Selasa, 29 Oktober 2013

REKONSTRUKSI MORAL BANGSA


By : Ts@_Ny


BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang
Dekadensi moral bukanlah wacana baru, khususnya di Indonesia yang masih dalam tahap perkembangan. Dari dahulu hingga sekarang, masalah moral memenuhi media massa. Di koran, televisi dan media-media lain tak pernah lepas darinya dalam kesehariannya. Dari kalangan bawah hingga para pembesar Negara semua terjangkit masalah moral. Pembunuhan, pemerkosaan, penyelewengan, korupsi dan lain-lain tidak pernah selesai bahkan bisa dikatakan malah meningkat.
Melihat berbagai fenomena di atas, kami merasa sangsi dengan Bangsa ini. Sejak kemerdekaannya entah apa yang dikerjakan, dari segi pembangunan fisik biasa-biasa saja apa lagi masuk dalam pembangunan non-fisik. Berbagai hal ini mengusik kami akhir-akhir ini dan menjadi inspirasi dalam penulisan makalah dengan menelusuri kembali masalah moral bangsa. Siapakah gerangan yang bertanggung jawab?  Di manakah peran agama, lembaga pendidikan dan lainnya dalam perbaikan moral?
B.   Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan membahas berbagai hal terkait:
1.      Bagaimana potret Indosnesia sekarang?
2.      Apa saja penyebab terjadinya dekadensi moral bangsa ini?
3.      Dimanakah kedudukan pancasila?.
4.      Apa saja yang dapat dilakukan dalam perbaikan moral anak bangsa?
C.   Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang:
1.     Potret Indonesia masa kini.
2.      Faktor-faktor penyebab terjadinya dekadensi moral.
3.      Kedudukan pancasila sebagai landasan moral.
4.     Hal-hal yang dapat dilakukan dalam perbaikan moral bangsa.
 


BAB II
INDONESIA DAN DEKADENSI MORAL

A.    Potret Indonesia Masa Kini
            Akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai pada para pembesar di Indonesia. Banyak kalangan terjerat masalah moral. Korupsi, prostitusi, judi dan tindakan kriminal kerap terjadi. Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling membantah, menutup- menutupi dan hukum yang diperjual belikan. Tak ada lagi kebenaran dan kebaikan, yang berjaya adalah uang. Bahkan Prof. Dr. M.T. Zen, Guru Besar Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar tentang bangsa ini Tak ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak dirinya sendiri selain bangsa Indonesia.[1]
Kasus yang menimpa para politisi bangsa ini semakin memperjelas betapa bobroknya moral para pemimpin bangsa ini. Pada Desember 2006 lalu, Yahya Zaini terlibat kasus video mesum dengan penyanyi Maria Eva. Kemudian tahun 2008 muncul kasus Max Moein yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap sekretaris pribadinya, Desy Firdiyanti. Selang beberapa tahun kemudian Arifinto tertangkap basah sedang membuka situs porno saat sidang paripurna berlangsung. Baru-baru ini, Indonesia kembali digemparkan oleh kasus video mesum yang pemainnya mirip anggota DPR Komisi IX.
Selain itu, kemarin-kemarin kita pernah digemparkan dengan video mesum yang dilakoni Aril, Luna Maya dan Cut Tari. Hal ini masih sekitar mereka-mereka yang punya nama di negeri ini dan ditemukan. Lain dari itu, jauh lebih banyak lagi. Dan fenomena kekerasan yang berbau SARA juga ikut meramaikan media massa. Semua menjadi ancaman bagi keutuhan Indonesia dan kelestarian budaya juga lainnya. Semuanya tidak bisa dibiarkan begitu saja, kecuali kita akan menjadi penghianat dan berdosa kepada para pejuang bangsa ini.
Ketika melihat berbagai fenomena di atas, sempat terbersit dalam benak bagaimana nasib kalangan bawah jika para pemimpinnya saja tidak becus dan tidak memberikan contoh yang tepat. Beberapa hal di atas masih sebatas menyangkut pornografi juga pornoaksi, lain lagi korupsi yang menjerat para politisi, prostitusi dan tindak kriminal yang terus bertambah dan lainnya.
Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai Negara agamis dan warga negaranya yang religius dengan mayoritas beragama Islam, bahkan terbesar sedunia menjadi tercoreng oleh perilaku warga negaranya yang amoral. Di manakah letak kesalahan?  Apakah konsep-konsep agama atau para pemeluknya yang jauh dari ketaatan? Hal ini menjadi auto-kritik bagi bangsa ini yang dikenal religius.
Pada tahun 2011, dekadensi moral yang menggerogoti karakter bangsa Indonesia, khususnya karakter religius dan ideologi Negara ditanggapi DIKNAS dengan diharuskannya penyisipan 18 nilai-nilai dalam proses pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 18 nilai-nilai tersebut adalah nilai religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, penuh rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, mengahargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan dan social juga tanggung jawab.[2]

B.     Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Dekadensi Moral
Banyak hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini. Modernitas selain membawa efek positif, juga banyak negatifnya ketika disalah gunakan. Khususnya bagi mereka yang salah paham tentang modernitas dengan memasukkan westernisasi sebagai bagian darinya. Akibatnya, budaya kebarat-baratan pun banyak dijumpai dan mengikis kebudayaan khas negeri ini.
Media massa, baik berupa surat kabar atau elektronik memiliki peran besar dalam pertukaran budaya dengan pengaruh yang sangat kuat. Karena manusia secara kodrati memang menyukai hal-hal yang baru. Sehingga apa saja yang masuk ke dalam benaknya mudah saja mempengaruhinya tanpa dikritisi. Di sini mereka sudah kehilangan jati dirinya dan lebih cenderung meng-imitasi idolanya.
Kemudahan akses internet dengan berbagai jejaring sosial yang tersedia juga berada dalam garda depan yang menjadi penyebab kemerosotan moral. Tak jarang ditemukan para pelajar yang menyia-nyiakan waktunya di depan komputer dengan membuka situs-situs yang tidak bermanfat. Game online, facebookan, tweeteran dan lain-lain menjadi kebiasaan anak bangsa. Dan tak jarang ditemukan mereka yang hilang rasa optimisnya dengan melakukan plagiat dari tulisan-tulisan di internet dalam pengerjaan tugas.
Melihat berbagai fenomena di atas, di sini pendidikan usia dini sebagai dasar pendidikan anak bangsa perlu dipertanyakan. Apa sebenarnya yang telah ditanamkan kepada mereka sejak kecil?  Atau jangan-jangan sebenarnya beberapa hal di atas memang ditanam sejak kecil?  Karena tak jarang kita temukan mereka-mereka yang memanjakan anaknya dan melakukan belas kasih yang salah dan menjerumuskan.
Berbagai fenomena ini tak lepas dari pengaruh globalisasi dan modernisasi yang disalah artikan dengan westernisasi yang tidak diimbangi dengan pembentengan diri. Sehingga mereka bukannya mengambil manfaat, tetapi justru merusak diri sendiri secara perlahan-lahan. Tak ada lagi pegangan kecuali ikut arus ke arah perubahan yang destruktif. Jati diri digadaikan dengan dalih gengsi-gengsi yang dilancarkan dalam penjajahan yang kasat mata.
            Sebenarnya kalau ditelusuri lagi, maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu. Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang harus ditanggungnya. Sehingga pantas, jika berbagai persoalan seputar moralitas ini kemudian terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, karena ajaran-ajaran agama telah diabaikan dan diselewengkan. Dan ini sangat terkait dengan pendidikan dan pembekalan diri anak bangsa yang prosesnya begitu panjang.

C.    Pancasila sebagai Landasan Moral
Indonesia adalah negara yang berasaskan pancasila. Di sini seluruh kebijakan atau apapun yang dilaksanakan oleh negara tidak boleh betentangan dengan pancasila, baik dalam hal politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Demokrasi pancasila, ekonomi kekeluargaan atau koperasi dalam kesejahteraan harus benar-benar dilaksanakan. Sedangkan monarki liberalisme dan monopoli dalam ekonomi harus dihindari.
Pancaasila sebagai ideologi Negara dan landasan moral Negara, pola pelaksanaannya dipancarkan dalam empat poko pikiran yaitu, sebagai fundamen moral Negara yang dipancarkan  dari sila pertama dan kedua, dan sebagai fundamen politik Negara yang dipancarkan dari sila ketiga, keempat dan kelima. Selanjutnya pokok pikiran tersebut dijelmakan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebagai strategi pelaksanaanya.[3]
Pancasila sebagai landasan moral mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Nilai-nilai pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya realisasi, pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi dan landasan moral. Manusia-manusia pancasilais sebagai bentuk kongkret dari pancasila lah yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Pancasila  merupakan cerminan kehidupan manusia yang harmonis. Oleh karena itu isi ajaran pancasila harus dibudayakan. Dalam membudayakannya, pertama harus dilakukan penghayatan tentang inti dari ajaran pancasila yang murni  dan terlepas dari pengaruh pandangan golongan apapun.[4]
Istilah Ketuhanan dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa keyakinan, pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan tanpa diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah pengingkaran. Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan perbuatan, maka hal ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep di atas melahirkan istilah Iman yang merupakan inti dari sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Di sini bangsa Indonesia sudah memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam pembangunan karakter dan merekonstruksi moral bangsa yaitu pancasila. Tinggal bagaimana nantinya anak-anak Indonesia mengaktualisasikan potensi tersebut dalam ranah sosial kemasyarakatan. Bagaimana nantinya pancasila menjadi ruh warga negara dalam segala tindakannya, bukan sekedar catatan nilai atau ideologi dan landasan moral yang digembar-gemborkan tanpa arti, tanpa realisasi.

D.    Upaya Pembentukan Moral Bangsa
Karakter yang baik merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati, bukan dengan otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun adalah hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang membuat  pembangunan karakter  atau pembentukan moral bukanlah hal yang simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan.
Di atas sudah disebutkan kalau Indonesia memiliki potensi yaitu pancasila dalam pembangunan karakter bangsa. Di sini dibutuhkan penghayatan agar pancasila bisa menjadi ruh dalam tiap tindakan. Penghayatan yang akan melahirkan kesadaran dalam mengaplikasikannya tanpa paksaan. Sehingga pancasila menjadi benteng yang kokoh dan siap mengkritisi semua apa yang terjadi, menyikapi semua hal-hal baru agar tidak mudak terjerumus di dalamnya.
Dalam proses pembangunan moral ini, ada beberapa agen sosialisasi yang sangat berperan di dalamnya, yaitu: Pertama, keluarga. Merupakan peletak pertama dalam penanaman moral anggota keluarganya. Mereka adalah orang pertama yang akan dicerminkan anak-anaknya dalam ranah sosial. Kuat tidaknya penanaman moral mereka akan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya. Karena apa yang mereka tanamkan merupakan benteng awal dan lebih mudah menjadi darah daging anggotanya. Kedua, lingkungan sosial. Memiliki peran yang sangat besar setelah keluarga. Mereka meliputi teman bermain, masyarakat sekitar dan semua yang berinteraksi dengannya. Baik tidaknya lingkungan seseorang akan mempengaruhi seseorang. Kecuali dasa-dasar yang ditanamkan keluarganya sudah begitu kuat, sehingga bisa menjadi ikan yang tidak ikut asin di tengah-tengah asinnya air laut. Ketiga, lembaga pendidikan. Khususnya pendidikan usia dini, memiliki peran yang besar dalam pembentukan karakter seseorang. Keempat, media massa. Menjadi bagian yang sangat berperan dalam penyebaran informasi dan pertukaran budaya yang banyak mempengaruhi masyarakat, khususnya modern. Secara tidak langsung sebenarnya media menjadi pendidik para penggunanya dengan mempengeruhinya lewat berbagai hal yang persuasif.
Keempat agen sosialisasi di atas harus saling mendukung dalam pembentukan moral atau pembangunan karakter anak bangsa. Khususnya keluarga dan mereka yang berinteraksi dalam pendidikan dan penanaman moral pada usia dini. Karena pada usia dinilah hal tersebut lebih mudah dilakukan dan menjadi dasar dalam perkembangan selanjutnya. Sebagaiman pohon yang masih muda akan mudah diarahkan ke mana saja. Jika keempat agen tersebut tidak saling mendukung, maka akibatnya akan terjadi dilema pada anak didik. Mereka akan kebingungan dalam menentukan nasibnya sendiri, siapa yang akan diikuti dan yang benar dalam hal yang dijalani. Misalkan saja keluarganya mengajarkan bahwa pacaran itu tidak baik dan sebisa mungkin dihindari pada usia dini, sementara di telivisi banyak memeprtontonkan film-film cinta, pacaran dan pergaualan remaja yang vulgar.
Melihat keadaan di Indonesia, pemerintah perlu memperketat pemantauan pada media massa. Hal-hal yang tidak mendidik atau bahkan mengarah pada hal-hal yang negatif perlu dihapus dari daftar pengeksposan. Budaya-budaya luar yang vulgar, kriminalitas, film-film yang tidak berbobot, gosip dan hal-hal lain yang tidak mendidik dan membawa efek negatif tersebut seharusnya tidak dibiarkan begitu saja dikonsumsi warga khususnya anak usia dini.
Dari kalangan keluarga, mereka harus memantau pergaulan anak-anaknya dan mengajarkan hal-hal mulia sesuai ajaran agama. Bukan justru seperti para orang tua biasanya yang menanamkan hal-hal yang tidak baik pada usia dini walau secara tidak langsung. Misalnya menakut-nakutin, mengajari berbohong dengan mengatakan ada hantu ketika anaknya tidak mau tidur dan lainnya. Para orang tua bertanggung jawab dalam menciptakan lingkungan keluarga yang baik dan mendidik, tidak memanjakan anak, tidak memaksakan kehendak dan lainnya.
Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang mereka punya.[5]
Di sini Indonesia perlu memperbaiki system pendidikannya. Seharusnya dalam kriteria kelulusan misalnya tidak hanya memperhatikan nilai ujian nasional. Tetapi juga nilai-nilai keseharian terkait dengan perilaku anak didik. Dan apa yang ditekankan dalam pendidikan bukan hanya pengembangan intelektual belaka, tetapi pengembangan spiritual dan emosional juga perlu diperhatikan. Sehingga tidak hanya kemapanan intelektual yang dicapai, tetapi anak didik akan lebih bisa bersikap dan menyikapi apa yang dihadapinya Kemantapan emosional dan spiritual ini akan melahirkan penghayatan dan perilaku positif anak didik.
Selain berbagai hal di atas, pergerakan moral oleh orang-orang tertentu khususnya akademisi juga akan sangat membantu dalam pembentukan karakter dan moral juga penyadaran anak bangsa. Di sini dibutuhkan orang yang menjadi pelopor dalam terwujudnya pergerakan tersebut.
 





BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus terkait dengan masalah moral bangsa Indonesia. Entah kasus tersebut yang menyangkut anak usia dini, remaja sampai pada para pembesar di Indonesia. Korupsi, prostitusi, judi dan tindakan kriminal kerap terjadi. Media massa pun hampir tak pernah absen dalam memberitakannya, tanpa ada tindak lanjut yang serius dalam perubahan. Yang ada justru saling membantah, menutup- menutupi dan hukum yang diperjual belikan. Bahkan Prof. Dr. M.T. Zen, Guru Besar Emeritus Teknik Geofisika ITB pernah berkomentar tentang bangsa ini Tak ada bangsa yang sekarang sangat sibuk merusak dirinya sendiri selain bangsa Indonesia.
Banyak hal yang berperan besar dalam kemerosotan moral bangsa ini. Namun kalau ditelusuri lagi, maraknya pelbagai problematika sosial yang berkaitan dengan masalah moralitas ini, disebabkan oleh keringnya nilai-nilai keagamaan pada setiap individu. Agama hanya dijadikan sebagai simbol tanpa makna. Orang hanya sekedar bangga kalau dirinya disebut beragama, meskipun ia tidak pernah menjalankan ajaran-ajaran agama. Status beragama seringkali hanya dijadikan pelengkap dalam kartu tanda penduduk, tanpa pernah dipikirkan tanggungjawab serta konsekuensi yang harus ditanggungnya.
Pancasila sebagai landasan moral mengandung nilai-nilai universal yang mengikat seluruh warga negara Indonesia. Nilai-nilai pancasila harus direalisasikan dalam bentuk perbuatan. Tanpa adanya realisasi, pancasila bukanlah apa-apa dan hanya tinggal nama sebagai ideologi dan landasan moral. Manusia-manusia pancasilais sebagai bentuk kongkret dari pancasila lah yang dapat membangun Negara dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Istilah Ketuhanan dalam sila pertama berarati keyakinan dan pengakuan yang diekspresikan dalam bentuk perbuatan. Di sini ada tiga konsep dasar berupa keyakinan, pengakuan dan konkretisasi iman dengan perbuatan. Sebuah keyakinan tanpa diikuti pengakuan dan realisasi dalam bentuk perbuatan merupakan sebuah pengingkaran. Dan jika hanya ada pengakuan tanpa diikuti keyakinan dan perbuatan, maka hal ini hanyalah sebuah kemunafikan. Penggabungan ketiga konsep di atas melahirkan istilah Iman yang merupakan inti dari sila pertama “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Karakter yang baik merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral yang ditandai dengan sikap dan perilaku positif. Hal ini sangat terkait dengan hati, bukan dengan otak sebagai pusat intelektual. Jadi, di sini yang harus dibangun adalah hatinya dan itu terkait dengan kesadaran dan keyakinan. Hal inilah yang membuat  pembangunan karakter  atau pembentukan moral bukanlah hal yang simpel dan membutuhkan proses yang panjang. Tidak seperti mengingat atau mengetahui sesuatu yang dapat dicatat dan dihafalkan.
Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh dunia.

B.     Saran
Bagi kalangan akademisi sebagai harapan bangsa sebaiknya benar-benar mempersiapkan diri sebelum terjun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik pemerintahan. Benar-benar memantapkan diri dan tidak mudah terbawa arus dan opini yang tersebar di lingkungannya, kritis pada diri sendiri dan pemerintah juga sekalian yang ditemuinya dalam kebaikan bersama.
Selain hal di atas, para akademisi sebaiknya benar-benar mengawal pemerintah sebagai wakil rakyat. Mewakili mereka yang tidak begitu tahu tentang Negara. Mereka sebagai moral force dan agen of change dengan berbagai citra baik yang disandangnya janganlah malah tersanjung dan melupakan dirinya dan lingkungan yang mengharapkannya.
DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Syahrin. 2005. Penegakan Moral Akademik di Dalam dan di Luar           Kampus. PT. Raja Grafindo. Jakarta: Persada
Ms Bakry, Noor. 1994. Orientasi Filsafat Pancasila. Yogyakarta: PT. Liberty






[2] http://rumahinspirasi.com/18-nilai-dalam-pendidikan-karakter-bangsa
[3]Noor Ms Bakry, Orientasi Filsafat Pancasila , (PT. Liberty; Yogyakarta, 1994), 131
[4] Ibid; 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar