Oleh : Syukron Habibi & Hikmah Azizah Ayunita
A. Biografi Jamaluddin al-Afghani
Nama lengkapnya
al-Afghani yaitu Muhammad Jamaluddin al-Afghani, lahir di Asadabad, Afganistan
pada tahun 1254 H/ 1838 M. Ayahnya bernama Sayid Safdar al-Husainiyah, beliau masi
ada keturunan dengan Sayid al-Turmudzi, seorang perawi hadits yang terkenal,
yang lama berimigrasi ke Kabul, dan dia juga masih bersambung dengan Saiyidina
Husain ibn Abi Thalib.[1]
Pada usia delapan tahun al-Afghani
telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari
bahasa Arab, sejarah, matematika, filsafat, fiqh dan ilmu keislaman
lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang
ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika,
dan metafisika.
Setelah membekali dirinya dengan
seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis),
dia mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India,
negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian
kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani
menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di
seluruh India. Al-Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini,
dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun,
al-Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, al-Afghani
pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost
Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya.
Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan
kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost
terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, al-Afghani diusir dari Kabul.
Meninggalkan Kabul, al-Afghani
berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher
Ali berdampak bagi perjalanan al-Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur
Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 al-Afghani
masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah
India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India
berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh al-Afghani
akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah
India mengusir al-Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang
bergolak.
Di Mesir al-Afghani melakukan
kontak dengan mahasiswa al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan
ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid al-Afghani
adalah Muhammad Abduh. Dari Mesir, al-Afghani pergi ke Istanbul untuk
berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa.
Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama
setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah
Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan al-Afghani. Buntutnya, pada tahun 1871 al-Afghani
dipaksa keluar dari Turki.
Al-Afghani menjejakkan kakinya di
Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir al-Afghani melanjutkan dakwahnya yang
pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama al-Azhar.
Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada
tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai al-Afghani ada di
belakang pemberontakan.
Kemudian ia dideportasi ke India,
tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah
disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan
Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.
Dari London, al-Afghani bertualang
ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh al-Afghani
segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah
satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Alquran
ke dalam bahasa Rusia..[2]
Al-Afghani
meninggal dunia pada tanggal 9 Maret 1897, karena mengidap penyakit kangker
selama satu tahun dan dimakamkan di Istambul, Turki. Adapun riwayat yang
mengatakan bahwa al-Afghani meninggal dikarnakan diracun, atau juga
direncanakan oleh penguasa saat itu karena keritisnya penguasa pada saat itu.[3]
B. Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
Bidang Politik
Al-Afghani lebih
bersifat pemimpin politik dari pada pemikir pembaharuan dalam islam. Politik
al-Afghani didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam islam. Kegiatan
politik timbul sebagai akibat dari pemikiran-pemikiran tentang pembaharuan.
Kebesaran al-Afghani itu tidak sebagai pemikir tetapi perannya sebagai
pembangkit kesadaran politik umat dalam menghadapi orang barat dan memberi
jalan menghadapi arus modernisasi dunia.
Sebagai ahli
politik Jamaluddin al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan daripada
tulisan. Tetapi beliau masih menulis dan dalam tulisannya tetap mempunyai nilai
besar dalam sejarah umat di zaman modern.[4] Sementara
pemikirannya dalam bidang ini terangkum sebagaimana berikut ;
1. Agains of Imperialism
Semasa hidup
al-Afghani, tampak umat Islam terjajah oleh kaum Barat. Penjajah asing di dunia
Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi juga dominasi
ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah
taktik barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan
bahwa kultur barat tidak akan membawa kemakmuran manusia.
Menurut
analisanya, penjajahan yang terjadi di dunia Islam tersebut di sebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain; pertama, perpecahan intern umat Islam; kedua,
kemunduran di dalam dunia pendidikan; dan ketiga, filsafat yang
merupakan sumber dari segala ilmu dianggap sebagai suatu bid’ah yang harus
ditinggalkan[5].
Sedangkan Islam adalah
agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab
dan agama yang memuliakan akal.
Salah satu bukti kejeniusan Jamaluddin
al-Afghani adalah al-Urwatul Wutsqa, sebuah jurnal anti penjajahan
yang diterbitkannya di Paris. al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir
yang juga menjadi muridnya, Muhammad Abduh. Keduanya bersamaan menerbitkan
majalah al-Urwatul Wutsqa di Paris pada tahun 1884 selama
tujuh bulan dan mencapai 18 nomor. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia
Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Meskipun majalah ini pada
akhirnya tidak mampu mempertahankan penerbitannya oleh bermacam-macam
rintangan, nomor-nomor lama telah dicetak ulang berkali-kali. Dimana-mana,
terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris.
Di Mesir dan India penerbitan ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi,
penerbitan ini terus saja beredar meski dengan jalan gelap. Di Indonesia
sendiri majalah ini berhasil masuk tidak melalui pelabuhan besar. Ia berhasil
masuk lewat kiriman gelap melalui pelabuhan kecil di pantai utara, antaranya
pelabuhan Tuban.
Jurnal ini segera menjadi barometer
perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis
bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang
penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Afghani. Selama mengurus jurnal ini,
Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan
pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International
Lord Salisbury, London.
Namun akhirnya adanya jurnal anti penjajahan
ini tidak berlangsung lama, karna Penguasa Barat melarang jurnal ini diedarkan
di negara-negara muslim yang dikhawatirkan dapat menimbulkan semangat
persatuan Islam. [6]
2. Revivalis dan Modernis.
Semua aspek
gerakan Jamaluddin al-Afghani yang menjadi sasaran utama ialah membebaskan
negara Islam dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus membebaskan
diri dari pola-pola pikiran yang beku, hingga dia mengonsentrasikan pemikiran revivalis
dan modernisnya dalam bidang pendidikan. Bahwa untuk memperoleh
kemajuan, umat Islam harus bertindak moderat, yaitu mengambil bagian-bagian
penting dari ilmu pengetahuan Barat. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal
yang datang dari barat. Mereka harus belajar dari barat, tetapi bukan
mengadopsi peradaban mereka; sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai
demi kemajuan Islam itu sendiri.
Sedangkan revivalis
bermaksud mengembalikan kejayaan umat Islam ketika Islam mendapat kejayaan pada
zaman khulafur rasyidin. Revivalis yang dikemukakan oleh Jamaluddin
al-Afghoni lebih pada upaya untuk :
a. Kejayaan
dan kebangkitan umat Islam dapat terwujud kalau umat Islam kembali pada ajaran
Islam yang masih murni dan meneladani pola hidup sahabat-sahabat nabi dan khulafur
rasyidin.
b. Perlawanan
terhadap kolonialisme dan imperialisme baik dalam politik, ekonomi, maupun
kebudayaan.
c. Pengakuan
terhadap keunggulan Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi
dengan belajar dari Barat.[7]
3. Ukhuwah Islamiyah.
Selain yang
sudah disebut di atas, al-Afghani sangat berobsesi untuk menyatukan seluruh
kaum muslimin. Di atas segalanya, persatuan umat Islam, kata al-Afghani, mesti
diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerja sama yang eratlah, umat
Islam dapat memperoleh kemajuan.
Setelah itu terbentuklah ikatan
politik yang disebut Jam’iyah Islamiyah atau Pan-Islamisme. Pemersatu
ini mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang
khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat.[8] Yakni
sebagai jaminan keemasan Islam dahulu sebelum Islam menjadi lemah karena
perpecahan yang tak putusnya dan tanah air Islam menjadi terjerumus kebodohan
dan kelemahan, hingga jatuh menjadi mangsa kekuasaan Barat. Namun, gagasan ini
tidak memperoleh keberhasilan mengingat begitu besarnya tantangan yang
dihadapi, baik tantangan dari luar maupun kondisi internal dari kaum muslim
sendiri.[9]
Pemikiran Teologi
al-Afghani.
Jamaluddin al-Afghani walaupun
menjadi seorang pemimpin politik, di mana dipandang dari sudut gerakannya
menunjukkan kecondongan dibidang politik, namun tidak dapat dilupakan jasanya
dalam meninggikan kedudukan agama, pembaharu akal umat Islam yang dipengaruhi
tradisi dan khurafat yang membawa kejumudan umat Islam. Jamaluddin al-Afghani
dalam usahanya menentang penjajahan Barat, maka jalan yang ditempuhnya untuk
menghadapi penjajahan ini membangunkan kembali jiwa Islam, menghilangkan sifat
kesukuan / golongan dan mengikis taqlid dan fanatisme serta melaksanakan
ijtihad dalam memahami Alquran, hidup layak dan penuh kebijaksanaan di kalangan
umat Islam.
a.
Akal manusia
harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan tahayul.
b.
Orang harus
merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
c.
Orang harus
menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus
diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).
1.
Ajarannya
tentang Qadha dan Qadar
Sementara itu, Jamaluddin
al-Afghani yang seorang muslim sejati dan seorang rasionalis menuntut kepada
semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan
Islam, karena akal menempati kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin
al-Afghani sebagai seorang yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal, mendukung
aliran Mu’tazilah yang mempunyai doktrin tentang pembebasan diri dari ajaran
takdir yang orang barat disebut Fatalisme.
Menurut
al-Jabr (fatalism), qadha dan qadar adalah penyerahan diri secara mutlak
tanpa usaha dan ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan
dalam ajaran Islam oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar
Islam hancur dari dalam.
Jamaluddin
al-Afghani sebagai orang Islam mengakui kepercayaan asasi. Tidak ada
kepercayaan kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman.
Kepercayaan inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu, Nabi dan sahabatnya serta Salafus Shalihin
dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya kerusakan di
kalangan muslim antara lain : dari kepercayaan al-Jabr ini dan kesalahan dalam
memahami qadha dan qadar, sehingga memalingkan jiwa umat dari bersungguh-sungguh
dalam usaha umat Islam di masa silam bersifat dinamis.[10]
2.
Penolakannya
terhadap aliran Naturalisme dan Materialisme.
Perjalanan
hidup Jamaluddin al-Afghani sesuai dengan jalan pikirannya. Teori dan
prakteknya selalu berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan perilakunya
ditandai oleh tiga macam keadaan, yakni ; kenikmatan jiwa / rohani, perasaan
agama yang mendalam dan moral yang tinggi, ke semua ini sangat berkesan dan mempengaruhi
semua usahanya. Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap
aliran Naturalisme dan Materialisme. Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara
penjajahan Barat di negeri Islam membawa gambaran yang berbeda untuk
menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang Islam yang bersumber dari ajaran
Alquran. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk menjalin kesatuan di kalangan kaum
muslimin. Ia memperingatkan segala gambaran yang dilihatnya itu, diantaranya ;
usaha untuk merusak aqidah orang Islam baik dengan cara memecah belahnya maupun
dengan usaha memalingkannya dari ajaran agama, yang berusaha demikian di antaranya
aliran Naturalisme dan Materialisme.
Naturalisme
yaitu hal atau tinjauan berdasarkan alam. Sedangkan Materialisme adalah orang
yang hanya mementingkan kebendaan di atas segala-galanya.
Al-Afghani sangat menentang aliran Naturalis (Ateis) yang tersebar luas di
India, 1879. Tentang aliran ini al-Afghani mengatakan bahwa aliran ini akan membelah
kaum muslimin menjadi dua kelompok; kelompok lama dan baru, kelompok yang
tunduk kepada penjajah dan kelompok oposisi. Aliran ini juga akan memecah
hubungan umat Islam India dari kekhalifahan Utsmani di sisi lain.
Al-Afghani
melihat berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk
merusak kepribadian Islam yang bersumber dari Alquran dan menyatukan umat Islam
dalam satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha
merusak aqidah dari hatinya. Maka aliran Naturalisme dan Materialisme – yang di
India dikenal sebutan kaum Ateis – dianggap sebagai senjata melawan kekuatan
umat Islam yang sumbernya agama. Menurut al-Afghani, bahaya aliran ini, orang
yang mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan
aqidah kaum muslim.
Ada
tiga hal penolakan al-Afghani terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya
agama bagi masyarakat, bahaya aliran Ateis dalam masyarakat, dan keunggulan
agama Islam sebagai suatu agama dan aqidah di atas agama-agama lain. Ia juga
berpendapat, keyakinan agama sebagai suatu aqidah menjamin tiga unsur penting
bagi masyarakat, yaitu ; rasa malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga
unsur tersebut amatlah penting bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki
oleh ajaran Ateisme.[11]
[1]Ma’shum,
Pemikiran Teologi Islam, (Yogyakarta: Interpena, 2011), 19.
[2]Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta: PT.
Grasindo, 2003), 213
[3]Ma’shum,
Pemikiran Teologi Islam Modern (Yogyakarta: Interpena, 2011), 20.
[4]Didin Saefuddin, Pemikiran
Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT Grasindo, 2003), 10-11.
[5]Ma’shum,
Pemikiran Teologi Islam Modern (Yogyakarta: Interpena, 2011), 20.
[6]
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta:
Gema Insani, 2006), 215.
[7]
http://dierdzarghifari.blogdetik.com/pokok-pokok-pemikiran-jamaluddin-al-afghani/
[8]
Machnun Husein, Islam dan Pembaharuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1995), 29.
[9]Didin Saefuddin, Pemikiran
Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT Grasindo, 2003), 18.
[10]Hasanuddin
Amin, Pengantar Pengembangan Pemikiran Muslim (Surabaya: PT Sinar
Wijaya, 1988), 128.
[11]
Ibid., 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar