Oleh : Abd. Shamad, Izrin & Diana
A.
Latar Belakang Lahirnya Kalam
Sunni
Sebelum Ahlu
as-Sunnah lahir, umat Islam hidup di bawah baying-bayang ekstrimitas muktazilah
sebagai pemuja akal dan ekstrimitas salaf yang sangat tekstualis (bahkan
sebagian dari mereka menolak akal). Kedua kelompok tersebut sempat
membingungkan umat Islam. Apa lagi berbagai pertentangan yang ada tidak sedikit
memakan korban. Muktazilah yang pada waktu itu diuntungkan menjadi mazhab resmi
Negara seakan menjadi penguasa. Sehingga banyak dari para pembesar salaf yang
harus berakhir di penjara dengan tuduhan kesesatan. Hal ini diawali dengan
diberlakukannya inkuisisi pada masa al-Makmun yang kian menambah kebingungan
umat.
Pada waktu umat
Islam dilanda dilema itulah al-Asy’ari datang mencoba mengakurkan dengan jalan
tengah yang diambilnya. Dari muktazilah, Asy’ari tidak menolak akal dan
menerima takwil. Dan dari Salafi, dia menerima nash-nash sebagai dalil naqli
dan petunjuk kebenaran. Namun, sebenarnya mereka lebih condong pada aliran
salafi. Hal ini dapat dilihat dari dinomer duakannya akal setelah naqal. Atau
bisa dikatakan sebenarnya mereka adalah salafi yang moderat. Aliran inilah nantinya yang akan dikenal dengan Ahlu as-Sunnah Wa
al-Jama’ah di samping pengikut maturidiyah. Karena dalam akidah sunni hanya
mengakui pengikut Asy’ari dan Maturidy.
Penamaan Ahlus
Sunnah dikarenakan mereka (Asy’ari dan Maturidi beserta pengikutnya) banyak
memakai Alquran dan hadis dalam melandasi pemndapatnya. Adapun tambahan Wal Jama’ah dikarenakan mereka yang masih
mengakui Atsar sahabat, tabi’in dan ijma’ para ulama’ sebagai landasan
(pegangan) ketika dalam Alquran dan hadis tidak ditemukan keterangan. Nama ini
tidaklah muncul ketika Asy’ariyah dan Maturidiyah lahir. Tetapi mulai terkenal
dan banyak digunakan setelah kedatangan al-Ghazali sebagai salah satu dari
sekian tokoh besar yang mengembangkan paham Asy’ariyah.
Asy’ari yang
merupakan salah satu tokoh awal dari Ahlussunnah wal jama’ah awalnya menganut
faham Mu’tazilah sampai berusia 40 tahun. Ia keluar dari Mu’tazilah karena merasa
ragu dengan ajaran Mu’tazilah. Bahkan sebelum akhirnya membentuk golongan
sendiri, Asy’ari sempat melakukan perdebatan dengan gurunya yakni Al Jubba’i
tentang kedudukan orang mukmin, kafir, dan anak kecil kelak di hari kiamat
nanti. Dalam perdebatan itu Al Jubba’i terpaksa diam karena tidak bisa menjawab
pertanyaan Asy’ari. Oleh karena itu kemudian Asy’ari ragu dan mengasingkan diri
di rumah selama 15 hari sambil merenungkan ajaran Mu’tazilah tersebut.[1] Sampai
akhirnya setelah melalui proses panjang, dia memutuskan untuk keluar dari
mu’tazilah dan mendirikan mazhab sendiri.
Keputusan Asy’ari
untuk mendirikan mazhab sendiri mendapat sambutan baik dari umat Islam yang
pada waktu itu dilanda kebingungan. Asy’ari dengan sikap moderatnya memberikan
jalan keluar di tengah-tengah ekstrimitas muktazilah dan salafiyah. Jalan
tengah memang sering menguntungkan. Namun belum juga mesti diterima semua
kalangan. Buktinya Asy’ari bukannya meredam pertentangan dengan jalan
tengahnya, tetapi justru memperpanjang sejarah aliran-aliran dalam teologi
Islam. Tetapi hal ini bukannya berarti jelek, kedatangannya menjadi penyeimbang
dua kubu ekstrim dan menjadi pilihan umat yang kebingungan. Sehingga tak heran
lagi kalau pada akhirnya Asy’ari yang tergabung dalam aliran Sunni menjadi
panutan mayoritas.
Sebenarnya kalau
ditelisik lebih dalam, asy’ariyah lebih condong pada salafiyah. Hanya saja
mereka lebih moderat dengan mengakui kemampuan akal. Walaupun kelas akal berada
di bawah naqal (nash) atau di bawah batasan naqal. Dan sebagai aliran
dalam masa yang sama dengan latar belakang masyarakat yang sama, pengaruh
muktazilah juga ditemukan. Pentakwilan ayat dalam kategorinya juga dilakukan.
Intinya mereka mencoba mengambil posisi tengah walaupun sedikit condong ke
kanan atau ke kiri dalam perkembangannya. Dalam sejarahnya, Asy’ari dinyatakan
condong pada pemikiran para fuqaha dan ahli hadis, padahal ia sama sekali tidak
mempelajari aqidah berdasarkan metodenya.[2]
B.
Metode Ahlus Sunnah
Sebagaimana
di atas, Asy’ariyah sebagai bagian dari Ahlus Sunnah bertumpu pada Alquran dan
hadis juga apa yang diriwayatkan dari sahabat, Tabi’in dan imam-imam hadis.
Mereka amat teguh memegangi Atsar. Dalam prinsip mereka, Ittiba’
(mengikuti yang dahulu baik sahabat atau tabi’in dan seterusnya) lebih baaik
dari pada Ibtida’ (membuat bid’ah atau hal yang baru). Namun hal ini
bukan berarti mereka menolak akal sebagai instrument yang melekat pada tiap
manusia.
Dalam
mencuplik ayat atau hadis yang akan dijadikan argument, kaum Asy’ariyah
melakukan tahapan-tahapan. Biasanya pertama mereka mengambil makna lahir dari
nash (teks ayat Alquran dan hadis). Mereka sangat hati-hati dan tidak menolak
penakwilan. Sebab ada nas-nas tertentu yang memiliki pengertian samar yang
tidak bisa diambil dari makna lahirnya, tetapi harus ditakwilkan untuk
mengetahui pengertian yang dimaksud.[3] Jadi
sebelum melakukan penakwilan, Asy’ariyah terlebih dahulu mengambil makna lahir
ayat atau hadis. Baru ketika hal itu tidak dimungkinkan, maka mereka melakukan
penakwilan dengan sangat hati-hati. Karena penakwilan terhadap seuatu yang
sudah jelas tidaklah ada gunanya dan menyalahi makna lahir ayat atau hadis.
Terkait
dengan akal, Asy’ariyah tidak menolaknya. Karena walau bagaimanapun, dalam
Alquran sendiri banyak ditemukan ayat yang menganjurkan kajian rasional. Akal
dan naqal saling membutuhkan dan tidak mungkin melepas salah satunya sebagaiman
yang dilakukan sebagian kalangan (kelompok ekstrm). Hanya saja mereka tidak
seperti kaum mu’tazilah yang memberi kebebasan penuh pada akal. Sehingga mereka
tidak menempatkan akal di atas nash sebagai pembatas kerja akal. Akal di sini
sebagai pelayan naqal dalam memperkuat naqal dan membela agama.[4] Bahkan
Asy’ari menerima teori mu’tazilah bahwa akal dapat mengetahui kebaikan dan
keburukan yang ada pada benda-benda. Hanya saja tanpa ada perintah Syara’, hal
ini tidak lantas menjadi sebuah kewajiban yang harus dipertanggung jawabkan.
Dalam hal kewjiban ini mereka berbeda dari mu’tazilah yang melekatkan tanggung
jaawab walau tanpa ada keterangan dari syara’ tentang kewajibannya atau baik
dan buruknya.
Demikian
berbagai metode yang dipakai Asy’ariyah dan karakteristik pemikirannya sebagai
bagian dari Ahlus Sunnah yang mencoba menjembatani dua kelompok ekstrem. Dari
sini tampak bahwa Asy’ari pada dasarnya lebih meperhatikan kalangan awam dalam
pemikirannya. Bagaimana mereka memberi kemudahan dan melepas kaum muslimin dari
belenggu kebingungan yang disajikan dua kelompok ekstrem sebelumnya. Sehingga
mereka umat Islam tidak perlu lagi ketakutan. Apa lagi setelah runtuhnya
kekuasaan mu’tazilah yang sebelumnya menjadi mazhab resmi Negara.
C.
Pemikiran Ahlus Sunnah
Setelah
mengetahui sekelumit sejarah kelahiran Ahlus Sunnah dan metode yang mereka pakai, dalam makalah
ini akan dibahas sedikit banyak tentang pemikiran mereka. Sehingga pengetahuan
tentang Ahlus Sunnah semakin lengkap dan mantap dengan menjadikan hasil
pemikiran sebagai contoh dari metode yang dipakai dan mengetahui
kecenderungan-kecenderungannya. Selain itu, pengaruh dan kemurnian ajaran Ahlus
Sunnah akan dapat terbaca setelah sekian lama menjadi panutan mayoritas umat
Islam. Di antara sekian banyak pemikiran Sunni klasik adalah sebagai berikut:
1.
Ketuhanan
Dalam pandangan
Asy’ariyah Allah memilki sifat-sifat sebagaimana yang tertera dalam Alquran.
Mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dan membedakan sifat-sit
itu sendiri dari yang disifati. Sehingga tidak ada jalan ta’addudu al-Ilah
sebagaimana yang dituduhkan mu’tazilah terhadap golongan sifatiyah. Menurut
mereka, menegasikan sifat Allah berarti menegasikan yang disifati, sebagaimana
orang yang menegasikan aksi berarti menegasikan subjek yang beraksi.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Asy’ariyah memperluas pembahasan tentang sifat-sifat Allah menjadi
dua puluh sifat wajib yang diambil dari diskusi-diskusi sebelumnya. Mereka juga
membagi antar sifat-sifat Dzat (nafsiyah) seperti wujud, sifat salbiyah
(nagatif atau pensucian) seperti sifat qidam (dahulu) dan Esa, sifat ma’ani
seperti qudrat (Maha Kuasa) dan sifat ma’nawiyah seperti keberadaan
Allah Maha Kuasa (Qadiran).
Adapun sifat-sifat
Allah ini sebagaimana dzat-Nya juga azali atau qadim dan abadi. Jadi
sifat-sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk. Misalnya ilmu Allah tidak
sama dengan ilmunya manusia. Pengetahuan manusia berubah-ubah dan baru,
sementara pengetahuan Allah tetap dan azali. Sehingga tidak ada tasybih atau
penyerupaan antara yang mencipta dan yang dicipta. Dan terkait dengan ayat-ayat
yang terkesan tajsim dan tasybih mereka serahkan kepada Allah
yang Maha Tahu atau mereka takwilkan.
2.
Alquran
Terkait dengan
Alquran yang sebelumnya menjadi bahan perdebatan apakah termasuk makhluk atau
qadim sebagai kalamullah (di mana sifat Allah adalah qadim) Asy’ariyah
berpendapat bahwa kalam memiliki dua pengertian. Pertama, yang dimaksud
dengan kalam Allah adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qaim bi al-Zat
(pengertian kalam yang ada pada Zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah adalah
eternal dan azali. Kedua, sifat kalam juga digunakan pada suara-suara
dan huruf-huruf yang digunakan untuk
menyampaikan pengertian ini yang bersifat temporal (hadisah). Dengan teori ini,
problemaatika apakah Alquran itu makhluk dapat diselesaikan dengan mudah di
mana letak keazalian dan kemakhlukan menjadi jelas.[5]
3.
Kasab
Teori ini terkait
dengan qadha dan qadar Allah juga pertanggung jawaban manusia kepada Tuhan.
Menurut asy’ariyah semua perbuatan, baik dan buruk diciptakan oleh Allah. Hal
ini terlihat ketika apa yang diharapkan tidak sejalan dengan apa yang terjadi.
Karena walau bagaimanapun manusia hanya berusaha, selanjutnya apakah usahanya
berhasil atau tidak, ditentukan Tuhan. Dan apapun yang dikerjakan manusia tidak
terlepas dari Tuhan sebagai pencipta perbuatan. Namun hal ini bukan berarti
tidak ada pertanggung jawaban. Karena Tuhan menciptakan perbuatan baik dan
buruk dengan memberikan ukuran-ukuran sebagai standarisasi baik dan buruk yang
persoalannya diserahkan kepada manusia (untuk memilih). Di sini letak kebebasan
manusia adalah dalam menentukan pilihan yang nantinya akan dipertanggung
jawabkan.
Asy’ariyah menerima
Istitha’ah yang dikembangkan mu’tazilah. Tetapi hal ini juga tidak
terlepas dari kritiknya. Menurut Asy’ariyah, Istitha’ah adalah
aksidensia yang diberikan Allah kepada manusia saat diperlukan. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi baik dan buruk. Dan mereka
bebas memilih potensi apa yang akan dikembangkannya. Semenatara Allah yang
menciptakan dan memberi kemampuan (Istitha’ah) kepada manusia untuk itu.
Hal ini dalam teori Asy’ariyah dikenal dengan kasab dan ikhtiar yang akan
dihisab. Kasab di sini berarti semata-mata hubungan qudrat dan kehendak manusia
dengan perbuatan. Sedangkan perbuatan ini merupakan ciptaan Tuhan. Karena
qudrat manusia sama sekali tidak berpengaruh terhadap yang diqadratinya.[6]
Berbada dengan
Asy’ariyah, pandangan Maturidiyah (bagian dari Ahlus Sunnah) tentang kasab.
Menurutnya kasab berarti kesengajaan (al-Qasd) dan Ikhtiar. Karena kasab
merupakan proses (amal) posiitif yang mendahului aksi bukan semata-mata
kebersamaan qudrat haadisah (kemampuan temporal) dengan maqdur.
Karena kasab di sini merupakan persoalan negative terjadi bersama dengan aksi
dan tidak mendahuluinya.
Menurut
Maturidiyah, al-Qasd (niat sebagai unsure kesengajaan) merupakan salah
satu unsure penting dalam kebebasan kehendak yang menjadi pangkalbagi taklif
(perintah agama), menjadi prinsip pahal dan dosa juga pujian dan celaan.
Menurut mereka meskipun niat merupakan amal hati, tetapi mengakibatkan
pengaruh-pengaruh eksternal. Dan perbuatan sendiri tidak mengkonsekuensikan
pahala atau dosa, tetapi niat lah yang mengkonsekuensikan hal ini. Dan al-Qasd
di sini harus disertai dengan Istitha’ah. Tanpa salah satu dari keduanya
maka perbuatan manusia tidak memiliki konsekuensi apa-apa dan tidak ada
perintah.
D.
Perkembangan Sunni di Indonesia
Dari
sekian catatan berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia, menunjukkan bahwa
Islam yang masuk ke wilayah Nusantara ini bukan lagi Islam yang orisinil
sebagaiman dikembangkan pada masa Rasulullah. Akan tetapi sudah mengalami sudah
mengalami perkembangan dan pengemasan dalam berbagai aliran. Di mana Islam yang
masuk sudah terkemas dalam mazhab fiqih tertentu seperti Syafi’i dan Hanafi.
Islam yang begitu lentur dan berbaur dengan kebudayaan lewat mulut para
pedagang dan akses-akses lain. Bukan lewat jalan intervensi dan kekerasan dalam
pemaksaan sebuah keyakinan.
Selanjutnya
transmisi ajaran Aswaja dikembangkan dan dilestarikan oleh para Ulama dan para
Wali. Misalnya di Pulau Jawa ada yang dikenal dengan Wali Songo yang
berpengaruh dalam pemantapan eksistensi Aswaja di bumi Nusantara ini dan
lainnya. Sampai pada suatu ketika terjadi proses pelembagaan Aswaja menuju
paham Aswaja dengan karakter yang khas dengan didirikannya Jam’iyah Nahdatul Ulama
pada tahun 1926 0leh K. H. Hasyim Asy’ari.[7]
Pelembagaan
di atas bukan tanpa alasan. Tetapi untuk menyikapi kebangkitan modernsime
(Muhammadiyah) yang terus menerus berupaya menyingkirkan unsur-unsur
tradisional dalam keagamaan dan sebagai jawaban akan cengkeraman kolonialisme
Belanda pada waktu itu. Sehingga dalam perkembangnnya, mereka dikenal dengan
kaum tradisionalis atau meminjam istilah Ernest Gellner pelembagaan Aswaja
dalam NU merupakan pembelaan low Islam atau agama rakyat.[8]
Selanjutnya
seiring perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, dalam kubu tradisonalis ini
mengalami pembaharuan (revivalis) yang mengangkat dirinya menuju pos-tradisionalis.
Pembaharuan ini dilakukan dalam menjawab tantangan zaman dalam efisiensi ajaran
dan pengalaman yang terus bergerak maju. Sehingga pandangan-pandangan lama yang
sudah usang dan tak lagi relevan menuntut pembaharuan dengan tetap menjaga esensi
dan nilai-nilai universal yang dikandungnya. Namun, di sini bukan berarti
pembaharuan secara total yang mengarah pada indipendensi. Mereka berpegang pada
prinsip al-Muhafadhtu Ala al-Qadimi al-Shalih Wa al-Akhdzu bi al-Jadidi
al-Ashlah atau tetap melestarikan pendapat lama yang baik dan mengambil
yang baru yang lebih baik.
Perbedaan
pokok NU tradisiolis dan pos-tradisonalis terletak pada bagaimana mereka
memposisikan Aswaja. NU tradisionalis menjadikan Aswaja sebagai mazhab di mana
mereka lebih eksklusif, tekstualis dan bernuansa teologis dengan kitab-kitab
klasiknya. Sementara NU pos-tradisonalis menggunakan Aswaja sebagai manhaj
atau metode berfikir dalam menanggapi masalah kekinian. Di sini mereka lebih terbuka
(inklusif), humanis, kontekstual dan toleran.
Rekonstruksi
Aswaja di kalangan pos-tradisionalis selanjutnya berkembang pada reinterpretasi
ulang teks-teks yang ada dengan pertimbangan konteks dan mereproduksi kembali
dalam bentuk-bentuk baru. Dengan demikian kevakuman (jumud) dalam agama
dapat diselamatkan. Sehingga Aswaja tidak sekedar menjadi monumen yang dipajang
di museum intelektual dan sakral. Selain itu, di sini juga dilakukan
klarifikasi dan klasisifikasi antara unsur-unsur budaya (Arab) yang relatif dan
ajaran Islam itu sendiri. Sehingga Islam bukannya kearab-araban sebagaimana pemahaman
sebagian kalangan.
Dalam
menggunakan Aswaja sebagai metode berfikir, di sini ada beberapa prinsip yang
menjadi landasan berpikir mereka yang diadopsi dari Sunni klasik.
Prinsip-prinsip tersebut adalah tawasuth (moderat dalam pemikiran),
tawazun (seimbang dalam apresiasi), tasamuh (toleran), dan
ta’adul (setara/tidak ada dikotomi).[9]
Di sini mereka melakukan musyawarah dalam menanggapi berbagai problematika
kekinian.
Berbeda
dengan Sunni klasik yang sibuk dengan ke-Tuhanan, takdir dan lainnya, yang
menjadi pokok perhatian Sunni Indonesia isu-isu aktual atau problematika
kekinian yang sedang melanda bangsa ini seperti pluralisme, militerisme
(jihad), gender, pribumisasi Islam, pemisahan urusan ukhrowi dan politik
(khilafah) dan isu-isu global seperti terorisme yang disematkan pada Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan
bahwa golongan Asy’ariyah timbul karena penolakan yang keras terhadap paham Mu’tazilah. Al Asy’ari telah memilih
sikap moderat dalam kaitannya dengan pendapat falsafi, tetapi ia masih tetap
sesuai dengan pandapat fuqaha dalam berbagai hal yang ada nashnya, dari Alquran
maupun sunnah. Dan beliau juga selalu mengambil jalan tengah jika terdapat
pertikaian antar golongan, seperti Mu’tazilah dengan Jahwiyyah, Hasyawiyah dan
Mujassimah dalam pemahaman tentang sifat Tuhan.
Dalam
argumentasinya yang berhubungan dengan persoalan aqidah, Al Ay’ari
mempergunakan dalil naqli dan aqli. Ia menetapkan apa yang terdapat
dalam Al Quran dan hadis yang bertalian dengan sifat-sifat Allah, para Rasul-Nya,
hari kiamat, malaikat, perhitungan amal serta siksa dan pahala. Ia
mempergunakan dalil-dalil rasional dan logika dalam membuktikan kebenaran apa
yang terkandung dalam Al Quran dan sunnah, setelah ia membuktikan kebenarannya
melalui dalil naqli dan aqli. Ia tidak menjadikan akal sebagai pemutus terhadap
nash dalam menginterpretasikannya tetapi berpegang pada pengertian literalnya
(teks). Meskipun demikian, ia menjadikan akal sebagai pembantu untuk memahami
dan mendukung dzahir suatu nash.
Dari sekian catatan
berbagai teori masuknya Islam ke Indonesia, menunjukkan bahwa Islam yang masuk
ke wilayah Nusantara ini bukan lagi Islam yang orisinil sebagaiman dikembangkan
pada masa Rasulullah. Akan tetapi sudah mengalami sudah mengalami perkembangan
dan pengemasan dalam berbagai aliran.
Proses pelembagaan
Aswaja menuju paham Aswaja dengan karakter yang khas dengan didirikannya
Jam’iyah Nahdatul Ulama pada tahun 1926 0leh K. H. Hasyim Asy’ari. Hal ini
dilakukan untuk menyikapi kebangkitan modernsime (Muhammadiyah) yang terus
menerus berupaya menyingkirkan unsur-unsur tradisional dalam keagamaan dan
sebagai jawaban akan cengkeraman kolonialisme Belanda pada waktu itu.
Selanjutnya
seiring perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, dalam kubu tradisonalis ini
mengalami pembaharuan (revivalis) yang mengangkat dirinya menuju
pos-tradisionalis. Perbedaan pokok NU tradisiolis dan pos-tradisonalis terletak
pada bagaimana mereka memposisikan Aswaja. NU tradisionalis menjadikan Aswaja
sebagai mazhab di mana mereka lebih eksklusif, tekstualis dan bernuansa
teologis dengan. Sementara NU pos-tradisonalis menggunakan Aswaja sebagai manhaj
atau metode. Di sini mereka lebih
terbuka (inklusif), humanis, kontekstual dan toleran.
Dalam menggunakan
Aswaja sebagai metode berfikir, di sini ada beberapa prinsip yang menjadi
landasan berpikir mereka yang diadopsi dari Sunni klasik. Prinsip-prinsip
tersebut adalah tawasuth, tawazun, tasamuh (toleran), dan
ta’adul.
Berbeda
dengan Sunni klasik yang sibuk dengan ke-Tuhanan, takdir dan lainnya, yang
menjadi pokok perhatian Sunni Indonesia isu-isu aktual atau problematika
kekinian yang sedang melanda bangsa ini seperti pluralisme, militerisme
(jihad), gender, pribumisasi Islam, pemisahan urusan ukhrowi dan politik
(khilafah) dan isu-isu global seperti terorisme yang disematkan pada Islam.
[1]Mulyono dan
Bashori, Studi Ilmu Tauhid dan Kalam, (Malang:
UIN Maliki Press, 2010), 135
[2]Imam Muhammad
Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah
dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), 190
[3]Al-Ghazali, Iljam
al-‘Awam ‘an ‘Ilm al-Kalam. Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat
Islam. Ter. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 66
[4]Afrizal, Ibnu Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta;
Penerbit Erlangga, 2006), 34-35.
[5]Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam. Ter. Yudian
Wahyudi Asmin, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 70
[7]Shonhadji
Sholeh, Arus Baru NU, (Surabaya:
JP Books, 2004), 71-76
[8]Ahmad Zahro, Tradisi
Intelektual NU Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, (Yogyakarta; LKiS, 2004), 48-49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar