Oleh : Ana Khalifatun Nisa'
1. Biografi
Singkat
Syekh
Muhammad Abduh, nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah.
Lahir di Desa Mahallat Nashr, Provinsi Gharbiyah, Mesir pada tahun 1849 M/1265
H. ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah, warga Mesir keturunan Turki.
Ibunya bernama Junainah,[1]
berasal dari suku arab, yang nasabnya sampai kepada Umar bin Khattab, sahabat
Nabi saw.
Pendidikan
pertamanya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an diajarkan
langsung oleh ayahnya. Berkat kecerdasannya, dalam waktu kurang dari tiga tahun
mempelajari al-Qur’an, Abduh mampu menghafal al-Qur’an secara keseluruhan. Setelah
belajar dari ayahnya, di usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta untuk meneruskan
pendidikannya disebuah lembaga pendidikan masjid Al-Ahmad, milik al-Azhar.
Disini Abduh belajar bahasa Arab, al-Qur’an, dan Fikih. Setelah belajar selama
dua tahun, Abduh merasa bosan karena metode pembelajaran yang digunakan adalah
metode hafalan, dan tidak memberi kebebasan kepada muridnya untuk mengembangkan
pemikirannya. Maka ia pun pulang ke Mahallat Nashr dan menikah di Desanya pada
usia 16 tahun. Baru empat
puluh hari menikah, Abduh dipaksa ayahnya untuk kembali ke Thanta guna
melanjutkan studinya. Abduh tidak dapat menolak permintaan ayahnya. tetapi ia tidak langsung ke Thanta,ia mampir
ke rumah pamannya yang merupakan pengikut tarekat as-Syadziliah, Syekh Darwisy
Khadr.
Abduh tertarik dengan tarekat ini dan ingin
mempelajarinya, sehingga ia memutuskan
tinggal beberapa bulan bersama pamannya. Dari sini ia sadar akan
pentingnya ilmu pengetahuan. Kemudian ia kembali melanjutkan menimba ilmu di
Thanta. Setelah selesai belajar di Thanta, ia meneruskan studinya ke al-Azhar
pada tahun 1866. Di al-Azhar inilah ia bertemu Jamaluddin al-Afghani.
Kepadanyalah Abduh berguru. Ia belajar filsafat dan polotik pada Afghani. Tahun
1877 ia lulus dari al-Azhar dengan gelar Alim dan menjadi pengajar di sana.
Ilmu yang diajarkan meliputi logika, teologi, dan filsafat. Selain mengajar di
al-Azhar, ia juga mengajar di Darul Ulum dan di rumahnya.
Abduh pernah dibuang dari Kairo karena diduga ikut
campur mengadakan gerakan menentang Khedewi Taufik. Tapi di tahun 1880 ia diperbolehkan
kembali ke Ibukota lalu diangkat menjadi pemimpin redaksi Koran Negara al-Waqa’i
al-Mishriyah. Kemudian tahun 1884, ia bersama Afghani mendirika majalah al-Urwatul
Wutsqa. Di tahun 1899 ia diangkat menjadi mufti Mesir sampai akhir hayatnya
tahun 1905.[2]
Abduh adalah seorang arsitek modernisme islam, ide-ide pembarunya sangat
berpengaruh dalam dunia Islam dan kebangkitan umat.
2. Karya-karya
Abduh meninggalkan banyak karya tulis, sebagian besar berupa artikel di
surat kabar dan majalah. Yang berupa buku antara lain sebagai berikut:
a. Risalah
Tauhid, buku ini
isinya tentang aqidah.
b. Al-Waridaat, buku ini berisi tentang filsafat.
c. Al Islam
wan Nashraniyyah Ma’al Ilm wal Madaniyyah (Islam dan Nasrani bersama Ilmu Peradaban).[3]
d.
Hasyiyah ‘ala Syarh ad-Dawwani li al-‘Aqa’id al-Adudiyah (Komentar trhadap Penjelasan ad-Dawwani terhadap Akidah yang Meleset).
e. Al-Mannar, buku ini berisi tafsir al-Qur’an. Yang selanjutnya
diselesaikan oleh muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Rida.
3.
Pemikiran Teologi
Menurut Abduh,
teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan masalh
kenabian. Pemikiran teologi Abduh mencakup tiga kajian, yaitu perbuatan manusia,
qadla’ dan qadar, serta ke Esaan Tuhan.
a)
Perbuatan Manusia
Pandangan Abduh
mengenai perbuatan manusia bahwa manusia adalah makhluk yang bebas dalam
memilih perbuatannya. Namun, kebebasan tersebut bukanlah bebas tanpa batas.
Setidaknya ada dua ketentuan yang menurut Abduh mendasari perbuatan manusia,
yakni:
1. Manusia
melakukan perbuatannya berdasarkan akal, kemauannya, dan dayanya. Yakni dengan akal yang dimiliki oleh manusia, ia mampu
mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil
keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya
itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
2. Kekuasaan Allah
adalah tempat kembali semua yang terjadi. Artinya, sebebas apapun manusia
berbuat, maka nantinya akan menempuh jalan yang telah ditentukan Allah
untuknya.
Jadi, manusia
dengan akal yang dimilikinya mampu atau berkuasa mewujudkan perbuatannya dengan
kemauan dan usahanya sendiri, tanpa melupakan diatasnya masih ada kekuasaan
yang lebih tinggi.
Akal dalam sistem teologi Abduh memiliki
kekuatan yang sangat tinggi karena akal berperan penting dalam mencapai
pengetahuan yang hakiki tentang iman. Berkat akal, orang dapat mengetahui adanya
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya hidup di akhirat, mengetahui
kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kebaikan dan kejahatan, serta mengetahui
kewajiban membuat hukum-hukum. Namun, disini peran akal masih membutuhkan wahyu
sebagai penolong akal untuk mengetahui secara rinci mengenai kehidupan di
akhirat, menguatkan akal agar mampu mendidik manusia untuk hidup secara damai
dalam lingkungan sosialnya, menyempurnakan
pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya, dan mengetahui cara
beribadah serta bersyukur kepada Tuhan.
Dengan
demikian, wahyu mempunyai dua fingsi. Yakni sebagai konfirmasi dan informasi
untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal.
b)
Qadha’ dan
Qadar
Abduh memandang qadha’ dan qadar sebagai salah satu
segi akidah islamiyah yang terpenting. Ia dan Afghani menjelaskan bahwa faham qadha’
dan qadar telah diselewengkan menjadi fatalisme, sehingga mengakibatkan
kemunduran dan kemandekan pada umat Islam. padahal faham itu sebenarnnya
mengandung paham yang dinamis yang dapat membawa umat pada kemajuan. Faham
fatalisme perlu diubah menjadi faham kebebasan manusia dalam kemauan dan
perbuatan. Abduh menuduh paham jabariyah telah mengakibatkan kemunduran pada
dunia islam. Karena aliran ini telah mendorong umat Islam untuk bersifat pasif,
karena menganggap semuanya telah ditentukan oleh Allah dan manusia tidak
mempunyai daya bagian dalam mewujudkan perbuatannya.
Untuk
meluruskan kembali faham qadha’ dan qadar, Abduh mempunyai
pengertian yang berbeda dari yang dianut oleh muslimin umumnya. Qada’ menurutnya
adalah “terkaitnya Ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui (wuqû’ al-sya’ ‘ala al-ilahi bi al-syai’).
Sedangkan qadar adalah "terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu
Tuhan (wuqû’ al-Syai’ ‘ala Hasb
al-‘Ilm). Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun yang terjadi di
alam ini yang berada di luar jangkaun ilmu Tuhan. Termasuk segala yang dipilih
manusia sesuai kemauan dan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini
berarti bahwa qadha' dan qadar tidak
menunjukkan adanya paksaan kepada manusia untuk melakukan sesuatu
perbuatan. Tuhan hanya mengetahui segala yang dilakukan oleh manusia, bukan
menetapkan di zaman azali apa yang harus dilakukan manusia. Konsekuensi logis
dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun
perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi,
peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak
menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai
dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
Menurut
Abduh, mempercayai qadha' dan qadar berarti juga
meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab.
Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian
atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari
segala sebab tersebut adalah Allah. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut
hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang
tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan),
dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap sunnah
yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum
alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu
sejalan.
c) Ke Esaan Allah
Diantara sifat yangwajib bagi Allah
adalah adalah Esa: Esa dalam dzat, Esa dalam sifat, Esa dalam wujud dan
perbuatan. Yang dimaksud dengan Esa dalam dzat bahwa dzat itu tidak tersusun
dari berbagai unsur, abaik di dalam maupun diluar akal sendiri. Adapun Esa
dalam sifat maksudnya adalah tidak ada yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang
tetap baginya diantara yang maujud, sifat itu harus mengikuti bagi martabat
sesuatu yang maujud, tetapi tidak ada satupun diantara yang maujud ini dapat
menyamai yang wajib wujud dalam martabat wujud-Nya. Oleh sebab itu, berlaku
juga pada sifat-sifat yang menyertainya.
Sedangkan Esa dalam wujud dan
perbuatan adalah bahwa Dzat-Nya sendiri yang wajib wujud dan Ia sendirilah,
tanpa ada campur tangan yang lain dalam menciptakan segala sesuatu yang mungkin
ada di duni ini. Sebab jika Dzat yang wajib wujud ini terdiri dari beberapa
wujud, pasti masing-masing mempunyai wujud (substansi) yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Jika terjadi perbedaan wujud pasti berbeda pula
sifat-sifat yang melekat pada masing-masing wujud. Karena memiliki sifat yang
berbeda, maka akan berbeda pula ilmu dan iradatnya, sesuai karakter
masing-masing.
Jika terjadi perbedaan semacam ini,
maka hancurlah susunan alam ini. Karena masing-masing wujud mempunyai kehendak
sendiri-sendiri. Namun kehancuran ini nyatanya dapat dicegah. Itulah bukti
bahwa yang Maha Agung kedudukan-Nya adalah Esa (tunggal) dalam dzat, sifat,
wujud dan perbuatan-Nya.[4]
[1]Abdul
Sani, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1998), 48
[2]Didin
Saefudin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2003), 19-21
[3]Abdul
Fatah, dkk, Ensiklopedi Islam di Indonesia 2 (Jakarta: Depag, 1993), 752
[4]Ma’Shum, Pemikiran Teologi Islam Modern, (
Yogyakarta: Interpena, 2011), 31-32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar