Jumat, 28 Juni 2013

Qasim Amin & Feminsme



Oleh : Diana & Fiftah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sebagai sebuah bangsa/negara yang berpendudukan mayoritas Muslim sudah saatnya pemikiran pembaruan Islam tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana. Indonesia adalah sebuah negara yang berpendudukan mayoritas Muslim. Karena itu, (tanpa prediksi yang berlebihan) kita harus yakin akan negara kita ini bahwa perkembangan pemikiran modern di dunia Islam, di masa depan akan tumbuh dan berkembang. Sekitar abad ke-18 hingga saat,seperti pemikir Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad abduh, dan lain sebagainya.
Mencoba menggagas agar umat islam di Indonesia tidak semakin mundur karena pihak dari luar Mereka berfikir dengan cara bagaimana umat Islam tidak selalu terpuruk dalam kebodohan dan romantisme. Berbeda dengan Qasim Amin. Di makalah ini akan kami coba membahas tentang pemikiran Qasim Amin.
Di makalah ini kita akan menjelaskan bahwasannya Amin ini pemikirannya tertuju pada pembebasan wanita Islam yang selalu diperlakukan semena-mena oleh masyarakat sekitar. Tapi Amin disini menegaskan bahwa wanita  juga berhak mendapatkan hak dan kebebasannya. Qasim Amin memandang kemunduran umat Islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan. Dalam Islam seakan-akan ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan. Menurut Qasim, pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena kaum perempuan lah yang berperan penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diberdayakan, paling tidak disejajarkan dengan kaum laki-laki. Mungkin Qasim lah tokoh pembaru Muslim yang pertama yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam Islam sehingga ia mendapatkan gelar “Bapak Feminisme Muslim/Arab” meskipun  ada tokoh-tokoh pembaru Muslim sebelumnya.

B.     Rumusan masalah:
1.      Bagaimana biografi Qasim Amin?
2.      Bagaimana riwayat pendidikan Qasim Amin?
3.      Apa Saja Karya-karya Qasim Amin?
4.      Bagaimana latar belakang pemikiran Qasim Amin?
5.      Bagaimana Pemikiran Feminisme Qasim Amin?

C.     Tujuan:
1.      Mengetahui biografi Qasim Amin.
2.      Mengetahui riwayat pendidikan Qasim Amin.
3.      Mengetahui karya-karya Qasim Amin.
4.      Mengetahui latar belakang pemikiran Qasim Amin.
5.      Memahami pemikiran tentang feminisme Qasim Amin.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi
Qasim Amin dilahirkan pada tahun 1863 di pinggiran kota Kairo, yang terkenal dengan nama Harrah. Ayah Qasim Amin bernama Muhammad Amin, ia adalah seorang komandan di Harrah pada masa pemerintahan Khadiw Ismail. Ketika ayahnya meninggal, Qasim Amin diasuh oleh keluarga ibunya hingga menjadi pemuda. Keluarga Qasim Amin adalah keluarga Mesir yang tingkat menengah dalam kedudukan sosial. Ayahnya menikah dengan ibunya dari anak putri Ahmad Beik Khatab atau saudara kandung Ibrahim Pasha Khatab, ibunya dan ayahnya yang kemudian memiliki beberapa anak, yang pertama adalah Qasim Amin.[1]

B.     Pendidikan
Pendidikan dasar diperoleh Amin di Madrasah Raksu at-Tin di Iskandariyah, kemudian pendidikan menengah diperoleh di Madrasah Tajhiziyah di Cairo Dan pendidikan tingginya ia mengambil jurusan hukum di Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi Hukum).
Setelah tamat, sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni ayahnya mengirimnya ke kantor Advokat Mustafa Fahmi untuk bekerja. Namun tidak lama setelah itu ia dikirim ke Paris untuk menekuni studi hukum. Di sana ia tidak hanya menekuni studi hukum tetapi juga rajin membaca karya  ilmiah dan gagasan yang berhubungan dengan etika, sosiologi, ilmu jiwa dan disiplin ilmu lain.[2]
Sekembali dari Paris, ia bekerja di Niyabah Ammah (Perwakilan Rakyat) dan di badan peradilan. Pada 1892 ia diangkat menjadi Hakim Agung di beberapa kota di Mesir. Qasim Amin juga aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan.
                       
C.     Karya-Karya
Ada 2 karya Amin yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan), dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern). Sesuai dengan judul bukunya, dalam Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin menuliskan gagasan tentang kebebasan dan pengembangan daya perempuan untuk mencapai kemajuan.[3]

D.    Latar Belakang Pemikiran
Qasim Amin sejak kecil sudah senang belajar secara otodidak. Pada waktu merantau ke Prancis bakatnya bertambah dalam kesusastraan dan budaya Prancis. Hal itu dia gunakan dalam berbagai sumber pemikiran dan kurikulum seni dan keindahan pada saat itu. Ia juga puas dengan ide-ide patriotisme, revolusioner dan mengetahui wanita yang berpendidikan dan berbudaya, mereka bisa menjadi mentri, dokter, hakim, dosen, guru besar, pegawai, direktur, dan sebagainya. Ini semua mendukung upaya prestasinya dan kreasinya dalam merenungkan kaum lemah dan tertindas.[4]
Salah satu latarbelakang pembaruan Qasim Amin adalah karena kemunduran umat islam. Qasim Amin memandang kemunduran islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan. Dalam islam seakan-akan ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan serta karena kondisi perempuan di daerah Mesir yang lebih dipinggirkan oleh kaum laki-laki. Jumlah kaum perempuan yang sangat banyak hampir seperdua dari penduduk Mesir, sepertinya menghambat pembaruan yang akan dilakukan. Karena itu kebebasan  dan pendidikan wanita  perlu mendapat perhatian.

Setelah itu baru ia kembali kepada konsep pembaruannya tentang pemberdayaan kaum perempuan, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Sama-sama mendapatkan balasan amal shalih di sisi Allah. Tiada yang termulia di antara mereka kecuali dengan mengandalkan takwanya.
E.     Pembaruan Qasim Amin Tentang Feminisme
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, Femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.[5]
Sebenarnya Qasim Amin bukanlah pemikir dan pembaru pertama yang melontarkan gagasan tentang pentingnya memperhatikan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik. Sebelum Qasim Amin, diantara jajaran pemikir Islam di Mesir yang telah memunculkan ide emansipasi perempuan adalah at-Tahtawi (1801-1873). Namun Qasim Amin adalah seorang pemikir yang tidak hanya mempunyai perhatian besar pada wacana emansipasi perempuan tetapi juga mengkhususkan diri padanya.
Sebelum menciptakan beberapa gerakan pembaharuan, Qasim Amin mencoba mencari penyebab dengan cara membandingkan budaya antara di Mesir dengan di Barat. Sebagai seorang cendekiawan yang pernah hidup di Paris untuk beberapa lama, Qasim Amin menyaksikan betapa maju dan modernnya peradaban Barat. Perempuan di Barat juga mengalami kemajuan, harkat dan martabat mereka setara dengan kaum pria. Mereka mendapat pendidikan yang sama dengan pria.
Pada saat yang sama Qasim Amin melihat dan menyadari betapa rendahnya peradaban di Mesir khususnya masalah perempuan. Ia berkesimpulan bahwa hal itu dikarenakan rendahnya kedudukan perempuan di Mesir. Mereka dipingit dan tidak mendapat kesempatan untuk belajar. Segala kebutuhan mereka disediakan oleh suami atau muhrim mereka. Karena itu, peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sangat kecil. Ia berpendapat bahwa Mesir akan tetap tertinggal dari dunia Barat kalau perempuannya dikucilkan menurut tradisi yang berlaku.
Adat dan tradisi itu menurutnya bukanlah ajaran Islam, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam. Menurutnya, ajaran Islam pada dasarnya menempatkan perempuan pada posisi tertinggi, sederajat dengan pria. Jadi menurutnya kalau suatu negara ingin maju maka tradisi yang menghambat perkembangan bangsa itu harus dirubah, disesuaikan dengan ajaran Islam yang murni, begitu juga Mesir. Dan menempatkan perempuan pada kedudukan tertinggi dan mengakui kemerdekaan serta kebebasan mereka. Hal itu dikarenakan sosok perempuan sangat penting dalam keluarga dan masyarakat yang nantinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan Qasim Amin tentang peran dan emansipasi perempuan, yaitu: 1) pendidikan, 2) hijab, 3) perkawinan.[6]
1.      Pendidikan
Dalam masalah pendidikan, menurut Qasim Amin perempuan perlu mendapat pendidikan yang baik, sesuai dengan tugas yang diembannya dalam rumahtangga dan di masyarakat. Misalnya dalam keluarga, perempuan bertugas mendidik putra-putrinya. Tentu saja perlu ilmu yang memadai untuk melakukan itu. Namun dalam budaya Mesir, perempuan seolah diremehkan dan dianggap hanya menjadi beban dalam kehidupan. Sehingga pada zaman dulu Sayyidina Umar bin Khattab sampai tega membunuh anak perempuannya karena persoalan yang sama.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini peran perempuan sangat dibutuhkan dalam memimpin bangsa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya seorang pemimpin perempuan seperti Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI ke 5, Khofifah Indar Parawansa sebagai ketua Umum Muslimat NU se-Indonesia. Dari situ diketahui bahwa perempuan juga memiliki potensi dalam perkembangan suatu bangsa.
Sebenarnya yang diinginkan oleh Amin adalah memanusiakan manusia, karena perempuan juga makhluk Allah yang berhak mendapat sesuatu yang menjadi haknya, tapi mengapa itu harus terhalang hanya oleh suatu tradisi kuno. Jika memang tradisi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka apa tidak sebaiknya tradisi itu dihapuskan saja. Dia ingin merubah mainset orang Mesir agar tidak tertinggal dan bisa berkembang, dan salah satu caranya adalah memajukan generasi perempuan agar tidak selalu terpenjara di rumah sendiri.
Dan sudah saatnya untuk mempersiapkan pendidikan jiwa kita, yaitu pendidikan yang benar, kuat dan ilmiah yaitu pendidikan yang bisa mengembangkan para pemimpin yang berilmu pengetahuan dan berpendapat yang kokoh, mereka bisa memadukan dan mengerti tentang pengalaman, budi pekerti, ilmu pengetahuan dan prilaku.[7]
Untuk itu, Amin mencoba merumuskan beberapa strategi dan prinsip pendidikan sebagai berikut:
a.       Perempuan harus diberi pendidikan dasar yang setara dengan laki-laki, tujuannya untuk mendapat generasi yang  tanggap dan selektif dalam menerima pendapat yang datang dari luar, maka perlu diberikan pengetahuan yang layak dan diberikan di sekolah menengah.
b.      Selain memberikan pendidikan, maka pengetahuan umum dan keahlian-keahlian lain perlu diberikan kepada perempuan, agar mereka tidak terlalu bergantung pada laki-laki.
c.       Pendidikan Akhlaq dan budi pekerti juga harus diberikan sedini mungkin agar perempuan dapat menanamkan jiwa kemanusiaannya, pergaulan dalam keluarga dan kerabat  menjadi lebih sempurna.
d.      Pendidikan yang ideal menurut Amin adalah pendidikan yang berlangsung seumur hidup, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses belajar yang tidak boleh berhenti.
e.       Selain itu juga pendidikan seni perlu diberikan kepada perempuan, karena seni dalam pandangan Amin, dapat melatih jiwa menjadi halus dan peka.

2.      Hijab
Dalam masalah hijab, yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah dan kedua telapak tangan menurutnya bukanlah berasal dari syariat Islam. Busana seperti itu menghalangi perempuan melakukan aktivitasnya. Amin berseru kepada kaum perempuan agar menutup auratnya sesuai dengan syariat Islam.
Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan pada saat berinteraksi dengan orang lain akan mempersulit keadaan. Misalnya saja pada saat dalam persidangan seorang saksi wanita yang bercadar dan menutup kepala sampai matanya akan terlihat aneh. Atau aneh pula kalau wanita itu sedang menjual atau membeli yang hanya ada di balik pintu kemudian dikatakan oleh pria inilah si Fulan yang ingin menjual kepadamu atau yang menjadi wakil dalam perkawinannya. Kemudian wanita itu menjawab saya yang menjual dan saya yang menjadi wakil. Situasi dan kondisi itu tidak bisa menjamin ketenangan diantara kedua belah pihak bahkan peristiwa-peristiwa hukum akan lebih mudah melakukan penipuan dan kolusi kalau dilakukan seperti peristiwa di atas.[8]
Begitu banyak praktek-praktek dalam kehidupan sehari-hari yang membutuhkan keleluasaan pakaian seorang wanita dan kelihatan wajahnya. Jadi wanita tidak melulu memakai hijab dengan sangat tertutup dan beserta cadarnya. Karena itu akan menghambat aktivitas dan pekerjaan sehari-hari seorang wanita. Tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa wanita memang diwajibkan untuk berhijab, namun secukupnya saja menurut aturan syari’at yang ditentukan.
3.      Perkawinan
Dalam masalah perkawinan, Qasim Amin berpendapat bahwa dalam kenyataannya terdapat pandangan yang merendahkan derajat perempuan yang dianggap sebagai objek. Menurutnya, pandangan seperti itu tidak sesuai dengan ajaran AlQuran surat ar-Ruum ayat 21, yang menyatakan bahwa perkawinan itu adalah ikatan kasih sayang, masing-masing bertindak sebagai subjek. Oleh karena itu perempuan seharusnya berhak memilih jodoh dan minta cerai. Atas dasar itu ia menyatakan bahwa di dalam poligami terdapat unsur penghinaaan terhadap perempuan.
Namun pemikiran liberal Qasim Amin tidak dapat diterima sebagian besar umat, termasuk para ulama. Oleh karena itu idenya mendapat kritikan dan protes dari berbagai kalangan karena dianggap berbahaya, merusak sendi agama Islam, dan menimbulkan dekadensi moral. Buku keduanya, al-Mar’at al Jadidah (perempuan modern), merupakan jawaban Qasim Amin terhadap kritik yang dilontarkan terhadap buku pertamanya.
Meskipun pembaruan Qasim Amin tidak diterima oleh kalangan ulama karena dinilai ekstrim, tetapi di sisi lain hal itu membuahkan hasil yang sangat besar dalam rangka kemajuan bangsa Mesir khususnya, dan dunia Islam pada umumnya. Mesir adalah negara pertama yang perempuannya menyingkirkan kerudung sekitar tahun 1920-an dan masuk perguruan tinggi pada tahun 1930-an. Sejak itu kerudung dihapuskan, karena dianggap sebagai penghambat partisipasi dunia profesi dan pekerjaan. Hal itu juga berdampak besar pada masa pemerintahan Nasser (1953-1967), banyak perempuan yang berperan dalam masyarakat modern yang menanggalkan pakaian tradisional, apalagi kalangan generasi muda di kampus dan di sektor bisnis serta profesi.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qasim Amin adalah seorang pembaharu Islam di Mesir. Beliau sangat memperhatikan nasib kaum perempuan karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Sebelum melakukan suatu gerakan pembaruan, beliau mencoba melakukan penelitian terhadap penyebab kondisi perempuan sehingga harus direndahkan. Lalu beliau memberikan suatu gerakan pembaruan untuk menyamakan derajat antara laki-laki dan perempuan bahwa perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan lain serta perhatian dari semua pihak.
Konsep pembaruan beliau ada 3, pendidikan, hijab, perkawinan. Namun tampaknya gerakan Amin dinilai sangat ekstrim oleh kalangan para ulama’, karena hasilnya disalahgunakan oleh para perempuan Mesir. Mereka banyak yang tidak berkerudung padahal hijab yang maksudkan Amin bukan seperti itu. Yang diharapkan adalah tetap berkerudung tapi yang sewajarnya, dan sesuai dengan syariat Islam.
B.     Saran
Sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Qasim Amin di atas, dapat diambil pelajaran bahwa seorang perempuan selayaknya tidak dikucilkan dan dipelihara di rumah sehingga tidak diberi pendidikan. Seperti gerakan R.A Kartini tentang emansipasi wanita bahwa perempuan juga berhak dan wajib mendapatkan pendidikan berupa apapun, jadi disarankan agar semua perempuan di Indonesia wajib menuntut ilmu dan berhak bersaing dengan laki-laki sebagai tokoh yang terkemuka nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Juwairiyah. 2004. Qasim Amin & Reformis Mesir. Surabaya: alpha.
Ensiklopedia Islam. 2005. Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
Wikipedia.org/wiki/Feminisme.


[1]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 16-19
[2]Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324
[3]Ibid.,
[4]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 20
[5]Wikipedia.org/wiki/Feminisme.
[6]Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324.

[7]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 119
[8]Ibid., 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar