Selasa, 29 Oktober 2013

Tasawuf Abu Thalib al Makki



ABU THALIB AL MAKKI DAN TASAWUF

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tasawuf”



 







Oleh:
FIFTA PRAHARI PINILIH
E01211013


Dosen Pengampu:
Abd. Kadir Riyadi
197008132005011003


JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2013



BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang
Tasawuf dalam tahapnya yang paling awal mengambil bentuknya sebagai amal yang menjadi dasar dari tumbuh berkembangnya pada masa selanjutnya. Amal sebagai wujud nyata dari syari’at Islam merupakan prinsip-prinsip dasar tasawuf yang sudah ada bahkan semenjak masa Nabi. Benih-benih ini selnjutnya dikembangkan dengan kecenderungan masing-masing dan titik tekan yang berbeda.
Pada masa selanjutnya, tasawuf berkembang dan menjadi sebuah disiplin keilmuan dengan coraknya sendiri. Bahkan setelah masuknya filsafat, perkembangannya semakin tak terbendung. Tokoh-tokoh sufi banyak bermunculan baik yang teoritis maupun yang lebih menekankan pada praktek, dari yang paling ekstrim dalam mengungkap kondisi spiritualnya sampai yang paling moderat. Berbagai doktrin dan apa yang dicontohkan Nabi dengan segala kompeksitasnya diinterpretasi sedemikian rupa.
Sebagai sebuah disiplin keilmuan, tasawuf tidak bisa lepas dari teks yang terkait dengan teori atau konsep juga konteks yang melatar belakangi dan merupakan wujud nyata dari teks (praktik). Dan dalam perkembangannya, secara garis besar tasawuf tampak sebagai amal (tasawuf praktis) dan sebagai ilmu yang lebih teoritis meskipun tidak berarti mengesampingkan amal. Selain itu, masih ada tasawuf yang lebih filosofis sebagai hasil perkawinannya dengan filsafat.
Terkait dengan berbagai warna di atas, di sini sangat erat hubungannya dengan berbagai kontroversi yang ada antara tasawuf dan beberapa disiplin keilmuan lain yang menggugat keberadaannya. Dan tasawuf amali sebagai wujud awal kelahirannya kembali diangkat dengan lebih sistematis sebagai langkah solutif dalam menyikapi kontroversi fikih terhadap tasawuf.
Dalam tasawuf amali ini, Abu Thalib al-Makki sebagai pengarang kitab Qutu al Qulub yang digandrungi Al Ghazali sebagai acuan kitab monumentalnya Ihya Ulumuddin banyak memberikan sumbangsihnya dan pengaruh besar bagi para sufi setelahnya. Sehingga perlu kiranya mengungkap kembali apa yang telah dirintisnya pada perkembangan tasawuf.
A.    Rumusan Masalah
1.      Siapakah Abu Thalib al Makki ?
2.      Bagaimana dotrin Tasawuf Amali dan Nadzari?
3.      Tasawuf Amali apa saja yang dikembangkan Abu Thalib al Makki?

B.     Tujuan
Dari penjelasan yang singkat ini, penulis berharap pembaca mengerti sedikit banyak tentang apa-apa yang berhubungan dengan tasawuf secara umum, khususnya terkait dengan beberapa hal di atas dari biografi sampai konsep tasawuf Abu Thalib al Makki.



BAB II
TASAWUF AMALI ABU THALIB AL MAKKI


A.    Biografi Abu Thalib al Makki
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M.[1] Dia tumbuh  besar di Makkah sekitar abad ke-10, sebagian yang lain mengatakan dia dilahirkan di Jabal yaitu daerah antara Baghdad dan Wasith. Kehidupan dan pendidikan yang dijalani oleh Abu Thalib al-Makki tidaklah banyak disebutkan di dalam sejarahnya para tokoh Sufi.
Abu Thalib merupakan tokoh sufi yang sangat tekun dalam mengkaji ilmu agama. Penguasaannya dalam bidang agama sudah tidak diragukan lagi. Dalam menimba ilmu beliau banyak berguru kepada orang-orang alim. Seperti; Syekh Ali bin Ahmad bin al-Mashri, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-jarajarini al-Mufid dan kepada Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Ibnu Ahmad bin Salim al-Shaghir, di mana beliau memperdalam ilmu tasawufnya.
Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin Abdullah al-Tistari.
Sebagai seorang Sufi, Abu Thalib memiliki dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkannya. Pemikiranya banyak tertulis dalam karya monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq al-muriid ila maqaam al-tauhiid yang banyak dibaca secara luas dan dianjurkan selama beberapa abad. Kitab ini menjadi rujukan para sufi, bahkan al Ghazali sebelum menulis Ihya Ulumuddin. Dan sebagai sufi yang mengembangkan tasawuf amali, Abu Thalib memiliki jasa besar dalam dunia Thariqah.

B.     Tasawuf Amali dan Nadzari
Definisi tasawuf secara umum adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan kerohanian. Tujuan tasawuf adalah membimbing manusia untuk mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, ma’rifat, denga cara atau proses tarekat. Dahulu para sufi melihat tasawuf itu dengan lahir yang dilihat dengan panca indra, tetapi lama kelamaan pengelihatan dengan panca indra  beralih pada pengelihatan secara rohani, yang mana dunia itu tidak bisa diraba namun bisa dirasakan dengan perasaan yang halus. Seorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya  daripada keindahaan lahir, yang mana keindahan itu bisa di raba dengan pancaindra. 
Pada umumnya terdapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa model pemikiran dalam tasawuf secara garis besar terbagi pada dua kategori.[2] Pertama, pemikiran kelompok Sufi yang lebih menekankan pada aspek praktis, yang lebih cenderung pada dimensi penyucian jiwa (tazkiyyah an-nafs). Hal ini bukan berarti mereka sama sekali tidak mementingkan aspek pengetahuan. Kedua, pemikiran kelompok sufi yang lebih condong pada aspek metafisika, yang begitu banyak didominasi oleh wacana kesatuan eksistensial (tauhid wujudi). Atau dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa hasil dari kajian yang dilakukan para peneliti tentang pemikiran tasawuf terbagi pada dua kategori; tasawuf praktis ('irfan ‘amali) dan tasawuf teoritis  ('irfan nazhari), atau ada juga ahli yang membaginya menjadi tasawuf akhlaqi atau sunni dan tasawuf falsafi.[3]
Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Dari beberapa model tasawuf di atas, kesemuanya sama-sama ingin menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan tasawuf. Hanya saja cara yang digunakan berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing dengan tetap dalam satu koridor.

C.    Tasawuf Amali Abu Thalib al Makki
Sebagaimana para sufi amali lainnya, Abu Thalib al Makki dalam tasawufnya juga menekankan pada aspek amaliyah. Tasawuf amali yang oleh beberapa kalangan disebut juga sebagai tasawuf syar’i, memaksimalkan perintah syari’at sebagaimana digariskan Syari’ (Allah) lewat Nabi Muhammad. Karena kedekatan pada Allah dan cinta-Nya hanya dapat diupayakan dengan pengamalan syari’at itu sendiri dengan sesungguhnya. Syari’at tidak dijadikan sekedar dijadikan hal instrumental belaka, tetapi diikuti dengan kemantapan hati. Shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya yang dibarengi dengan keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam melaksanakan, tidak sekedar menunaikan kewajiban atau sekedar symbol keislaman.
Begitu pula dalam hal keyakinan. Tasawuf yang berangkat dari tauhid, harus benar-benar mentauhidkan Tuhan baik dalam ucapan, hati dan tindakan. Ketika seseorang bersaksi akan Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, maka dia harus siap dengan konsekuensi-konsekuensi logis keimanan dan keislamannya.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Tanpanya, dia tidak berarti apa-apa. Dan untuk mencapai dasar-dasar tersebut, maka seseorang harus melalui tujuh tahap sebagai berikut:
1.        Kehendak yang benar dan konsekuen
2.        Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat
3.        Memiliki pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri
4.        Selalu makrifat dan dzikir
5.        Banyak tobat nasuha
6.        Makan makanan halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’
7.        Selalu bergaul dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.[4]
Selanjutnya Abu Thalib al Makki menuliskan bahwa dalam penguatan tasawufnya ada empat penyangga untuk memprkuat kehidupan para sufi yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.
Melihat berbagai konsep dan ajaran Abu Thalib al Makki di atas, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain tasawuf amali atau syar’i berupa maqam-maqam atau tingkatan jalan sufistik seseorang meliputi:
a.         Taubah: pembersihan diri dari dosa
b.        Zuhd: sederhana dalam hal duniawi
c.         Sabr: pengendalian diri
d.        Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah
e.         Ridha: menerima qada dan qadar dengan rela
f.         Mahabah: cinta kepada Allah
g.         Ma'rifah: mengenal keesaan Tuhan
           Dalam tasawufnya yang menekankan pada amal, Abu Thalib banyak menekankan pada hakekat amal yang tampak di mata sebagai manifestasi dari Iman  yang tersimpan di dada. Dalam buku Tafsir Sufistik Rukun Islam yang diterjemahkan dari Quthu al Qulub karya Abu Thalib, Dia menuliskan bahwa perumpamaan iman dan amal itu tak ubahnya seperti hati dan tubuh, keduanya tidak terpisah. Tubuh tanpa hati tidak bisa hidup, begitu pula sebaliknya. Di sini dia mau menunjukkan hubungan iman yang ada di hati dan Islam yang tampak dalam berbagai ibadah. Hal ini merupakan penolakan terhadap mereka yang mengatakan Islam dan iman yang tak sejalan sekaligus menunjukkan bahwa tasawuf dan fiqih itu sejalan.[5] Hal ini jauh berbeda dengan para sufi falsafi dan mereka yang lebih melihat tasawuf sebagai kesatuan eksistensial dengan Tuhan.



BABIII
PENUTUP
1.            Kesimpulan
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M. Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Dan dasar-dasar itu ditempuh dalam tujuh tahap yaitu: Kehendak yang benar dan konsekuen, Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat, Memiliki pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri, Selalu makrifat dan dzikir, Banyak tobat nasuha(tobat yang tidak akan mengulanginya lagi), Makan makanan halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’, Selalu bergaul dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.
Dan ada empat penyannga yang memperkuat kehidupan para sufi yang dalam menjalankan tujuh tahap diatas yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.


DAFTAR PUSTAKA


Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani, Solo).
Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta, 2003)
http://books.google.co.id/books?id=jYeK_YpdUloC&pg=RA2-PA1-IA2&lpg=RA2-PA1-IA2&dq=tasawuf+abu+thalib+al-makki#v=onepage&q=tasawuf%20abu%20thalib%20al-makki&f=false






[1]Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani, Solo), 273.
[2]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 157.
[3]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta, 2003), 188-189.
[5]Abu Thalib al Makki, Qut al Qulub (Pasal 33).Terj. Khoiron Durori, Tafsir Sufistik Rukun Islam: Menghayati Makna-Makna Batiniah Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. (2005. PT. Mizan Pustaka: Bandung),  245-247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar