By : Ts@_Ny
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dekadensi
moral bukanlah wacana baru, khususnya di Indonesia yang masih dalam tahap perkembangan.
Dari dahulu hingga sekarang, masalah moral memenuhi media massa. Di koran, televisi
dan media-media lain tak pernah lepas darinya dalam kesehariannya. Dari
kalangan bawah hingga para pembesar Negara semua terjangkit masalah moral.
Pembunuhan, pemerkosaan, penyelewengan, korupsi dan lain-lain tidak pernah
selesai bahkan bisa dikatakan malah meningkat.
Melihat
berbagai fenomena di atas, kami merasa sangsi dengan Bangsa ini. Sejak
kemerdekaannya entah apa yang dikerjakan, dari segi pembangunan fisik
biasa-biasa saja apa lagi masuk dalam pembangunan non-fisik. Berbagai hal ini
mengusik kami akhir-akhir ini dan menjadi inspirasi dalam penulisan makalah
dengan menelusuri kembali masalah moral bangsa. Siapakah gerangan yang
bertanggung jawab? Di manakah peran
agama, lembaga pendidikan dan lainnya dalam perbaikan moral?
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini,
kami akan membahas berbagai hal terkait:
1.
Bagaimana potret Indosnesia sekarang?
2.
Apa saja penyebab terjadinya dekadensi moral bangsa ini?
3.
Dimanakah kedudukan pancasila?.
4.
Apa saja yang dapat dilakukan dalam perbaikan moral anak bangsa?
C.
Tujuan
Setelah
membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang:
1.
Potret Indonesia masa kini.
2.
Faktor-faktor penyebab terjadinya dekadensi moral.
3.
Kedudukan pancasila sebagai landasan moral.
4.
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam perbaikan moral bangsa.
BAB II
INDONESIA DAN DEKADENSI
MORAL
A.
Potret
Indonesia Masa Kini
Akhir-akhir ini banyak
ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus
tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai
pada para pembesar di Indonesia. Banyak kalangan terjerat masalah moral.
Korupsi, prostitusi, judi dan
tindakan kriminal kerap terjadi. Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling membantah, menutup-
menutupi dan hukum yang
diperjual belikan. Tak ada lagi
kebenaran dan kebaikan, yang berjaya adalah uang. Bahkan Prof. Dr. M.T. Zen, Guru Besar
Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar tentang bangsa ini “Tak
ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak dirinya sendiri selain bangsa
Indonesia”.[1]
Kasus yang menimpa para politisi bangsa ini semakin
memperjelas betapa bobroknya moral para pemimpin bangsa ini. Pada Desember 2006 lalu, Yahya Zaini terlibat kasus video
mesum dengan penyanyi Maria Eva. Kemudian tahun 2008 muncul kasus Max Moein
yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap sekretaris pribadinya, Desy
Firdiyanti. Selang beberapa
tahun kemudian Arifinto tertangkap basah sedang membuka situs porno saat sidang
paripurna berlangsung. Baru-baru ini, Indonesia kembali digemparkan oleh kasus video mesum yang
pemainnya mirip anggota DPR Komisi IX.
Selain
itu, kemarin-kemarin kita pernah digemparkan dengan video mesum yang dilakoni
Aril, Luna Maya dan Cut Tari. Hal ini masih sekitar mereka-mereka yang punya
nama di negeri ini dan ditemukan. Lain dari itu, jauh lebih banyak lagi. Dan
fenomena kekerasan yang berbau SARA juga ikut meramaikan media massa. Semua
menjadi ancaman bagi keutuhan Indonesia dan kelestarian budaya juga lainnya.
Semuanya tidak bisa dibiarkan begitu saja, kecuali kita akan menjadi penghianat
dan berdosa kepada para pejuang bangsa ini.
Ketika
melihat berbagai fenomena di atas, sempat terbersit dalam benak bagaimana nasib
kalangan bawah jika para pemimpinnya saja tidak becus dan tidak memberikan
contoh yang tepat. Beberapa hal di atas masih sebatas menyangkut pornografi juga
pornoaksi, lain lagi korupsi yang menjerat para politisi, prostitusi dan tindak
kriminal yang terus bertambah dan lainnya.
Indonesia
yang sebelumnya dikenal sebagai Negara agamis dan warga negaranya yang religius
dengan mayoritas beragama Islam, bahkan terbesar sedunia menjadi tercoreng oleh
perilaku warga negaranya yang amoral. Di manakah letak kesalahan? Apakah konsep-konsep agama atau para pemeluknya
yang jauh dari ketaatan? Hal ini menjadi auto-kritik bagi bangsa ini yang
dikenal religius.
Pada
tahun 2011, dekadensi moral yang menggerogoti karakter bangsa Indonesia,
khususnya karakter religius dan ideologi Negara ditanggapi DIKNAS dengan diharuskannya
penyisipan 18 nilai-nilai dalam proses pengembangan pendidikan budaya dan
karakter bangsa. 18 nilai-nilai tersebut adalah nilai religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, penuh rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, mengahargai prestasi,
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan social juga
tanggung jawab.[2]
B.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dekadensi Moral
Banyak
hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini. Modernitas selain
membawa efek positif, juga banyak negatifnya ketika disalah gunakan. Khususnya
bagi mereka yang salah paham tentang modernitas dengan memasukkan westernisasi
sebagai bagian darinya. Akibatnya, budaya kebarat-baratan pun banyak dijumpai
dan mengikis kebudayaan khas negeri ini.
Media
massa, baik berupa surat kabar atau elektronik memiliki peran besar dalam
pertukaran budaya dengan pengaruh yang sangat kuat. Karena manusia secara kodrati
memang menyukai hal-hal yang baru. Sehingga apa saja yang masuk ke dalam
benaknya mudah saja mempengaruhinya tanpa dikritisi. Di sini mereka sudah
kehilangan jati dirinya dan lebih cenderung meng-imitasi idolanya.
Kemudahan
akses internet dengan berbagai jejaring sosial yang tersedia juga berada dalam
garda depan yang menjadi penyebab kemerosotan moral. Tak jarang ditemukan para
pelajar yang menyia-nyiakan waktunya di depan komputer dengan membuka
situs-situs yang tidak bermanfat. Game online, facebookan, tweeteran dan
lain-lain menjadi kebiasaan anak bangsa. Dan tak jarang ditemukan mereka yang
hilang rasa optimisnya dengan melakukan plagiat dari tulisan-tulisan di
internet dalam pengerjaan tugas.
Melihat
berbagai fenomena di atas, di sini pendidikan usia dini sebagai dasar
pendidikan anak bangsa perlu dipertanyakan. Apa sebenarnya yang telah ditanamkan
kepada mereka sejak kecil? Atau
jangan-jangan sebenarnya beberapa hal di atas memang ditanam sejak kecil? Karena tak jarang kita temukan mereka-mereka
yang memanjakan anaknya dan melakukan belas kasih yang salah dan menjerumuskan.
Berbagai
fenomena ini tak lepas dari pengaruh globalisasi dan modernisasi yang disalah
artikan dengan westernisasi yang tidak diimbangi dengan pembentengan diri.
Sehingga mereka bukannya mengambil manfaat, tetapi justru merusak diri sendiri
secara perlahan-lahan. Tak ada lagi pegangan kecuali ikut arus ke arah
perubahan yang destruktif. Jati diri digadaikan dengan dalih gengsi-gengsi yang
dilancarkan dalam penjajahan yang kasat mata.
Sebenarnya kalau ditelusuri lagi, maraknya
pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah moralitas ini,
disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu. Agama
hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga kalau
dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran
agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu tanda
penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang harus
ditanggungnya. Sehingga pantas, jika berbagai persoalan seputar moralitas ini
kemudian terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, karena ajaran-ajaran agama
telah diabaikan dan diselewengkan. Dan ini sangat terkait dengan pendidikan dan
pembekalan diri anak bangsa yang prosesnya begitu panjang.
C.
Pancasila sebagai Landasan Moral
Indonesia adalah
negara yang berasaskan pancasila. Di sini seluruh kebijakan atau apapun yang
dilaksanakan oleh negara tidak boleh betentangan dengan pancasila, baik dalam
hal politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Demokrasi pancasila,
ekonomi kekeluargaan atau koperasi dalam kesejahteraan harus benar-benar
dilaksanakan. Sedangkan monarki liberalisme dan monopoli dalam ekonomi harus
dihindari.
Pancaasila sebagai ideologi Negara dan
landasan moral Negara, pola pelaksanaannya dipancarkan dalam empat poko pikiran
yaitu, sebagai fundamen moral Negara yang dipancarkan dari sila pertama dan kedua, dan sebagai
fundamen politik Negara yang dipancarkan dari sila ketiga, keempat dan kelima.
Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijelmakan dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai strategi pelaksanaanya.[3]
Pancasila sebagai landasan moral
mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Nilai-nilai
pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya realisasi,
pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi dan landasan
moral. Manusia-manusia pancasilais sebagai bentuk kongkret dari pancasila lah
yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Pancasila
merupakan cerminan kehidupan manusia yang harmonis. Oleh karena itu isi
ajaran pancasila harus dibudayakan. Dalam membudayakannya, pertama harus
dilakukan penghayatan tentang inti dari ajaran pancasila yang murni dan terlepas dari pengaruh pandangan golongan
apapun.[4]
Istilah Ketuhanan
dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan
dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa keyakinan,
pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan tanpa
diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah pengingkaran.
Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan perbuatan, maka hal
ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep di atas melahirkan
istilah Iman yang merupakan inti dari
sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Di sini bangsa Indonesia sudah memiliki
potensi yang dapat dikembangkan dalam pembangunan karakter dan merekonstruksi
moral bangsa yaitu pancasila. Tinggal bagaimana nantinya anak-anak Indonesia
mengaktualisasikan potensi tersebut dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Bagaimana nantinya pancasila menjadi ruh warga negara dalam segala tindakannya,
bukan sekedar catatan nilai atau ideologi dan landasan moral yang
digembar-gemborkan tanpa arti, tanpa realisasi.
D.
Upaya Pembentukan Moral Bangsa
Karakter yang baik
merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang ditandai dengan
sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati, bukan dengan
otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun adalah
hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang
membuat pembangunan karakter atau pembentukan moral bukanlah hal yang
simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau
mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan.
Di atas sudah disebutkan
kalau Indonesia memiliki potensi yaitu pancasila dalam pembangunan karakter
bangsa. Di sini dibutuhkan penghayatan agar pancasila bisa menjadi ruh dalam
tiap tindakan. Penghayatan yang akan melahirkan kesadaran dalam
mengaplikasikannya tanpa paksaan. Sehingga pancasila menjadi benteng yang kokoh
dan siap mengkritisi semua apa yang terjadi, menyikapi semua hal-hal baru agar
tidak mudak terjerumus di dalamnya.
Dalam proses
pembangunan moral ini, ada beberapa agen sosialisasi yang sangat berperan di dalamnya,
yaitu: Pertama, keluarga.
Merupakan peletak
pertama dalam penanaman moral anggota keluarganya. Mereka adalah orang pertama
yang akan dicerminkan anak-anaknya dalam ranah sosial. Kuat tidaknya penanaman
moral mereka akan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Karena apa yang
mereka tanamkan merupakan benteng awal dan lebih mudah menjadi darah daging
anggotanya. Kedua, lingkungan sosial. Memiliki peran yang sangat besar setelah keluarga. Mereka meliputi teman
bermain, masyarakat sekitar dan semua yang berinteraksi dengannya. Baik
tidaknya lingkungan seseorang akan mempengaruhi seseorang. Kecuali dasa-dasar
yang ditanamkan keluarganya sudah begitu kuat, sehingga bisa menjadi ikan yang
tidak ikut asin di tengah-tengah asinnya air laut. Ketiga,
lembaga pendidikan. Khususnya pendidikan usia dini, memiliki peran yang besar
dalam pembentukan karakter seseorang. Keempat,
media massa. Menjadi bagian yang sangat
berperan dalam penyebaran informasi dan pertukaran budaya yang banyak
mempengaruhi masyarakat, khususnya modern. Secara tidak langsung sebenarnya
media menjadi pendidik para penggunanya dengan mempengeruhinya lewat berbagai
hal yang persuasif.
Keempat agen
sosialisasi di atas harus saling mendukung dalam pembentukan moral atau
pembangunan karakter anak bangsa. Khususnya keluarga dan mereka yang
berinteraksi dalam pendidikan dan penanaman moral pada usia dini. Karena pada
usia dinilah hal tersebut lebih mudah dilakukan dan menjadi dasar dalam perkembangan
selanjutnya. Sebagaiman pohon yang masih muda akan mudah diarahkan ke mana
saja. Jika keempat agen tersebut tidak saling mendukung, maka akibatnya akan
terjadi dilema pada anak didik. Mereka akan kebingungan dalam menentukan
nasibnya sendiri, siapa yang akan diikuti dan yang benar dalam hal yang dijalani.
Misalkan saja keluarganya mengajarkan bahwa pacaran itu tidak baik dan sebisa
mungkin dihindari pada usia dini, sementara di telivisi banyak memeprtontonkan
film-film cinta, pacaran dan pergaualan remaja yang vulgar.
Melihat keadaan
di Indonesia, pemerintah perlu memperketat pemantauan pada media massa. Hal-hal
yang tidak mendidik atau bahkan mengarah pada hal-hal yang negatif perlu
dihapus dari daftar pengeksposan. Budaya-budaya luar yang vulgar, kriminalitas,
film-film yang tidak berbobot, gosip dan hal-hal lain yang tidak mendidik dan
membawa efek negatif tersebut seharusnya tidak dibiarkan begitu saja dikonsumsi
warga khususnya anak usia dini.
Dari kalangan keluarga,
mereka harus memantau pergaulan anak-anaknya dan mengajarkan hal-hal mulia
sesuai ajaran agama. Bukan justru seperti para orang tua biasanya yang
menanamkan hal-hal yang tidak baik pada usia dini walau secara tidak langsung.
Misalnya menakut-nakutin, mengajari berbohong dengan mengatakan ada hantu ketika
anaknya tidak mau tidur dan lainnya. Para orang tua bertanggung jawab dalam
menciptakan lingkungan keluarga yang baik dan mendidik, tidak memanjakan anak,
tidak memaksakan kehendak dan lainnya.
Otoritas pendidikan
harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan
PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat
(learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself),
belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu
dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan,
bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu
tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan
ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat
mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.[5]
Di sini Indonesia perlu
memperbaiki system pendidikannya. Seharusnya dalam kriteria kelulusan misalnya
tidak hanya memperhatikan nilai ujian nasional. Tetapi juga nilai-nilai
keseharian terkait dengan perilaku anak didik. Dan apa yang ditekankan dalam
pendidikan bukan hanya pengembangan intelektual belaka, tetapi pengembangan
spiritual dan emosional juga perlu diperhatikan. Sehingga tidak hanya kemapanan
intelektual yang dicapai, tetapi anak didik akan lebih bisa bersikap dan
menyikapi apa yang dihadapinya Kemantapan emosional dan spiritual ini akan
melahirkan penghayatan dan perilaku positif anak didik.
Selain berbagai
hal di atas, pergerakan moral oleh orang-orang tertentu khususnya akademisi
juga akan sangat membantu dalam pembentukan karakter dan moral juga penyadaran
anak bangsa. Di sini dibutuhkan orang yang menjadi pelopor dalam terwujudnya
pergerakan tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhir-akhir ini banyak
ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus
tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai
pada para pembesar di Indonesia. Korupsi, prostitusi, judi dan tindakan kriminal kerap terjadi. Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa
ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling
membantah, menutup- menutupi dan hukum yang diperjual belikan.
Bahkan Prof.
Dr. M.T. Zen, Guru Besar Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar
tentang bangsa ini “Tak ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak
dirinya sendiri selain bangsa Indonesia”.
Banyak hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini. Namun kalau
ditelusuri lagi, maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan
masalah moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada
setiap individu. Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya
sekedar bangga kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah
menjalankan ajaran-ajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan
pelengkap dalam kartu tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab
serta konsekuensi yang harus ditanggungnya.
Pancasila sebagai landasan moral
mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia.
Nilai-nilai pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya
realisasi, pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi
dan landasan moral. Manusia-manusia pancasilais sebagai bentuk kongkret dari
pancasila lah yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan
bersama.
Istilah Ketuhanan dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang
diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa
keyakinan, pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan
tanpa diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah
pengingkaran. Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan
perbuatan, maka hal ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep
di atas melahirkan istilah Iman yang
merupakan inti dari sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Karakter
yang baik merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang
ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati,
bukan dengan otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun
adalah hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang
membuat pembangunan karakter atau pembentukan moral bukanlah hal yang
simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau
mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan.
Otoritas
pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga
pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk
berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be
her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika
semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang
dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia.
B.
Saran
Bagi
kalangan akademisi sebagai harapan bangsa sebaiknya benar-benar mempersiapkan
diri sebelum terjun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik
pemerintahan. Benar-benar memantapkan diri dan tidak mudah terbawa arus dan
opini yang tersebar di lingkungannya, kritis pada diri sendiri dan pemerintah
juga sekalian yang ditemuinya dalam kebaikan bersama.
Selain hal di
atas, para akademisi sebaiknya benar-benar mengawal pemerintah sebagai wakil
rakyat. Mewakili mereka yang tidak begitu tahu tentang Negara. Mereka sebagai moral force dan agen of change dengan berbagai citra baik yang disandangnya
janganlah malah tersanjung dan melupakan dirinya dan lingkungan yang
mengharapkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Harahap,
Syahrin. 2005. Penegakan Moral Akademik
di Dalam dan di Luar Kampus.
PT. Raja Grafindo. Jakarta: Persada
Ms Bakry, Noor.
1994. Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta:
PT. Liberty
Tidak ada komentar:
Posting Komentar