Selasa, 18 Desember 2012

Agama Budha

Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah



BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Sebelum adanya Agama Budha telah ada agama Hindu. Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa agama Hindu merupakan salah satu aliran pemikiran yang timbul pada abad ke-6 SM. Banyak kalangan masyarakat yang menyebutkan bahwa agama Budha sama seperti agama Jaina, bergerak dalam bidang pemikiran Hindu. Keduanya muncul karena suatu reaksi terhadap kekerasan Brahmana dan penindasan yang dilakukan mereka, hingga menyebabkan golongan-golongan lain bangkit menentang, terutama golongan Ksatria yang terdiri dari anak-anak raja dan prajurit, sebagai salah satu dari gerakan pemikiran sezaman. Dalam makalah ini akan membahas tentang asal-usul Budha, ajaran-ajaran Budha serta konsep Tuhan dalam agama Budha.      
2.        Rumusan Masalah
a.         Bagaimana latar belakang munculnya agama Budha?
b.         Jelaskan ajaran-ajaran yang dipakai dalam agama Budha?
c.         Bagaimana konsep Tuhan dalam agama Budha?
3.                                Tujuan
a.         Menjelaskan asal-usul munculnya Budha.
b.         Menjelaskan ajaran-ajaran Budha.
c.         Memberikan pemahaman tentang Tuhan dalam agama Budha.



BAB II
TUHAN DALAM AGAMA BUDHA

1.      Asal-usul Agama Budha
            Dikawasan sebelah timur negeri India yang berbatasan dengan kerajaan Kausala diantara Benares dan pegunungan Himalaya, di utara sungai gangga yang terdapat hutan lebat di perbatasan negeri Nepal. Tanah ini adalah tempat asal usul bangsa Sakya dari golongan Ksatria. Anak raja suku inilah yang berkuasa diatas bumi.
            Sudhodana seorang bangsawan suku bangsa ini tinggal di sebuah kampung bernama Kapilawastu, yang memiliki tanah luas, tanaman yang subur, istana yang megah serta besar, dan amat terkenal. Dia kawin dengan seorang perempuan bangsawan yang bernama Maya. Sudhodana dan Maya hidup bersama-sama dalam kenikmatan dan kemewahan. Pada waktu kampung Kapilawastu mengadakan acara perayaan musim panas, sang permaisuri Maya bermimpi, bahwa beliau diangkat dan dibawa ke Gunung Himalaya. Sesudah itu ia dimandikan serta dikenakan pakaian sorgawi, datanglah sang Budha, seperti seekor gajah putih, dengan membawa bunga teratai putih pada belalainya. Sesudah gajah itu berputar-putar mengitari sang permaisuri hingga 3 kali, masuklah ia ke dalam kandungan Maya melalui pinggang sebelah kanan.   
Menurut ramalan Brahmana, hal itu bahwa sang permaisuri akan melahirkan seorang putra yang mempunyai dua pilihan. Menjadi raja atau menjadi seorang Budha. Pada tahun 563 SM, mereka dikaruniai seorang anak yang bernama Sidharta Gautama. Namun Maya ibu dari Sidharta meninggal saat hari pertama kelahirannya, hingga akhirnya Sidharta diasuh oleh Mahayapati saudara ibunya. Sidharta menikah dengan anak perempuan dari seorang Amir yang bernama Yasidhra. Tak berapa lama kemudian, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Rahula. Semasa hidupnya sebagai putra raja, Sidharta dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Maksud ayahnya untuk menjauhkan Sidharta dari pemikiran menjadi pemimpin agama. Akan tetapi Sidharta tidak merasa senang dengan kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik pada kehidupan pertapaan.
            Pada suatu hari Sidharta jalan-jalan dengan saisnya. Ayahnya sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putra raja tersebut. Namun dalam perjalananya ia  menemukan banyak kisah yang ditemui Sidharta dalam kehidupannya. Kisah pertama, Sidharta bertemu dengan seseorang yang sangat tua bertongkat dan hampir-hampir menyentuh dadanya, badannya telah bongkok, kepalanya berat dan tidak berdaya membawanya. Kisah kedua, Sidharta melihat seseorang yang meringkuk karena sakit mengerang dan mengaduh tanda beratnya penderitaan. Kisah ketiga, Sidharta melihat satu tubuh mayat yang sudah lama membusuk dan menimbulkan bau yang sangat membusuk. Dari ketiga kisah tersebut Sidharta memikirkan penderitaan dan kemeranaan orang-orang tersebut. Kisah Keempat, Sidharta melihat ada orang pertapa, tampak serius, terhormat serta menguasai diri. Sejak itu Sidharta ingin mengikuti kehidupan pertapa tersebut dan mencari jalan untuk meninggalkan kehidupannya yang mewah.
            Pada suatu malam, tatkala istana sedang dikunjungi oleh orang-orang dan diselimuti kebahagiaan karena kelahiran anaknya. Sidharta memandang kepada istri dan anaknya untuk yang terakhir kalinya. Kemudian ia mencuri-curi kesempatan keluar dan menunggang kudanya untuk pergi ke tingkat yang baru.  
            Dalam perjalanan Sidharta untuk mendapatkan pencerahan, ia mengalami berbagai rintangan dari Mara (Iblis). Mara ingin menggagalkan yang dilakukan Sidharta, namun Sidharta tetap teguh pada pendiriannya hingga mendapatkan pencerahan (Nirwana). Dalam menggapai pencerahan teersebut Sidharta mencapai 3 tahap: Pertama, pada waktu jaga malam ia mendapatkan pengetahuan akan kehidupan yang terdahulu. Kedua, pada waktu jaga malam yang kedua ia menjadi mahatau. Ketiga, pada waktu jaga malam yang terakhir ia mendapat pengertian akan pangkal yang bergantungan, yang menjadi awal segala kejahatan.
            Mula-mula Sidharta ragu akan yang diperolehnya untuk diajarkan kepada orang lain, ia takut bahwa orang akan menyalahgunakan ajarannya. Ketika sang Budha ragu terjadilah bencana alam. Oleh karena itu Dewa Brahmana minta kepada sang Budha untuk mengajarkan apa yang sudah didapatkannya itu kepada umat manusia.  
2.      Ajaran Agama Budha
Ajaran agama Budha dapat dirangkumkan di dalam apa yang disebut: Triratna (tiga batu permata), yaitu Budha, Dharma, dan Sangha.[1]
v  Ajaran tentang Budha
Budha adalah sebuah gelar, suatu jabatan atau seorang tokoh yang sudah pernah menjelma pada seseorang. Menurut keyakinan budhis sebelum ada zaman yang tak dapat terhitung memiliki Budhanya (gelar/jabatan) sendiri-sendiri. Tentang tokoh Budha yang diajarkan, sebenarnya berasal dari suatu asas rohani, suatu “Kebudhaan” atau suatu tabiat kebudhaan. Tabiat kebudhaan ini tersembunyi didalam diri tiap orang yang menjadi Budha dan didalam diri Sidharta.
Tabiat Kebudhaan inilah yang mengilhami Sidharta untuk mengerti akan kebenaran dan ajarannya. Jika budha dipandang sebagai asas rohani maka ia disebut Tathagata.

v  Ajaran tentang Dharma atau Dhamma
Yang disebut Dharma adalah doktrin atau pokok ajaran. Inti ajaran Budha dirumuskan pada empat kebenaran yang mulia atau empat orang yang Aryasatyani, yaitu ajaran yang diajarkan Budha Gautama di Benares sesudah ia mendapat pencerahan. Kebenaran yang mulia itu terdiri dari empat ajaran, yaitu: Dukha, Samudaya, Nirodha, dan Marga.
            Dukha ialah penderitaan. Hidup adalah menderita. Contohnya seperti; kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mendapatkan sesuatu yang kita benci adalah penderitaan, berbisah dengan orang yang kita kasihi juga penderitaan, dan mati juga penderitaan. Dapat disimpulkan bahwa isi dari dunia ini adalah penderitaan.
            Samudaya adalah sebab. Penderitaan berasal dari keinginan dari nafsu gelora yang selalu memberi dorongan baru yang disertai dengan kepuasan. Maksudnya, keinginanlah yang menjadi sumber penderitaan karena ingin selalu dipenuhi dan menuuntut kepuasan secara terus menerus.
            Nirodha adalah pemadaman. Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna yaitu, dengan menjadikan diri lepas atau terbebas dari nafsu dan tidak memberi peluang bagi nafsu itu sendiri.
Marga adalah jalan kelepasan. Jalan ini adalah jalan keutamaan delapan sisi, yakni:[2]
1.      percaya akan yang benar.
2.      mempunyai maksud yang benar.
3.      berbicara yang benar.
4.      bertindak yang benar.
5.      hidup yang benar.    
6.      Usaha yang benar.
7.      Berpikir yang benar,
8.      Bermeditasi dengan benar.
Dengan demikian pokok ajaran Budha Gautama ialah bahwa hidup adalah menderita. Seandainya didalam dunia tiada penderitaan Budha tidak akan menjelma di dunia.[3]


v  Ajaran tentang Sangha
Pengikut agama Budha dibagi menjadi dua bagian, yaitu: para biksu atau para rahib dan kaum awam. Inti masyarakat Budhis dalam arti yang sebenarnya hanya terdiri dari para rahib. Sebab hanya hidup kerahibanlah yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup yang tertinggi.
Pengikut Budha yang kedua ialah para kaum awam. Mereka adalah orang-orang yang mengakui Budha sebagai pemimpin keagamaannya, yang menerima ajarannya. Namun tetap hidup didalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakikatnya para kaum awam tak dapat mencapai Nirwana didalam hidupnya.    
3.      Tuhan dalam Agama Budha
Secara umum, banyak pandangan yang ada menganggap seseorang yang beragama harus mempunyai “Satu Tuhan yang diakui”. Konsep Tuhan dari sudut pandang ini jelas mempersonifikasikan Tuhan sebagai Sosok pribadi atau makhluk seperti halnya manusia.
Menurut para ahli di luar negeri, dikatakan bahwa agama Buddha digolongkan sebagai agama yang Agnostik (Tidak mengetahui keberadaan Tuhan) dan tidak mengenal Tuhan pencipta (Atheis). Selain itu, menurut para Atheis, dikatakan bahwa Buddhisme tidak bisa disebut sebagai agama, karena tidak adanya Tuhan dan segala macamnya, namun lebih cenderung ke filosofi, suatu usaha akal manusia untuk mencari kedamaian dengan rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat. Dalam teori Buddhis, memang tidak adanya konsep Tuhan dengan definisi sebagai pencipta dan pengatur alam semesta beserta segala isinya dengan watak atau sifat-sifat seperti manusia, yang bisa marah, senang, benci, saying, dll. Sehingga agama Budha sering disebut Atheis.
Tujuan hidup bukan untuk kembali pada asalnya, yaitu Tuhan, melainkan untuk masuk ke dalam Nirwana (pencerahan), pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan, tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.[4]
Tentunya konsep ini sangat tidak memuaskan pada berbagai pihak dan orang-orang yang sudah terlanjur melekat pada pandangan Tuhan sebagai pribadi atau makhluk Yang Agung, Maha Tinggi dan Maha segala-galanya, dimana menuntut setiap agama harus mempunyai konsep yang sama seperti itu. Namun, cara pandang ajaran Buddha terhadap konsep Tuhan ini memang sangat berbeda dibanding agama-agama lainnya.
TUHAN dalam agama Buddha didefinisikan sebagai “Yang Mutlak”, maka jika meminta definisi Tuhan sebagai Yang Mutlak ini, kita dapat merujuk pada uraian sabda Sang Buddha tentang “Nibbana” yang ada pada Sutta Pitaka, Udana VIII : 3.

“Ketahuilah para Bhikkhu,
Bahwa ada sesuatu Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak.
Apabila tidak ada Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak diciptakan, Yang mutlak,
Maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran,
 Penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Tetapi, karena ada Yang tidak dilahirkan,
Yang tidak menjelma, Yang tidak tercipta, Yang mutlak,
Maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
Penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu”.

Dalam hal ini agama Buddha termasuk agama Theistik (ber-Tuhan). “Yang Mutlak” itu sendiri adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan “Yang Mutlak”  itulah yang disebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati dimana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Untuk mencapai  pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada pengaruhnya. Tidak ada dewa-dewi yang dapat membantu, hanya dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat kebenaran & realitas sebenar-benarnya.
Dalam konsep ketuhananya, Budha tidak mengetahui akan keberadaan Tuhan karena ia menganggap bahwa kebahagian dapat diperoleh dari pengalaman yang menyedihkan (penderitaan). Tuhan dalam agama Buddha didefinisikan sebagai “Yang Mutlak”. Dalam hal ini agama Buddha termasuk agama Theistik. Yang Mutlak itu adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan “Yang Mutlak”  itulah yang disebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.







DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun. 2001. Agama Hindu dan Budha, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Sutrisno, Mudji. 1993. Buddhisme Pengaruhnya Dalam Abad Modern, Yogyakarta: Kanisius
Shalaby, Ahmad. Agama-agama Besar di India
Amstrong, Karen. 2003. Budha, Yogyakarta: Bentang Budaya





[1]Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2001), 70 
[2]Mudji Sutrisno, Buddhisme Pengaruhnya dalam Abad Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 24
[3]Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Budha,…71
[4]Ibid, 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar