Oleh : Nur Khalimatus Sadiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Syi’ah pada awal
kemunculannya dikenal sebagai salah satu firqah
politik umat Islam. Belakangan, kelompok Syi’ah ini berkembang menjadi sebuah
gerakan pemikiran yang sangat menonjol. Pemikiran Syi’ah tidak hanya sebatas
pada masalah politik, akan tetapi juga menyangkut bidang-bidang yang
berpengaruh di masa depan, seperti pemikiran hukum islam, juga filsafat dan
tasawuf.
Sekarang ini,
gerakan pemikiran syi’ah sudah sedemikian maju, sehingga banyak kalangan
menilai sudah sedemikian jauh meninggalkan pemikiran kaum Sunni yang mana
cenderung stagnan karena berbagai alasan sosiokultural dan politik. Dalam
sejarah, kelompok Syi’ah terpecah menjadi tiga kelompok besar: Itsna
‘Asyariyah, Ismailiyah, dan Zahidiyah. Masing-masing kelompok itu tidak hanya
mewakili kelompok politik, tapi juga kelompok pemikiran. Pemikiran Syi’ah tidak
berhenti dengan timbulnya perpecahan tersebut, tetapi justru perpecahan itu
merupakan sebagian faktor-faktor kompetitif dalam memajukan pemikiran.
Dengan pemikiran Syi’ah yang sedemikian
pesat dan maju itu, Syi’ah senantiasa mengalami perkembangan yang tentunya
lebih ekspansif dan bervariasi ketika kelompok ini menyebar ke berbagai penjuru
dunia Islam, temasuk juga di Indonesia.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana sejarah munculnya aliran Syi’ah serta
doktrin-doktrinya?
2.
Faktor-faktor
apa yang melatarbelakangi Syi’ah berkembang di Indonesia?
3.
Bagaimana
perkembangan Syi’ah di Indonesia?
4.
Apa saja
pengaruh Syi’ah di Indonesia?
C. Tujuan penulisan
1.
Menjelaskan sejarah awal aliran Syi’ah serta
doktrinnya.
2.
Mengetahui
faktor-faktor yang melatarbelakangi pemikiran Syi’ah masuk di Indonesia serta
aspek-aspek yang terkait dengan hal itu.
3.
Mengetahui
perkambangan Syi’ah di Indonesia.
4.
Mengetahui
pengaruh-pengaruh pemikiran Syi’ah terhadap indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Aliran Syi’ah
Syi’ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة (Syī`ah). Bentuk tunggal dari kata
ini adalah شيعي (Syī`ī). Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah
`Ali شيعة علي artinya
"pengikut Ali". Syi'ah
menurut etimologi bahasa Arab yang artinya pembela dan pengikut seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu
Thalib sangat utama di
antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan
kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Mengenai kemunculan Syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah, Syi’ah mulai muncul pada masa akhir
pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syi’ah baru benar-benar
muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan
Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali
terhadap arbitrase yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan
terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali disebut Syi’ah, dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan
dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan Syi’ah
tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi SAW pada masa
hidupnya. Pada awal kenabian, ketika Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan
dakwah kepada kerabatnya, yang pertama-tama menerima adalah Ali bin Abi Thalib.
Diceritakan bahwa Nabi pada saat itu mengatakan bahwa orang yang pertama-tama
memenuhi ajakannya akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu, sepanjang
kenabian Muhammad, Ali merupakan orang yang menunujukkan perjuangan dan
pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir
Khumm. Diceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir, dalam
perjalanan dari Mekkah ke Madinah, di suatu padang pasir yang bernama Ghadir
Khumm. Nabi memilih Ali sebagai penggantinya dihadapan masa yang penuh
sesak yang menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan
Ali sebagai pemimpin umat (walyat-i ‘ammali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, justru ketika Nabi wafat dan jasadnya
belum dikuburkan, sedangkan beberapa orang sahabatnya sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya,
teman dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke
masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimpin yang tiba-tiba.
Kelompok ini, yang kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh, dan dengan
sangat tergesa-gesa memilih pimpinan kaum muslimin dengan maksud menjaga
kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal
itu tanpa berunding dengan ahlul bait, keluarga, ataupun para sahabat
yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak
memberitahukan mereka. Dengan demikian, kawan-kawan Ali dihadapkan kepada
suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi (faith accompli).
Berdasarkan realitas itulah, muncul sikap di kalangan sebagian kaum
muslimin yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas dalam
masalah-masalah kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa pengganti
Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan
bahwa semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta
mengajak masyarakat utuk mengikutinya. Inilah yang kemudian disebut
sebagai Syi’ah.
B. Doktrin-doktrin Syi’ah
a. Tauhid
(The Devine Unity)
Tuhan adalah Esa baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah
mutlak. Ia bereksistensi dengan sendirinyasebelum ada ruang dan waktu. Ruang
dan waktu diciptakan oleh tuhan. Tuhan maha tahu,maha mendengar, selalu hidup, mengerti
tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak membutuhkan sesuatu. Ia berdiri
sendiri, tidak dibatasi oleh
ciptaan-Nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
b. Al-‘Adl (The Devine Justice)
Tuhan menciptakan kebaikan di dalam semesta ini merupakan hal yang adil. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-Nya dengan
ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kelaliman terhadap yang lain merupakan
tanda kebodohan dan ketidakmampuan dan sifat
ini jauh dari keabsolutan dan kehendak tuhan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui pekara yang benar
atau salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan,
pendengaran, dan indra lainya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik
maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia
dapat mamanfatkan potensi berkehendak sebagai anugerah tuhan
untuk mewujudkan dan bertangguang jawab atas perbuatannya.
c. Nubuwwah
(Apostleship)
Setiap makhluk sekali telah diberi insting, masih membutuhkan petunjuk,
baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rosul merupakan petunjuk
hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara yang baik dan yang
buruk di alam semesta. Dalam keyakinan Syi’ah itsna Asyariyah, Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Syi’ah
Itsna Asyariyah percaya mutlak tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak Adam hingga Muhammad. Mereka percaya adanya kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Qur’an jauh dari
tahrif perubahan, atau tambahan.
d. Imamah
(The Devine Guidance)
Imamah adalah institusi yang di inagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih
dari keturunan Ibrahim dan di delegasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi dan Rosul
terakhir.
C. Faktor-faktor
masuknya Syi’ah di Indonesia.
Perihal masuknya Syiah ke Indonesia
masih merupakan perdebatan. Banyak teori mengenai ini, yang dari segi-segi
tertentu masing-masing teori menyuguhkan informasi yang dapat dijadikan
pegangan. Namun, terlepas dari itu semua, saat ini telah begitu jelas apresiasi
masyarakat terhadap pemikiran Syi’ah, terutama di kalangan generasi muda,
mahasiswa, dan kaum intelektual Islam di Indonesia.[1]
Menurut sebuah literatur, setelah
terjadi revolusi Islam di Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khumaini (seorang penganut Syi’ah Istna
‘Asyariyah), tampaknya orang
mulai melihat dan ingin mengenal lebih jauh tentang pemikiran-pemikiran Syi’ah.
Pemikiran para tokoh Syi’ah seperti Imam khumaini, Ali Syariati, Sayyed Hossein
Nasr, dan Murtadha Mutahhari banyak diminati oleh kaum muslimin, khususnya kalangan
muda Islam, baik dari golongan Syi’ah sendiri maupun dari golongan Sunni.
Paling tidak ada tiga faktor
penyebab mengapa para kalangan muda berminat dan tertarik kepada ajaran dan
pemikiran Syi’ah, yakni antara lain:
1.
Mereka melihat
Syiah sebagai ajaran yang banyak mengunakan akal atau rasio. Kalangan muda yang
biasanya sering bereksperimen dengan menggunakan daya nalar, pada titik ini
menemukan suatu wahana diskusi. Penggunaan akal oleh Syi’ah untuk menentukan
baik-buruknya sesuatu yang dianggap oleh kalangan muda sebagai sesuatu yang
realistis yang perlu untuk diikuti.
2.
Mereka melihat
masalah kepemimpinan dalam Syi’ah yang mensyaratkan kriteria tertentu pada
pemimpinnya berdasarkan kapabilitas intelektualnya, yang dapat dari karya-karya
mereka, dianggap menarik dan lebih cocok dengan semangat demokrasi dan
penghormatan hak-hak asasi yang menjadi simbol negara modern.
3.
Mereka melihat
spiritualisme dalam Syi’ah sebagai alternatif yang dapat mengatasi tekanan
hidup. Seiring dengan adanya berbagai problem kehidupan yang tidak
henti-hentinya melanda dunia modern. [2]
Jauh sebelum terjadinya revolusi
Islam di Iran yang dipimpin Ayatullah Khumaini, agaknya paham Syi’ah telah ada
di Indonesia, namun sebegitu jauh paham tersebut cenderung tertutup dan banyak
tidak dikenal orang. Dengan munculnya revolusi Islam di Iran, aktivitas Syi’ah
di Indonesia mulai menunjukkan ke-Syi’ah-annya dan tampak mengalami perkembangan yang cukup signifikan.
Walaupun terdapat “perbedaan”
secara ideologis antar Syi’ah dan Sunni, namun secara kaum muslimin di seluruh
dunia terlebih lagi di Indonesia merasa senang dengan keberhasilan revolusi
Islam di Iran, termasuk muslim Sunni. Karena tidak dapat dipungkiri pengaruh
kemenangan revolusi Islam Iran tersebut telah dapat mengangkat mertabat dan
harga diri umat Islam di seluruh dunia. Hal itu membawa dampak pengaruh yang
besar bagi Indonesia dalam hal pemikiran ditambah lagi revolusi Islam di Iran
menggunakan lebel Syi’ah maka Syi’ah yang ada di Indonesia mulai menunjukan
Eksistensinya.
Pasca revolusi Islam di Iran,
kajian-kajian tentang Syi’ah di indonesia mulai bermunculan, meskipun awalnya
masih bersifat kelompok-kelompok kajian, seperti di Bandung, Bogor, Jakarta, Surabaya, dan Pasuruan. Dalam perkembang
selanjutnya, setelah pasca runtuhnya rezim orde baru gerakan reformasi membuat
muslim syi’ah di indonesia semakin jelas keberadaannya dengan ditandai dengan
bertambahnya penganut Syi’ah di Nusantara.
Sebagaimana telah dikemukakan di
atas bahwa keberadaan Syi’ah di Indonesia sebenarnya sudah ada sebelum adanya
revolusi Islam di Iran. Bahkan Syi’ah pernah menjadi kekuatan politik yang
tangguh di Nusantara pada awal-awal penyebaran Islam. Syi’ah masuk bersamaan
dengan penyebaran Islam di tanah air. Penyebaran itu melalui politik dalam
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia antara lain kerajaan Islam Peureulak,
Kerajaan Islam Samudra Pasai, kerajaan Darussalam, yang notabene
kerajaan-kerajaan tersebut para raja-rajanya menganut faham Syi’ah. Namun demikian diantara
kerajaan-kerajaan tersebut juga terjadi pergolakan politik antara Syi’ah dan
Sunni.
Selain dengan pendekatan politik
kerajaan, Syi’ah juga turut menunggangi faham-faham tarekat yang berkembang di
Indonesia. Faktanya saat ini terekat-terekat tersebut banyak terpengaruh oleh
faham-faham yang berbau Syi’ah sehingga dengan konsep yang digunakannya itu
membuat Syi’ah mulai luas mengembangkan sayapnya.
Terlepas dari hal itu semua, Ada
pendapat lain mengenai tiga faktor yang menyebabkan Syi'ah mudah masuk ke
Indonesia yaitu, antara lain:
Pertama, kaum Muslimin
terbelakang dalam pemahaman terhadap aqidah Islam yang shahîhah (benar) yang
berdasarkan al-Qur’ân dan Sunnah.
Kedua, mayoritas kaum
Muslimin pada saat itu sangat jauh dari manhaj Salafush Shâlih. Mereka hanya
sekedar mengenal nama yang agung ini, namun dari sisi pemahaman pengamalan dan
dakwah jauh sekali dari pemahaman dan praktek Salaful Ummah (generasi terbaik
umat Islam). Memang ada sebagian kaum Muslimin yang menyeru kepada al-Qur’ân
dan Sunnah, tetapi menurut pemahaman masing-masing tanpa ada satu metode yang
akan mengarahkan dan membawa mereka kepada pemahaman yang shahîh.
Ketiga, kebanyakan kaum
Muslimin termasuk tokoh-tokoh mereka di negeri ini kurang paham atau tidak
paham sama sekali tentang ajaran Syi'ah yang sangat berbahaya terhadap Islam
dan kaum Muslimin, bahkan bagi seluruh umat manusia. Pemahaman mereka terhadap
ajaran Syi'ah sebatas Syi'ah sebagai madzhab fiqh, sebagaimana madzhab-madzhab
yang ada dalam Islam yang merupakan hasil ijtihad para ulama seperti Imam
Syafi’i, Abu Hanîfah, Mâlik, dan Ahmad dan lain-lain. Mereka mengira perbedaan
antara Syi’ah dengan madzhab yang lain hanya pada masalah khilâfiyah furû’iyyah
(perbedaan kecil). Oleh karena itu, sering kita dengar, para tokoh Islam di
negeri kita ini mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kita dengan Syi'ah
kecuali sekedar masalah Furu’iyah saja.
Dengan tiga sebab ini, Syi’ah bisa
masuk ke negeri ini dan mempengaruhi sebagian kaum muslimin. Mereka menamakan
perjuangan mereka perjuangan islam untuk menegakan Daulah Islamiyah. Padahal
pada hakekatnya untuk menegakan Daulah Râfidhah.
Mereka hendak menyebarkan dan
mendakwahkan ajaran mereka. Karena dalam pandangan mereka, tidak ada hukum
Islam kecuali yang diambil dari ajaran ini (Syi'ah) dan ditegakkan oleh mereka.
Dari uraian tersebut, maka jelaslah
bahwa Syi’ah semakin eksis di Indonesia mengingat pula bahwa di Indonesia merupakan lahan yang subur untuk
menanamkan faham Syi’ah. Hal
itu dapat dilihat di zaman sekarang bahwa pengaruh faham Syi’ah sudah banyak
dilestarikan di berbagai daerah di Indonesia. Entah sadar atau tidak bahwa
sebuah kegiatan-kegiatan keagamaan yang berkembang di berbagai daerah merupakan
sebuah kegiatan (ritual) yang menjadi ruh faham Syi’ah. Kegiatan itu antara lain, Haul,
Tahlilan, dll yang mana hal itu merupakan kebudayaan orang-orang Syi’ah.
terlepas dari hal itu semua, sebenarnya perbedaan antara faham Syi’ah dengan
Sunni hanyalah sedikit jika dibandingkan dengan persamaannya.
Selain dari ketiga faktor tersebut,
unsur penunjang Syi’ah dapat mudah masuk di Indonesia yakni karena adanya suatu
unsur persamaan antara Syi’ah dengan Sunni. Yang mana dari unsur persamaan itu
maka Syi’ah dapat diterima oleh sebagian orang dan dapat berkembang di
Indonesia. unsur persamaan tersebut yakni: Pertama,
kerena adanya kesamaan ajaran atau sumber hukum. Dalam faham Sunni maupun
Syi’ah sepakat bahwa sumber hukum atau pedoman hidup mereka yakni Alquran dan
Hadis. Walaupun keduanya dalam memahami kedua sumber tersebut sering terjadi
multiinterpretasi. Namun demikian kedua faham tersebut sepakat bahwa Alquran
dan Hadis sebagai pedoman hidup. Kedua, Persamaan dalam
tasawuf. Di dalam bidang
tasawuf justru tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama,
tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i yang
ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu
tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini
berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain.
Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat
apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.Yang kedua,
tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam
Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam
atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah,
maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan
hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari
asrar shalat.
Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu
sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih
sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa.
Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis.
Buya Hamka sangat menekankan tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau
baca Tasawuf Modern, itu adalah tasawuf ‘amali, tasawuf akhlaki. Di dalam
tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf
‘amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah
membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tapi
orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi dalam
tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang
Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf ‘amali.[3]
D. Perkembangan
Syi’ah di Indonesia
Telah diketahui bahwa sejak
meletusnya Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomaeni pada tahun 1979
M, sejak saat itu pula, paham Syi’ah menyebar ke pelosok negeri, termasuk
Indonesia. Dalam penyebarannya, mereka menggunakan slogan persaudaraan,
perdamaian, dan jihad melawan berbagai kemungkaran. Padahal slogan yang mereka
dengung-dengungkan ini hanyalah kedok semata untuk menutupi keburukan dan
kesesatan mereka. Sehingga pada akhirnya, dengan slogan ini mereka mendapatkan
respon yang positif dari masyarakat Muslim. Sehingga terbentuklah solidaritas
Muslim dunia yang mendukung gerakan tersebut.
Perkembangan Syi’ah atau yang lebih
populer dikalangan mereka dinamakan dengan madzhab Ahlul Bait di Indonesia
memang cukup pesat. Mereka mendirikan lembaga-lembaga, baik yang berbentuk
pesantren-pesantren maupun yayasan-yayasan di beberapa kota di Indonesia,
seperti di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan kota-kota lain di
luar Jawa. Mereka juga membanjiri buku-buku tentang Syi’ah yang sengaja mereka
terbitkan oleh para penerbit yang berindikasi Syi’ah. Atau mereka menyebarkan
paham mereka lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan
serta dengan melakukan pengkaderan di pesantren-pesantren yang mereka miliki,
dan di majelis-majelis ta’lim. Mereka juga melakukan pengkaderan para da’i
dengan mengirimkan para pelajar ke Iran, salah satunya di Qom. Setelah kembali
dari Iran, mereka (para pelajar tersebut) dituntut untuk menyebarkan paham
Syi’ah ini di kalangan masyarakat. Mereka mengajak kaum Muslimin untuk
memperkecil perbedaan antara Sunni dan Syiah.
Untuk membendung perkembangan
Syi’ah ini memang sangat sulit sekali. Hal ini dikarenakan Syi’ah mempunyai
ajaran yang bernama taqiyyah. Dengan ajaran ini mereka dengan mudah untuk
memutarbalikkan fakta untuk menutupi segala kebathilan dan kesesatan mereka
yakni dengan mengutarakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam
hai ini mereka mengambil perkataan dari Abu Ja’far, “Taqiyyah adalah agamaku
dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak ber-taqiyyah.”
Dalam melakukan penyebaran Syi’ah
ini, salah satu cara yang mereka lakukan adalah dengan menerbitkan buku-buku
tentang Syi’ah yang diterbitkan oleh penerbit yang mereka miliki. Diantaranya
penerbit Mizan, Pustaka Hidayah, Pelita Bandung, Yayasan As-Sajjad Jakarta,
YAPI Bangil dan lain sebagainya. Begitu pula dengan lembaga-lembaga yang mereka
dirikan. Diantaranya: Yayasan Al-Muthahari yang berada di Bandung, Yayasan
Al-Muntadhar di Jakarta, Yayasan Al-Jawwad di Bandung, Yayasan Mulla Sadra di
Bogor, Pesantren YAPI di Bangil, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan dan lain
sebagainya.[4]
Ada hal yang menarik mengenai
lembaga-lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh Syi’ah,yakni salah satunya
lembaga pesantren YAPI di Bangil, Pasuruan. Pesantren ini didirikian oleh Habib
Husein al-Habsyi. Lembaga pesantren ini merupakan salah satu lembaga yang
terbesar yang menganut faham Syi’ah, serta pengaruhnya cukup besar bagi
Indonesia.
Sebagai pendiri pesantren YAPI,
Habib Husein al-Habsyi mempunyai impian yakni menciptakan lingkungan yang
agamis dan bebas dari polusi barat dan modernisme. Habib Husein al-Habsyi
merupakan sosok ulama yang cukup berpengaruh di Pasuruan, namanya kian terkenal
seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh pesantren YAPI. Para alumni YAPI
banyak yang mendapat kesempatan melanjutkan studi di luar negeri, seperti
Locknow-India, Lahore-Pakistan, Kairo-Mesir, Mekkah-Saudi Arabia, dll.[5]
Dari pesantren YAPI tersebut
lahirlah para pendakwah-pendakwah Syi’ah dan mempunyai misi untuk memperluas faham
Syi’ah di Indonesia. maka tak heran jika dahulu di Bangil yang mana menjadi
basis orang-orang Sunni (NU) namun seiring dengan perkambangannya waktu maka
sebagian besar warga Bangil mulai mengikuti Faham Syi’ah. Hal itu menjadi sebuah indikasi
bahwa Syi’ah sudah mengalami kemajuan pesat di Indonesia.
E. Pengaruh Syi’ah
di Indonesia
Syi’ah merupakan suatu faham terbesar setalah
Sunni. Mengenai perkembangnya pun juga mengalami kepesatan di Indonesia. Hal itu ditandai dengan munculnya
berbagai lembaga yang notabene merupakan dibawah asuhan Syi’ah. Lembaga-lembaga yang didirikan oleh
Syi’ah antara lain lembaga pendidikan seperti, YAPI di Bangil di Pasuruan,
Yayasan al-Muhibbin di Probolinggo,
YAPISMA di Malang, yayasan al-Hadi di Pekalongan, yayasan al-Jawwad di Bandung
dll.
Tak hanya disitu, selain lembaga
pendidikan, ada juga lembaga penerbit dan organisasi pemuda, ada juga majalah
dan buletin yang menyebarluaskan faham Syi’ah lembaga-lembaga tersebut antara
lain: Majalah al-Hikmah, Majalah al-Mustafa, penerbit buku Mizan di Bandung,
Ikatan Jama’ah ahl al-Bait (IJABI).[6]
Dengan menjamurnya yayasan-yayasan
pendidikan, penerbit, dan majalah tersebut mengindikasikan bahwa Syiah
menagalami perkembangan, walaupun secara perlahan namun pasti. Suatu keadaan
yang sulit di temukan pada era Orde Baru.
Bahkan menurut Data penelitian
pemerintah menyatakan jumlah pengikut aliran Syiah di Indonesia berkisar 500
orang. Jumlah itu tersebar di pelbagai daerah. Namun, menurut Ketua Dewan Syura
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat, jumlah itu hanya
perkiraan terendah."Ada perkiraan tertinggi, 5 juta orang. Tapi, menurut
saya, sekitar 2,5 jiwa," kata Kang Jalal, sapaan Jalaluddin Rakhmat, waktu
bertemu Tempo di kediamannya, Kamis, 29 Agustus 2012.
Pemeluk Syiah, kata Kang Jalal
melanjutkan, sebagian besar ada di Bandung, Makassar, dan Jakarta. Selain itu,
ada juga kelompok Syiah di Tegal, Jepara, Pekalongan, Semarang, Garut, Bondowoso, Pasuruan, dan Madura.
Di Sampang, jumlah penganut Syiah tergolong kecil. Cuma 700 orang. Meski
jumlahnya tergolong banyak, hanya segelintir orang yang terbuka soal identitas
Syiah. Dalam kesehariannya, mereka cenderung menutup diri. Mereka mempraktekkan
taqiyah atau menyembunyikan identitas asli.[7]
Perkembangan Syi’ah yang cukup
pesat di Indonesia ini merupakan tak lepas dari sosiokultural masyarakat
Indonesia. Pluralitas
masyarakat Indonesia cukup mendukung perkembangan Syiah di Indonesia. Masyarakat Indonesia menyadari betul
akan kemajuan dalam kehidupan hal itu sudah menjadi Sunatullah, atau sebagai
hukum alam dan sebagai realitas empiris yang ditakdirkan oleh manusia.
Maka dengan adanya konsep
pluralitas itu membuat Syiah dapat diterima dan berkembang di Indonesia. Dengan menyadari akan perbedaan itu maka toleransi dalam memahami
sebuah
perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya beberapa faktor
pengaruh, maka Syi’ah dapat masuk dan berkembang di Indonesia. faktor-faktor
tersebut antara lain yakni karena pasca bergulirnya revolusi Islam di Iran
1979 membuat sebagian warga Indonesia
mulai ingin tahu lebih dalam lagi tentang faham Syi’ah. mereka terimpirasi oleh
keberhasilan Ayatullah Khumaini dalam mengadakan revolusi, tak jarang para
pemuda intelektual Indonesia mulai mendalami tentang ajaran Syiah dan bahkan
megikuti faham tersebut.
Mengenai
perkembang yang pesat di Indonesia, hal itu merupakan sebuah keberhasilan para
penganut faham Syi’ah di Indonesia. keberhasilan itu ditandai dengan
menjamurnya berbagai lembaga-lembaga Syi’ah yang berada di Indonesia. selain
itu ditunjang dengan iklim Indonesia yang sangat menghargai pluralitas bangsa,
agama, suku, serta kepercayaan.
B. Saran
Kami
menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas lagi tentang
Perkambangan Syi’ah di Indonesia yang belum dapat kami bahas pada makalah ini.
Demikian yang kami uraikan pada makalah ini, mudah-mudahan dapat memberi
manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini
pasti banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Attamimy, HM. 2009. Syi’ah Sejarah,
Doktrin, dan Perkembangan di Indonesia. Yogyakarta: grha Guru.
Su’ud, Fadil. 2010. Islam Syiah.
Malang: UIN-Maliki Press.
Hasjimy,A. 1983. Syiah dan
Ahlussunnah. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
http://www.tempo.com.
[1] Fadil Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah. (Malang: UIN Press,2010), 3.
[2]
HM. Attamimy, Syi’ah sejarah, Doktrin, Perkembangan di Indonesia. (Yogyakarta:
Grha Guru, 2009), 5-6.
[3]
http://syiahali.wordpress.com.
[4]
http://dakwahwaljihad.wordpress.com.
[5]
Fadil Su’ud Ja’fari, Islam Syi’ah...,
80.
[6]
HM. Attamimy, Syi’ah sejarah, Doktrin, Perkembangan di
Indonesia..., 124.
[7]
http://www.tempo.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar