takfir adalah
persoalan hukum syar'i, maka landasan yang benar untuk melakukannya adalah
wahyu, bukan akal. Untuk menstigma seseorang sebagai kafir atau muslim, hanya
bisa dilakukan dengan pengetahuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis atau dalam
berijtihad dari kedua sumber hukum Islam tersebut.
[6] Tidak ada ruang bagi akal semata untuk menetapkan
seseorang sebagai kafir.
Adalah tidak benar orang mengatakan bahwa
dasar penetapan seseorang sebagai kafir atau muslim adalan akal semata, bukan
syara’, dan bahwa orang yang tidak mengetahui Allah adalah orang kafir dan
orang yang mengetahui Allah adalah orang mukmin. Menetapkan seseorang sebagai
kafir berarti menetapkan kehalalan darahnya bagi dia dan menetapkannya masuk
neraka. Kedua hal yang terakhir ini merupakan wilayah hukum syar’i[7] dan hak prerogatif Allah.
Kekufuran dan kesesatan terjadi ketika
terjadinya pengingkaran dan pendustaan terhadap Nabi Muhammad SAW dan ajaran
yang dibawanya. Konsep kufur semacam ini sebagai kebalikan dari konsep iman
sebagai pembenaran terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullullah.[8] Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang kafir adalah siapa saja
yang mendustakan terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullu[9]
Namun tidak semua takdzib kepada
Rasulullah SAW berakibat kekufuran, ada yang hanya berakibat kesesatan. Ada
beberapa tingkatan takdzib kepada Rasulullah SAW :
a) Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara pasti (qath’iy)
berdasarkan nash-nash al-Quran, seperti kekufuran oarang-orang Yahudi,
Nashrani, Majusi, dan para penyembah berhala (QS an-Nisa: 150-151). Mereka
adalah orang-orang kafir, karena ajaran mereka mendustakan Nabi Muhammad SAW
dan ajaran yang di bawanya. Yahudi, misalnya, mempercayai semua Nabi selain
Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Nasrani mempercayai semua Nabi, tetapi
mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi.[10]
b) Kaum Brahman dan materialisme, karena yang
pertama tidak hamya mengingkari Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga
mengingkari seluruh Nabi, dan karena yang kedua mengingkari Allah sebagai
Pencipta Alam, maka mereka lebih layak dianggap kafir dari Yahudi dan Nashrani.
Orang-orang yang meyakini ajaran bahwa semua agama saat ini benar termasuk
kelompok ini pula.[11]
c) Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara ijtihadiy,
seperti para filosof yang meyakini ajaran (1) bahwa kebangkitan kembali secara
fisik di akhirat tidak mungkin terjadi, (2) bahwa Allah tidak mengetahui juziyat,
dan (3) bahwa alam itu kekal. Mereka oleh al-Ghazali dianggap kafir karena
ketiga ajaran mereka tersebut tidak lain dari pada takdzib secara
terang-terangan terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW.[12]
Termasuk dalam kelompok ini adalah orang-orang
yang mengingkari ajaran Islam yang maklum min al-din bi al-darurah,
seperti rukun Iman dan rukun Islam.[13]
Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah termasuk
kelompok ini pula, karena ajaran mereka yang mengingkari inqitha’
al-nubuwwah sebagai ajaran yang sudah mujma’ alaih. Begitu juga
kelompok-kelompok yang mengingkari ajaran yang sudah mujma’ alaih yang
lain,
d) Takdzib yang tidak menyebabkan kekufuran tetapi
menyebabkan kesesatan (bid’ah), seperti Syi’ah Imamiyah yang secara
ajaranya secara implisit mengingkari ayat-ayat al-Quran yang memuji-muji para
sahabat sebagai golongan yang terhormat, yakni kelompok yang dimuliakan Allah.
Mu'tazilah dan antropomorfis termasuk kelompok
ini, karena mereka telah melakukan penakwilan dan penafsiran terhadap ayat-ayat
al-Qur'an dengan sekehendaknya.
Wilayah takfir adalah masalah-masalah usul atau
prinsip-peinsip agama. Tidak ada ruang bagi takfir persoalan-persoalan furu' atau
cabang-cabang agama.[14] Yang dimaksud
dengan usu, di sini, adalah usul al-iman yang meliputi iman
kepada Allah, Rasulnuya, dan hari akhir. Selain itu masuk kategori furu'.[15]
Oleh karena itu, dia berpesan :
فان تكف لسانك من اهل القبلة ما امكنك ماداموا
قائلين لااله ال الله محمد رسول الله غير مناقضين لها والمناقضة تجويزهم الكذب علي
رسول الله صلي الله عليه وسلم بعذر او غير عذر, وان التكفير فيه خطر والسكوت لا
خطرفيه [16]
Kalau
kita setuju dengan konsep takfir al-Gazali seperti di atas, maka yang
berhak memutuskan bahwa seseorang itu sesat dan kafir hanya Syari', yaitu
Allah, dan orang-orang yang diberi mandat dan wewenag olehNya, yaitu Rasulullah
dan ulil al-Amri. Yang dimaksudkan dengan ulil al-amri menurut sebagian ulama'
tafsir adalah pemerintah. menurut
sebagian ulama' tafsir yang lain, yang dimaksudkan dengan ulil al-amri adalah
orang-orang yang memiliki kompetensi dalam memahami sumber hukum syari'at,
yaitu al-Qur'an dan al-Hadis. Kompetensi dalam memahami sumber hukum syari'at
ini mensyaratkan adanya pengetahuan dasar :
1.
Pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan
2.
Pengetahuan
tentang sebab-sebab turunnya ayat dan hadis nabi
3.
Pengetahuan
tentang hubungan antara sebagian teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan
sebagian yang lain
4.
Pengetahuan
tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan hukum
5.
Pengetahuan
tentang hubungan antara teks ayat al-Qur’an dan hadis Nabi dengan maqasid
syar’ayyah.
Kedua pendapat ahli tafsir tersebut tidak
bertentangan, bahkan sangat ideal kalau bisa digabungkan keduanya. Apakah MUI
dalam konteks Indonesia merepsentasikan ideal ini,semoga.
BAB III
KESIMPULAN
jadi kesimpulan yang kiata peroleh
dari lieratur diatas adalah. Fenomena
adanya tadlil dan takfir itu di prekarsai oleh orang-orang terdahulu yaitu
golongan khowarij setelah terjadinya arbitrase dimana golongan ini menganggap
ali kafir karna menyetujui adanya arbitrase.
Sedangkan konsep
tadlil dan takfir adalah terjadinya Kekufuran dan kesesatan bila terjadi ke pengingkaran dan pendustaan terhadap Nabi
Muhammad SAW dan ajaran yang dibawanya. Konsep kufur semacam ini sebagai
kebalikan dari konsep iman sebagai pembenaran terhadap apa pun yang di bawa
oleh Rasullullah. Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang kafir adalah
siapa saja yang mendustakan
terhadap apa pun yang di bawa oleh Rasullu Namun tidak semua takdzib kepada Rasulullah SAW berakibat kekufuran,
ada yang hanya berakibat kesesatan. Ada beberapa tingkatan takdzib
kepada Rasulullah SAW :
Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara pasti (qath’iy)
berdasarkan nash-nash al-Quran, seperti kekufuran oarang-orang Yahudi,
Nashrani, Majusi, dan para penyembah berhala (QS an-Nisa: 150-151).
Kaum Brahman dan materialisme, karena yang
pertama tidak hamya mengingkari Nabi Isa AS dan Nabi Muhammad SAW, tetapi juga
mengingkari seluruh Nabi, dan karena yang kedua mengingkari Allah sebagai
Pencipta Alam,
Takdzib yang menyebabkan kekufuran secara ijtihadiy,
seperti para filosof yang meyakini ajaran (1) bahwa kebangkitan kembali secara
fisik di akhirat tidak mungkin terjadi, (2) bahwa Allah tidak mengetahui juziyat,
dan (3) bahwa alam itu kekal. Termasuk
dalam kelompok ini adalah orang-orang yang mengingkari ajaran Islam yang maklum
min al-din bi al-darurah, seperti rukun Iman dan rukun Islam. Ahmadiyah dan al-Qiyadah al-Islamiyah
termasuk kelompok ini pula, karena ajaran mereka yang mengingkari inqitha’
al-nubuwwah sebagai ajaran yang sudah mujma’ alaih. Begitu juga
kelompok-kelompok yang mengingkari ajaran yang sudah mujma’ alaih yang
lain,
Takdzib yang tidak menyebabkan kekufuran tetapi
menyebabkan kesesatan (bid’ah), seperti Syi’ah Imamiyah yang secara
ajaranya secara implisit mengingkari ayat-ayat al-Quran yang memuji-muji para
sahabat sebagai golongan yang terhormat,
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol. III, Cairo, 1963.
Ibnu Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwal
wa an-Nihal, vol. IV Cairo, 1317-1321 H.
Al-Gazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam
wa al-Zandaqah.
Al-Gazali,
al-Iqtisad fi al-I'tiqad.
Harun nasution, teologi
islam:aliran-aliran sejarah analisa dan perbandingan, cet.5 jakarta
universitas indonesia (UI press),1986t
[2]Ahmad Amin, Duha al-Islam, vol.
III, Cairo, 1963, hlm. 5.
[3]Ibnu
Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwal wa an-Nihal, vol. IV Cairo,
1317-1321 H,
[4]
Al-Gazali, Faisal at-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah, hlm. 79
[6]Ibid.
[7]Al-Gazali,
Faisal, hlm. 98
[8]Ibid,
hlm. 78
[10]
Ibid
[11]
Ibid
[12]
Ibid, hlm. 81
[13]
Ibid, hlm. 82
[14]Al-Gazali,
Faisal, hlm. 89
[15]Ibid
[16]Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar