Oleh : Haniatus Shalihah
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap bidang terdapat periode-periode,
termasuk diantaranya bidang pemikiran teologi. Adanya pengaruh pikiran dari
Barat menimbulkan para pemikir Muslim bangkit. Masa ini disebut juga dengan masa
pemikiran modern. Karakteristik pada masa ini adalah sifat kerasionalan para
pemikir, namun dilain sisi juga bersifat filsafati. Diantara sekian banyak
pemikir yang muncul, satu diantaranya adalah Hasan Al-Banna.
Hasan Al-Banna merupakan pemikir
muslim dari Mesir. Beliau mendirikan sebuah organisasi yang cukup terkenal yang
disebut dengan Ikhwan Al-Muslimin. Hasan Al-Banna dan organisasinya mencoba
memunculkan pemikiran ideologi yang bermacam-macam untuk dapat ditawarkan pada
masyarakat saat itu. Tentang siapa Hasan Al-Banna dan pikiran-pikirannya akan
dibahas pada sub bab-sub bab selanjutnya.
Dalam makalah ini,
permasalahan-permasalahan yang akan dibahas adalah:
1.
Siapa Hasan Al-Banna?
2.
Apa saja pemikiran-pemikiran
yang dipersembahkannya?
Dan tujuan makalah ini
disusun adalah untuk:
1.
Mengetahui tokoh Hasan Al-Banna.
2.
Mengetahui pemkiran-pemikiran
Hasan Al-Banna.
B. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Hasan Al-Banna
Hasan
Al-Banna lahir pada tanggal 17 Oktober 1906 di Mahmudiyah, Buhairah, Mesir.
Ayahnya bernama Syekh Ahmad Abd. Ar-Rahman Al-Banna. Beliau bekerja sebagai
tukang reparasi jam, namun juga berprofesi sebagai seorang ulama’, serta pernah
belajar di Al-Azhar sebagai mahasiswa[1] sehingga dapat menulis dan
berkolaborasi dalam buku-buku yang bertajuk Islam.
Dalam
hidupnya, Hasan Al-Banna adalah seorang pahlawan yang gagah berani karena Beliau
memperjuangkan kehidupan masyarakat dari penindasan, sehingga disebut ulama’
atau pemikir yang berhasil dalam pandangan umat Islam Internasional. Hasan
Al-banna memperoleh pendidikan agama secara tidak langsung dari ayahnya, namun
Beliau juga belajar agama secara individual di dalam perpustakaan milik
ayahnya.
Pada
usia 12 tahun, Hasan Al-Banna mulai terjun dan aktif dalam oraganisasi, yaitu
himpunan perilaku bermoral dan himpunan pencegahan kemungkaran. Pada saat itu
juga, Beliau telah berhasil menghafal Alquran. Beliau membagi kegiatannya
menjadi 4 bagian, yaitu siang hari untuk menuntut ilmu di sekolah, kemudian
belajar dan membuat jam bersama ayahnya hingga sore hari, sore hari hingga
menjelang tidur digunakan untuk mengulang kembali pelajarannya yang diperoleh
dari sekolah, sedangkan pada waktu shubuh, Beliau menggunakan waktunya untuk
membaca dan mengulang hafalan Alquran. Pada tahun 1919 Hasan Al-Banna aktif
dalam demonstrasi anti Inggris. Dari kedisiplinan Hasan Al-Banna dalam kegiatan
sehari-hari, maka Beliau berhasil menghafal seluruh ayat Alquran pada usia 14
tahun. Pada usia 15 tahun Beliau melanjutkan studinya di Teacher Training Collage di Damanhur.[2] Tahun 1923 (kurang lebih usia 17 tahun) hasan
Al-Banna pergi ke Kairo untuk memasuki sekolah tinggi di Darul Ulum, Mesir.[3]
Di
lembaga pendidikan Darul Ulum tersebut, Hasan Al-Banna bertemu dengan
orang-orang yang sependapat dengannya seperti Muhibbuddin Al-Khattib, bersama
rekan-rekannya tersebut Hasan Al-Banna mendirikan asosiasi pemuda muslim (YMMA)
pada bulan November 1927, usianya kurang lebih 21 tahun. Asosiasi ini merupakan
cikal bakal terbentuknya Ikhwan Al-Muslimin pada tahun 1928 dengan tujuan
mempromosikan Islam sejati dan berjuang melawan dominasi asing. Setelah lulus
dari Darul Ulum, Hasan Al-Banna mengajar di sekolah dasar Al-Islamiyah yang
terletak di terusan Suez.
Sebelum
meninggal, Hasan Al-Banna mewariskan karya monumentalnya, yaitu “Catatan Harian
Dakwah” dan “Da’I” serta kumpulan surat-surat. Pada tanggal 12 Februari 1949
Hasan Al-Banna meninggal karena
tertembak polisi rahasia Mesir karena dituduh terlibat dalam pembunuhan
Al-Nuqrasa Phasa tahun 1948. Namun di lain sisi alasan terbunuhnya Hasan
Al-Banna adalah terkait dengan pernyataannya bahwa teror merupakan cara yang
tidak bisa diterima oleh Islam.
C.
Pemikiran
Hasan Al-Banna
Secara
umum pemikiran Hasan Al-Banna dalam berbagai bidang sebagian besar dipengaruhi
oleh Rasyid Ridha. Hal itu dikarenakan Hasan Al-Banna banyak berinteraksi
secara langsung dengan Rasyid Ridha saat
berada di Kairo. Selain itu, Beliau juga tertarik oleh penegasan Rasyid
Ridha mengenai Self Sufficiency yang
total dan komplit dari Islam, yakni ajaran sendiri yang sungguh cukup dan
sempurna, beserta penegasannya tentang bahaya westernisasi.[4] Beberapa pemikiran Hasan
Al-Banna ialah:
a.
Bidang
Politik
Menurut Hasan Al-Banna, antara agama
dan politik tidak dapat dipisahkan. Dalam suatu negara, beliau menolak adanya
sistem multipartai. Hal itu dikarenakan melanggar sistem kesatuan nasional,
sehingga memicu adanya perpecahan. Sedangkan Islam membenci adanya perpecahan
dan menjunjung tinggi persaudaraan. Islam hanya menerapkan 3 prinsip pokok,
yaitu:
1.
Penguasa bertanggung jawab
kepada Allah dan rakyat.
2.
Umat Muslim harus bertindak dan
berbuat sesuatu secara menyatu, karena persudaraan Muslim merupakan prinsip
iman.
3.
Bangsa Muslim harus mengontrol
penguasa, menasehati, dan mengupayakan agar kehendak bangsa dihormati.[5]
Untuk
bentuk pemerintahan, Hasan Al-Banna menganggap bahwa kekhalifahan merupakan pemerintahan
yang tepat untuk jangka panjang. Kekhalifahan sepenuhnya harus didasarkan pada
Alquran dan tujuan kekhalifahan adalah untuk mencapai keadilan sosial dan
menjamin kesempatan yang memadai bagi semua individu muslim.[6] Kekhalifahan yang paling ideal
adalah kekhalifahan Nabi Muhammad saw.
b.
Bidang
Sosial Ekonomi
Pemikiran Hasan Al-Banna dalam
biadang ini adalah nasionalisasi Ekonomi. Masyarakat tidak perlu menerapkan
atau memakai sistem-sistem ekonomi dari Barat. Hal itu dikarenakan, Negara
Islam akan menyediakan lapangan pekerjaan dan pengembangan sarana-prasarana
industri, sehingga judi dan riba benar-benar dijauhi dan ditinggalkan. Kaum
Muslimin memiliki tanggungan untuk membayar zakat yang ditunjukan untuk
membantu sesama Muslim. Namun di lain sisi Islam tetap menjunjung tinggi adanya
hak-hak milik pribadi atas kerja keras dan kemauan setiap individu, selama
tidak melanggar kepentingan-kepentingan umum.
c.
Bidang
Pendidikan
Peran guru dan ulama’
mengungguli peran dan pengaruh ahli tasawuf, karena guru dan ulama’mempengaruhi
masyarakat dalam pendidikan dan lebih mampu menyerang penyakit yang menimpa
masyarakat Mesir.[7]
Menurut Hasan Al-Banna pendidikan penting bagi setiap orang termasuk juga bagi
perempuan, seperti belajar membaca, menulis, aritmatika, agama, sejarah Islam,
pendidikan tentang gizi, merawat anak dan mengatur rumah tangga. Pendidikan
yang dicapai oleh para wanita akan bermanfaat untuk cara mereka dalam
mengerjakan tugas-tugas mereka dengan baik dan sesuai dengan ajaran Islam.
d.
Bidang Teologi
Secara
umum teologi Hasan Al-Banna adalah harus mengakui keEsaan Allah dan tidak ada
persamaan antara Allah dan makhlukNya.[8] Iman seseorang dapat dilihat
dari pengakuan percaya kepada Allah dan kenabian Muhammad, berbuat sesuai
kepercayaan dan menunaikan kewajiban agama. Orang yang terang-terangan
menyatakan murtad, meyakini keyakinan dan perilaku yang tidak diajarkan dalam
Islam, serta sengaja mendistorasi arti alquran dapat dikatakan kafir.
Dalam
menunjukkan adanya Allah, Beliau menggunakan dalil fitrah sebagai dalil
pertama. Kefitrahan sesungguhnya dimiliki oleh setiap individu. Karena
kepercayaan manusia sudah mengakar dalam jiwa manusia. Sebagai contoh, orang
yang berada ditengah lautan dan diterjang ombak yang sangat besar, dimana ia
tidak beragama sekalipun akan merasa dan berfikir, serta yakin bahwa akan ada
kekuatan yang sangat besar yang akan menyelamatkannya dengan kekuasanNya. Hasan
Al-Banna menenkankan kepada kaum Muslimin untuk kembali kepada Alquran dan
hadist.
Intisari keimanan orang-orang yang beriman kepada Allah yang
sebenarnya ialah mereka penuh yakin bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu wajib ada,
bersifat dengan semua sifat kesempurnaan, suci bersih daripada segala sifat
kekurangan, tidak ada ilmu yang lebih luas daripada ilmuNya, tiada qudrat yang
lebih besar daripada qudratNya, dan tidak ada kesempurnaan yang lebih mulia
daripada kesempurnaanNya.[9]
Seiring dengan banyaknya perbedaan, maka Hasan Al-Banna
berpendapat bahwa perbedaan dalam hal furu’iyah merupakan sesuatu yang mesti dan
tidak dapat dihindari. Untuk itu hendaknya umat muslim menghindari untuk
memperdebatkan hal-hal yang bersifat spekulatif (furu’iyah).[10] Sebagai seorang muslim, maka
tentunya harus percaya adanya qada’ dan qadar. Qada’ dan qadar disini bukan
untuk membuat manusia itu menjadi malas dan hanya menunggu, melainkan untuk
meyakinkan manusia agar semaksimal mungkin berusaha dan baru kemudian
menyerahkannya kepada Sang Khaliq, sehingga ia memperoleh kejayaan dunia dan
akhirat.[11]
Jadi keutamaan qada’ dan qadar adalah menunjukan adanya kuasa Allah dan memacu
manusia untuk selalu berusaha.
Dalam
Islam, hal yang paling penting dan mendasar selain iman adalah aqidah
Islamiyah. Unsur-unsur aqidah sendiri adalah:
1)
Ber’itiqad dengan kewujudan
Allah yang wajib bagi DzatNya yang tidak mengambil daripada yang lainnya. Dia
juga Maha Kuasa, Maha Mengetahui dengan sepenuhnya makna ilmu dan qudrat yang
setinggi-tingginya, karena alam semesta ini tidak mungkin terjadi kecuali
dengan alasan ilmu yang luas dan qudrat yang meliputi.
2)
Menafikan sifat-sifat keserupaan
(Al-Musyabahah) dan sifat kekurangan daripada Tuhan Pencipta (Al-Khalik).
Maksudnya, sifat-sifat makhluk terhindar daripadaNya, karena makhluk itu
berubah-ubah, sedangkan Dia tidak berubah-ubah.
3)
Aqidah Islam sama sekali tidak
menyentuh tentang hakikat dan keadaan Dzat dan sifat-sifat Allah, tetapi
sebaliknya dengan cara yang hati-hati dan harus menetapkan segi perkara dengan
arti kata yang sebenar-benarnya antara keadaan Dzat Tuhan dan sifatNya dengan
makhluk-makhluk dan sifat-sifat mereka. Hal inilah yang digunakan oleh Hasan
Al-Banna sebagai dasar teologinya.
4)
Aqidah Islam menggariskan jalan
kearah mengenal sifat-sifat Al-Khalik dan mengetahui sifat-sifat
kesempurnaanNya serta keistimewaan Tuhan. Untuk mencapainya, harus merenung dan
memerhatikan alam jagat ini dengan pandangan suci tanpa dipengaruhi adanya
mitos-mitos.
5)
Aqidah Islam menguatkan hubungan
antara perasaan hati manusia dengan Al-Khalik. Sehingga manusia akan sampai
kepada suatu jenis ma’rifat rohaniyah yang paling manis dan paling tinggi
daripada jenis-jenis ma’rifat secara keseluruhan.
6)
Aqidah Islamiyah menuntut
orang-orang mukmin supaya kesan daripada unsur-unsur aqidah ini dijelma atau
dimanifestasikan dalam tutur kata dan segala perbuatan mereka.[12]
Sisi rasionalitas teologi Hasan
Al-Banna dapat diketahui dari pendapatnya bahwa akal dan ilmu pengetahuan
berada paling depan. Hal ini dikarenakan, akal merupakan syarat penentuan
pahala dan dosa seseorang. Manusia harus berfikir dan merenung, mencari bukti
keberadaan dan keEsaanNya hingga akhirnya dapat memperkuat keyakinan. Jadi
manusia itu hatinya diawali dengan iman kemudian akal mulai berperan untuk
manusia dalam menemukan Tuhan untuk lebih memperkuat keyakinan yang telah ada.
KESIMPULAN
Hasan Al-Banna adalah seorang teolog
Muslim dari Mesir. Beliau lahir pada tanggal 17 Oktober 1906 di Mahmudiyah, Buhairah,
Mesir. Dalam hidupnya, Hasan Al-Banna merupakan seorang pahlawan yang gagah
berani karena Beliau memperjuangkan kehidupan masyarakat dari penindasan,
sehingga disebut ulama’ atau pemikir yang berhasil dalam pandangan umat Islam
Internasional. Hasan Al-Banna meninggal pada tanggal 12 Februari 1949, Beliau
tertembak polisi rahasia Mesir karena dituduh terlibat dalam pembunuhan
Al-Nuqrasa Phasa tahun 1948. Namun di lain sisi alasan terbunuhnya Hasan Al-Banna
adalah terkait dengan pernyataannya bahwa teror merupakan cara yang tidak bisa
diterima oleh Islam.
Secara
umum pemikiran Hasan Al-Banna dalam berbagai bidang sebagian besar dipengaruhi
oleh Rasyid Ridha. Hal itu dikarenakan Hasan Al-Banna banyak berinteraksi
secara langsung dengan Rasyid Ridha saat
berada di Kairo. Teologi Hasan Al-Banna adalah harus mengakui keEsaan
Allah dan tidak ada persamaan antara Allah dan makhlukNya. Teologinya ini
bersifat rasionalis karena Beliau mengedepankan akal dan ilmu pengetahuan.
Dasar tologi Hasan Al-Banna adalah Aqidah Islam yang sama sekali tidak
menyentuh tentang hakikat dan keadaan Dzat dan sifat-sifat Allah, tetapi
sebaliknya dengan cara yang hati-hati dan halus menetapkan segi perkara dengan
arti kata yang sebenar-benarnya antara keadaan Dzat Tuhan dan sifatNya dengan
makhluk-makhluk dan sifat-sifat mereka. Mengenai qada’ dan qadar menurut Hasan
Al-Banna, qada’ dan qadar bukan untuk membuat manusia itu menjadi malas dan
hanya menunggu, melainkan untuk meyakinkan manusia agar semaksimal mungkin
berusaha dan baru kemudian menyerahkannya kepada Sang Khaliq, sehingga ia
memperoleh kejayaan dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
John
L espito. 1990. Islam dan Politik.
Jakarta: Bulan dan Bintang.
Ali
Rahmenah. 1999. Para Perintis Zaman Baru
Islam. Bandung: Mirza.
Ma’shum.
2011. Pemikiran Teologi Islam Modern.
Yogyakarta: Interpena.
Al-Imam
Asy-Syahid Hasan Al-Banna. Allah dalam
Aqidah Islamiyah. Pustaka Aman Press SDN
Azyumardi
Azra. Pergolakan Politik Islam.
Yusuf
Qordawi. 1999. Tujuh Puluh Tahun
Al-Ikhwanul Al-Muslimin. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
[1] Ali Rahmenah, Para Perintis
Zaman Baru, (Bandung; Mirza, 1999), h.130
[2] John L Espasito, Islam dan
Politik, (Jakarta;Bulan Bintang, 1990), h.182
[3] Ma’shum, Pemikiran Teologi Islam
Modern, (Yogyakarta; Interpena, 2011), h.49
[4] John L Espasito, op.cit. , h.182
[5] Ma’shum, op.cit., h.46
[6] Azyumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam, h.117
[7] Ma’shum,op.cit., h.49 lihat juga Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung; Mirza, 1999), h.132
[8]Ibid, h.44
[9] Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna (alih bahasa: Ustadz H. Fauzi, Haji
awang), Allah dalam Aqidah Islamiyah,(;Pustaka
Aman Press SDN,BHO)
[10] Yusuf Qadrawi, Tujuh Puluh Tahun Al-Ikhwanul Al-Muslimin,
(Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 1999), h.122
[11] Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-Banna, op.cit.
[12] Al-Imam Asy.Syahid Hasan Al-Banna, op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar