Minggu, 16 Desember 2012

Dari Sunni Klasik sampai Indonesia



Oleh : Abd. Shamad, Izrin & Diana


A.    Latar Belakang Lahirnya Kalam Sunni
Sebelum Ahlu as-Sunnah lahir, umat Islam hidup di bawah baying-bayang ekstrimitas muktazilah sebagai pemuja akal dan ekstrimitas salaf yang sangat tekstualis (bahkan sebagian dari mereka menolak akal). Kedua kelompok tersebut sempat membingungkan umat Islam. Apa lagi berbagai pertentangan yang ada tidak sedikit memakan korban. Muktazilah yang pada waktu itu diuntungkan menjadi mazhab resmi Negara seakan menjadi penguasa. Sehingga banyak dari para pembesar salaf yang harus berakhir di penjara dengan tuduhan kesesatan. Hal ini diawali dengan diberlakukannya inkuisisi pada masa al-Makmun yang kian menambah kebingungan umat.
Pada waktu umat Islam dilanda dilema itulah al-Asy’ari datang mencoba mengakurkan dengan jalan tengah yang diambilnya. Dari muktazilah, Asy’ari tidak menolak akal dan menerima takwil. Dan dari Salafi, dia menerima nash-nash sebagai dalil naqli dan petunjuk kebenaran. Namun, sebenarnya mereka lebih condong pada aliran salafi. Hal ini dapat dilihat dari dinomer duakannya akal setelah naqal. Atau bisa dikatakan sebenarnya mereka adalah salafi yang moderat.  Aliran inilah nantinya yang  akan dikenal dengan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah di samping pengikut maturidiyah. Karena dalam akidah sunni hanya mengakui pengikut Asy’ari dan Maturidy.
Penamaan Ahlus Sunnah dikarenakan mereka (Asy’ari dan Maturidi beserta pengikutnya) banyak memakai Alquran dan hadis dalam melandasi pemndapatnya. Adapun tambahan  Wal Jama’ah dikarenakan mereka yang masih mengakui Atsar sahabat, tabi’in dan ijma’ para ulama’ sebagai landasan (pegangan) ketika dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan keterangan. Nama ini tidaklah muncul ketika Asy’ariyah dan Maturidiyah lahir. Tetapi mulai terkenal dan banyak digunakan setelah kedatangan al-Ghazali sebagai salah satu dari sekian tokoh besar yang mengembangkan paham Asy’ariyah.
Asy’ari yang merupakan salah satu tokoh awal dari Ahlussunnah wal jama’ah awalnya menganut faham Mu’tazilah sampai berusia 40 tahun. Ia keluar dari Mu’tazilah karena merasa ragu dengan ajaran Mu’tazilah. Bahkan sebelum akhirnya membentuk golongan sendiri, Asy’ari sempat melakukan perdebatan dengan gurunya yakni Al Jubba’i tentang kedudukan orang mukmin, kafir, dan anak kecil kelak di hari kiamat nanti. Dalam perdebatan itu Al Jubba’i terpaksa diam karena tidak bisa menjawab pertanyaan Asy’ari. Oleh karena itu kemudian Asy’ari ragu dan mengasingkan diri di rumah selama 15 hari sambil merenungkan ajaran Mu’tazilah tersebut.[1] Sampai akhirnya setelah melalui proses panjang, dia memutuskan untuk keluar dari mu’tazilah dan mendirikan mazhab sendiri.
Keputusan Asy’ari untuk mendirikan mazhab sendiri mendapat sambutan baik dari umat Islam yang pada waktu itu dilanda kebingungan. Asy’ari dengan sikap moderatnya memberikan jalan keluar di tengah-tengah ekstrimitas muktazilah dan salafiyah. Jalan tengah memang sering menguntungkan. Namun belum juga mesti diterima semua kalangan. Buktinya Asy’ari bukannya meredam pertentangan dengan jalan tengahnya, tetapi justru memperpanjang sejarah aliran-aliran dalam teologi Islam. Tetapi hal ini bukannya berarti jelek, kedatangannya menjadi penyeimbang dua kubu ekstrim dan menjadi pilihan umat yang kebingungan. Sehingga tak heran lagi kalau pada akhirnya Asy’ari yang tergabung dalam aliran Sunni menjadi panutan mayoritas.
Sebenarnya kalau ditelisik lebih dalam, asy’ariyah lebih condong pada salafiyah. Hanya saja mereka lebih moderat dengan mengakui kemampuan akal. Walaupun kelas akal berada di bawah naqal (nash) atau di bawah batasan naqal. Dan sebagai aliran dalam masa yang sama dengan latar belakang masyarakat yang sama, pengaruh muktazilah juga ditemukan. Pentakwilan ayat dalam kategorinya juga dilakukan. Intinya mereka mencoba mengambil posisi tengah walaupun sedikit condong ke kanan atau ke kiri dalam perkembangannya. Dalam sejarahnya, Asy’ari dinyatakan condong pada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak mempelajari aqidah berdasarkan metodenya.[2]
B.     Metode Ahlus Sunnah
Sebagaimana di atas, Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahlus Sunnah bertumpu pada Alquran dan hadis juga apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan imam-imam hadis. Mereka amat teguh memegangi Atsar. Dalam prinsip mereka, Ittiba’ (mengikuti yang dahulu baik sahabat atau tabi’in dan seterusnya) lebih baaik dari pada Ibtida’ (membuat bid’ah atau hal yang baru). Namun hal ini bukan berarti mereka menolak akal sebagai instrument yang melekat pada tiap manusia.
Dalam mencuplik ayat atau hadis yang akan dijadikan argument, kaum Asy’ariyah melakukan tahapan-tahapan. Biasanya pertama mereka mengambil makna lahir dari nash (teks ayat Alquran dan hadis). Mereka sangat hati-hati dan tidak menolak penakwilan. Sebab ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian samar yang tidak bisa diambil dari makna lahirnya, tetapi harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud.[3] Jadi sebelum melakukan penakwilan, Asy’ariyah terlebih dahulu mengambil makna lahir ayat atau hadis. Baru ketika hal itu tidak dimungkinkan, maka mereka melakukan penakwilan dengan sangat hati-hati. Karena penakwilan terhadap seuatu yang sudah jelas tidaklah ada gunanya dan menyalahi makna lahir ayat atau hadis.
Terkait dengan akal, Asy’ariyah tidak menolaknya. Karena walau bagaimanapun, dalam Alquran sendiri banyak ditemukan ayat yang menganjurkan kajian rasional. Akal dan naqal saling membutuhkan dan tidak mungkin melepas salah satunya sebagaiman yang dilakukan sebagian kalangan (kelompok ekstrm). Hanya saja mereka tidak seperti kaum mu’tazilah yang memberi kebebasan penuh pada akal. Sehingga mereka tidak menempatkan akal di atas nash sebagai pembatas kerja akal. Akal di sini sebagai pelayan naqal dalam memperkuat naqal dan membela agama.[4] Bahkan Asy’ari menerima teori mu’tazilah bahwa akal dapat mengetahui kebaikan dan keburukan yang ada pada benda-benda. Hanya saja tanpa ada perintah Syara’, hal ini tidak lantas menjadi sebuah kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan. Dalam hal kewjiban ini mereka berbeda dari mu’tazilah yang melekatkan tanggung jaawab walau tanpa ada keterangan dari syara’ tentang kewajibannya atau baik dan buruknya.
Demikian berbagai metode yang dipakai Asy’ariyah dan karakteristik pemikirannya sebagai bagian dari Ahlus Sunnah yang mencoba menjembatani dua kelompok ekstrem. Dari sini tampak bahwa Asy’ari pada dasarnya lebih meperhatikan kalangan awam dalam pemikirannya. Bagaimana mereka memberi kemudahan dan melepas kaum muslimin dari belenggu kebingungan yang disajikan dua kelompok ekstrem sebelumnya. Sehingga mereka umat Islam tidak perlu lagi ketakutan. Apa lagi setelah runtuhnya kekuasaan mu’tazilah yang sebelumnya menjadi mazhab resmi Negara.

C.    Pemikiran Ahlus Sunnah
Setelah mengetahui sekelumit sejarah kelahiran Ahlus Sunnah  dan metode yang mereka pakai, dalam makalah ini akan dibahas sedikit banyak tentang pemikiran mereka. Sehingga pengetahuan tentang Ahlus Sunnah semakin lengkap dan mantap dengan menjadikan hasil pemikiran sebagai contoh dari metode yang dipakai dan mengetahui kecenderungan-kecenderungannya. Selain itu, pengaruh dan kemurnian ajaran Ahlus Sunnah akan dapat terbaca setelah sekian lama menjadi panutan mayoritas umat Islam. Di antara sekian banyak pemikiran Sunni klasik adalah sebagai berikut:
1.      Ketuhanan
Dalam pandangan Asy’ariyah Allah memilki sifat-sifat sebagaimana yang tertera dalam Alquran. Mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dan membedakan sifat-sit itu sendiri dari yang disifati. Sehingga tidak ada jalan ta’addudu al-Ilah sebagaimana yang dituduhkan mu’tazilah terhadap golongan sifatiyah. Menurut mereka, menegasikan sifat Allah berarti menegasikan yang disifati, sebagaimana orang yang menegasikan aksi berarti menegasikan subjek yang beraksi.
Dalam perkembangan selanjutnya, Asy’ariyah memperluas pembahasan tentang sifat-sifat Allah menjadi dua puluh sifat wajib yang diambil dari diskusi-diskusi sebelumnya. Mereka juga membagi antar sifat-sifat Dzat (nafsiyah) seperti wujud, sifat salbiyah (nagatif atau pensucian) seperti sifat qidam (dahulu) dan Esa, sifat ma’ani seperti qudrat (Maha Kuasa) dan sifat ma’nawiyah seperti keberadaan Allah Maha Kuasa (Qadiran).
Adapun sifat-sifat Allah ini sebagaimana dzat-Nya juga azali atau qadim dan abadi. Jadi sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk. Misalnya ilmu Allah tidak sama dengan ilmunya manusia. Pengetahuan manusia berubah-ubah dan baru, sementara pengetahuan Allah tetap dan azali. Sehingga tidak ada tasybih atau penyerupaan antara yang mencipta dan yang dicipta. Dan terkait dengan ayat-ayat yang terkesan tajsim dan tasybih mereka serahkan kepada Allah yang Maha Tahu atau mereka takwilkan.
2.      Alquran
Terkait dengan Alquran yang sebelumnya menjadi bahan perdebatan apakah termasuk makhluk atau qadim sebagai kalamullah (di mana sifat Allah adalah qadim) Asy’ariyah berpendapat bahwa kalam memiliki dua pengertian. Pertama, yang dimaksud dengan kalam Allah adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qaim bi al-Zat (pengertian kalam yang ada pada Zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah adalah eternal dan azali. Kedua, sifat kalam juga digunakan pada suara-suara dan huruf-huruf  yang digunakan untuk menyampaikan pengertian ini yang bersifat temporal (hadisah). Dengan teori ini, problemaatika apakah Alquran itu makhluk dapat diselesaikan dengan mudah di mana letak keazalian dan kemakhlukan menjadi jelas.[5]
3.      Kasab
Teori ini terkait dengan qadha dan qadar Allah juga pertanggung jawaban manusia kepada Tuhan. Menurut asy’ariyah semua perbuatan, baik dan buruk diciptakan oleh Allah. Hal ini terlihat ketika apa yang diharapkan tidak sejalan dengan apa yang terjadi. Karena walau bagaimanapun manusia hanya berusaha, selanjutnya apakah usahanya berhasil atau tidak, ditentukan Tuhan. Dan apapun yang dikerjakan manusia tidak terlepas dari Tuhan sebagai pencipta perbuatan. Namun hal ini bukan berarti tidak ada pertanggung jawaban. Karena Tuhan menciptakan perbuatan baik dan buruk dengan memberikan ukuran-ukuran sebagai standarisasi baik dan buruk yang persoalannya diserahkan kepada manusia (untuk memilih). Di sini letak kebebasan manusia adalah dalam menentukan pilihan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan.
Asy’ariyah menerima Istitha’ah yang dikembangkan mu’tazilah. Tetapi hal ini juga tidak terlepas dari kritiknya. Menurut Asy’ariyah, Istitha’ah adalah aksidensia yang diberikan Allah kepada manusia saat diperlukan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi baik dan buruk. Dan mereka bebas memilih potensi apa yang akan dikembangkannya. Semenatara Allah yang menciptakan dan memberi kemampuan (Istitha’ah) kepada manusia untuk itu. Hal ini dalam teori Asy’ariyah dikenal dengan kasab dan ikhtiar yang akan dihisab. Kasab di sini berarti semata-mata hubungan qudrat dan kehendak manusia dengan perbuatan. Sedangkan perbuatan ini merupakan ciptaan Tuhan. Karena qudrat manusia sama sekali tidak berpengaruh terhadap yang diqadratinya.[6]
Berbada dengan Asy’ariyah, pandangan Maturidiyah (bagian dari Ahlus Sunnah) tentang kasab. Menurutnya kasab berarti kesengajaan (al-Qasd) dan Ikhtiar. Karena kasab merupakan proses (amal) posiitif yang mendahului aksi bukan semata-mata kebersamaan qudrat haadisah (kemampuan temporal) dengan maqdur. Karena kasab di sini merupakan persoalan negative terjadi bersama dengan aksi dan tidak mendahuluinya.
Menurut Maturidiyah, al-Qasd (niat sebagai unsure kesengajaan) merupakan salah satu unsure penting dalam kebebasan kehendak yang menjadi pangkalbagi taklif (perintah agama), menjadi prinsip pahal dan dosa juga pujian dan celaan. Menurut mereka meskipun niat merupakan amal hati, tetapi mengakibatkan pengaruh-pengaruh eksternal. Dan perbuatan sendiri tidak mengkonsekuensikan pahala atau dosa, tetapi niat lah yang mengkonsekuensikan hal ini. Dan al-Qasd di sini harus disertai dengan Istitha’ah. Tanpa salah satu dari keduanya maka perbuatan manusia tidak memiliki konsekuensi apa-apa dan tidak ada perintah.



D.    Perkembangan Sunni di Indonesia
Dari sekian catatan berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia, menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke wilayah Nusantara ini bukan lagi Islam yang orisinil sebagaiman dikembangkan pada masa Rasulullah. Akan tetapi sudah mengalami sudah mengalami perkembangan dan pengemasan dalam berbagai aliran. Di mana Islam yang masuk sudah terkemas dalam mazhab fiqih tertentu seperti Syafi’i dan Hanafi. Islam yang begitu lentur dan berbaur dengan kebudayaan lewat mulut para pedagang dan akses-akses lain. Bukan lewat jalan intervensi dan kekerasan dalam pemaksaan sebuah keyakinan.
Selanjutnya transmisi ajaran Aswaja dikembangkan dan dilestarikan oleh para Ulama dan para Wali. Misalnya di Pulau Jawa ada yang dikenal dengan Wali Songo yang berpengaruh dalam pemantapan eksistensi Aswaja di bumi Nusantara ini dan lainnya. Sampai pada suatu ketika terjadi proses pelembagaan Aswaja menuju paham Aswaja dengan karakter yang khas dengan didirikannya Jam’iyah Nahdatul Ulama pada tahun 1926 0leh K. H. Hasyim Asy’ari.[7]
Pelembagaan di atas bukan tanpa alasan. Tetapi untuk menyikapi kebangkitan modernsime (Muhammadiyah) yang terus menerus berupaya menyingkirkan unsur-unsur tradisional dalam keagamaan dan sebagai jawaban akan cengkeraman kolonialisme Belanda pada waktu itu. Sehingga dalam perkembangnnya, mereka dikenal dengan kaum tradisionalis atau meminjam istilah Ernest Gellner pelembagaan Aswaja dalam NU merupakan pembelaan low Islam atau agama rakyat.[8]
Selanjutnya seiring perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, dalam kubu tradisonalis ini mengalami pembaharuan (revivalis) yang mengangkat dirinya menuju pos-tradisionalis. Pembaharuan ini dilakukan dalam menjawab tantangan zaman dalam efisiensi ajaran dan pengalaman yang terus bergerak maju. Sehingga pandangan-pandangan lama yang sudah usang dan tak lagi relevan menuntut pembaharuan dengan tetap menjaga esensi dan nilai-nilai universal yang dikandungnya. Namun, di sini bukan berarti pembaharuan secara total yang mengarah pada indipendensi. Mereka berpegang pada prinsip al-Muhafadhtu Ala al-Qadimi al-Shalih Wa al-Akhdzu bi al-Jadidi al-Ashlah atau tetap melestarikan pendapat lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.
Perbedaan pokok NU tradisiolis dan pos-tradisonalis terletak pada bagaimana mereka memposisikan Aswaja. NU tradisionalis menjadikan Aswaja sebagai mazhab di mana mereka lebih eksklusif, tekstualis dan bernuansa teologis dengan kitab-kitab klasiknya. Sementara NU pos-tradisonalis menggunakan Aswaja sebagai manhaj atau metode berfikir dalam menanggapi masalah kekinian. Di sini mereka lebih terbuka (inklusif), humanis, kontekstual dan toleran.
Rekonstruksi Aswaja di kalangan pos-tradisionalis selanjutnya berkembang pada reinterpretasi ulang teks-teks yang ada dengan pertimbangan konteks dan mereproduksi kembali dalam bentuk-bentuk baru. Dengan demikian kevakuman (jumud) dalam agama dapat diselamatkan. Sehingga Aswaja tidak sekedar menjadi monumen yang dipajang di museum intelektual dan sakral. Selain itu, di sini juga dilakukan klarifikasi dan klasisifikasi antara unsur-unsur budaya (Arab) yang relatif dan ajaran Islam itu sendiri. Sehingga Islam bukannya kearab-araban sebagaimana pemahaman sebagian kalangan.
Dalam menggunakan Aswaja sebagai metode berfikir, di sini ada beberapa prinsip yang menjadi landasan berpikir mereka yang diadopsi dari Sunni klasik. Prinsip-prinsip tersebut adalah tawasuth (moderat dalam pemikiran), tawazun (seimbang dalam apresiasi), tasamuh (toleran), dan ta’adul (setara/tidak ada dikotomi).[9] Di sini mereka melakukan musyawarah dalam menanggapi berbagai problematika kekinian.
Berbeda dengan Sunni klasik yang sibuk dengan ke-Tuhanan, takdir dan lainnya, yang menjadi pokok perhatian Sunni Indonesia isu-isu aktual atau problematika kekinian yang sedang melanda bangsa ini seperti pluralisme, militerisme (jihad), gender, pribumisasi Islam, pemisahan urusan ukhrowi dan politik (khilafah) dan isu-isu global seperti terorisme yang disematkan pada Islam.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa golongan Asy’ariyah timbul karena penolakan yang keras terhadap  paham Mu’tazilah. Al Asy’ari telah memilih sikap moderat dalam kaitannya dengan pendapat falsafi, tetapi ia masih tetap sesuai dengan pandapat fuqaha dalam berbagai hal yang ada nashnya, dari Alquran maupun sunnah. Dan beliau juga selalu mengambil jalan tengah jika terdapat pertikaian antar golongan, seperti Mu’tazilah dengan Jahwiyyah, Hasyawiyah dan Mujassimah dalam pemahaman tentang sifat Tuhan.
Dalam argumentasinya yang berhubungan dengan persoalan aqidah, Al Ay’ari mempergunakan dalil naqli dan aqli. Ia menetapkan apa yang terdapat dalam Al Quran dan hadis yang bertalian dengan sifat-sifat Allah, para Rasul-Nya, hari kiamat, malaikat, perhitungan amal serta siksa dan pahala. Ia mempergunakan dalil-dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran apa yang terkandung dalam Al Quran dan sunnah, setelah ia membuktikan kebenarannya melalui dalil naqli dan aqli. Ia tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap nash dalam menginterpretasikannya tetapi berpegang pada pengertian literalnya (teks). Meskipun demikian, ia menjadikan akal sebagai pembantu untuk memahami dan mendukung dzahir suatu nash.
Dari sekian catatan berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia, menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke wilayah Nusantara ini bukan lagi Islam yang orisinil sebagaiman dikembangkan pada masa Rasulullah. Akan tetapi sudah mengalami sudah mengalami perkembangan dan pengemasan dalam berbagai aliran.
Proses pelembagaan Aswaja menuju paham Aswaja dengan karakter yang khas dengan didirikannya Jam’iyah Nahdatul Ulama pada tahun 1926 0leh K. H. Hasyim Asy’ari. Hal ini dilakukan untuk menyikapi kebangkitan modernsime (Muhammadiyah) yang terus menerus berupaya menyingkirkan unsur-unsur tradisional dalam keagamaan dan sebagai jawaban akan cengkeraman kolonialisme Belanda pada waktu itu.
Selanjutnya seiring perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, dalam kubu tradisonalis ini mengalami pembaharuan (revivalis) yang mengangkat dirinya menuju pos-tradisionalis. Perbedaan pokok NU tradisiolis dan pos-tradisonalis terletak pada bagaimana mereka memposisikan Aswaja. NU tradisionalis menjadikan Aswaja sebagai mazhab di mana mereka lebih eksklusif, tekstualis dan bernuansa teologis dengan. Sementara NU pos-tradisonalis menggunakan Aswaja sebagai manhaj atau metode.  Di sini mereka lebih terbuka (inklusif), humanis, kontekstual dan toleran.
Dalam menggunakan Aswaja sebagai metode berfikir, di sini ada beberapa prinsip yang menjadi landasan berpikir mereka yang diadopsi dari Sunni klasik. Prinsip-prinsip tersebut adalah tawasuth, tawazun, tasamuh (toleran), dan ta’adul.
Berbeda dengan Sunni klasik yang sibuk dengan ke-Tuhanan, takdir dan lainnya, yang menjadi pokok perhatian Sunni Indonesia isu-isu aktual atau problematika kekinian yang sedang melanda bangsa ini seperti pluralisme, militerisme (jihad), gender, pribumisasi Islam, pemisahan urusan ukhrowi dan politik (khilafah) dan isu-isu global seperti terorisme yang disematkan pada Islam.


[1]Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid dan Kalam, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), 135
[2]Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 190
[3]Al-Ghazali, Iljam al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Ter. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 66
[4]Afrizal, Ibnu Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2006), 34-35.
[5]Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Ter. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 70
[6]Ibid., 180-184
[7]Shonhadji Sholeh,  Arus Baru NU, (Surabaya: JP Books, 2004), 71-76
[8]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999,  (Yogyakarta; LKiS, 2004), 48-49
[9]Ibid; 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar