Selasa, 18 Desember 2012

Jamaluddi al-Afghani

 Oleh : Syukron Habibi & Hikmah Azizah Ayunita



A.    Biografi Jamaluddin al-Afghani
Nama lengkapnya al-Afghani yaitu Muhammad Jamaluddin al-Afghani, lahir di Asadabad, Afganistan pada tahun 1254 H/ 1838 M. Ayahnya bernama Sayid Safdar al-Husainiyah, beliau masi ada keturunan dengan Sayid al-Turmudzi, seorang perawi hadits yang terkenal, yang lama berimigrasi ke Kabul, dan dia juga masih bersambung dengan Saiyidina Husain ibn Abi Thalib.[1]
Pada usia delapan tahun al-Afghani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempela­jari bahasa Arab, sejarah, matematika, fil­safat, fiqh dan ilmu keislaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum, sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan metafisika.
Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), dia mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian kepada kolonialisme yang telah membara dalam dadanya makin berkecamuk ketika Afghani menyaksikan India yang berada dalam tekanan Inggris. Perlawanan terjadi di seluruh India. Al-Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, al-Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sepulang dari haji, al-Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, al-Afghani diusir dari Kabul.
Meninggalkan Kabul, al-Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan al-Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 al-Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh al-Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir al-Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.
Di Mesir al-Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid al-Afghani adalah Muhammad Abduh. Dari Mesir, al-Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan al-Afghani. Buntutnya, pada tahun 1871 al-Afghani dipaksa keluar dari Turki.
Al-Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir al-Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama al-Azhar. Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai al-Afghani ada di belakang pemberontakan.
Kemudian ia dideportasi ke India, tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London, kota yang pernah disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.
Dari London, al-Afghani bertualang ke Moskow. Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh al-Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Alquran ke dalam bahasa Rusia..[2] 
Al-Afghani meninggal dunia pada tanggal 9 Maret 1897, karena mengidap penyakit kangker selama satu tahun dan dimakamkan di Istambul, Turki. Adapun riwayat yang mengatakan bahwa al-Afghani meninggal dikarnakan diracun, atau juga direncanakan oleh penguasa saat itu karena keritisnya penguasa pada saat itu.[3]
B.     Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
Bidang Politik
Al-Afghani lebih bersifat pemimpin politik dari pada pemikir pembaharuan dalam islam. Politik al-Afghani didasarkan pada ide-idenya tentang pembaharuan dalam islam. Kegiatan politik timbul sebagai akibat dari pemikiran-pemikiran tentang pembaharuan. Kebesaran al-Afghani itu tidak sebagai pemikir tetapi perannya sebagai pembangkit kesadaran politik umat dalam menghadapi orang barat dan memberi jalan menghadapi arus modernisasi dunia.
Sebagai ahli politik Jamaluddin al-Afghani lebih mantap dalam karya-karya lisan daripada tulisan. Tetapi beliau masih menulis dan dalam tulisannya tetap mempunyai nilai besar dalam sejarah umat di zaman modern.[4] Sementara pemikirannya dalam bidang ini terangkum sebagaimana berikut ;
1.      Agains of Imperialism
Semasa hidup al-Afghani, tampak umat Islam terjajah oleh kaum Barat. Penjajah asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik, tetapi juga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa sekularisme adalah taktik barat untuk melepaskan pengaruh Islam dalam masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur barat tidak akan membawa kemakmuran manusia. 
Menurut analisanya, penjajahan yang terjadi di dunia Islam tersebut di sebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; pertama, perpecahan intern umat Islam; kedua, kemunduran di dalam dunia pendidikan; dan ketiga, filsafat yang merupakan sumber dari segala ilmu dianggap sebagai suatu bid’ah yang harus ditinggalkan[5]. Sedangkan Islam adalah agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab dan agama yang memuliakan akal.  
Salah satu bukti kejeniusan Jamaluddin al-Afghani adalah al-Urwatul Wutsqa, sebuah jurnal anti penjajahan yang diterbitkannya di Paris. al-Afghani mendapat sokongan seorang ulama Mesir yang juga menjadi muridnya, Muhammad Abduh. Keduanya bersamaan menerbitkan majalah al-Urwatul Wutsqa di Paris pada tahun 1884 selama tujuh bulan dan mencapai 18 nomor. Publikasi ini bukan saja menggoncang dunia Islam, pun telah menimbulkan kegelisahan dunia Barat. Meskipun majalah ini pada akhirnya tidak mampu mempertahankan penerbitannya oleh bermacam-macam rintangan, nomor-nomor lama telah dicetak ulang berkali-kali. Dimana-mana, terutama untuk pasaran dunia Timur, majalah ini dibinasakan penguasa Inggris. Di Mesir dan India penerbitan ini dilarang untuk diedarkan. Akan tetapi, penerbitan ini terus saja beredar meski dengan jalan gelap. Di Indonesia sendiri majalah ini berhasil masuk tidak melalui pelabuhan besar. Ia berhasil masuk lewat kiriman gelap melalui pelabuhan kecil di pantai utara, antaranya pelabuhan Tuban.
Jurnal ini segera menjadi barometer perlawanan imperialis Dunia Islam yang merekam komentar, opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga ilmuwan-ilmuwan Barat yang penasaran dan kagum dengan kecemerlangan Afghani. Selama mengurus jurnal ini, Afghani harus bolak-balik Paris-London untuk menjembatani diskusi dan pengiriman tulisan para ilmuwan Barat, terutama yang bermarkas di International Lord Salisbury, London.
 Namun akhirnya adanya jurnal anti penjajahan ini tidak berlangsung lama, karna Penguasa Barat melarang jurnal ini diedarkan di negara-negara muslim yang  dikhawatirkan dapat menimbulkan semangat persatuan Islam. [6]
2.      Revivalis dan Modernis.
Semua aspek gerakan Jamaluddin al-Afghani yang menjadi sasaran utama ialah membebaskan negara Islam dari penjajahan dan untuk menuju itu umat Islam harus membebaskan diri dari pola-pola pikiran yang beku, hingga dia mengonsentrasikan pemikiran revivalis dan modernisnya dalam bidang pendidikan. Bahwa untuk memperoleh kemajuan, umat Islam harus bertindak moderat, yaitu mengambil bagian-bagian penting dari ilmu pengetahuan Barat. Kaum Muslim tidak harus menolak segala hal yang datang dari barat. Mereka harus belajar dari barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka; sains dan teknologilah yang harus mereka kuasai demi kemajuan Islam itu sendiri.
Sedangkan revivalis bermaksud mengembalikan kejayaan umat Islam ketika Islam mendapat kejayaan pada zaman khulafur rasyidin. Revivalis yang dikemukakan oleh Jamaluddin al-Afghoni lebih pada upaya untuk :
a.       Kejayaan dan kebangkitan umat Islam dapat terwujud kalau umat Islam kembali pada ajaran Islam yang masih murni dan meneladani pola hidup sahabat-sahabat nabi dan khulafur rasyidin.
b.      Perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme baik dalam politik, ekonomi, maupun kebudayaan.
c.       Pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan belajar dari Barat.[7]

3.      Ukhuwah Islamiyah.
Selain yang sudah disebut di atas, al-Afghani sangat berobsesi untuk menyatukan seluruh kaum muslimin. Di atas segalanya, persatuan umat Islam, kata al-Afghani, mesti diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerja sama yang eratlah, umat Islam dapat memperoleh kemajuan.
Setelah itu terbentuklah ikatan politik yang disebut Jam’iyah Islamiyah atau Pan-Islamisme. Pemersatu ini mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat.[8] Yakni sebagai jaminan keemasan Islam dahulu sebelum Islam menjadi lemah karena perpecahan yang tak putusnya dan tanah air Islam menjadi terjerumus kebodohan dan kelemahan, hingga jatuh menjadi mangsa kekuasaan Barat. Namun, gagasan ini tidak memperoleh keberhasilan mengingat begitu besarnya tantangan yang dihadapi, baik tantangan dari luar maupun kondisi internal dari kaum muslim sendiri.[9]

Pemikiran Teologi al-Afghani.

Jamaluddin al-Afghani walaupun menjadi seorang pemimpin politik, di mana dipandang dari sudut gerakannya menunjukkan kecondongan dibidang politik, namun tidak dapat dilupakan jasanya dalam meninggikan kedudukan agama, pembaharu akal umat Islam yang dipengaruhi tradisi dan khurafat yang membawa kejumudan umat Islam. Jamaluddin al-Afghani dalam usahanya menentang penjajahan Barat, maka jalan yang ditempuhnya untuk menghadapi penjajahan ini membangunkan kembali jiwa Islam, menghilangkan sifat kesukuan / golongan dan mengikis taqlid dan fanatisme serta melaksanakan ijtihad dalam memahami Alquran, hidup layak dan penuh kebijaksanaan di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu Jamaluddin al-Afghani berpendapat, bahwa kesejahteraan umat Islam tergantung pada :
a.       Akal manusia harus disinari dengan tauhid, membersihkan jiwanya dari kepercayaan tahayul.
b.      Orang harus merasa dirinya dapat mencapai kemuliaan budi pekerti yang utama.
c.       Orang harus menjadikan aqidah, sehingga prinsip yang pertama dan dasar keimanan harus diikuti dengan dalil dan tidaklah keimanan yang hanya ikutan semata (taqlid).

1.      Ajarannya tentang Qadha dan Qadar
Sementara itu, Jamaluddin al-Afghani yang seorang muslim sejati dan seorang rasionalis menuntut kepada semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai keagungan Islam, karena akal menempati kedudukan istimewa dalam dunia Islam. Jamaluddin al-Afghani sebagai seorang yang bersemangat menjunjung tinggi kedudukan akal, mendukung aliran Mu’tazilah yang mempunyai doktrin tentang pembebasan diri dari ajaran takdir yang orang barat disebut Fatalisme.
Menurut al-Jabr (fatalism), qadha dan qadar adalah penyerahan diri secara mutlak tanpa usaha dan ini suatu ajaran baru (bid’ah) dalam agama yang dimasukkan dalam ajaran Islam oleh musuh Islam untuk suatu tujuan politik tertentu agar Islam hancur dari dalam.
Jamaluddin al-Afghani sebagai orang Islam mengakui kepercayaan asasi. Tidak ada kepercayaan kepada takdir adalah kehilangan salah satu tonggak dari iman. Kepercayaan inilah yang menyebabkan umat Islam jaman dahulu,  Nabi dan sahabatnya serta Salafus Shalihin dapat merebut dunia dan mengaturnya. Menurut dia, timbulnya kerusakan di kalangan muslim antara lain : dari kepercayaan al-Jabr ini dan kesalahan dalam memahami qadha dan qadar, sehingga memalingkan jiwa umat dari bersungguh-sungguh dalam usaha umat Islam di masa silam bersifat dinamis.[10]

2.      Penolakannya terhadap aliran Naturalisme dan Materialisme.
Perjalanan hidup Jamaluddin al-Afghani sesuai dengan jalan pikirannya. Teori dan prakteknya selalu berjalin rapat dengan tindakannya. Kedudukan dan perilakunya ditandai oleh tiga macam keadaan, yakni ; kenikmatan jiwa / rohani, perasaan agama yang mendalam dan moral yang tinggi,  ke semua ini sangat berkesan dan mempengaruhi semua usahanya. Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap aliran Naturalisme dan Materialisme. Jamaluddin al-Afghani memandang bahwa cara penjajahan Barat di negeri Islam membawa gambaran yang berbeda untuk menghancurkan kepribadian tiap-tiap orang Islam yang bersumber dari ajaran Alquran. Ajaran ini mempunyai kekuatan untuk menjalin kesatuan di kalangan kaum muslimin. Ia memperingatkan segala gambaran yang dilihatnya itu, diantaranya ; usaha untuk merusak aqidah orang Islam baik dengan cara memecah belahnya maupun dengan usaha memalingkannya dari ajaran agama, yang berusaha demikian di antaranya aliran Naturalisme dan Materialisme.
Naturalisme yaitu hal atau tinjauan berdasarkan alam. Sedangkan Materialisme adalah orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas segala-galanya. Al-Afghani sangat menentang aliran Naturalis (Ateis) yang tersebar luas di India, 1879. Tentang aliran ini al-Afghani mengatakan bahwa aliran ini akan membelah kaum muslimin menjadi dua kelompok; kelompok lama dan baru, kelompok yang tunduk kepada penjajah dan kelompok oposisi. Aliran ini juga akan memecah hubungan umat Islam India dari kekhalifahan Utsmani di sisi lain.
Al-Afghani melihat berbagai bentuk yang dilakukan penjajahan Barat di negara Islam untuk merusak kepribadian Islam yang bersumber dari Alquran dan menyatukan umat Islam dalam satu ikatan. Sedangkan bentuk yang paling berbahaya ialah berusaha merusak aqidah dari hatinya. Maka aliran Naturalisme dan Materialisme – yang di India dikenal sebutan kaum Ateis – dianggap sebagai senjata melawan kekuatan umat Islam yang sumbernya agama. Menurut al-Afghani, bahaya aliran ini, orang yang mempropagandakannya di India memakai “pakaian muslim” untuk melemahkan aqidah kaum muslim.
Ada tiga hal penolakan al-Afghani terhadap kaum ateis yaitu: tentang pentingnya agama bagi masyarakat, bahaya aliran Ateis dalam masyarakat, dan keunggulan agama Islam sebagai suatu agama dan aqidah di atas agama-agama lain. Ia juga berpendapat, keyakinan agama sebagai suatu aqidah menjamin tiga unsur penting bagi masyarakat, yaitu ; rasa malu, jujur dan setia. Ia menerangkan, ketiga unsur tersebut amatlah penting bagi masyarakat yang jujur, yang tidak dimiliki oleh ajaran Ateisme.[11]


[1]Ma’shum, Pemikiran Teologi Islam, (Yogyakarta: Interpena, 2011), 19.
[2]Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam, (Jakarta: PT. Grasindo, 2003), 213
[3]Ma’shum, Pemikiran Teologi Islam Modern (Yogyakarta: Interpena, 2011),  20.
[4]Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT Grasindo, 2003), 10-11.
[5]Ma’shum, Pemikiran Teologi Islam Modern (Yogyakarta: Interpena, 2011),  20.
[6] Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Jakarta: Gema Insani, 2006),  215.
[7] http://dierdzarghifari.blogdetik.com/pokok-pokok-pemikiran-jamaluddin-al-afghani/
[8] Machnun Husein, Islam dan Pembaharuan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), 29.
[9]Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: PT Grasindo, 2003), 18.

[10]Hasanuddin Amin, Pengantar Pengembangan Pemikiran Muslim (Surabaya: PT Sinar Wijaya, 1988), 128.

[11] Ibid., 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar