Selasa, 18 Desember 2012

Perkembangan Syi'ah di Inndonesia

Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Syi’ah pada awal kemunculannya dikenal sebagai salah satu firqah politik umat Islam. Belakangan, kelompok Syi’ah ini berkembang menjadi sebuah gerakan pemikiran yang sangat menonjol. Pemikiran Syi’ah tidak hanya sebatas pada masalah politik, akan tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang berpengaruh di masa depan, seperti pemikiran hukum islam, juga filsafat dan tasawuf.
Sekarang ini, gerakan pemikiran syi’ah sudah sedemikian maju, sehingga banyak kalangan menilai sudah sedemikian jauh meninggalkan pemikiran kaum Sunni yang mana cenderung stagnan karena berbagai alasan sosiokultural dan politik. Dalam sejarah, kelompok Syi’ah terpecah menjadi tiga kelompok besar: Itsna ‘Asyariyah, Ismailiyah, dan Zahidiyah. Masing-masing kelompok itu tidak hanya mewakili kelompok politik, tapi juga kelompok pemikiran. Pemikiran Syi’ah tidak berhenti dengan timbulnya perpecahan tersebut, tetapi justru perpecahan itu merupakan sebagian faktor-faktor kompetitif dalam memajukan pemikiran.
Dengan pemikiran Syi’ah yang sedemikian pesat dan maju itu, Syi’ah senantiasa mengalami perkembangan yang tentunya lebih ekspansif dan bervariasi ketika kelompok ini menyebar ke berbagai penjuru dunia Islam, temasuk juga di Indonesia.
B.     Rumusan masalah
1.         Bagaimana sejarah munculnya aliran Syi’ah serta doktrin-doktrinya?
2.         Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi Syi’ah berkembang di Indonesia?
3.         Bagaimana perkembangan Syi’ah di Indonesia?
4.         Apa saja pengaruh Syi’ah di Indonesia?


C.    Tujuan penulisan
1.   Menjelaskan sejarah awal aliran Syi’ah serta doktrinnya.
2.   Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Syi’ah masuk di Indonesia serta aspek-aspek yang terkait dengan hal itu.
3.   Mengetahui perkambangan Syi’ah di Indonesia.
4.   Mengetahui pengaruh-pengaruh pemikiran Syi’ah terhadap indonesia.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Aliran Syi’ah
Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة  (Syī`ah). Bentuk tunggal dari kata ini adalah شيعي (Syī`ī). Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali". Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab yang artinya pembela dan pengikut seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW pada masa hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib. Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunujukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umat (walyat-i ‘ammali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan beberapa orang sahabatnya sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba. Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan sangat tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada suatu  keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith accompli).
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah  adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak  masyarakat utuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah.
B.     Doktrin-doktrin Syi’ah
a.      Tauhid (The Devine Unity)
Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendirinyasebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh tuhan. Tuhan maha tahu,maha mendengar, selalu hidup, mengerti tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri  sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
b.      Al-‘Adl (The Devine Justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di dalam semesta ini merupakan hal yang adil. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kelaliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat ini jauh dari keabsolutan dan kehendak tuhan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui pekara yang benar atau salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indra lainya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat mamanfatkan potensi berkehendak sebagai anugerah tuhan untuk mewujudkan dan bertangguang jawab atas perbuatannya.
c.       Nubuwwah (Apostleship)
Setiap makhluk sekali telah diberi insting, masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rosul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah itsna Asyariyah, Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Syi’ah Itsna Asyariyah percaya mutlak tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad. Mereka percaya adanya kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an  jauh dari tahrif perubahan, atau tambahan.
d.      Imamah (The Devine Guidance)
Imamah adalah institusi yang di inagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan di delegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rosul terakhir.
C.    Faktor-faktor masuknya Syi’ah di Indonesia.
Perihal masuknya Syiah ke Indonesia masih merupakan perdebatan. Banyak teori mengenai ini, yang dari segi-segi tertentu masing-masing teori menyuguhkan informasi yang dapat dijadikan pegangan. Namun, terlepas dari itu semua, saat ini telah begitu jelas apresiasi masyarakat terhadap pemikiran Syi’ah, terutama di kalangan generasi muda, mahasiswa, dan kaum intelektual Islam di Indonesia.[1]
Menurut sebuah literatur, setelah terjadi revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khumaini (seorang penganut Syi’ah Istna ‘Asyariyah), tampaknya orang mulai melihat dan ingin mengenal lebih jauh tentang pemikiran-pemikiran Syi’ah. Pemikiran para tokoh Syi’ah seperti Imam khumaini, Ali Syariati, Sayyed Hossein Nasr, dan Murtadha Mutahhari banyak diminati oleh kaum muslimin, khususnya kalangan muda Islam, baik dari golongan Syi’ah sendiri maupun dari golongan Sunni.
Paling tidak ada tiga faktor penyebab mengapa para kalangan muda berminat dan tertarik kepada ajaran dan pemikiran Syi’ah, yakni antara lain:
1.      Mereka melihat Syiah sebagai ajaran yang banyak mengunakan akal atau rasio. Kalangan muda yang biasanya sering bereksperimen dengan menggunakan daya nalar, pada titik ini menemukan suatu wahana diskusi. Penggunaan akal oleh Syi’ah untuk menentukan baik-buruknya sesuatu yang dianggap oleh kalangan muda sebagai sesuatu yang realistis yang perlu untuk diikuti.
2.      Mereka melihat masalah kepemimpinan dalam Syi’ah yang mensyaratkan kriteria tertentu pada pemimpinnya berdasarkan kapabilitas intelektualnya, yang dapat dari karya-karya mereka, dianggap menarik dan lebih cocok dengan semangat demokrasi dan penghormatan hak-hak asasi yang menjadi simbol negara modern.
3.      Mereka melihat spiritualisme dalam Syi’ah sebagai alternatif yang dapat mengatasi tekanan hidup. Seiring dengan adanya berbagai problem kehidupan yang tidak henti-hentinya melanda dunia modern. [2]
Jauh sebelum terjadinya revolusi Islam di Iran yang dipimpin Ayatullah Khumaini, agaknya paham Syi’ah telah ada di Indonesia, namun sebegitu jauh paham tersebut cenderung tertutup dan banyak tidak dikenal orang. Dengan munculnya revolusi Islam di Iran, aktivitas Syi’ah di Indonesia mulai menunjukkan ke-Syi’ah-annya dan tampak mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Walaupun terdapat “perbedaan” secara ideologis antar Syi’ah dan Sunni, namun secara kaum muslimin di seluruh dunia terlebih lagi di Indonesia merasa senang dengan keberhasilan revolusi Islam di Iran, termasuk muslim Sunni. Karena tidak dapat dipungkiri pengaruh kemenangan revolusi Islam Iran tersebut telah dapat mengangkat mertabat dan harga diri umat Islam di seluruh dunia. Hal itu membawa dampak pengaruh yang besar bagi Indonesia dalam hal pemikiran ditambah lagi revolusi Islam di Iran menggunakan lebel Syi’ah maka Syi’ah yang ada di Indonesia mulai menunjukan Eksistensinya.
Pasca revolusi Islam di Iran, kajian-kajian tentang Syi’ah di indonesia mulai bermunculan, meskipun awalnya masih bersifat kelompok-kelompok kajian, seperti  di Bandung, Bogor, Jakarta, Surabaya, dan Pasuruan. Dalam perkembang selanjutnya, setelah pasca runtuhnya rezim orde baru gerakan reformasi membuat muslim syi’ah di indonesia semakin jelas keberadaannya dengan ditandai dengan bertambahnya penganut Syi’ah di Nusantara.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa keberadaan Syi’ah di Indonesia sebenarnya sudah ada sebelum adanya revolusi Islam di Iran. Bahkan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang tangguh di Nusantara pada awal-awal penyebaran Islam. Syi’ah masuk bersamaan dengan penyebaran Islam di tanah air. Penyebaran itu melalui politik dalam kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia antara lain kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudra Pasai, kerajaan Darussalam, yang notabene kerajaan-kerajaan tersebut para raja-rajanya menganut faham Syi’ah. Namun demikian diantara kerajaan-kerajaan tersebut juga terjadi pergolakan politik antara Syi’ah dan Sunni.
Selain dengan pendekatan politik kerajaan, Syi’ah juga turut menunggangi faham-faham tarekat yang berkembang di Indonesia. Faktanya saat ini terekat-terekat tersebut banyak terpengaruh oleh faham-faham yang berbau Syi’ah sehingga dengan konsep yang digunakannya itu membuat Syi’ah mulai luas mengembangkan sayapnya.
Terlepas dari hal itu semua, Ada pendapat lain mengenai tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke Indonesia yaitu, antara lain:
Pertama, kaum Muslimin terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.
Kedua, mayoritas kaum Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh.
Ketiga, kebanyakan kaum Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah (perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah kecuali sekedar masalah Furu’iyah saja.
Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah Islamiyah. Padahal pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.
Mereka hendak menyebarkan dan mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini (Syi'ah) dan ditegakkan oleh mereka.
Dari uraian tersebut, maka jelaslah bahwa Syi’ah semakin eksis di Indonesia mengingat pula bahwa di  Indonesia merupakan lahan yang subur untuk menanamkan faham Syi’ah. Hal itu dapat dilihat di zaman sekarang bahwa pengaruh faham Syi’ah sudah banyak dilestarikan di berbagai daerah di Indonesia. Entah sadar atau tidak bahwa sebuah kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkembang di berbagai daerah merupakan sebuah kegiatan (ritual) yang menjadi ruh faham Syi’ah. Kegiatan itu antara lain, Haul, Tahlilan, dll yang mana hal itu merupakan kebudayaan orang-orang Syi’ah. terlepas dari hal itu semua, sebenarnya perbedaan antara faham Syi’ah dengan Sunni hanyalah sedikit jika dibandingkan dengan persamaannya.
Selain dari ketiga faktor tersebut, unsur penunjang Syi’ah dapat mudah masuk di Indonesia yakni karena adanya suatu unsur persamaan antara Syi’ah dengan Sunni. Yang mana dari unsur persamaan itu maka Syi’ah dapat diterima oleh sebagian orang dan dapat berkembang di Indonesia. unsur persamaan tersebut yakni: Pertama, kerena adanya kesamaan ajaran atau sumber hukum. Dalam faham Sunni maupun Syi’ah sepakat bahwa sumber hukum atau pedoman hidup mereka yakni Alquran dan Hadis. Walaupun keduanya dalam memahami kedua sumber tersebut sering terjadi multiinterpretasi. Namun demikian kedua faham tersebut sepakat bahwa Alquran dan Hadis sebagai pedoman hidup. Kedua, Persamaan dalam tasawuf. Di dalam bidang tasawuf justru tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain.
Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat.
Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis.
Buya Hamka sangat menekankan tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau baca Tasawuf Modern, itu adalah tasawuf ‘amali, tasawuf akhlaki. Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.[3]

D.    Perkembangan Syi’ah di Indonesia
Telah diketahui bahwa sejak meletusnya Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomaeni pada tahun 1979 M, sejak saat itu pula, paham Syi’ah menyebar ke pelosok negeri, termasuk Indonesia. Dalam penyebarannya, mereka menggunakan slogan persaudaraan, perdamaian, dan jihad melawan berbagai kemungkaran. Padahal slogan yang mereka dengung-dengungkan ini hanyalah kedok semata untuk menutupi keburukan dan kesesatan mereka. Sehingga pada akhirnya, dengan slogan ini mereka mendapatkan respon yang positif dari masyarakat Muslim. Sehingga terbentuklah solidaritas Muslim dunia yang mendukung gerakan tersebut.
Perkembangan Syi’ah atau yang lebih populer dikalangan mereka dinamakan dengan madzhab Ahlul Bait di Indonesia memang cukup pesat. Mereka mendirikan lembaga-lembaga, baik yang berbentuk pesantren-pesantren maupun yayasan-yayasan  di beberapa kota di Indonesia, seperti di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan kota-kota lain di luar Jawa. Mereka juga membanjiri buku-buku tentang Syi’ah yang sengaja mereka terbitkan oleh para penerbit yang berindikasi Syi’ah. Atau mereka menyebarkan paham mereka lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan serta dengan melakukan pengkaderan di pesantren-pesantren yang mereka miliki, dan di majelis-majelis ta’lim. Mereka juga melakukan pengkaderan para da’i dengan mengirimkan para pelajar ke Iran, salah satunya di Qom. Setelah kembali dari Iran, mereka (para pelajar tersebut) dituntut untuk menyebarkan paham Syi’ah ini di kalangan masyarakat. Mereka mengajak kaum Muslimin untuk memperkecil perbedaan antara Sunni dan Syiah.
Untuk membendung perkembangan Syi’ah ini memang sangat sulit sekali. Hal ini dikarenakan Syi’ah mempunyai ajaran yang bernama taqiyyah. Dengan ajaran ini mereka dengan mudah untuk memutarbalikkan fakta untuk menutupi segala kebathilan dan kesesatan mereka yakni dengan mengutarakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam hai ini mereka mengambil perkataan dari Abu Ja’far, “Taqiyyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak ber-taqiyyah.”
Dalam melakukan penyebaran Syi’ah ini, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan menerbitkan buku-buku tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh penerbit yang mereka miliki. Diantaranya penerbit Mizan, Pustaka Hidayah, Pelita Bandung, Yayasan As-Sajjad Jakarta, YAPI Bangil dan lain sebagainya. Begitu pula dengan lembaga-lembaga yang mereka dirikan. Diantaranya: Yayasan Al-Muthahari yang berada di Bandung, Yayasan Al-Muntadhar di Jakarta, Yayasan Al-Jawwad di Bandung, Yayasan Mulla Sadra di Bogor, Pesantren YAPI di Bangil, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan dan lain sebagainya.[4]
Ada hal yang menarik mengenai lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh Syi’ah,yakni salah satunya lembaga pesantren YAPI di Bangil, Pasuruan. Pesantren ini didirikian oleh Habib Husein al-Habsyi. Lembaga pesantren ini merupakan salah satu lembaga yang terbesar yang menganut faham Syi’ah, serta pengaruhnya cukup besar bagi Indonesia.
Sebagai pendiri pesantren YAPI, Habib Husein al-Habsyi mempunyai impian yakni menciptakan lingkungan yang agamis dan bebas dari polusi barat dan modernisme. Habib Husein al-Habsyi merupakan sosok ulama yang cukup berpengaruh di Pasuruan, namanya kian terkenal seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh pesantren YAPI. Para alumni YAPI banyak yang mendapat kesempatan melanjutkan studi di luar negeri, seperti Locknow-India, Lahore-Pakistan, Kairo-Mesir, Mekkah-Saudi Arabia, dll.[5]
Dari pesantren YAPI tersebut lahirlah para pendakwah-pendakwah Syi’ah dan mempunyai misi untuk memperluas faham Syi’ah di Indonesia. maka tak heran jika dahulu di Bangil yang mana menjadi basis orang-orang Sunni (NU) namun seiring dengan perkambangannya waktu maka sebagian besar warga Bangil mulai mengikuti Faham Syi’ah. Hal itu menjadi sebuah indikasi bahwa Syi’ah sudah mengalami kemajuan pesat di Indonesia.

E.     Pengaruh Syi’ah di Indonesia
Syi’ah merupakan suatu faham terbesar setalah Sunni. Mengenai perkembangnya pun juga mengalami kepesatan di Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai lembaga yang notabene merupakan dibawah asuhan Syi’ah. Lembaga-lembaga yang didirikan oleh Syi’ah antara lain lembaga pendidikan seperti, YAPI di Bangil di Pasuruan, Yayasan al-Muhibbin di Probolinggo, YAPISMA di Malang, yayasan al-Hadi di Pekalongan, yayasan al-Jawwad di Bandung dll.
Tak hanya disitu, selain lembaga pendidikan, ada juga lembaga penerbit dan organisasi pemuda, ada juga majalah dan buletin yang menyebarluaskan faham Syi’ah lembaga-lembaga tersebut antara lain: Majalah al-Hikmah, Majalah al-Mustafa, penerbit buku Mizan di Bandung, Ikatan Jama’ah ahl al-Bait (IJABI).[6]
Dengan menjamurnya yayasan-yayasan pendidikan, penerbit, dan majalah tersebut mengindikasikan bahwa Syiah menagalami perkembangan, walaupun secara perlahan namun pasti. Suatu keadaan yang sulit di temukan pada era Orde Baru.
Bahkan menurut Data penelitian pemerintah menyatakan jumlah pengikut aliran Syiah di Indonesia berkisar 500 orang. Jumlah itu tersebar di pelbagai daerah. Namun, menurut Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, jumlah itu hanya perkiraan terendah."Ada perkiraan tertinggi, 5 juta orang. Tapi, menurut saya, sekitar 2,5 jiwa," kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, waktu bertemu Tempo di kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012.
Pemeluk Syiah, kata Kang Jalal melanjutkan, sebagian besar ada di Bandung, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, ada juga kelompok Syiah di Tegal, Jepara, Pekalongan, Semarang, Garut, Bondowoso, Pasuruan, dan Madura. Di Sampang, jumlah penganut Syiah tergolong kecil. Cuma 700 orang. Meski jumlahnya tergolong banyak, hanya segelintir orang yang terbuka soal identitas Syiah. Dalam kesehariannya, mereka cenderung menutup diri. Mereka mempraktekkan taqiyah atau menyembunyikan identitas asli.[7]
Perkembangan Syi’ah yang cukup pesat di Indonesia ini merupakan tak lepas dari sosiokultural masyarakat Indonesia. Pluralitas masyarakat Indonesia cukup mendukung perkembangan Syiah di Indonesia. Masyarakat Indonesia menyadari betul akan kemajuan dalam kehidupan hal itu sudah menjadi Sunatullah, atau sebagai hukum alam dan sebagai realitas empiris yang ditakdirkan oleh manusia.
Maka dengan adanya konsep pluralitas itu membuat Syiah dapat diterima dan berkembang di Indonesia. Dengan menyadari akan perbedaan itu maka toleransi dalam memahami sebuah perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan. 




























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dengan adanya beberapa faktor pengaruh, maka Syi’ah dapat masuk dan berkembang di Indonesia. faktor-faktor tersebut antara lain yakni karena pasca bergulirnya revolusi Islam di Iran 1979  membuat sebagian warga Indonesia mulai ingin tahu lebih dalam lagi tentang faham Syi’ah. mereka terimpirasi oleh keberhasilan Ayatullah Khumaini dalam mengadakan revolusi, tak jarang para pemuda intelektual Indonesia mulai mendalami tentang ajaran Syiah dan bahkan megikuti faham tersebut.
Mengenai perkembang yang pesat di Indonesia, hal itu merupakan sebuah keberhasilan para penganut faham Syi’ah di Indonesia. keberhasilan itu ditandai dengan menjamurnya berbagai lembaga-lembaga Syi’ah yang berada di Indonesia. selain itu ditunjang dengan iklim Indonesia yang sangat menghargai pluralitas bangsa, agama, suku, serta kepercayaan.
B.     Saran
Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang Perkambangan Syi’ah di Indonesia yang belum dapat kami bahas pada makalah ini. Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.






DAFTAR PUSTAKA

Attamimy, HM. 2009. Syi’ah Sejarah, Doktrin, dan Perkembangan di Indonesia. Yogyakarta: grha Guru.
Su’ud, Fadil. 2010. Islam Syiah. Malang: UIN-Maliki Press.
Hasjimy,A. 1983. Syiah dan Ahlussunnah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
http://www.tempo.com.



[1]  Fadil Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah. (Malang: UIN Press,2010), 3.
[2]  HM. Attamimy, Syi’ah sejarah, Doktrin, Perkembangan di Indonesia. (Yogyakarta: Grha Guru, 2009), 5-6.
[3] http://syiahali.wordpress.com.
[4] http://dakwahwaljihad.wordpress.com.
[5] Fadil Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah..., 80.
[6] HM. Attamimy, Syi’ah sejarah, Doktrin, Perkembangan di Indonesia..., 124.
[7] http://www.tempo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar