Selasa, 11 Maret 2014

Paul Ricoeur : From Text to Action



Oleh : Tanwirotul Barirah Dkk



A.    Riwayat Hidup Paul Ricoeur
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, prancis selatan, tahun 1913, kemudian dibesarkan di Rennes. Dan dua tahun kemudian dia menjadi yatim piatu. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yan shaleh dan dianggap sebagai salah seorang cendekiawan protestan yang terkemuka di Prancis. Di lycee ia untuk pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui R. Dalbiez, seorang filsuf berhaluan thomistis yang terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi besar tentang psikoanalisa freud(1936). Ia memperoleh licence de philosophie pada tahun 1933, lalu masuk di Universitas Sorbonne di Paris untuk mempersiapkan diri pada aggregation de philosophie yang diperolehnya pada tahun 1935. Kemudian berkenalan dengan Gabriel Marcel di Paris yaitu seseorang yang mempengaruhi pemikiran paul ricoeur secara mendalam. Setelah itu iua mengajar di Colmar selama setahun, dan setelah itu ia dipanggil untuk memenuhi wajib militer (1937-1939). Pada waktu mobolisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang sampai ahir perang (1945). Dalam tahanan di Jerman itu ia mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger, dan Jaspers. Bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrene. Sebagai Tesis utamanya diajukan jilid pertama dari Philoshopy de la Volonte (Filsafat kehendak) yang diberi anak judul Le Voloentare et I’involoentarie (yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki). Dari karya tersebut yang membuat Ricoeur menjadi filsuf terkemuka di bidang fenomenologi.[1]
Tahun 1967-1987 ia mengajar di fakultas sastra Universitas Paris Nanterre sekaligus menjadi dekan pada tahun 1969-1970 di Universitas-X (Nanterre), dan Universitas Chicago. Selain mengajar, Ricouer juga adalah anggota beberapa lembaga akademis, dan mendapat pengn The Grand Prixhargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl Jaspers Award (Heidelberg), the Leopold Lucas Award (Tubingen) dan the Grand Prix de I’Academie francaise. Selain itu, ia juga pernah menjadi editor beberapa jurnal dan majalah; majalah Esprit and Chistianisme, Direktor Revne de Metaphysique et de Morale. Bersama Francois wahl Ricoeur menjadi editor pada I’Orde Philosophique (editions du seuil).
B.     Karya-karya Paul Riceour
Karya-karya Paul Riceour mencakup beberapa buku yang diantaranya yaitu merupakan jilid pertama proyeknya tersebut yaitu membahas tentang filsafat kehendaknya yaitu, Le Voluntary and In the Involuntary, Ricoeur menggunakan fenomenologi dalam menjelajahi dimensi kehendak. Jilid kedua yaitu, Finitude et culpabilite (Finitude and Guilt) yang diterbitkan pada tahun 1960 dalam dua buku terpisah, L’Homme faillible (Fallible Man) dan La Symbolique du mal (The Symbolism of Evil).
Selanjutnya, bersama dengan sahabat dan sesama tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de l’existence (1947) (Karl Jaspers dan Filsafat Eksistensi). Pada tahun yang sama diterbitkan juga bukunya Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme yang menarik banyak perhatian pada waktu itu. Dan selanjutnya karyanya terakhir adalah sebuah buku tebal yang membawakan delapan studi tentang metafora yang terbit pada tahun 1975 dengan judul La metaphore vive (Metafora yang hidup).[2]
C.    Pemikiran Paul Riceour
1.      Teks dan Tindakan
Meski banyak memiliki keragaman perspektif kefilsafatan, namun keseluruhan filsafat Ricoeur nampaknya mengarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi. Filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutic, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. Dia sendiri mengatakatan bahwa pada dasarnya seluruh filsafat adalah interpretasi atas interpretasi. Bahkan, dengan mengutip Nietzsche, dia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna maka di situ interpretasi diperlukan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan, maka interpretasi menjadi sedemikian penting, karena terdapat multi-lapisan makna. Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung, atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusasteraan.
Pada dasarnya teks sendiri bersifat otonom unrtuk melakukan “dekontekstualisasi” (proses pembebasan diri dari konteks), baik dari sudut pandang psikologis maupun sosiologis, dan melakukan “rekontekstalisasi” (proses masuk kembali kedalam konteks) secara berbeda dalam tindakan membaca, sehingga yang menjadi tugas berat bagi hermenetis adalah bagaimana cara membaca menafsirkan dari dalam tanpa harus masuk kedalamnya.
Dalam pembahasannya Ricoeur menaruh perhatian kepada teks sebagai sebuah inskripsi dari aktivitas diskursus. Diskursus adakah pasangan dari apa yang disebut para ahli linguistic dengan sistem bahasa atau kode linguistic. Diskursus adalah peristiwa bahasa atau penggunaan linguistik[3]. Alasannya adalah untuk mengembangkan sebuah pandangan filosofis yang tepat agar orang dapat menggunakan naskah-naskah peninggalan peradaban secara maksimal. Meskipun ada keraguan tentang teks tertulis yang muncul dari pemikir-pemikir besar seperti Plato, Rosseau dan Bergson, Ricoeur mengarahkan perhatiannya pada teks tertulis bukan karena teks dianggapnya sebagai satu-satunya bentuk komunikasi yang benar, melainkan karena kemungkinan yang ada pada teks untuk dipakai sebagai sarana pendidikan yang terus-menerus, sebagai bentuk dokumentasi.
Menurut Ricoeur, teks adalah diskursus tertulis, atau penulisan sebuah karya dalam diskursus. Teks adalah satu mata rantai pada komunikasi. Pada mulanya ada pengalaman eksistensial yang dibuat. Pengalaman ini ditransformasikan ke dalam bahasa, yakni diskursus. Terdapat dua bentuk diskursus, yakni lisan dan tertulis. Teks dihidupkan melalui berbagai pembicaraan. Membaca dan menceritakan kembali adalah cara-cara untuk menghidupkan kembali sebuah teks. Jika kita mengatakan bahwa teks adalah sebuah aktivitas, maka sebenarnya kita mau mengatakan bahwa sebuah teks adalah satu totalitas yang tidak dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat yang membentuknya[4]. Sebuah teks sebenarnya berbicara tentang dunia, bukan tentang lingkungan sekitar dari penulis. Dunia yang menjadi referensi ada di depan teks, dan bukan di belakang teks. Karena itu, Ricoeur menganjurkan kepada setiap pembaca untuk mengarahkan perhatian kepada sesuatu di depan teks. Maksudnya: setiap pembaca mesti membiarkan dirinya untuk dibawa oleh teks ke depan.
Teks membuka pikiran dan perasaan pembaca untuk sesuatu yang ada di depan. Dunia diproyeksikan dalam teks. Apa yang terungkap dalam teks adalah satu percikan dari dunia tersebut. Makna teks ada di depan teks, bukan di balik teks. Makna teks bukanlah sesuatu yang tersembunyi, tetapi sesuatu yang terbuka, terungkap. Pemahaman teks tidak banyak dipengaruhi oleh pengarang dan situasinya. Pemahaman berarti usaha mencari dan mendalami arti dunia sebagaimana terungkap dalam teks. Dengan kata lain, memahami sebuah teks berarti mengikuti gerak dari arti kepada referensi.[5] Memahami teks tidak berarti mengulangi peristiwa pembicaraan dalam satu peristiwa serupa. Memahami adalah upaya untuk menghasilkan sebuah peristiwa baru berdasarkan tujuan yang telah disampaikan dalam tulisan itu sendiri. Bagi Ricoeur, segala sesuatu yang ada sekarang bersifat fragmentaris, tidak pernah mengungkapkan kebenaran secara menyeluruh. Dunia yang sebenarnya ada di depan kita. Tujuan yang paripurna tidak pernah dapat kita capai di dalam kondisi manusiawi kita. Dengan ini Ricoeur menanamkan sebuah harapan dan mendobrak setiap pintu ideologisasi.
Proses penafsiran bermula dengan penerkaan. Kita menerka makna sebuah teks sebelum kita memahaminya secara mendalam. Kita menerka berdasarkan kondisi subyektif kita. Ricoeur menerapkan kerangka berpikirnya tentang teks pada sebuah tindakan. Tindakan manusia itu serupa teks yang ada di depan seorang pembaca yang membutuhkan penafsiran. Ricoeur merangkai kekhasan ini dalam pengertian distansiasi. Terdapat empat jenis distansiasi dari sebuah teks, yakni: Pertama, distansiasi dari peristiwa mana sesuatu itu ditulis oleh makna tentangnya sesuatu itu ditulis. Yang terungkap di dalam sebuah tulisan adalah makna, bukannya suasana. Kedua, distansiasi antara apa yang tertulis dengan penulisnya. Sebuah teks akan segera terlepas dari penulisnya. Teks dibaca untuk orang lain. Ketiga, distansiasi dari pembaca awal. Di dalam sebuah pembicaraan pendengar adalah kelompok tertentu. Apa yang dibicarakan kemudian diteruskan kepada pihak lain. Bisa jadi bahannya semakin meluas dan berkembang. Dan keempat, distansiasi dari referensi awal. Referensi awal adalah hal, kepadanya sebuah makna dirujuk atau tepatnya sesuatu, tentangnya sebuah tulisan berbicara. Distansiasi-distansiasi ini merupakan “jembatan” yang menghubungkan teks dan makna yang terkandung di dalamnya dengan pembaca yang ingin mengetahui makna itu.
Selanjutnya ada tiga tiga macam otonomi teks, pertama, intensi atau maksud si pengarang. Dua, situasi cultural dan kondisi social pada saat teks itu berwujud. Tiga, untuk apa teks itu dimaksudkan. Dengan tiga otonomi ini maka jelaslah apa yang dimaksud dengan dekontekstualisasi, yaitu bagaimana teks dapat melepaskan diri dari intensi atau maksud sipengarang. Jadi teks membuka diri seluas-luasnya dengan berbagaimacam kemungkinan dengan melepaskan diri dari maksud si penulis sehingga pembaca bebas menginterpretasikannya  dan ini yang dimaksud dengan rekontekstualisasi. Dengan sama-sama membuka diri berarti psikologi dari keduanya melebur dan keduanya saling memberikan kepercayaan sehinnng seseorang dalam membaca sebuah teks dapat berinteraksi atau menghayati teks. proses dialektis yang dibacanya sehingga dia mendapatkan objektifitas dari interpretasi teks tersebut tanpa ada prasangka-atau kerentanan yang disebutkan pada judul sebelumnya[6].
Kenapa teks menjadi sebuah otonomi ? karena . pertama, teks bersifat bebas (Distansisasi) dimana teks benar-benar terlepas dari proses pengungkapan si penulis, karena itu, “teks dapat bergerak melampaui batas-batas horizon yang dihayati oleh sangpenulis. Materi yang dibicarakan lebih kaya daripada apa yang di bayangkan atau di abstraksikan oleh sipenulis; dan setiap penafsiran menyingkap karya teks dalam lingkaran makna yang membongkar sampai ke akar-akar psikologis penulisnya”[7]. Dua, teks menjadi dirinya sendiri dan terlepas dari pembicara, yakni tidakada kategoro penulis dan yang hada hanya pembaca pertama. Tiga, fleksibilitas teks yang bisa ditempatkan dalam konteks apapun serta dapat juga menjadi Dekontekstulisasi. Empat, teks independent, monolog dan senantiasa aktus sehingga dia tidak terikat oleh ruang dan waktu, dia bisa berdialog dengan siapapun dan menjadi abadi. Teks independent ini membawa kita kepada dunia teks sehingga ketika teks itu monolog maka kita mengikuti apa yang di gambarkan oleh teks[8].
2.      Kritik Ideolodi Paul Riceour
Kritik ideology paul riceour ini sebenarnya berawal dari kriti ideologinya habermas. Bahwa dengan eksplorasi kritisnya, habermas melakukan apa yang dapat disebut “kritik ideology dan kritik ilmu pengetahuan melalui kritik pengetahuan”. Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan ideology merupakan tiga hal yang saling bertautan dan ketiganya terkait pada praxis kehidupan sosial manusia.[9]
Menurut alur pemikiran habermas, bagaimana ia membangun dasar epistemologis bagi ilmu-ilmu kritis. Pendasaran itu dimulai dalam refleksinya atas materialism marx, lalu diperdalam pada bagian mengenai psikoanalisis freud. Menurutnya marx mamberi sumbangan berharga dengan konsep sintesisnya. Berdasarkan pembedaannya atas kerja dan komunikasi habermas membedakan dua macam sintesis yang dipahami marks, yaitu sintesis melalui kerja dan sintesis melalui penunjangan kelas. Keduanya penting untuk kritik ideology. Dalam hal ini riceour mangatakan bahwa dengan konsep marxis-kantian ini habermas telah meletakkan kategori antropologis sekaligus epistemologis bagi kritik ideology. Hubungan dialektis kedua kategori itu bersifat kritis karena menghubungkan kehendak manusiawi dengan pengetahuannya. Konsep yang mampu menampung hubungan itu adalah kepentingan rasio.
Kritik ideologi bekerja dalam dua tataran ini untuk mencari pertautan dialektis keduanya yaitu manakala pemikiran masyarakat membeku pada salah satu kutub. Pembekuan pemikiran terjadi karena subjek tidak menyadari kepentingan sesunggunhnya dari rasio, yaitu kepentingan untuk membebaskan diri dari alam atau dari tindakan sosial yang seperti alam. Disini, kritik ideology berusaha menjernihkan kembali kepentingan emansipatoris itu berdasarkan dorongan kepentingan itu sendiri. dalam refleksinya atas marx habermas juga mementingkan pembedaan antara hubungan dan kekuatan produksi. Keduanya merupakan praxis, dan sebuah kritik ideology memerlukan konsep tentang praxis. Dalam hal ini berkata riceour tanpa pembedaan diatas, tak ada ruang bagi kritik maupun bagi ideology karena ideology berfungsi dalam hubungan antar manusia dan bukan dalam hubungan manusia dengan alam material.
Dalam menyejajarkan psikoanalisis dengan kritik ideologi, riceour mencoba mengeksplisitkannya dalam empat alasan. Pertama: karena psikoanalisis merupakan proses penyambuhan dan pengenalan diri. Kedua: mengapa psikoanalisis menjadi model kritik ideologi adalah karena dalam keduanya distorsi-distorsi dan emansipasi terjadi dalam proses komunikasi. Ketiga: adalah karena distorsi itu bersifat sistematis. Keempat: karena habermas bersikap kritis. Dari keterangan diatas jelas bahwa yang menjadi sasaran ilmu-ilmu kritis sebagai kritik ideology adalah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.[10]












PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Paul Riceour adalah seorang filosuf dari Prancis yang pemikirannya lebih menekankan pada masalah hermeneutic fenomenologi. Selain ahli dalam bidang filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik sosial, edukatif, dan kultural.
Dikenal sebagai filsuf fenomenologis, filsafat kehendak merupakan filsafat hasil dari ciptaannya, mengenai pembahasan tentang filsafat kehendaknya, ia menuangkan dalam karyanya yang berjudul La Volontereie (Filsafat Kehendak), yang didalamnya berisi tentang deskripsi murni tentang kehendak manusia dan unsure-unsur dalam eksistensinya yang tanpa dipengaruhi oleh kehendaknya karena kehendak selalu beraksi dalam satu lingkungan yang tidak dikehendaki.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan bermakna sebagai sebuah teks disini adalah dimana konsep teks menjadi suatu paradigma yang bagus bagi objek ilmu-ilmu sosial serta bagi interpretasi secara umum di lapangan ilmu-ilmu kemanusiaan.


Daftar Pustaka
Hardiman, F. Budi, Kritik Ideologi, (Kanisius: Yogyakarta, 2009).
Bertens, K., Filsafat Barat Kontomporer Perancis, (Jakarta, PT Gramedia: 2001).
Riceour, Paul, (Pen. Masnur Hery), Teori Interpretasi, (IRCiSoD: Jogjakarta, 2012).
Ricoeur, Paul, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006).
Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Kanisius: Jogyakarta. 1999).
Thompson, Jhon, B., Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. (Visi Humanika: Jakarta, 2005).



[1]K. Bertens, Filsafat Barat Kontomporer Perancis, (Jakarta, PT Gramedia: 2001), hal. 254.
[2]Ibid, Hlm. 257.
[3]Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Kreasi Wacana: Yogyakarta, 2006), hlm 268.
[4] Ibid, hlm 269.
[5]Paul Riceour, (Pen. Masnur Hery), Teori Interpretasi, (IRCiSoD: Jogjakarta, 2012), Hlm. 52-53.
[6] Sumaryono. E : Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat. (Kanisius: Jogyakarta. 1999), Hlm 109-110.
[7] Jhon B. Thompson, Filsafat Bahasa dan Hermeneutik. (Visi Humanika: Jakarta, 2005), Hlm. 101.
[8]Ibid, Hlm. 101-102.
[9]F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, (Kanisius: Yogyakarta, 2009), Hlm. 214.
[10]Ibid, Hal. 216.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar