Oleh : Diana & Fiftah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Sebagai sebuah bangsa/negara yang berpendudukan mayoritas
Muslim sudah saatnya pemikiran pembaruan Islam tumbuh dan berkembang dengan
pesat di sana. Indonesia adalah sebuah negara yang berpendudukan mayoritas
Muslim. Karena itu, (tanpa prediksi yang berlebihan) kita harus yakin akan
negara kita ini bahwa perkembangan pemikiran modern di dunia Islam, di masa
depan akan tumbuh dan berkembang. Sekitar abad ke-18 hingga saat,seperti
pemikir Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad abduh, dan lain sebagainya.
Mencoba
menggagas agar umat islam di Indonesia tidak semakin mundur karena pihak dari
luar Mereka berfikir dengan cara bagaimana umat Islam tidak selalu terpuruk
dalam kebodohan dan romantisme. Berbeda dengan Qasim Amin. Di makalah ini akan
kami coba membahas tentang pemikiran Qasim Amin.
Di
makalah ini kita akan menjelaskan bahwasannya Amin ini pemikirannya tertuju
pada pembebasan wanita Islam yang selalu diperlakukan semena-mena oleh
masyarakat sekitar. Tapi Amin disini menegaskan bahwa wanita juga berhak mendapatkan hak dan kebebasannya. Qasim Amin memandang kemunduran
umat Islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan. Dalam Islam seakan-akan
ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum
laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan. Menurut Qasim,
pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena kaum perempuan lah yang berperan
penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diberdayakan, paling tidak
disejajarkan dengan kaum laki-laki. Mungkin Qasim lah tokoh pembaru Muslim yang
pertama yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam Islam sehingga ia
mendapatkan gelar “Bapak Feminisme Muslim/Arab” meskipun ada tokoh-tokoh pembaru Muslim sebelumnya.
B. Rumusan masalah:
1. Bagaimana biografi Qasim Amin?
2. Bagaimana riwayat pendidikan Qasim Amin?
3. Apa Saja Karya-karya Qasim Amin?
4. Bagaimana latar belakang pemikiran Qasim
Amin?
5.
Bagaimana
Pemikiran Feminisme Qasim Amin?
C. Tujuan:
1. Mengetahui biografi Qasim Amin.
2. Mengetahui riwayat pendidikan Qasim
Amin.
3. Mengetahui karya-karya Qasim Amin.
4. Mengetahui latar belakang pemikiran
Qasim Amin.
5. Memahami pemikiran tentang feminisme Qasim
Amin.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Qasim Amin dilahirkan pada
tahun 1863 di pinggiran kota Kairo, yang terkenal dengan nama Harrah. Ayah
Qasim Amin bernama Muhammad Amin, ia adalah seorang komandan di Harrah pada
masa pemerintahan Khadiw Ismail. Ketika ayahnya meninggal, Qasim Amin diasuh
oleh keluarga ibunya hingga menjadi pemuda. Keluarga Qasim Amin adalah keluarga
Mesir yang tingkat menengah dalam kedudukan sosial. Ayahnya menikah dengan
ibunya dari anak putri Ahmad Beik Khatab atau saudara kandung Ibrahim Pasha
Khatab, ibunya dan ayahnya yang kemudian memiliki beberapa anak, yang pertama
adalah Qasim Amin.[1]
B. Pendidikan
Pendidikan dasar
diperoleh Amin di Madrasah Raksu at-Tin di Iskandariyah, kemudian pendidikan
menengah diperoleh di Madrasah Tajhiziyah di Cairo Dan pendidikan tingginya ia
mengambil jurusan hukum di Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi
Hukum).
Setelah tamat, sesuai
dengan disiplin ilmu yang ia tekuni ayahnya mengirimnya ke kantor Advokat
Mustafa Fahmi untuk bekerja. Namun tidak lama setelah itu ia dikirim ke Paris
untuk menekuni studi hukum. Di sana ia tidak hanya menekuni studi hukum tetapi
juga rajin membaca karya ilmiah dan
gagasan yang berhubungan dengan etika, sosiologi, ilmu jiwa dan disiplin ilmu
lain.[2]
Sekembali dari Paris,
ia bekerja di Niyabah Ammah (Perwakilan Rakyat) dan di badan peradilan. Pada
1892 ia diangkat menjadi Hakim Agung di beberapa kota di Mesir. Qasim Amin juga
aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan.
C. Karya-Karya
Ada 2 karya Amin yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan), dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern). Sesuai dengan judul bukunya,
dalam Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin menuliskan gagasan tentang kebebasan dan pengembangan daya
perempuan untuk mencapai kemajuan.[3]
D.
Latar Belakang Pemikiran
Qasim Amin
sejak kecil sudah senang belajar secara otodidak. Pada waktu merantau ke
Prancis bakatnya bertambah dalam kesusastraan dan budaya Prancis. Hal itu dia
gunakan dalam berbagai sumber pemikiran dan kurikulum seni dan keindahan pada
saat itu. Ia juga puas dengan ide-ide patriotisme, revolusioner dan mengetahui
wanita yang berpendidikan dan berbudaya, mereka bisa menjadi mentri, dokter,
hakim, dosen, guru besar, pegawai, direktur, dan sebagainya. Ini semua
mendukung upaya prestasinya dan kreasinya dalam merenungkan kaum lemah dan
tertindas.[4]
Salah satu
latarbelakang pembaruan Qasim Amin adalah karena kemunduran umat islam. Qasim
Amin memandang kemunduran islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan.
Dalam islam seakan-akan ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan serta
karena kondisi perempuan di daerah Mesir yang lebih dipinggirkan oleh kaum
laki-laki. Jumlah kaum perempuan yang sangat banyak hampir seperdua dari
penduduk Mesir, sepertinya menghambat pembaruan yang akan dilakukan. Karena itu kebebasan dan pendidikan
wanita perlu mendapat perhatian.
Setelah itu
baru ia kembali kepada konsep pembaruannya tentang pemberdayaan kaum perempuan,
bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Sama-sama mendapatkan
balasan amal shalih di sisi Allah. Tiada yang termulia di antara mereka kecuali
dengan mengandalkan takwanya.
E.
Pembaruan Qasim Amin Tentang Feminisme
Feminisme
adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan
keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, Femina atau
perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori
kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak
perempuan.[5]
Sebenarnya Qasim Amin
bukanlah pemikir dan pembaru pertama yang melontarkan gagasan tentang
pentingnya memperhatikan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik.
Sebelum Qasim Amin, diantara jajaran pemikir Islam di Mesir yang telah
memunculkan ide emansipasi perempuan adalah at-Tahtawi (1801-1873). Namun Qasim
Amin adalah seorang pemikir yang tidak hanya mempunyai perhatian besar pada
wacana emansipasi perempuan tetapi juga mengkhususkan diri padanya.
Sebelum menciptakan
beberapa gerakan pembaharuan, Qasim Amin mencoba mencari penyebab dengan cara
membandingkan budaya antara di Mesir dengan di Barat. Sebagai seorang
cendekiawan yang pernah hidup di Paris untuk beberapa lama, Qasim Amin
menyaksikan betapa maju dan modernnya peradaban Barat. Perempuan di Barat juga
mengalami kemajuan, harkat dan martabat mereka setara dengan kaum pria. Mereka
mendapat pendidikan yang sama dengan pria.
Pada saat yang sama
Qasim Amin melihat dan menyadari betapa rendahnya peradaban di Mesir khususnya
masalah perempuan. Ia berkesimpulan bahwa hal itu dikarenakan rendahnya
kedudukan perempuan di Mesir. Mereka dipingit dan tidak mendapat kesempatan
untuk belajar. Segala kebutuhan mereka disediakan oleh suami atau muhrim
mereka. Karena itu, peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan
bangsa sangat kecil. Ia berpendapat bahwa Mesir akan tetap tertinggal dari
dunia Barat kalau perempuannya dikucilkan menurut tradisi yang berlaku.
Adat dan tradisi itu
menurutnya bukanlah ajaran Islam, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar
Islam. Menurutnya, ajaran Islam pada dasarnya menempatkan perempuan pada posisi
tertinggi, sederajat dengan pria. Jadi menurutnya kalau suatu negara ingin maju
maka tradisi yang menghambat perkembangan bangsa itu harus dirubah, disesuaikan
dengan ajaran Islam yang murni, begitu juga Mesir. Dan menempatkan perempuan
pada kedudukan tertinggi dan mengakui kemerdekaan serta kebebasan mereka. Hal
itu dikarenakan sosok perempuan sangat penting dalam keluarga dan masyarakat
yang nantinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya.
Ada beberapa hal yang
menjadi fokus pembahasan Qasim Amin tentang peran dan emansipasi perempuan,
yaitu: 1) pendidikan, 2) hijab, 3) perkawinan.[6]
1. Pendidikan
Dalam masalah
pendidikan, menurut Qasim Amin perempuan perlu mendapat pendidikan yang baik,
sesuai dengan tugas yang diembannya dalam rumahtangga dan di masyarakat.
Misalnya dalam keluarga, perempuan bertugas mendidik putra-putrinya. Tentu saja
perlu ilmu yang memadai untuk melakukan itu. Namun dalam budaya Mesir,
perempuan seolah diremehkan dan dianggap hanya menjadi beban dalam kehidupan.
Sehingga pada zaman dulu Sayyidina Umar bin Khattab sampai tega membunuh anak
perempuannya karena persoalan yang sama.
Dalam kehidupan modern
seperti sekarang ini peran perempuan sangat dibutuhkan dalam memimpin bangsa
Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya seorang pemimpin perempuan
seperti Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI ke 5, Khofifah Indar
Parawansa sebagai ketua Umum Muslimat NU se-Indonesia. Dari situ diketahui
bahwa perempuan juga memiliki potensi dalam perkembangan suatu bangsa.
Sebenarnya yang
diinginkan oleh Amin adalah memanusiakan manusia, karena perempuan juga makhluk
Allah yang berhak mendapat sesuatu yang menjadi haknya, tapi mengapa itu harus
terhalang hanya oleh suatu tradisi kuno. Jika memang tradisi itu tidak sesuai
dengan perkembangan zaman, maka apa tidak sebaiknya tradisi itu dihapuskan
saja. Dia ingin merubah mainset orang Mesir agar tidak tertinggal dan bisa
berkembang, dan salah satu caranya adalah memajukan generasi perempuan agar tidak
selalu terpenjara di rumah sendiri.
Dan sudah saatnya untuk
mempersiapkan pendidikan jiwa kita, yaitu pendidikan yang benar, kuat dan
ilmiah yaitu pendidikan yang bisa mengembangkan para pemimpin yang berilmu
pengetahuan dan berpendapat yang kokoh, mereka bisa memadukan dan mengerti
tentang pengalaman, budi pekerti, ilmu pengetahuan dan prilaku.[7]
Untuk itu, Amin mencoba
merumuskan beberapa strategi dan prinsip pendidikan sebagai berikut:
a. Perempuan harus diberi
pendidikan dasar yang setara dengan laki-laki, tujuannya untuk mendapat
generasi yang tanggap dan selektif dalam
menerima pendapat yang datang dari luar, maka perlu diberikan pengetahuan yang
layak dan diberikan di sekolah menengah.
b. Selain memberikan
pendidikan, maka pengetahuan umum dan keahlian-keahlian lain perlu diberikan
kepada perempuan, agar mereka tidak terlalu bergantung pada laki-laki.
c. Pendidikan Akhlaq dan
budi pekerti juga harus diberikan sedini mungkin agar perempuan dapat
menanamkan jiwa kemanusiaannya, pergaulan dalam keluarga dan kerabat menjadi lebih sempurna.
d. Pendidikan yang ideal
menurut Amin adalah pendidikan yang berlangsung seumur hidup, karena pada
hakikatnya pendidikan adalah proses belajar yang tidak boleh berhenti.
e. Selain itu juga
pendidikan seni perlu diberikan kepada perempuan, karena seni dalam pandangan
Amin, dapat melatih jiwa menjadi halus dan peka.
2. Hijab
Dalam masalah hijab, yaitu
pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah dan kedua telapak
tangan menurutnya bukanlah berasal dari syariat Islam. Busana seperti itu
menghalangi perempuan melakukan aktivitasnya. Amin berseru kepada kaum
perempuan agar menutup auratnya sesuai dengan syariat Islam.
Hal itu dilakukan
karena dikhawatirkan pada saat berinteraksi dengan orang lain akan mempersulit
keadaan. Misalnya saja pada saat dalam persidangan seorang saksi wanita yang
bercadar dan menutup kepala sampai matanya akan terlihat aneh. Atau aneh pula
kalau wanita itu sedang menjual atau membeli yang hanya ada di balik pintu
kemudian dikatakan oleh pria inilah si Fulan yang ingin menjual kepadamu atau
yang menjadi wakil dalam perkawinannya. Kemudian wanita itu menjawab saya yang
menjual dan saya yang menjadi wakil. Situasi dan kondisi itu tidak bisa
menjamin ketenangan diantara kedua belah pihak bahkan peristiwa-peristiwa hukum
akan lebih mudah melakukan penipuan dan kolusi kalau dilakukan seperti
peristiwa di atas.[8]
Begitu banyak
praktek-praktek dalam kehidupan sehari-hari yang membutuhkan keleluasaan
pakaian seorang wanita dan kelihatan wajahnya. Jadi wanita tidak melulu memakai
hijab dengan sangat tertutup dan beserta cadarnya. Karena itu akan menghambat
aktivitas dan pekerjaan sehari-hari seorang wanita. Tapi itu tidak menutup
kemungkinan bahwa wanita memang diwajibkan untuk berhijab, namun secukupnya
saja menurut aturan syari’at yang ditentukan.
3.
Perkawinan
Dalam masalah
perkawinan, Qasim Amin berpendapat bahwa dalam kenyataannya terdapat pandangan
yang merendahkan derajat perempuan yang dianggap sebagai objek. Menurutnya,
pandangan seperti itu tidak sesuai dengan ajaran AlQuran surat ar-Ruum ayat 21,
yang menyatakan bahwa perkawinan itu adalah ikatan kasih sayang, masing-masing
bertindak sebagai subjek. Oleh karena itu perempuan seharusnya berhak memilih
jodoh dan minta cerai. Atas dasar itu ia menyatakan bahwa di dalam poligami
terdapat unsur penghinaaan terhadap perempuan.
Namun pemikiran
liberal Qasim Amin tidak dapat diterima sebagian besar umat, termasuk para
ulama. Oleh karena itu idenya mendapat kritikan dan protes dari berbagai
kalangan karena dianggap berbahaya, merusak sendi agama Islam, dan menimbulkan
dekadensi moral. Buku keduanya, al-Mar’at al Jadidah (perempuan modern),
merupakan jawaban Qasim Amin terhadap kritik yang dilontarkan terhadap buku
pertamanya.
Meskipun pembaruan
Qasim Amin tidak diterima oleh kalangan ulama karena dinilai ekstrim, tetapi di
sisi lain hal itu membuahkan hasil yang sangat besar dalam rangka kemajuan
bangsa Mesir khususnya, dan dunia Islam pada umumnya. Mesir adalah negara
pertama yang perempuannya menyingkirkan kerudung sekitar tahun 1920-an dan
masuk perguruan tinggi pada tahun 1930-an. Sejak itu kerudung dihapuskan,
karena dianggap sebagai penghambat partisipasi dunia profesi dan pekerjaan. Hal
itu juga berdampak besar pada masa pemerintahan Nasser (1953-1967), banyak
perempuan yang berperan dalam masyarakat modern yang menanggalkan pakaian
tradisional, apalagi kalangan generasi muda di kampus dan di sektor bisnis
serta profesi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Qasim Amin
adalah seorang pembaharu Islam di Mesir. Beliau sangat memperhatikan nasib kaum
perempuan karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Sebelum melakukan suatu
gerakan pembaruan, beliau mencoba melakukan penelitian terhadap penyebab
kondisi perempuan sehingga harus direndahkan. Lalu beliau memberikan suatu
gerakan pembaruan untuk menyamakan derajat antara laki-laki dan perempuan bahwa
perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan lain serta
perhatian dari semua pihak.
Konsep
pembaruan beliau ada 3, pendidikan, hijab, perkawinan. Namun tampaknya gerakan
Amin dinilai sangat ekstrim oleh kalangan para ulama’, karena hasilnya
disalahgunakan oleh para perempuan Mesir. Mereka banyak yang tidak berkerudung
padahal hijab yang maksudkan Amin bukan seperti itu. Yang diharapkan adalah tetap
berkerudung tapi yang sewajarnya, dan sesuai dengan syariat Islam.
B.
Saran
Sesuai dengan
apa yang dirumuskan oleh Qasim Amin di atas, dapat diambil pelajaran bahwa
seorang perempuan selayaknya tidak dikucilkan dan dipelihara di rumah sehingga
tidak diberi pendidikan. Seperti gerakan R.A Kartini tentang emansipasi wanita
bahwa perempuan juga berhak dan wajib mendapatkan pendidikan berupa apapun,
jadi disarankan agar semua perempuan di Indonesia wajib menuntut ilmu dan berhak
bersaing dengan laki-laki sebagai tokoh yang terkemuka nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Juwairiyah. 2004. Qasim Amin & Reformis Mesir. Surabaya: alpha.
Ensiklopedia
Islam. 2005. Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
Wikipedia.org/wiki/Feminisme.
[1]Dr. Hj.
Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya:
Alpha, 2004), 16-19
[2]Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324
[3]Ibid.,
[4]Dr. Hj.
Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya:
Alpha, 2004), 20
[5]Wikipedia.org/wiki/Feminisme.
[6]Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324.
[7]Dr. Hj.
Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya:
Alpha, 2004), 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar