Selasa, 11 Maret 2014

PAUL KARL FEYERABEND; ANYTHING GOES METHODE



Oleh: Moch. Tasir Dkk

A.    Latar Belakang
Awal perkembangan baru filsafat sains di abad ke-20 adalah ketidakpuasan terhadap pandangan-pandangan neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis). Kelompok ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling gigih di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi (pemisahan) antara pernyataan-pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris melalui verifikasi yaitu pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika, moral, dan metafisika.
Apa yang disebutkan di atas adalah bagian dari bebearapa ciri para positivis. Dalam perkembangannya positivism dan neo-positivisme ini mengalami banyak sekali pertentangan. Diantaranya dari tokoh-tokoh pemikir Eksakta yang merasa bahwa teori-tori positivistik sangatlah menghegemoni pemikiran mereka dan membuat ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Diantara para Fisikawan yang melawan dan mengkritik dari positivisme ini adalah: Thomas Khun dengan Revolusi paradigmanya, Karl Pooper dengan teori falsifikasinya, kemudian juga Feyerabend dengan Anti metodenya dan masih banyak lagi tokoh yang mengkritik habis-habisan berkenaan dengan teori positivistik ini.[1]
Di sini filsafat sains ini tidak berhenti pada posisinya yang pertama. Ada tendensi kuat membawa persoalan pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu agama dan sains dibawa ke dalam satu arena. Dalam analisisnya atas sejarah perkembangan sains, Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung linier, homogen, dan rasional seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran baru di dalamnya. Berbada dengan Kuhn yang memimpikan paradigma baru untuk menggantikan paradigma lama dan menghapusnya dalam perkembangan pengetahuan, Paul Karl Feyerabend yang mengakui semua metode dan paradigma yang ada dalam wilayah masing-masing. Di sini dia dikenal sebagai tokoh pluralis dalam hal metode. Dia tidak mendewakan satu teori dalam epistemologinya yang sebelumnya dihegemoni para positivis. Bagaimana bangunan epistemology Paul Feyerabend yang dikenal epistemology anarkisnya, anti metode dan anti sains?
Beberapa hal di atas terkait dengan Paul Karl Feyerabend memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk mengangkat sebuah tema tentang kerangka epistemologinya dengan makalah yang berjudul Anything Goes Philosophy.

B.     Biografi Singkat Feyerabend
            Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya.[2]
            Ia mempelajari Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang Fisika di Wina, Austria. Dalam hidupnya ia percaya bahwa ilmu pengetahuan itu paling hebat dan bahwa terdapat hukum-hikum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
            Pada tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di London. Pada saat itu, ia masih memegang teguh keyakinan rasionalitasnya, namun akibat perkenalannya dengan Lakatos, pemikiran Feyerabend berubah drastis. Ia melihat keyakinan bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sini,kemudian Feyerabend melihat bahwa segala pencarian hukum universal adalah ilusi belaka.
            Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley dan berkenalan dengan Carl Freither van Weizsacker, seorang ahli matematika kuantum. Berkat perkenalannya dengan Weizsacker inilah pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970.
            Jika dilihat dari karakteristik pemikiran Feyerabend, dapat dikatakan, bahwa ia adalah tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu. Sebagai tokoh postmodernisme, maka pemikiran-pemikirannya merupakan bentuk kritik atas paradigma modernisme. Feyerabend, sebagaimana para pemikir postmodernisme lainnya, seperti Lyotard, mengkritik pemikiran abad modern Descartes (Renaissance) sampai dengan Hegel, yang dicap sebagai grand narratives yang di legimitasikan. Para pemikir postmodernisme menuduh, bahwa cara berpikir seperti ini adalah sebagai cara berpikir yang mentotalisasi dan mempunyai ambisi untuk menjelaskan segala aspek lewat grand theory (Teori dasar). Epistemologi Cartesian telah melahirkan keangkuhan epistemologi, bahwa realitas dapat ditaklukan melalui pendefinisian. Singkatnya, Postmodernisme menolak segala bentuk kemapanan.

C.    Latar Belakang Pemikiran
Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern.[3]
Pada masa Feyerabend masyarakat yang cenderung positivis menempatkan ilmu pengetahuan dengan metode mereka sama dengan agama bahkan di atasnya. Dalam lingkungan masyarakat tertentu pada waktu itu, seseorang boleh memilih agama apa saja tapi tidak bisa memilih mempelajari ilmu pengetahuan atau tidak. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, tapi justru menguasai dan memperbudak manusia. Kedudukan ilmu penggetahuan seolah agama di abad pertengahan dengan hegemoni pemikitan positivis. Oleh karena itu, Feyerabend sangat menekankan kebebasan individu sebagaimana diperjuangkan John Stewart Mill dalam karyanya On Liberty. Dia melihat kemajuan ilmu pengetahuan dalam pengembangan kebebasan manusia dan terbebasnya ilmu pengegtahuan dari hegemoni para positivis.[4]

D.    Anarkisme Epistemologis Karl Feyerabend  
a.         Pengertian Anarkisme
Anarkisme secara umum didefinisikan sebagai filsafat politik yang memegang negara tidak diinginkan, tidak perlu, dan berbahaya, atau alternatif sebagai menentang otoritas dan organisasi hirarkis dalam melakukan hubungan manusia. Para pendukung anarkisme, yang dikenal sebagai "anarkis", advokat masyarakat bernegara berdasarkan non- hirarkis asosiasi sukarela .
Yang dimaksud oleh Feyerabend dengan istilah anarkisme, tidak lain adalah anarkisme epistemologis. Anarkisme Epistemologis dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk kemampuan (kekuasaan Negara, institusi - institusi, dan ideologi - ideologi yang menopangnya), mungkin anarkisme epistemologis tidak selalu punya loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu.
Pada awalnya, sebagai murid Popper, Feyerabend mendukung filosofi dan prinsip falsifikasi Popper namun kemudian dia berbalik menjadi salah seorang penentang Popper. Feyerabend berpendapat bahwa prinsip falsifikasi Popper tidak dapat dijalankan sebagai satu-satunya metode ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Prinsip dasar mengenai tidak adanya metodologi yang berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains disebut olehnya sebagai epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi apa pun, misal metodologi empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan memperlambat atau menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan ‘anything goes’ yang berarti hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. Sehingga ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, melainkan juga secara kontrainduktif.
Dalam pengembangan prinsip ini Feyerabend mengakui adanya penerapan prinsip liberalisme John Stuart Mills dalam konteks tertentu (sains) dalam metode sains. Feyerabend menganut liberalisme ini karena menurut dia, tidak ada satu hipotesa apa pun, bahkan yang tidak masuk akal, yang tidak berguna untuk kemajuan sains. Dengan pegangan ini, Feyerabend mengatakan bahwa sains dan mitos tidak dapat dibedakan dengan satu batas prinsip tertentu. Mitos adalah sains dengan tradisi tertentu dan sebaliknya sains hanyalah sesuatu tradisi mitos. Asumsi bahwa ada batasan antara sains dan mitos akan menimbulkan batasan-batasan yang menghalangi pemikiran kreatif dan kritis
Metode anarkis Feyerabend yang mempersoalkan metodologi ilmu pengetahuan secara mendasar ingin menghidupkan kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. Feyerabend mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun atas metodologi yang kaku, namun harus ada ruang bagi inisiatif ilmuwan. Karena selain kebenaran, kebebasan ilmiah harus merupakan norma ilmu pengetahuan. Sedangkan kontrol ilmu yang terlalu ketat akan mematikan kreativitas ilmuwan. Semua yang dibuat dietikakan, sehingga pada akhirnya orang takut akan kesalahan.
Dengan adanya metode anarkis Feyerabend yang bersemboyan “anything goes”, perkembangan ilmu pengetahuan akan terus meningkat. Seiring dengan tujuan Feyerabend yang berusaha memajukan ilmu pengetahuan, Metode anarkis ini juga menimbulkan pro dan kontra. Layaknya pisau bermata dua, metode anarkis juga memiliki efek negatif yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh, efek dari dijatuhkannya bom atom yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki masih dirasakan oleh penduduk didaerah tersebut hingga saat ini. Contoh lainnya adalah penelitian-penelitian ilmuwan yang berhubungan dengan senjata nuklir, biologi, dan kimia menjadi senjata pemusnah massal (mass destruction weapon) tentunya juga dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa mendatang. Dengan demikian, ada dua manfaat dari munculnya metode anarkis Feyerabend, yaitu ilmu pengetahuan itu akan tetap terus berkembang dan penggunaan ilmu pengetahuan itu sendiri yang sulit dikontrol oleh manusia.
b.        Anarkisme sebagai Kritik atas Ilmu Pegetahuan
Seluruh pemikiran Feyerabend yang diberi nama anarkisme epistemologis, merupakan suatu kritik. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik dari dua sisi. Dalam sudut ini, keduanya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, Anti Metode. Kedua, Anti Ilmu Pengetahuan.  
a)         Anti – Metode
Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mau melawan tubuh ilmu pengetahuan. Ia memegang semboyan Anti-Metode. Dengan semboyan itu, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, lagi pula dapat membawahi semua fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, Klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dan dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukun yang menghalangi berkembangnya kualitas-kualitas profesiaonal kita dengan mempertaruhkan kemampuan kita.
b)        Anti - Ilmu Pengetahuan
Atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan. Anti-ilmu pengetahuan tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Dengan sikap ini, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul ketimbang bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti Sihir, Magic, Mitos dan lain sebagainya.
Dalam bangununan epistemologinya yang anarkis, ada beberapa hal yang diperjuangkan oleh Paul Karl Feyerabend sebagaimana berikut:
1.        Apa Saja Boleh
Feyerabend berkeras sekali pada klaimnya bahwa tidak ada metodologi ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Cara utama, walaupun bukan satu-satunya, yang ia gunakan untuk mendukung klaimnya ialah memperlihatkan bagaimana metodologi-metodologi tidak sejalan atau tidak bisa cocok dengan sejarah fisika. Banyak argumennya dalam menentang metodologi yang saya beri cap sebagai induktivisme dan falsifikasionisme, adalah serupa dengan argument-argumen yang sudah pernah dijelaskan sebelumnya. [5]
2.        Tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama
Suatu komponen penting dari analisa Feyerabend tentang ilmu, ialah pandangannya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Dalam hal ini terdapat kesamaan dengan pandangan Kuhn mengenai masalah paradigma. Konsepsi Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, adalah sebagai ketergantungan observasi pada teori. Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks teoritis dalam mana makna dan keterangan observasi itu muncul.[6]
3.        Ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang lain
Aspek lain yang penting dari pandangan Feyerabend tentang ilmu menyangkut hubungan antara ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ia mengemukakan, bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu (atau mungkin fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
4.        Kebebasan Individu
Banyak hal di dalam tesis Feyerabend Against Method adalah negativ. Ia menyangkal klaim, bahwa ada metode yang mampu menerangkan sejarah fisika. Ia menyangkal, bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan minta bantuan pada suatu metode ilmiah. Walaupun begitu, terdapat juga segi positif di dalam kasus Feyerabend itu. Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai “Sikap Kemanusiawian”. Menurut sikap ini, manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan kurang lebih seperti di dalam pengertian John Stewart Mill yang membelanya dalam esai “On Liberty” Feyerabend menyetujui “Usaha meningkatkan kebebasan,untuk menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif”. Ia mendukung John Stewart Mill dalam membela  “Pembinaan individualitas yang secara pribadi berproduksi, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju.

E.     Kesimpulan
            Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya
Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern
Prinsip dasar mengenai tidak adanya metodologi yang berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains disebut olehnya sebagai epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi apa pun, misal metodologi empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan memperlambat atau menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan ‘anything goes’ yang berarti hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. Sehingga ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, melainkan juga secara kontrainduktif.

F.     DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Teraju: Jakarta.
C. Verhak. 1995. Filsafat Ilmu. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Faradi, Abdul Aziz. 2012. (Tesis) Epistemologi Anarkhis Paul Feyerabend dan Implikasinya bagi Pemikiran Islam. Tidak diterbitkan. Yogyakarta.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
Santoso, Listiyono. 2006. Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.



[1]Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (2008. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 274-275.
[2]Listiyono Santoso, Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri (2006. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 149-150.
[3]Ibid.,150
[4]C. Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan (1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167.
[5]Donny Gahral Adian Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. (2002. Teraju: Jakarta)., 102-103

[6]C. Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan (1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167-168.

Paul Ricoeur : From Text to Action



Oleh : Tanwirotul Barirah Dkk



A.    Riwayat Hidup Paul Ricoeur
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, prancis selatan, tahun 1913, kemudian dibesarkan di Rennes. Dan dua tahun kemudian dia menjadi yatim piatu. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yan shaleh dan dianggap sebagai salah seorang cendekiawan protestan yang terkemuka di Prancis. Di lycee ia untuk pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa freud(1936). Ia memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu masuk di Universitas Sorbonne di Paris untuk mempersiapkan diri pada aggregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun 1935. Kemudian berkenalan dengan Gabriel Marcel di Paris yaitu seseorang yang mempengaruhi pemikiran paul ricoeur secara mendalam. Setelah itu iua mengajar di Colmar selama setahun, dan setelah itu ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobolisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai ahir perang (1945). Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger, dan Jaspers. Bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrene. Sebagai Tesis utamanya diajukan jilid pertama dari Philoshopy de la Volonte (Filsafat kehendak) yang diberi anak judul Le Voloentare et I’involoentarie (yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki). Dari karya tersebut yang membuat Ricoeur menjadi filsuf terkemuka di bidang fenomenologi.[1]
Tahun 1967-1987 ia mengajar di fakultas sastra Universitas Paris Nanterre sekaligus menjadi dekan pada tahun 1969-1970 di Universitas-X (Nanterre), dan Universitas Chicago. Selain mengajar, Ricouer juga adalah anggota beberapa lembaga akademis, dan mendapat pengn The Grand Prixhargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl Jaspers Award (Heidelberg), the Leopold Lucas Award (Tubingen) dan the Grand Prix de I’Academie francaise. Selain itu, ia juga pernah menjadi editor beberapa jurnal dan majalah; majalah Esprit and Chistianisme, Direktor Revne de Metaphysique et de Morale. Bersama Francois wahl Ricoeur menjadi editor pada I’Orde Philosophique (editions du seuil).
B.     Karya-karya Paul Riceour
Karya-karya Paul Riceour mencakup beberapa buku yang diantaranya yaitu merupakan jilid pertama proyeknya tersebut yaitu membahas tentang filsafat kehendaknya yaitu, Le Voluntary and In the Involuntary, Ricoeur menggunakan fenomenologi dalam menjelajahi dimensi kehendak. Jilid kedua yaitu, Finitude et culpabilite (Finitude and Guilt) yang diterbitkan pada tahun 1960 dalam dua buku terpisah, L’Homme faillible (Fallible Man) dan La Symbolique du mal (The Symbolism of Evil).
Selanjutnya, bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de l’existence (1947) (Karl Jaspers dan Filsafat Eksistensi). Pada tahun yang sama diterbitkan juga bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak perhatian pada waktu itu. Dan selanjutnya karyanya terakhir adalah sebuah buku tebal yang membawakan delapan studi tentang metafora yang terbit pada tahun 1975 dengan judul La metaphore vive (Metafora yang hidup).[2]
C.    Pemikiran Paul Riceour
1.      Teks dan Tindakan
Meski banyak memiliki keragaman perspektif kefilsafatan, namun keseluruhan filsafat Ricoeur nampaknya mengarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi. Filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutic, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Dia sendiri mengatakatan bahwa pada dasarnya seluruh filsafat adalah interpretasi atas interpretasi. Bahkan, dengan mengutip Nietzsche, dia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna maka di situ interpretasi diperlukan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, maka interpretasi menjadi sedemikian penting, karena terdapat multi-lapisan makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung, atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusasteraan.
Pada dasarnya teks sendiri bersifat otonom unrtuk melakukan “dekontekstualisasi” (proses pembebasan diri dari konteks), baik dari sudut pandang psikologis maupun sosiologis, dan melakukan “rekontekstalisasi” (proses masuk kembali kedalam konteks) secara berbeda dalam tindakan membaca, sehingga yang menjadi tugas berat bagi hermenetis adalah bagaimana cara membaca menafsirkan dari dalam tanpa harus masuk kedalamnya.
Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Diskursus adakah pasangan dari apa yang disebut para ahli linguistic dengan sistem bahasa atau kode linguistic. Diskursus adalah peristiwa bahasa atau penggunaan linguistik[3]. Alasannya adalah untuk mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.
Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan. Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya[4]. Sebuah teks sebenarnya berbicara tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu, Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk dibawa oleh teks ke depan.
Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut. Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap. Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya. Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari arti kepada referensi.[5] Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah peristiwa baru berdasarkan tujuan yang telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.
Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran. Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi. Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana. Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga, distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain. Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat, distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara. Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna itu.
Selanjutnya ada tiga tiga macam otonomi teks, pertama, intensi atau maksud si pengarang. Dua, situasi cultural dan kondisi social pada saat teks itu berwujud. Tiga, untuk apa teks itu dimaksudkan. Dengan tiga otonomi ini maka jelaslah apa yang dimaksud dengan dekontekstualisasi, yaitu bagaimana teks dapat melepaskan diri dari intensi atau maksud sipengarang. Jadi teks membuka diri seluas-luasnya dengan berbagaimacam kemungkinan dengan melepaskan diri dari maksud si penulis sehingga pembaca bebas menginterpretasikannya  dan ini yang dimaksud dengan rekontekstualisasi. Dengan sama-sama membuka diri berarti psikologi dari keduanya melebur dan keduanya saling memberikan kepercayaan sehinnng seseorang dalam membaca sebuah teks dapat berinteraksi atau menghayati teks. proses dialektis yang dibacanya sehingga dia mendapatkan objektifitas dari interpretasi teks tersebut tanpa ada prasangka-atau kerentanan yang disebutkan pada judul sebelumnya[6].
Kenapa teks menjadi sebuah otonomi ? karena . pertama, teks bersifat bebas (Distansisasi) dimana teks benar-benar terlepas dari proses pengungkapan si penulis, karena itu, “teks dapat bergerak melampaui batas-batas horizon yang dihayati oleh sangpenulis. Materi yang dibicarakan lebih kaya daripada apa yang di bayangkan atau di abstraksikan oleh sipenulis; dan setiap penafsiran menyingkap karya teks dalam lingkaran makna yang membongkar sampai ke akar-akar psikologis penulisnya”[7]. Dua, teks menjadi dirinya sendiri dan terlepas dari pembicara, yakni tidakada kategoro penulis dan yang hada hanya pembaca pertama. Tiga, fleksibilitas teks yang bisa ditempatkan dalam konteks apapun serta dapat juga menjadi Dekontekstulisasi. Empat, teks independent, monolog dan senantiasa aktus sehingga dia tidak terikat oleh ruang dan waktu, dia bisa berdialog dengan siapapun dan menjadi abadi. Teks independent ini membawa kita kepada dunia teks sehingga ketika teks itu monolog maka kita mengikuti apa yang di gambarkan oleh teks[8].
2.      Kritik Ideolodi Paul Riceour
Kritik ideology paul riceour ini sebenarnya berawal dari kriti ideologinya habermas. Bahwa dengan eksplorasi kritisnya, habermas melakukan apa yang dapat disebut “kritik ideology dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan”. Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideology merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya terkait pada praxis kehidupan sosial manusia.[9]
Menurut alur pemikiran habermas, bagaimana ia membangun dasar epistemologis bagi ilmu-ilmu kritis. Pendasaran itu dimulai dalam refleksinya atas materialism marx, lalu diperdalam pada bagian mengenai psikoanalisis freud. Menurutnya marx mamberi sumbangan berharga dengan konsep sintesisnya. Berdasarkan pembedaannya atas kerja dan komunikasi habermas membedakan dua macam sintesis yang dipahami marks, yaitu sintesis melalui kerja dan sintesis melalui penunjangan kelas. Keduanya penting untuk kritik ideology. Dalam hal ini riceour mangatakan bahwa dengan konsep marxis-kantian ini habermas telah meletakkan kategori antropologis sekaligus epistemologis bagi kritik ideology. Hubungan dialektis kedua kategori itu bersifat kritis karena menghubungkan kehendak manusiawi dengan pengetahuannya. Konsep yang mampu menampung hubungan itu adalah kepentingan rasio.
Kritik ideologi bekerja dalam dua tataran ini untuk mencari pertautan dialektis keduanya yaitu manakala pemikiran masyarakat membeku pada salah satu kutub. Pembekuan pemikiran terjadi karena subjek tidak menyadari kepentingan sesunggunhnya dari rasio, yaitu kepentingan untuk membebaskan diri dari alam atau dari tindakan sosial yang seperti alam. Disini, kritik ideology berusaha menjernihkan kembali kepentingan emansipatoris itu berdasarkan dorongan kepentingan itu sendiri. dalam refleksinya atas marx habermas juga mementingkan pembedaan antara hubungan dan kekuatan produksi. Keduanya merupakan praxis, dan sebuah kritik ideology memerlukan konsep tentang praxis. Dalam hal ini berkata riceour tanpa pembedaan diatas, tak ada ruang bagi kritik maupun bagi ideology karena ideology berfungsi dalam hubungan antar manusia dan bukan dalam hubungan manusia dengan alam material.
Dalam menyejajarkan psikoanalisis dengan kritik ideologi, riceour mencoba mengeksplisitkannya dalam empat alasan. Pertama: karena psikoanalisis merupakan proses penyambuhan dan pengenalan diri. Kedua: mengapa psikoanalisis menjadi model kritik ideologi adalah karena dalam keduanya distorsi-distorsi dan emansipasi terjadi dalam proses komunikasi. Ketiga: adalah karena distorsi itu bersifat sistematis. Keempat: karena habermas bersikap kritis. Dari keterangan diatas jelas bahwa yang menjadi sasaran ilmu-ilmu kritis sebagai kritik ideology adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.[10]












PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Paul Riceour adalah seorang filosuf dari Prancis yang pemikirannya lebih menekankan pada masalah hermeneutic fenomenologi. Selain ahli dalam bidang filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik sosial, edukatif, dan kultural.
Dikenal sebagai filsuf fenomenologis, filsafat kehendak merupakan filsafat hasil dari ciptaannya, mengenai pembahasan tentang filsafat kehendaknya, ia menuangkan dalam karyanya yang berjudul La Volontereie (Filsafat Kehendak), yang didalamnya berisi tentang deskripsi murni tentang kehendak manusia dan unsure-unsur dalam eksistensinya yang tanpa dipengaruhi oleh kehendaknya karena kehendak selalu beraksi dalam satu lingkungan yang tidak dikehendaki.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan bermakna sebagai sebuah teks disini adalah dimana konsep teks menjadi suatu paradigma yang bagus bagi objek ilmu-ilmu sosial serta bagi interpretasi secara umum di lapangan ilmu-ilmu kemanusiaan.


Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi, (Kanisius: Yogyakarta, 2009).
Bertens, K., Filsafat Barat Kontomporer Perancis, (Jakarta, PT Gramedia: 2001).
Riceour, Paul, (Pen. Masnur Hery), Teori Interpretasi, (IRCiSoD: Jogjakarta, 2012).
Ricoeur, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006).
Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Kanisius: Jogyakarta. 1999).
Thompson, Jhon, B., Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. (Visi Humanika: Jakarta, 2005).



[1]K. Bertens, Filsafat Barat Kontomporer Perancis, (Jakarta, PT Gramedia: 2001), hal. 254.
[2]Ibid, Hlm. 257.
[3]Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm 268.
[4] Ibid, hlm 269.
[5]Paul Riceour, (Pen. Masnur Hery), Teori Interpretasi, (IRCiSoD: Jogjakarta, 2012), Hlm. 52-53.
[6] Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Kanisius: Jogyakarta. 1999), Hlm 109-110.
[7] Jhon B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. (Visi Humanika: Jakarta, 2005), Hlm. 101.
[8]Ibid, Hlm. 101-102.
[9]F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Kanisius: Yogyakarta, 2009), Hlm. 214.
[10]Ibid, Hal. 216.