Oleh : Ana & Diana
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap orang,
bangsa, atau golongan pasti memiliki sistem kepercayaan. Namun, dalam sejarah kepercayaan
umat manusia, hanya tercatat beberapa perkembangan sistem
kepercayaan.
Yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme dan monoteisme. Kepercayaan
yang paling primitive adalah dinamisme, sedangkan kepercayaan yang paling
tinggi adalah monoteisme. Untuk mencapai kepada kepercayaan monoteisme terlebih
dulu melalui henoteime. Karena keyakinan henoteisme merupakan peralihan dari
politeisme berkembang menjadi kepercayaan monoteisme.
Salah
satu penganut kepercayaan henoteisme adalah bangsa Yunani Kuno. Oleh sebab itu,
untuk memperdalam pemahaman mengenai Henoteisme, pemakalah akan membahas lebih
rinci tentang henoteisme dalam makalah ini, baik mengenai sejarah, pengertian,
maupun penganut kepercayaan ini.
A.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian kata Henoteisme?
2.
Bagaimana
sejarah munculnya keyakinan Henoteisme?
3.
Bangsa
manakah yang menganut paham Henoteisme?
4.
Bagaimana
jika dihubungkan dengan analisis historis dan analisis fenomenal?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
tentang konsep pengertian kata Henoteisme dari berbagai literatur.
2.
Mengetahui
tentang konsep sejarah munculnya keyakinan Henoteisme.
3.
Mengetahui
penganut-penganut paham Henoteisme.
4.
Mengetahui
hubungannya dengan analisis historis dan analisis fenomenal.
BAB II
KEYAKINAN HENOTEISME
1.
Pengertian
Henoteisme
Henoteisme
berasal dari bahasa Yunani, heis atau
enos yang berarti satu dan theos yang berarti Tuhan, suatu bentuk
politeisme dari banyak Tuhan yang ada salah satunya adalah penguasa tertinggi
mereka, yang padanya Tuhan-Tuhan lain harus mengungkapkan kesetiaan dan
ketaatan mereka.[1]
Di
buku lain juga disebutkan bahwa henoteisme disebut juga monolatry. Berasal dari
kata heno yang berarti satu dan latreuin yang artinya menyembah.
Merupakan salah satu aliran dalam filsafat agama yang mengakui dan menyembah
satu Tuhan, namun mereka juga tidak mengingkari adanya Tuhan-Tuhan bagi agama
lain.[2]
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia henoteisme berarti keyakinan kepada satu Tuhan
tanpa mengingkari adanya dewa lain dan makhluk halus.
Dari
berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa henoteisme adalah
kepercayaan yang tidak menyangkal adanya Tuhan banyak, tetapi hanya mengakui
satu Tuhan Tunggal sebagai Tuhan yang disembah. Henoteisme juga berarti
mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lain mempunyai tuhan
sendiri-sendiri. Tuhan-Tuhan bangsa lain tetap diakui tetapi tidak lagi
sederajat dengan Tuhan tertinggi.
Henoteisme
juga mengandung tiga pengertian. Pertama,
yang berkuasa atas dunia ini tidak banyak melainkan satu, namun penguasa disatu
tempat berbeda dengan satu penguasa ditempat lain. Kedua, ada banyak dewa, tetapi hanya satu yang Maha Kuasa. Ketiga, dewa atau penguasa di satu zaman
berbeda dengan penguasa di zaman lain.
2.
Sejarah
Munculnya Henoteisme
Berawal
dari kepercayaan politeisme, yakni percaya banyak Tuhan. Dalam hal ini
orang-orang percaya bahwa di dunia ini ada banyak dewa. Dan dalam politeisme
dewa-dewa telah mempunyai tugas-tugas tertentu. Misalnya ada dewa api, dewa
angin, dewa taufan, dewa Guntur, dewa perang, dewi kesuburan, dewi kecantikan,
dan lain-lain. Dalam pertumbuhannya yang mula-mula, politeisme itu mempercayai
banyak dewa, yang antara satu dengan yang lainnya sederajat kekuasaannya, tidak
ada yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Bahkan saling bersaing dan
bertentangan, misalnya antara dewa api dan dewa hujan, dewa musim panas dengan
dewa musim dingin, dewa kesuburan dengan dewa musin kemarau, dan lain
sebagainya.
Tetapi
lama-kelamaan diantara dewa-dewa itu ada yang dianggap lebih tinggi
kesaktiannya, sehingga lebih dihormati dan dipuja, akhirnya timbul pemujaan
terhadap tiga dewa diatas dewa lainnya. Dalam agama Hindu pada masa permulaan
Weda, ada tiga dewa yang menonjol yaitu dewa Indra, Mithra, Waruna. Dalam
perkembangan selanjutnya ada pemujaan atas trimurti yang terdiri dari Brahma,
Wisnu, dan Syiwa. Dalam agama Mesir kuno ada dewa Osiris, Isis (istrinya), dan
Horus (anaknya). Dalam agama Arab jahiliyyah kita mengenal dewa Lata, ‘Uzza,
dan Manata.
Ada
pula kalanya satu dari dewa-dewa itu ada yang meningkat di atas segala dewa
yang lain seperti Zeus dalam agama
Yunani kuno, Yupiter dalam agama Romawi dan Ammon dalam agama Mesir kuno. Ini
bukan berarti pengakuan pada satu Tuhan,
tetapi baru pada pengakuan dewa terbesar diantara dewa yang banyak. Paham ini
belum meningkat pada paham monoteisme atau henoteisme, tetapi masih dalam
tingkat politeisme. Tetapi kalau dewa yang terbesar itu saja yang kemudian
dihormati dan dipuja sedangkan dewa lain ditinggalkan, paham demikian telah
keluar dari politeisme dan meningkat pada henoteisme.[3]
Selain itu henoteisme muncul karena ketidakpuasan terhadap sistem kepercayaan
politeisme. Oleh sebab itu mereka mencari sistem kepercayaan yang lebih memuaskan
dan masuk akal, karena kepercayaan kepada satu Tuhan lebih mendatangkan
kepuasan dan diterima oleh akal sehat.
Istilah
henoteisme ini pertama kali diciptakan oleh Friedrich Wilhelm Joseph von
Schelling (1775-1854)
untuk menggambarkan apa yang dia pikir sebagai tahap awal untuk monoteisme.
Jadi henoteisme merupakan cikal bakal dari monoteisme.
Kemudian kata henoteisme ini dibawa ke dalam penggunaan umum oleh ahli bahasa Max Müller (1823-1900)
untuk mengkarakterisasi keyakinan agama yang ditemukan dalam Veda dari Hindu.
Selanjutnya
antropolog Edward Burnett Tylor (1832-1917)
yang mengatakan bahwa kepercayaan ada yang dari monoteis ke politeis tapi ada
juga yang dari politeis ke monoteis. Kepercayaan dari onoteis menjadi polities
karena manusia mudah takjub, sehingga mereka enciptakan Tuhan-Tuhan yang
banyak. Jadi peralihan kepercayaan ini karena jiwa manusia tidak mampu
mempertahankan diri terhadap ke Esaan Tuhan, sedangkan peralihan kepercayaan
dari politeis ke monoteis dapat diketahui dari fenomena-fenomenanyang terjadi
pada zaman dulu. Jika dihubungkan dengan teori E.B Taylor diatas, henoteisme merupakan fase
alami dalam perkembangan pembangunan agama dimana budaya seharusnya berevolusi
dari politeisme, melalui henoteisme, ke puncak monoteisme sebagai
manifestasi tertinggi pemikiran keagamaan.
Mengenai
hubungannya dengan teori Plato tentang idea
of good, bahwa dari ide kebaikan ini henoteisme berevolusi
dari poleteisme, karena dari dewa-dewa yang banyak itu pasti ada yang lebih
unggul atau dianggap kebaikannya lebih mutlak yaitu sebagai dewa utama atau
dewa Nasional. Jika dalam kebaikan mutlaknya teori Plato adalah Tuhan, maka
dalam henoteisme kebaikan mutlaknya adalah Dewa Nasional.
Yang
menarik dari henoteisme adalah paham ini mencari kepuasan dan kemasuk akalan dari
paham politeisme dengan mencari Tuhan utama, Tuhan utama adalah Tuhan satu
yaitu Tuhan nasional untuk satu bangsa. Karena dengan kepercayaan kepada satu
Tuhan lebih mendatangkan kepuasan dan diterima oleh akal sehat.
Cara-cara
untuk mencari Tuhan ini terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an, sebagai mana yang
telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang mencari Tuhan yang Maha Esa. Manusia
memang perlu mencari Tuhannya yang tunggal untuk mencapai kebahagiaan.
3.
Penganut
Kepercayaan Henoteisme
Didunia
yang menganut Henoteisme adalah bangsa Yunani Kuno, Romawi dan umat agama
Yahudi. Namun yang paling menonjol dari
henoteisme ditemukan dalam budaya Yunani kuno dan Roma. Agama Yunani-Romawi dimulai sebagai
politeisme, tapi benar-benar menjadi henoteisme dari waktu ke waktu.
Penganut
paham henoteisme selain Yunani kuno dan Roma adalah umat Yahudi. Yahweh adalah
Tuhan agama Yahudi dan merupakan Tuhan nasionalnya tetapi tidak merupakan Tuhan
bagi sekalian alam. Sewaktu masyarakat Yahudi masih pada tahap animisme,
kemudian datang tuhan dari bukit Sinai yang bernama Yahweh. Yahweh ini dianggap
sebagai Tuhan nasional dan menghilangkan Tuhan-Tuhan yang lain.
Paham
teologi agama Yahudi menonjolkan Tuhan yang bersifat kebangsaan menimbulkan
rasa sombong dalam diri mereka. Mereka menganggap bangsa merekalah yang paling
hebat dan pintar daripada bangsa lain di dunia ini karena mereka keturunan
Tuhan yang hebat juga. Dengan teologi yang demikian mereka menganggap Tuhan
Yahweh adalah Tuhan yang selalu menang dalam peperangan melawan Tuhan-Tuhan
bangsa lain. Dalam Alquran bangsa Yahudi atau bangsa Israel adalah bangsa yang
selalu memprotes para Nabi. Namun, juga perlu diakui bahwa mayoritas Nabi
setelah Nabi Ibrahim dari keturunan bani Israel. Hal ini ada dua kemungkinan,
pertama karena bani Israel terlalu sombong dan nakal, sehingga perlu diberi
Nabi lebih banyak. Kedua, karena bani Israel disayang Tuhan, “ini sesuai dengan
pengakuan mereka”. Namun yang kedua nampaknya tidak cocok karena Tuhan selalu
menimpakan bencana kepada mereka berupa adzab. Dengan demikian tinggal pada
alasan pertama.[4]
4.
Analisis
a. Analisis
Historis
Dalam
Hinduisme, ide Tuhan yang personal berkembang perlahan-lahan. Pada permulaan
periode Vedis, ada politeisme yang mencolok. Kendati demikian tampak gejala henoteisme
dengan jelas. Karena sering dilakukan permohonan kepada dewa-dewa individual
yang dianggap sebagai yang tertinggi dan yang paling kuasa. Max Muler
mendefinisikan henoteisme sebagai kepercayaan akan dewa-dewa individual satu
sesudah yang lain yang dianggap sebagai yang tertinggi, dewa yang disembah pada
saat itu diperlakukan sebagai dewa yang tertinggi. Bagaimanapun keshahihan
teori henoteisme yang diterapkan pada agama vedis, studi kritis dapat
memberikan argument, dan memang telah dilakukannya, bahwa menyembah satu dewa
pada suatu saat sebagai yang tertinggi mungkin merupakan bentuk pujian yang
dilebih-lebihkan, yang dibaktikan oleh orang-orang Arya pertama pada dewa
pilihan mereka. Praktek ini membimbing orang vedis pada suatu identifikasi satu
dewa dengan dewa yang lain, bahkan dengan semuanya.[5]
b. Analisis
fenomenal
Manusia
zaman dulu ingin mencari dari Tuhan yang banyak menjadi Tuhan yang utama. Oleh
sebab itu, henoteisme ini merupakan peralihan dari politeisme ke monoteisme.
Fenomena henoteisme ini bisa dilihat dalam perkembangan kepercayaan Yunani
Kuno, yang mana pada mulanya dewa Yunani Kuno berjumlah dua belas, namun
seiring berjalannya waktu karena masyarakat Yunani Kuno ini ingin mencari dewa
utama dari kedua belas dewanya dan dari dewa-dewa meningkat meningkat menjadi
yang utama, maka dianggaplah Zeus sebagai Dewa utama, Yupiter dalam agama
Romawi dan Ammon dalam agama Mesir kuno.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Henoteisme
adalah kepercayaan yang menerima pernyataan adanya Tuhan banyak tetapi hanya
menyembah satu Tuhan. Kepercayaan ini muncul sebagai bentuk perkembangan dari
politeisme. Penganut paham henoteisme adalah umat Yahudi. Yahweh adalah Tuhan
agama Yahudi dan merupakan Tuhan nasionalnya tetapi tidak merupakan Tuhan bagi sekalian
alam. Henoteisme juga berarti mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan
bangsa-bangsa lain mempunyai tuhan sendiri-sendiri. Tuhan-Tuhan bangsa lain
tetap diakui tetapi tidak lagi sederajat dengan Tuhan tertinggi. Dapat
disimpulkan bahwa perbedaan antara henoteisme dan monoteisme adalah bahwa dalam
agama akhir ini Tuhan tidak lagi merupakan “Tuhan Nasional” tetapi “Tuhan
Internasional”, Tuhan semua bangsa di dunia ini bahkan Tuhan alam semesta.
Henoeisme merupakan peralihan dari politeisme, karena penganut politeisme
merasa tidak puas terhadap politeisme sehingga mereka mencari keyakinan lain
yang lebih masuk akal, yakni henoteisme.
B. Saran
Sebagai
umat islam kita wajib mempercayai dan menyembah Tuhan yang satu yaitu Allah
swt. meskipun di luar sana ada anggapan Tuhan yang banyak. Allah adalah
satu-satunya Tuhan yang melingkupi sekalian alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama. Jakarta: Rajawali Pers.
Manaf, Mudjahid Abdul. 1994. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
TIM Penulis Rosda, 1995. Kamus Filsafat, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
[1]TIM Penulis Rosda, Kamus Filsafat (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1995), 133
[2]Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi
(Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1996), 88-89
[3]Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994),13-14
[4]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), 72-73
[5]Mariasusai dhavamony, Fenomenologi Agama (Jakarta: Rajawali
Pers, 1995), 124-125.