Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sebelum adanya Agama Budha telah ada agama Hindu.
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa agama Hindu merupakan salah satu
aliran pemikiran yang timbul pada abad ke-6 SM. Banyak kalangan masyarakat yang
menyebutkan bahwa agama Budha sama seperti agama Jaina, bergerak dalam bidang
pemikiran Hindu. Keduanya muncul karena suatu reaksi terhadap kekerasan
Brahmana dan penindasan yang dilakukan mereka, hingga menyebabkan
golongan-golongan lain bangkit menentang, terutama golongan Ksatria yang
terdiri dari anak-anak raja dan prajurit, sebagai salah satu dari gerakan
pemikiran sezaman. Dalam makalah ini akan membahas tentang asal-usul Budha,
ajaran-ajaran Budha serta konsep Tuhan dalam agama Budha.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana
latar belakang munculnya agama Budha?
b.
Jelaskan
ajaran-ajaran yang dipakai dalam agama Budha?
c.
Bagaimana
konsep Tuhan dalam agama Budha?
3.
Tujuan
a.
Menjelaskan
asal-usul munculnya Budha.
b.
Menjelaskan
ajaran-ajaran Budha.
c.
Memberikan
pemahaman tentang Tuhan dalam agama Budha.
BAB
II
TUHAN
DALAM AGAMA
BUDHA
1.
Asal-usul Agama Budha
Dikawasan sebelah timur negeri India
yang berbatasan dengan kerajaan Kausala diantara Benares dan pegunungan Himalaya,
di utara sungai gangga yang terdapat hutan lebat di perbatasan negeri Nepal.
Tanah ini adalah tempat asal usul bangsa Sakya dari golongan Ksatria. Anak raja
suku inilah yang berkuasa diatas bumi.
Sudhodana
seorang bangsawan suku bangsa ini tinggal di sebuah kampung bernama
Kapilawastu, yang memiliki tanah luas, tanaman yang subur, istana yang megah
serta besar, dan amat terkenal. Dia kawin dengan seorang perempuan bangsawan
yang bernama Maya. Sudhodana dan Maya hidup bersama-sama dalam kenikmatan dan
kemewahan. Pada waktu kampung Kapilawastu mengadakan acara perayaan musim
panas, sang permaisuri Maya bermimpi, bahwa beliau diangkat dan dibawa ke
Gunung Himalaya. Sesudah itu ia dimandikan serta dikenakan pakaian sorgawi,
datanglah sang Budha, seperti seekor gajah putih, dengan membawa bunga teratai
putih pada belalainya. Sesudah gajah itu berputar-putar mengitari sang
permaisuri hingga 3 kali, masuklah ia ke dalam kandungan Maya melalui pinggang
sebelah kanan.
Menurut ramalan Brahmana, hal itu bahwa sang
permaisuri akan melahirkan seorang putra yang mempunyai dua pilihan. Menjadi
raja atau menjadi seorang Budha. Pada tahun 563 SM, mereka dikaruniai seorang
anak yang bernama Sidharta Gautama. Namun Maya ibu dari Sidharta meninggal saat
hari pertama kelahirannya, hingga akhirnya Sidharta diasuh oleh Mahayapati
saudara ibunya. Sidharta menikah dengan anak perempuan dari seorang Amir yang
bernama Yasidhra. Tak berapa lama kemudian, mereka dikaruniai seorang anak
laki-laki yang bernama Rahula. Semasa hidupnya sebagai putra raja, Sidharta
dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya
untuk menjauhkan Sidharta dari pemikiran menjadi pemimpin agama. Akan tetapi
Sidharta tidak merasa senang dengan kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik
pada kehidupan pertapaan.
Pada suatu hari Sidharta jalan-jalan
dengan saisnya. Ayahnya sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan
dilalui putra raja tersebut. Namun dalam perjalananya ia menemukan banyak kisah yang ditemui Sidharta
dalam kehidupannya. Kisah pertama,
Sidharta bertemu dengan seseorang yang sangat tua bertongkat dan hampir-hampir
menyentuh dadanya, badannya telah bongkok, kepalanya berat dan tidak berdaya
membawanya. Kisah kedua, Sidharta
melihat seseorang yang meringkuk karena sakit mengerang dan mengaduh tanda
beratnya penderitaan. Kisah ketiga,
Sidharta melihat satu tubuh mayat yang sudah lama membusuk dan menimbulkan bau
yang sangat membusuk. Dari ketiga kisah tersebut Sidharta memikirkan
penderitaan dan kemeranaan orang-orang tersebut. Kisah Keempat, Sidharta
melihat ada orang pertapa, tampak serius, terhormat serta menguasai diri. Sejak
itu Sidharta ingin mengikuti kehidupan pertapa tersebut dan mencari jalan untuk
meninggalkan kehidupannya yang mewah.
Pada suatu malam, tatkala istana
sedang dikunjungi oleh orang-orang dan diselimuti kebahagiaan karena kelahiran
anaknya. Sidharta memandang kepada istri dan anaknya untuk yang terakhir
kalinya. Kemudian ia mencuri-curi kesempatan keluar dan menunggang kudanya untuk
pergi ke tingkat yang baru.
Dalam perjalanan Sidharta untuk
mendapatkan pencerahan, ia mengalami berbagai rintangan dari Mara (Iblis). Mara ingin menggagalkan
yang dilakukan Sidharta, namun Sidharta tetap teguh pada pendiriannya hingga
mendapatkan pencerahan (Nirwana). Dalam menggapai pencerahan teersebut Sidharta
mencapai 3 tahap: Pertama, pada waktu jaga malam ia mendapatkan pengetahuan
akan kehidupan yang terdahulu. Kedua, pada waktu jaga malam yang kedua ia
menjadi mahatau. Ketiga, pada waktu jaga malam yang terakhir ia mendapat
pengertian akan pangkal yang bergantungan, yang menjadi awal segala kejahatan.
Mula-mula Sidharta ragu akan yang
diperolehnya untuk diajarkan kepada orang lain, ia takut bahwa orang akan
menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Budha ragu terjadilah bencana alam. Oleh
karena itu Dewa Brahmana minta kepada sang Budha untuk mengajarkan apa yang
sudah didapatkannya itu kepada umat manusia.
2.
Ajaran Agama Budha
Ajaran
agama Budha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut: Triratna (tiga batu permata), yaitu Budha, Dharma, dan Sangha.[1]
v Ajaran
tentang Budha
Budha
adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang tokoh yang sudah pernah
menjelma pada seseorang. Menurut keyakinan budhis sebelum ada zaman yang tak
dapat terhitung memiliki Budhanya (gelar/jabatan) sendiri-sendiri. Tentang
tokoh Budha yang diajarkan, sebenarnya berasal dari suatu asas rohani, suatu
“Kebudhaan” atau suatu tabiat kebudhaan. Tabiat kebudhaan ini tersembunyi
didalam diri tiap orang yang menjadi Budha dan didalam diri Sidharta.
Tabiat
Kebudhaan inilah yang mengilhami Sidharta untuk mengerti akan kebenaran dan
ajarannya. Jika budha dipandang sebagai asas rohani maka ia disebut Tathagata.
v Ajaran
tentang Dharma atau Dhamma
Yang disebut Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran.
Inti ajaran Budha dirumuskan pada empat kebenaran yang mulia atau empat orang
yang Aryasatyani, yaitu ajaran yang diajarkan Budha Gautama di Benares sesudah
ia mendapat pencerahan. Kebenaran yang mulia itu terdiri dari empat ajaran,
yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, dan Marga.
Dukha ialah penderitaan. Hidup
adalah menderita. Contohnya seperti; kelahiran adalah penderitaan, umur tua
adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mendapatkan sesuatu yang kita
benci adalah penderitaan, berbisah dengan orang yang kita kasihi juga
penderitaan, dan mati juga penderitaan. Dapat disimpulkan bahwa isi dari dunia
ini adalah penderitaan.
Samudaya adalah sebab. Penderitaan
berasal dari keinginan dari nafsu gelora yang selalu memberi dorongan baru yang
disertai dengan kepuasan. Maksudnya, keinginanlah yang menjadi sumber
penderitaan karena ingin selalu dipenuhi dan menuuntut kepuasan secara terus
menerus.
Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman
kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna yaitu, dengan
menjadikan diri lepas atau terbebas dari nafsu dan tidak memberi peluang bagi
nafsu itu sendiri.
Marga adalah jalan kelepasan. Jalan ini adalah jalan
keutamaan delapan sisi, yakni:[2]
1. percaya akan yang benar.
2. mempunyai maksud yang benar.
3. berbicara yang benar.
4. bertindak yang benar.
5. hidup yang benar.
6. Usaha yang benar.
7. Berpikir yang benar,
8. Bermeditasi dengan benar.
Dengan demikian pokok ajaran Budha Gautama ialah
bahwa hidup adalah menderita. Seandainya didalam dunia tiada penderitaan Budha
tidak akan menjelma di dunia.[3]
v Ajaran
tentang Sangha
Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: para biksu atau para
rahib dan kaum awam. Inti masyarakat
Budhis dalam arti yang sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya
hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan hidup yang tertinggi.
Pengikut Budha yang kedua ialah para
kaum awam. Mereka adalah orang-orang yang mengakui Budha sebagai pemimpin
keagamaannya, yang menerima ajarannya. Namun tetap hidup didalam masyarakat
dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para kaum awam tak dapat mencapai Nirwana
didalam hidupnya.
3. Tuhan
dalam Agama Budha
Secara umum,
banyak pandangan yang ada menganggap seseorang yang beragama harus mempunyai
“Satu Tuhan yang diakui”. Konsep Tuhan dari sudut pandang ini jelas
mempersonifikasikan Tuhan sebagai Sosok pribadi atau makhluk seperti halnya
manusia.
Menurut para ahli di luar negeri,
dikatakan bahwa agama Buddha digolongkan sebagai agama yang Agnostik (Tidak
mengetahui keberadaan Tuhan) dan tidak mengenal Tuhan pencipta (Atheis). Selain
itu, menurut para Atheis, dikatakan bahwa Buddhisme tidak bisa disebut sebagai
agama, karena tidak adanya Tuhan dan segala macamnya, namun lebih cenderung ke
filosofi, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan yang
sistematis mengenai sebab dan akibat. Dalam teori Buddhis, memang tidak adanya
konsep Tuhan dengan definisi sebagai pencipta dan pengatur alam semesta beserta
segala isinya dengan watak atau sifat-sifat seperti manusia, yang bisa marah,
senang, benci, saying, dll. Sehingga agama Budha sering disebut Atheis.
Tujuan hidup bukan untuk kembali
pada asalnya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk ke dalam Nirwana (pencerahan),
pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan,
tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya.
Itulah situasi damai.[4]
Tentunya konsep ini sangat tidak
memuaskan pada berbagai pihak dan orang-orang yang sudah terlanjur melekat pada
pandangan Tuhan sebagai pribadi atau makhluk Yang Agung, Maha Tinggi dan Maha
segala-galanya, dimana menuntut setiap agama harus mempunyai konsep yang sama
seperti itu. Namun, cara pandang ajaran Buddha terhadap konsep Tuhan ini memang
sangat berbeda dibanding agama-agama lainnya.
TUHAN dalam agama Buddha didefinisikan
sebagai “Yang Mutlak”, maka jika meminta definisi Tuhan sebagai Yang Mutlak
ini, kita dapat merujuk pada uraian sabda Sang Buddha tentang “Nibbana” yang
ada pada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3.
“Ketahuilah para Bhikkhu,
Bahwa ada sesuatu Yang tidak
dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak
tercipta, Yang mutlak.
Apabila tidak ada Yang tidak
dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak
diciptakan, Yang mutlak,
Maka tidak akan mungkin kita dapat
bebas dari kelahiran,
Penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi, karena ada Yang tidak
dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak
tercipta, Yang mutlak,
Maka ada kemungkinan untuk bebas
dari kelahiran,
Penjelmaan, pembentukan, pemunculan
dari sebab yang lalu”.
Dalam hal ini agama Buddha termasuk
agama Theistik (ber-Tuhan). “Yang Mutlak” itu sendiri adalah istilah falsafah, bukan
istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan
“Yang Mutlak” itulah yang disebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia
adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati
dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir.
Untuk mencapai pertolongan dan bantuan
pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-dewi yang dapat membantu,
hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan
contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka
sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas
sebenar-benarnya.
Dalam konsep ketuhananya, Budha
tidak mengetahui akan keberadaan Tuhan karena ia menganggap bahwa kebahagian
dapat diperoleh dari pengalaman yang menyedihkan (penderitaan). Tuhan dalam
agama Buddha didefinisikan sebagai “Yang Mutlak”. Dalam hal ini agama Buddha
termasuk agama Theistik. Yang Mutlak itu adalah istilah falsafah, bukan istilah
yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan “Yang
Mutlak” itulah yang disebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, Harun. 2001. Agama Hindu dan Budha, Jakarta: PT BPK
Gunung Mulia.
Sutrisno, Mudji. 1993. Buddhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern,
Yogyakarta: Kanisius
Shalaby, Ahmad. Agama-agama Besar di India
Amstrong,
Karen. 2003. Budha, Yogyakarta: Bentang Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar