oleh : Hikmah Azizah Ayunita
A.
Hasad
yang diperbolehkan
Hasad
yaitu sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya
keadaan orang yang tidak disukainya.
Adapun juga
pendapat para ulama’ mendefinisikan hasad diantaranya, yaitu:
1. Menurut
imam al-Ghazali hasad ialah membenci
nikmatAllah SWT yang ada pada diri orang lain, serta menyukai hilangnya nikmat
tersebut.
2. Menurut
Al-Jurjani Al-Hanafi dalam kitabnya, hasad ialah menginginkan atau mengharapkan
hilangnya nikmat dari orang yang didengki (mahsud) supaya berpindah kepadanya
(orng yang mendengki atau hasad).
3. Menurut
Sayyid Quthb dalam tafsirnya, hasad ialah kerja emosional yang berhubungan
dengan keinginan agar nikmat yang diberikan Allah SWT kepada seseorang dari
hamba-Nya hilang dari padanya. Baik cara yang dpergunakan oleh orang yang
dengki itu dengan tindakan supaya nikmat itu lenyap darinya atas dasar iri
hati, atau cukup dengan keinginan saja. Yang jelas dari tindakan tersebut
adalah kejahatan.
Hasad
tidak cuma ada yang tidak diperbolehkan, melainkan ada juga hasad yang
diperbolehkan. Hasad yang tidak dibolehkan seperti yang sudah dijelaskan
diatas. Sedangkan hasad yang diperbolehkan yaitu hasad kepada orang yang datang
kepada al-Qur’an dan ia sibuk mengamalkannya, dan orang yang kaya namun ia
sibuk menginfakkannya.
Dalam hal ini
juga dijelaskan dalam hadits Adabun Nabawy (76), yaitu:
عن ابن عمر رضى الله عنهما قال, قال رسول الله
عليه وسلم: لا حسد الافى اثنتين: رجل اتاه الله القران فهو يقوم به اناء النهار ورجل
اًعطاه مالا فهو ينفق منه اناء الليل واناء النهار. (رواه البخارى ومسلم والترمدى والنسائى(
Artinya:
Dari ibn Umar
r.a berkata, sabda Rosulullah SAW: jangan engkau hasad kecuali dua perkara:
pertama seorang laki-laki yang datang padanya Al-Qur’an dan ia sibuk
mengamalkannya sepanjang hari (siang dan malam) dan yang kedua seorang
laki-laki yang diberikan harta dan ia sibuk menginfakkan hartanya sepanjang
hari (siang dan malam).[1]
B.
Perbandingan
antara orang yang membaca dan tidak membaca al-Qur’an
عن ابى موسى رضى الله عنه قال, قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: مثل المؤمن الدى يقراً القران مثل الاًترجة ريحهاطيب وطعمهاطيب,
ومثل المؤمن الدى لايقراً القران مثل التمرة لاريحهاوطعمها حلو, ومثل المنافق الدى
لايقراً القران مثل الحنظلة ليس لهاريح وطعمها مر, ومثل المنافق الدى يقراً القران
مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر. (رواه البخارى ومسلم والنسائى وابن ماجه(
Artinya:
Dari Abi Musa
r.a berkata, sabda Rosulullah SAW: perumpamaan orang mukmin yang membaca
al-Qur’an seperti buah jeruk manis yang baunya harum dan manis rasanya, dan
perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an seperti kurma yang tak
berbau dan manis rasanya, dan perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca
al-Qur’an seperti buah pare yang tidak berbau dan rasanya pahit, dan
perumpamaan orang munafiq yang membaca al-Qur’an seperti bunga raihanah yang
baunya harum dan rasanya pahit.[2]
Hadits
diatas yaitu menerangkan perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an dan orang
yang tidak membaca al-Qur’an. Orang mukmin yang membaca al-Qur’an itu seperti buah
jeruk manis yang manis rasanya dan harum baunya, sedangkan orang mukmin yang
tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma yang tidak ada baunya tetapi manis
rasanya. Dalam hadits di atas orang mukmin yang membaca al-Qur’an itu di
ibaratkan rasa manis sedangkan orang mukmin itu di ibaratkan baunya.
Sangat
banyak pahala dari membaca al-Qur’an, orang yang munafik membaca al-Qur’an saja
masi mempunyai nilai seperti orang yang mukmin yang membaca al-Qur’an tetapi
berbeda perumpamaan orangnya.
C.
Hilangnya
ilmu karena wafatnya orang berilmu
حديث عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُول: إِنَّ الله لاَ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً،
فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Artinya:
Abdullah bin Amr
bin al-Ash r.a berkata: saya telah mendengar Rosulullah SAW. Bersabdah:
sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu agama langsung dari hati hamba, tetapi
tercabutnya ilmu dengan matinya ulama’, sehingga bila tidak ada orang alim,
lalu orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh agama, kemudian jika ditanya
agama, lalu menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat menyesatkan. (Bukhari, Muslim).[3]
Maksud
hadits di atas yaitu menjelaskan tentang tercabutnya atau hilangnya ilmu, bukan
menghapusnya langsung dari dada para orang-orang penghafal atau pemilik ilmu,
Akan tetapi para pemilik ilmu akan mati.
Ketika
para ulama’ banyak yang mati manusia mengangkat orang jahil sebagai pemimpin
dalam agama. Orang-oarng jahil itu memutuskan perkara-perkara berdasarkan
kejahilannya, lantaran itu ia sesat dan menyesatkan banyak orang.
Alangkah
banyaknya di zaman sekarang pemimpin dan ustadz-ustadz yang seperti hadits di
atas. Mereka diangkat oleh manusia sebagai ulama’ dan ustadz, padahal mereka
tidak pantas sebagai panutan, karena ia adalah orang jahil. Kalau pun ia
berilmu, namun ilmuanya tidak di gunakan atau di amalkan melainkan di buang di
belakang punggungnya. Manusia seperti ini sekarang banyak di dunia dikarenakan
banyak para ulama’ yang sudah wafat, dan manusia tidak menemukan orang yang
pantas sebagai panutan, jadinya manusia mengangkat orang jahil sebagai pemimpin.
Ada
pun dari arah lain, muncul para normal yang dulunya dijauhi oleh manusia,
karena telah dikenal memiliki sihir. Sesaat itu kemudian ia dikenal sebagai
da’i sejuta umat, karena sekedar pernah memimpin dzikir jama’ah yang banyak
dihadiri oleh sebagaian kiyai jahil dan orang-orang yang memiliki kedudukan.
Dulunya tukang sihir dan dukun tetapi sekarang menjadi ustadz dan bergelar KH.
D.
Sikap
yang baik dan buruk dalam menuntut ilmu
حديث أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ،
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، بَيْنَمَا هُوَ جَالِسٌ فِي الْمَسْجِدِ،
وَالنَّاسُ مَعَهُ، إِذْ أَقْبَلَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ، فَأَقْبَلَ اثْنَانِ إِلَى رَسُولِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَذَهَبَ وَاحِدٌ قَالَ: فَوَقَفَا عَلَى رَسُولِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَرَأَى فُرْجَةً فِي الْحَلْقَةِ، فَجَلَسَ
فِيهَا وَأَمَّا الآخَرُ فَجَلَسَ خَلْفَهُمْ وَأَمَّا الثَّالِثُ فَأَدْبَرَ ذَاهِبًا
فَلَمَّا فَرَغَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ عَنِ
النَّفَرِ الثَّلاَثَةِ أَمَّا أَحَدُهُمْ فَأَوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ؛ وَأَمَّا
الآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ؛ وَأَمَّا الآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ
اللهُ عَنْهُ
Artinya:
Abu Waqid
Allaitsy r.a berkata: ketika Nabi SAW. Duduk di masjid bersama sahabat,
tiba-tiba datang tiga orang, maka yang dua menghadap kepada Nabi SAW. Sedang
yang satu terus pergi. Adapun yang dua, maka yang satu dari padanya melihat ada
lowongan ditengah majlis maka ia duduk ditempat itu, sedang yang dua duduk
dibelakang, adapun yang ketiga telah pergi. Maka ketika Nabi SAW. Selesai dari
nasehatnya telah bersabda: sukakah aku beritakan kepada kalian mengenai tiga
orang itu, adapun yang pertama dia ingin mendekat kepada Allah SWT maka Allah
memberi tempat dekat, adapun yang kedua dia malu kepada Allah, maka Allah malu
kepadanya, adapun yang ketiga dia berpaling dari Allah, maka Allah juga
berpaling dari padanya. (Bukhari, Muslim).[4]
Dari
hadits di atas menjelaskan bagaimana adab orang yang mencari ilmu atau menuntut
ilmu. Orang yang menuntut ilmu itu juga mempunyai tatacara. Orang yang mau
mendapatkan ilmu itu harus sungguh-sungguh dan tidak malu-malu. Orang yang mau
mendekatkan dirinya pada Allah maka Allah juga akan dekat dengannya. Sebaliknya
kalua orang yang mau mencari ilmu tetapi orangnya malu-malu dan tidak mau
mendekatkan diri pada Allah maka Allah tikan akan dekat padanya. Dan dia tidak
mendapatkan apa yang dia inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar