ABU THALIB AL MAKKI DAN
TASAWUF
Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tasawuf”
Oleh:
FIFTA PRAHARI PINILIH
E01211013
Dosen Pengampu:
Abd.
Kadir Riyadi
197008132005011003
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tasawuf dalam tahapnya yang paling awal mengambil
bentuknya sebagai amal yang menjadi dasar dari tumbuh berkembangnya pada masa
selanjutnya. Amal sebagai wujud nyata dari syari’at Islam merupakan
prinsip-prinsip dasar tasawuf yang sudah ada bahkan semenjak masa Nabi.
Benih-benih ini selnjutnya dikembangkan dengan kecenderungan masing-masing dan
titik tekan yang berbeda.
Pada masa selanjutnya, tasawuf berkembang dan menjadi
sebuah disiplin keilmuan dengan coraknya sendiri. Bahkan setelah masuknya
filsafat, perkembangannya semakin tak terbendung. Tokoh-tokoh sufi banyak
bermunculan baik yang teoritis maupun yang lebih menekankan pada praktek, dari
yang paling ekstrim dalam mengungkap kondisi spiritualnya sampai yang paling
moderat. Berbagai doktrin dan apa yang dicontohkan Nabi dengan segala
kompeksitasnya diinterpretasi sedemikian rupa.
Sebagai sebuah disiplin keilmuan, tasawuf tidak bisa
lepas dari teks yang terkait dengan teori atau konsep juga konteks yang melatar
belakangi dan merupakan wujud nyata dari teks (praktik). Dan dalam
perkembangannya, secara garis besar tasawuf tampak sebagai amal (tasawuf
praktis) dan sebagai ilmu yang lebih teoritis meskipun tidak berarti
mengesampingkan amal. Selain itu, masih ada tasawuf yang lebih filosofis
sebagai hasil perkawinannya dengan filsafat.
Terkait dengan berbagai warna di atas, di sini sangat
erat hubungannya dengan berbagai kontroversi yang ada antara tasawuf dan
beberapa disiplin keilmuan lain yang menggugat keberadaannya. Dan tasawuf amali
sebagai wujud awal kelahirannya kembali diangkat dengan lebih sistematis
sebagai langkah solutif dalam menyikapi kontroversi fikih terhadap tasawuf.
Dalam tasawuf amali ini, Abu Thalib al-Makki sebagai
pengarang kitab Qutu al Qulub yang digandrungi Al Ghazali sebagai acuan
kitab monumentalnya Ihya Ulumuddin banyak memberikan sumbangsihnya dan
pengaruh besar bagi para sufi setelahnya. Sehingga perlu kiranya mengungkap
kembali apa yang telah dirintisnya pada perkembangan tasawuf.
A. Rumusan Masalah
1.
Siapakah Abu Thalib al Makki ?
2.
Bagaimana dotrin
Tasawuf Amali dan Nadzari?
3.
Tasawuf Amali apa saja yang
dikembangkan Abu Thalib al Makki?
B.
Tujuan
Dari penjelasan yang singkat ini, penulis berharap pembaca mengerti sedikit
banyak tentang apa-apa yang berhubungan dengan tasawuf secara umum, khususnya
terkait dengan beberapa hal di atas dari biografi sampai konsep tasawuf Abu
Thalib al Makki.
BAB II
TASAWUF
AMALI ABU THALIB AL MAKKI
A.
Biografi Abu Thalib al Makki
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki
al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan
kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana
sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan
makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku
dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M.[1]
Dia tumbuh besar di Makkah sekitar abad
ke-10, sebagian yang lain mengatakan dia dilahirkan di Jabal yaitu daerah
antara Baghdad dan Wasith. Kehidupan dan pendidikan yang dijalani oleh Abu
Thalib al-Makki tidaklah banyak disebutkan di dalam sejarahnya para tokoh Sufi.
Abu Thalib merupakan tokoh sufi yang sangat tekun dalam
mengkaji ilmu agama. Penguasaannya dalam bidang agama sudah tidak diragukan
lagi. Dalam menimba ilmu beliau banyak berguru kepada orang-orang alim.
Seperti; Syekh Ali bin Ahmad bin al-Mashri, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad
al-jarajarini al-Mufid dan kepada Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Ibnu Ahmad bin
Salim al-Shaghir, di mana beliau memperdalam ilmu tasawufnya.
Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang
didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah
belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan
umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin
Abdullah al-Tistari.
Sebagai seorang Sufi, Abu Thalib memiliki dasar-dasar
pemikiran yang telah dikembangkannya. Pemikiranya banyak tertulis dalam karya
monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq
al-muriid ila maqaam al-tauhiid yang banyak dibaca secara luas dan
dianjurkan selama beberapa abad. Kitab ini menjadi rujukan para sufi, bahkan al
Ghazali sebelum menulis Ihya Ulumuddin. Dan sebagai sufi yang
mengembangkan tasawuf amali, Abu Thalib memiliki jasa besar dalam dunia Thariqah.
B.
Tasawuf Amali dan Nadzari
Definisi
tasawuf secara umum adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan
kesempurnaan kerohanian. Tujuan tasawuf adalah membimbing manusia untuk
mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, ma’rifat, denga cara atau proses
tarekat. Dahulu para sufi melihat tasawuf itu dengan lahir yang dilihat dengan
panca indra, tetapi lama kelamaan pengelihatan dengan panca indra beralih pada pengelihatan secara rohani, yang
mana dunia itu tidak bisa diraba namun bisa dirasakan dengan perasaan yang
halus. Seorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah roh dan jiwanya
menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya daripada keindahaan lahir, yang mana
keindahan itu bisa di raba dengan pancaindra.
Pada umumnya terdapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa
model pemikiran dalam tasawuf secara garis besar terbagi pada dua kategori.[2]
Pertama, pemikiran kelompok Sufi yang lebih menekankan pada aspek praktis,
yang lebih cenderung pada dimensi penyucian jiwa (tazkiyyah an-nafs).
Hal ini bukan berarti mereka sama sekali tidak mementingkan aspek pengetahuan. Kedua,
pemikiran kelompok sufi yang lebih condong pada aspek metafisika, yang begitu
banyak didominasi oleh wacana kesatuan eksistensial (tauhid wujudi).
Atau dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa hasil dari kajian yang dilakukan para
peneliti tentang pemikiran tasawuf terbagi pada dua kategori; tasawuf praktis ('irfan
‘amali) dan tasawuf teoritis ('irfan nazhari), atau ada juga
ahli yang membaginya menjadi tasawuf akhlaqi atau sunni
dan tasawuf falsafi.[3]
Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri
kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus
mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama. Ketaatan pada
ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun batin yang
disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap
demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan
lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai
inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan
mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan
Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu
dengan yang diketahuinya itu.
Dari beberapa model
tasawuf di atas, kesemuanya sama-sama ingin menyucikan jiwa dan mendekatkan
diri kepada Allah sebagai tujuan tasawuf. Hanya saja cara yang digunakan
berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing dengan tetap dalam satu koridor.
C. Tasawuf Amali Abu
Thalib al Makki
Sebagaimana para sufi amali lainnya, Abu Thalib al
Makki dalam tasawufnya juga menekankan pada aspek amaliyah. Tasawuf amali yang
oleh beberapa kalangan disebut juga sebagai tasawuf syar’i, memaksimalkan
perintah syari’at sebagaimana digariskan Syari’
(Allah) lewat Nabi Muhammad. Karena kedekatan pada Allah dan cinta-Nya
hanya dapat diupayakan dengan pengamalan syari’at itu sendiri dengan
sesungguhnya. Syari’at tidak dijadikan sekedar dijadikan hal instrumental
belaka, tetapi diikuti dengan kemantapan hati. Shalat, puasa, haji, zakat dan
lainnya yang dibarengi dengan keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam
melaksanakan, tidak sekedar menunaikan kewajiban atau sekedar symbol keislaman.
Begitu pula dalam hal keyakinan. Tasawuf yang
berangkat dari tauhid, harus benar-benar mentauhidkan Tuhan baik dalam ucapan,
hati dan tindakan. Ketika seseorang bersaksi akan Allah sebagai Tuhan dan
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, maka dia harus siap dengan
konsekuensi-konsekuensi logis keimanan dan keislamannya.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat
ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Tanpanya, dia tidak berarti apa-apa.
Dan untuk mencapai dasar-dasar tersebut, maka seseorang harus melalui tujuh
tahap sebagai berikut:
1.
Kehendak yang benar dan konsekuen
2.
Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat
3.
Memiliki
pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri
4.
Selalu makrifat
dan dzikir
5.
Banyak tobat
nasuha
6.
Makan makanan
halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’
7.
Selalu bergaul
dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.[4]
Selanjutnya
Abu Thalib al Makki menuliskan bahwa dalam penguatan tasawufnya ada empat
penyangga untuk memprkuat kehidupan para sufi yaitu: pertama, membiasakan diri
dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada
tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena
dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan
dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan
itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak
berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.
Melihat
berbagai konsep dan ajaran Abu Thalib al Makki di atas, jika dibandingkan
dengan tokoh-tokoh lain tasawuf amali atau syar’i berupa maqam-maqam atau
tingkatan jalan sufistik seseorang meliputi:
a.
Taubah: pembersihan diri dari dosa
b.
Zuhd:
sederhana dalam hal duniawi
c.
Sabr:
pengendalian diri
d.
Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah
e.
Ridha: menerima qada dan qadar dengan rela
f.
Mahabah: cinta kepada Allah
g.
Ma'rifah: mengenal keesaan Tuhan
Dalam tasawufnya yang menekankan
pada amal, Abu Thalib banyak menekankan pada hakekat amal yang tampak di mata
sebagai manifestasi dari Iman yang
tersimpan di dada. Dalam buku Tafsir Sufistik Rukun Islam yang
diterjemahkan dari Quthu al Qulub karya Abu Thalib, Dia menuliskan bahwa
perumpamaan iman dan amal itu tak ubahnya seperti hati dan tubuh, keduanya
tidak terpisah. Tubuh tanpa hati tidak bisa hidup, begitu pula sebaliknya. Di
sini dia mau menunjukkan hubungan iman yang ada di hati dan Islam yang tampak
dalam berbagai ibadah. Hal ini merupakan penolakan terhadap mereka yang
mengatakan Islam dan iman yang tak sejalan sekaligus menunjukkan bahwa tasawuf
dan fiqih itu sejalan.[5]
Hal ini jauh berbeda dengan para sufi falsafi dan mereka yang lebih melihat
tasawuf sebagai kesatuan eksistensial dengan Tuhan.
BABIII
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki
al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan
kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana
sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan
makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku
dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M. Ajaran tasawuf
yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru
kepada Abu al-Hasan di Iraq.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat
ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Dan dasar-dasar itu ditempuh dalam
tujuh tahap yaitu: Kehendak yang benar dan konsekuen, Membina hidup takwa dan
menolak keburukan atau maksiat, Memiliki pengetahuan
keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri, Selalu makrifat dan dzikir, Banyak
tobat nasuha(tobat yang tidak akan mengulanginya lagi), Makan makanan halal dan
tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’, Selalu bergaul dengan orang yang
shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.
Dan
ada empat penyannga yang memperkuat kehidupan para sufi yang dalam menjalankan
tujuh tahap diatas yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar,
karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat
hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa
mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga,
banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan
diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan
berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Aboe
Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani,
Solo).
Kautzar
Azhari Noer, Tasawuf Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van
Hoeve, 2002)
Kautzar
Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta,
2003)
http://books.google.co.id/books?id=jYeK_YpdUloC&pg=RA2-PA1-IA2&lpg=RA2-PA1-IA2&dq=tasawuf+abu+thalib+al-makki#v=onepage&q=tasawuf%20abu%20thalib%20al-makki&f=false
[1]Aboe Bakar Atjeh, Pengantar
Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani, Solo), 273.
[2]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf
Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam;
Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 157.
[3]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf
Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta, 2003), 188-189.
[5]Abu Thalib al Makki, Qut al
Qulub (Pasal 33).Terj. Khoiron Durori, Tafsir Sufistik Rukun Islam:
Menghayati Makna-Makna Batiniah Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji.
(2005. PT. Mizan Pustaka: Bandung),
245-247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar