Oleh : Siti Alinda & Barier
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada awal abad
ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial
dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun
bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang
mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam
pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan
dalam adat sesuai panduan
syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan.
Dalam hal ini
gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar
peranannya. Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam
di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior
mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya
kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al
Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya
hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Siapakah Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi?
2. Apa saja pemikirannya?
3. Bagaimana pengajarannya kepada murid-muridnya?
2. Apa saja pemikirannya?
3. Bagaimana pengajarannya kepada murid-muridnya?
C. Tujuan Masalah
1.
Memahami riwayat hidupnya Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi
2. Mengetahui apa saja pemikirannya.
3. Agar dapat memahami pengajarannya kepada murid-muridnya.
2. Mengetahui apa saja pemikirannya.
3. Agar dapat memahami pengajarannya kepada murid-muridnya.
BAB II
AHMAD KHATIB MINANGKABAWI
AHMAD KHATIB MINANGKABAWI
1. Riwayat Hidup
Syekh Ahmadd Khatib bin abdul Latif bin
Abdullah al-Minagkabawi merupakan salah satu pencetus gerakan pembaharuan di
daerah Minangkabau, yang telah menyebarkan gagasan-gagasannya dari Mekah
sepanjang dua dasawarsa terakhir abad ke-19. Ia dilahirkan dari keluarga yang
berlatar belakang agama dan adat yang kuat, pada tanggal 26 Juni 1860 M/6
Dzulhijjah 1276 H di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, Indonesia.[1]
Ayahnya adalah seorang hakim dari kaum Paderi
yang sangat menentang keberadaan kolonialisme di Minangkabau, Sumatrat
Barat.Masa kecil Ahmad Khatib dihabiskan untuk belajar dan menuntut ilmu. Pada
tahun 1870, ia masuk sekolah pemerintah Belanda di Minangkabau, Sumatra Barat.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru di Bukit Tinggi.
Sebagaimana anak-anak dari kaum Paderi lainnya, selain belajar di sekolah
formal ia juga belajar ilmu agama kepada orang tua dan guru ngajinya di Surau.
Kemudian di tahun 1876, ketika ia berusia 21
tahun, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu
agama. Kota yang dimana ia menghabiskan sisa hidupnya. Ia beruntung dapat
menikahi salah satu anak perempuan keluarga arab golongan atas tapi yang luar
biasa, ia bahkan mendapat kehormatan dengan diberikan kedudukan oleh Imam
Madzhab Syafi`I, yang memberikan hal istimewa kepadanya untuk mengajar di
masjid al-Haram, bagian keramat masjid Mekah, yang tidak terbuka untuk umum.[2]
Di Mekkah ia belajar
kepada ulama Mekkah, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan
dan Syech Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki. Di kota ini pula, ia
kemudian mendapatkan wawasan baru tentang keislaman dan kondisi dunia islam
yang sedang terjajah, yang pada gilirannya menyadarkan dirinya akan pentingnya
sebuah persatuann dan kestuan umat islam untuk melepaskan diri dari penjajah.
Kesadaran ini, ia tanamkan kepada murid-muridnya, seperti Syech Muhammad Djamil
Djambek, H. Abdullah Karim Amarullah, H. Abdllah Ahmad dan Kyai Ahmadd Dahlan
yang kemudian hari menjadi pelopor gerakan pembaharuan agama sekaligus sebagai
tokoh-tokoh perlawanan terhadp kolonialisme Belanda. Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi merupakan ulama yang memeliki pendirian kuat dan menguasai
berbagai disiplin ilmu. Dalam bidang fiqih dan aqidah ia masih berpegang teguh
pada madzhab Syafi`I dan ahli ssunnah wal jama`ah. Kedua hal inilah yang
kemudian mengantarkannya menjadi imam madzhab Syafi`I di Masjid al-Haram dan
berhak menyandang gelar Syekh.Ia wafat pada tanggal 9 Jumadil Awal 1334 H/ 13
Maret 1916 M di Mekkah, Saudi Arabia. Dalam usia 60 tahun.[3]
2. Pemikirannya
Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi merupakan salah seorang tokoh intelektual abad ke-19
yang merupakan gerakan pembaharuan (modernisme) islam di Indonesia, khususnya
di daerah Minangkabau, meskipun setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1882
hingga akhir hayatnya ia tidak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Namun
demikian, ia tetap menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Indonesia,
baik memlalui mereka yang menunaikan ibadah haji maupun melalui para muridnya
yang memperdalam ilmu agama di Mekkah. Jabatannya sebagai imam mazhab Syafi’I
di masjid Al-Haram membuka peluang yang luas baginya untuk mentransformasikan
pemikiran-pemikiran reformatif kepada para jammah haji dan murid-muridnya.
“Ahmad Khatib,
disamping sebagai imam satu mazhab, ia juga merupakan seorang sufi yang menolak
bagian bid’ah dan tariqahnya, kemudian juga menentang adat minangkabau dibidang
hukum warisan”.[4]
Dengan
demikian, setidaknya ada dua bidang yang menjadi fokus pemikirannya, yaitu
bidang politik dan aqidah:
a. Bidang politik
Menurut Haji
Agus Salim dalam suatu seminar di Cornel University (4 Maret 1953) Syekh Ahmad Khatib
adalah ulama yang anti Belanda. Perasaan ini selalu ia gelorakan kepada
murid-muridnya di Makkah. Ia berpendapat bahwa berperang melawan penjajah
adalah jihad di jalan Allah. Kebenciannya terhadap kolonialis dapat dilihat
dari hubungannya yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, ilmuwan dan
orientalis asal Belanda, ketika mengunjunginya untuk menulis laporan tentang
Syekh Ahmad Khatib di Mekkah pada tahun 1885.[5]
Boleh jadi Souck Hurgroje tidak begitu menyukai Syekh Ahmad Khatib. Dan
pandangannya tentang Syekh Ahmad Khatib ini sangat tajam dan penuh dengan
kritik tajam juga fitnah. Kritik ini didalangi oleh Sayyid Usman yang
berpolemik dengan dia.[6]
b. Bidang akidah
Syeikh Ahmad
Khatib banyak menentang praktek-praktek adat dan tingkah laku yang bertentangan
dengan ajaran Islam, misalnya tentang praktek tarekat Naqsyabandiyah
al-Khalidiyyah di Minangkabau, Sumatra Barat. Disamping itu, ia juga menentang
hukum waris adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal (adat
masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari pihak ibu), yang
kemudian menjadi bahan perdebatan dengan kaum adat tanpa berkesudahan. Pada
tahun 1906 ia menulis buku yang berjudul “Izharu Zaghlil Kadzibin fi
Tasyabbubihin Bish shodiqin” yang merupakan tulisan sanggahan terhadap tarekat
Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah di Minangkabau. Kitab tersebut mengundang
kemarahan seluruh penganut tarekat tersebut dan penganut tarekat-tarekat
lainnya.Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka (salah seoarang ulama dari kaum tua yang
menganut tarekat Naqsyabandiyyah) menanggapi karya tersebut dengan bukunya yang
berjudul “Irghamu Unufi Muta’anitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin”.
Dengan
terbitnya karya Mungka tersebut, Syekh Muhammad Khatib Minangkabawi kemudian
menjawabnya dengan bukunya yang berjudul “Al-ayatul Bayinat lil Munshifin fi
Izalati Khurafati Ba’dhil Muta’ashshibin”. Karya ini disanggah kembali oleh
Syekh Muhammad Sa’ad Mungka dengan karyanya yang berjudul “Tanbihul ‘Awam ‘ala
Taqrirati Ba’dhil Anam”. Publikasi perdebatan-perdebatan ini kemudian
membangkitakan semangat para pembaharu Islam di Minangkabau yang kemudian
manjalar ke pulau Jawa seperti gerakan pembaharuan Muhammadiyah yang dipelopori
oleh KH Ahmad Dahlan.Setelah karya ini, tidak terdapat sanggahan kembali dari
Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi.
Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah adalah dua Tarekat besar, dan Syaikh Ahmad
Khatib adalah seorang Mursyid Tarekat Qadiriyah yang disamping itu dia juga
Mursyid dari Tarekat Naqsyabandiyah. Namun silsilah yang ia sebutkan hanya dari
sanad Tarekat Qadiriyah saja. Karena belum ditemukan dari mana beliau
mendapatkan Bai’at Tarekat naqsyabandiyah.[7]
Dalam Tarekat
Qadiriyah, terdapat tradisi adanya kebebasan pada seorang yang telah
mendapatkan derajat Mursyid. Di kota Makkah dan Madinah terdapat pusat
penyebaran tarekat naqsyabandiyah pada masanya syaikh ahmad Khatib, kemudian ia
menggabungkan inti ajaran dari kedua Tarekat tersebut dan kemudian diajarkan
kepada murid-muridnya.
Dari kedua
tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengkapi, terutama dalam
bidang dzikir dan metodenya, dan penggabungan dari kedua tarekat ini juga
merupakan suatu kemungkinan karena pertimbangan yang logis dan strategis. Kedua
Tarekat ini juga mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan
Dzikir Jahr Nafi Istbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan Dzikir
Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut, diharapkan para
muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, melalui cara yang
lebih mudah, efektif, dan efisien untuk ditempuh.
Tarekat
Qadiriyah dan Naqsyabandiyah merupakan sebagai suatu madzhab dalam tasawuf.
Keduanya memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam bidang
hal-hal kesufian. Semua ajaran yang terdapat dalam Tarekat ini didasarkan pada
al-Qur’an, al-Hadits, dan perkataan ‘ulama’ arifin dari kalangan Salafus
Salihin.
Terdapat empat
ajaran pokok dalam Tarekat ini, yaitu kesempurnaan Suluk, adab (etika), Dzikir,
dan Muraqabah (kontemplasi).
1.
Kesempurnaan Suluk
Dalam Tarekat
ini, ajaran yang sangat ditekankan adalah suatu keyakinan dan prinsip bahwa
kesempurnaan suluk (menambah jalan kesufian dalam rangka mendekatkan diri
kepada Alloh) berada dalam tiga dimensi keislaman yaitu: Iman, Islam, dan Ihsan.
Ketiganya dikemas dalam satu ajaran yang popular yaitu Syari’at, Thariqat, dan
Haqiqat.
Syari’at
merupakan sesuatu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai al-Syar’I
melalui Rasulnya Muhammad SAW baik yang
berupa perintah atau larangan, yang semuanya itu menjadi dimensi
perundang-undangan dalam Islam. Thariqat merupakan dimensi pengalaman Syari’at
tersebut yang didasarkan keimanan akan kebenaran Syari’at. Sedangkan Haqiqat merupakan dimensi
penghayatan dalam pengalaman (tarekat) Syari’at yang ada. Dengan penghayatan
atas pengalaman Syari’at itulah maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman
yang disebut ma’rifat.[8]
2.
Adab (Etika)
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, adab adalah suatu ajaran
yang sangat prinsip, karena tidak mungkin orang dikatakan salik dan dapat
mencapai tujuan suluknya tanpa adab. Secara garis besar adab bagi seorang yang
salik ada empat macam yaitu, adab kepada Allah dan Rasulnya, adab kepada Syaikh
(Mursyid atau Gurunya), adab kepada Ikhwan (saudara seiman), dan adab kepada
diri sendiri. Adab kepada Allah yaitu dengan selalu mensyukuri semua karunia
dan pemberian Allah dalam setiap waktu. Sedangkan adab kepada seorang mursyid
itu menyerupai ajaran seorang sahabat kepada nabi yaitu dimana kedudukan
seorang murid menempati peran sahabat sedangkan seorang mursyid menggantikan
peran nabi dalam hal ta’lim dan irsyad.
Adab antara saudara seiman (Ikhwan), tidak hanya berlaku kepada
sesama pengikut tarikat namun lebih bersifat umum (ukhuwa islamiyah). Seperti
halnya dalam perumpamaan yaitu bangunan yang saling menguatkan atau seperti
kedua tangan yang saling membasuh. Sedangkan adab pada diri sendiri yaitu lebih
menekankan pada kehidupan sufistik seperti zuhud, wara’, dan berperilaku yang
baik ( akhlaqul karimah) serta muraqabah (selalu merasa diperhatikan dan
diawasi oleh Allah).
3.
Ajaran tentang Dzikir
Dzikir merupakan
ajaran yang sudah barang tentu ada dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Dzikir dalam tarekat ini memiliki kekhususan yang membedakan dengan tarekat
lain. Dlam tarekat ini Dzikir merupakan suatu aktifitas lidah, baik lidah
dzahir maupun batin untuk selalu menyebut asma Allah dan mengingatnya baik
dalam jumlah kalimat maupun kata tunggal yang sudah diba’iatkan oleh seorang
mursyid yang muttashil al-faidl(bersambung sanad dan berkahnya).
Dalam tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat dua macam Dzikir yaitu, Dzikir Naif
Istbat, dan Dzikir Ismudzat. Dzikir Nafi’ Istbat adalah Dzikir kepada Allah
dengan menyebut Laa Ilaaha Illa Allah. Yang dikerjakan secara Jahr. Namun
setelah menjadi ajaran tarekat Qadiruyah wa Naqsyabandiyah tidak harus
dilakukan secara Jahr. Dzikir Ismidzat adalah menyebut asma-asma Allah yang
agung (Ism al-a’dham) yang hanya di dalam hati ( sirri atau khafi).
Cara dalam melakukan Dzikir Nafi’ Istbat yaitu dengan
gerakan-gerakan simblik sebagai sarana Tazkiyat al-nafs. Yaitu bertujuan untuk
membersihkan lathifah-lathifah dari pengaruh-pengaruh nafsu madzmumah.
Sedangkan Dzikir Ismudzat atau Dzikir latha’if dipraktekkan dalam rangka
mengaktifkan lathifah-lathifah yang ada dalam diri manusia. Sehingga seluruh
lapisan lathifah (kelembutan) organ spiritualnya dapat melakukan Dzikir.
Ajaran-ajaran
dalam tarekat ini semuanya berdasarkan pada al-Qur’an, al-Hadits, dan perkataan
ulama arifin dari kalangan Salafus Salihin.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat
ini, yaitu; tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir.
Dan tentang muraqabah (kontemplasi). Berikut ini adalah penjelasan singkat
tentang empat ajaran pokok tersebut.
4. Muraqabah
Muqarabah berarti
mengamat-amati, atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian. Dalam tasawuf,
tem ini berarti kontemplasi: Kesadaran seorang hamba yang secara terus-menerus
merasa diawasi dan diperhatikan Allah dalam semua keadaan. Muraqabah
dilaksanakan dalam rangka latihan psikologis (riyadlat al-nafs) firman
Allah “Sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan atas diri kamu semua” (QS,
al-Nisa’ 4:1), untuk dapat menerima limpahan faidl al-rah-mani.
Tujuan muraqabah
adalah agar menjadi mukmin yang sesungguhnya. Seorang hamba Allah yang muhsin,
yang dapat menhambakan diri kepada Allah (ibadah) dengan penuh
kesadaran, bahwa ia selalu berhadapan langsung dengan Allah, sebagaimana
penjelasan Nabi tentang ihsan: “ihsan ialah engkau beribadah kepada
Allah seolah-olah melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihatmu.
3. Karya-karyanya
Sebagai ulama besar melayu yang bermukim di
Mekah, Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah menulis beberapa karya, baik
berbahasa melayu maupun berbahasa arab, diantaranya:
1. Al-Jauharun Naqiyah fil A’mali Jaibiyah (bahasa
arab). Kairo, Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1309 H.
2. Hasyiyatun Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat (bahasa
arab). Kairo, Mesir: Mathba’ah Darul Kutub al-‘Arabiyah al-Kubra, 1332 H.
3. Raudhatul Hassab fi A’mali ‘Ilmil Hisab (bahasa
arab). Kairo, Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1310 H.
4. Ad-Da’il Masmu’ fir Raddi ‘ala man Yuritsul
Ikhwah wa Auladil Akhawat ma’a Wujudil Ushl wal Furu’ (bahasa melayu). Kairo,
Mesir: Mathba’ah al-Maimuniyah, 1311 H.[9]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setiap periode dalam
sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan
memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan
kembali dalam agama.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolok
dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.
Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya
dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut
kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.Keunggulan
dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu
menghindari sikap taqlid. Sikap menghindari taqlid
inilah yang menjadi pembelajaran penting bagi syekh ahmad khatib kepada
murid-muridnya guna melawan kejumudan yang menjadi sebab kemunduran umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’sum. “Pemikiran
Teologi Islam Modern”. Yogyakarta: Interpena, 2011.
Amirullah,
Abdul Karim. “Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau
Pada Awal Abad Ke-20”. Jakarta: INIS, 2002.
Hamka. “Sejarah
Islam di Sumatra”. Jakarta: Wijaya, 1967.
Steenbrink,
Karel. “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-1”.
Steenbrink,
Karel A. “Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”. Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1984, cet ke-1.
[1] Abdul
Karim Amirullah, Pengaruhnya Dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau
Pada Awal Abad Ke-20, (Jakarta: INIS, 2002), hal. 11
[2]
Hamka, Sejarah Islam di Sumatra, (Jakarta: Wijaya,
1967), hal. 230
[3] Karel A Steenbrink, Beberapa
Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1984), cet ke-1, hal. 146
[4] Abdul Karim Amrullah,
Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau Pada Awal Abad ke
20,hal 11
[5]
Tokoh-tokoh Pemiki Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni
Thamrin, hal 19
[6]
Ibid, hal-41
[7]
Ma’sum, Pemikiran Teologi Islam Modern, hal.133
[8]
Ibid, hal.134-135
[9]
Karel Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di
Indonesia Abad ke-1, hal.145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar