Selasa, 11 Maret 2014

Tasawuf Ibnu Arabi



Oleh : Tanwiratul Barirah


A.  Biografi Ibnu Arabi
Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 M bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H di kota Murcia, Andalusia, Spanyol. Dan wafat pada tanggal 16 November 1240 M/ 28 Rabi’ul Awal 63 H di Damascus. Ibnu Arabi adalah seorang sufi dan pemikir mistik terbesar dunia Islam. Nama lengkapnya adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Hatimi at-Ta’i. Ia sering mengemukakan pemikiran yang kontroversial sehingga dikafirkan oleh beberapa ulama’ besar, antara lain Ibnu taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.[1]
Pada usia 8 tahun keluarganya pindah ke sevilia, tempat Ibnu Arabi kecil mulai belajar Al-Qur’an dan fikih. Karena kecerdasannya yang luar biasa, dalam usia belasan tahun ia pernah menjadi sekretaris (katib) beberapa gubernur di sevilia. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ibnu Rusyd, yang menjadi kadi di sevilia, dan berguru kepadanya. Ibnu Rusyd juga menjadi teman ayahnya. Ini menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang. Falsafah Ibnu Rusyd kelak banyak mempengaruhi falsafahnya, sekalipun tidak sama dengan falsafah tasawufnya.
Setelah usianya menginjak 30 tahun, Ibnu Arabi mulai berkelana untuk menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi kota pusat ilmu pengetahuan Islam di semenanjung Andalusia. Kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abdul Aziz al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf). Pada 594 H/1198 M ia pergi ke Fez, Maroko. Di sini ia menulis kitab al-Isra’ (Perjalanan Malam). Tahun berikutnya ia kembali ke Gordoba dan sempat menghadiri pemakaman gurunya, Ibnu Rusyd. Kemudian ia pergi ke Almeira dan disini ia menulis kitab Mawaqi’ an-Nujum (Posisi Planet).
Pada 598 H/1202 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Tunis, Cairo Yerussalem dan Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. ketika berada di Tunis, ia sempat mempelajari kitab Khal’u an-Na’laini karya Abdul Qasim bin Qisyi yang kemudian disyarah (diberi uraian penjelasan tertulis) olehnya. Menurut Ibnu Khaldun, kitab yang sudah disyarah tersebut seharusnya dimusnahkan karena isinya penuh dengan bid’ah yang dapat menyesatkan. Menurut pengakuan Ibnu Arabi, keberangkatannya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji didasarkan pada ilham yang diterimanya dari Allah SWT. ia tinggal di Mekah selama dua tahun. Hari-hari kehidupannya dekat Ka’bah tersebut diisi dengan kegiatan tawaf, membaca Al-Qur’an, dan itikaf (menciptakan suasana kerohanian yang syahdu, membuat adanya kontak antara dia dan yang Gaib). Berdasarkan kontak itu, Ibnu Arabi menulis kitabnya, yaitu Taj ar-Rasa’il (Mahkota Risalah), Roh al-Quds (Roh Suci), dan Futuhat al-Makiyyah(Penaklukan Mekah). Menurutnya, karya terakhir merupakan yang terbesar karena diterima langsung dari Allah SWT melalui ilham samawi.
Tahun berikutnya Ibnu Arabi pergi ke Yerussalem, Cairo, dan Mekah untuk kembali menunaikan ibadah haji. Pada 606 H/1209 M ia kembali ke Konya dan Anatolia. Kali ini ia sempat menyelesaikan karyanya yang berjudul Risalah al-Anwar (Risalah tentang Nur). Pada 608 H/1211 M ia kembali ke Baghdad bersama Majiduddin Ishaq sebagai utusan kesultanan untuk melapor kepada pemerintah pusat tentang bertahtanya Kay Ka’us I sebagai sultan Konya. Kemudian ia bermukim di Aleppo dan Damaskus (609 H/1211 M-612 H/1215 M) serta sempat mensyarah Kitab syair Turjuman al-Asywaq ke dalam pengertian mistik.
Pada tahun 612 H/1215 M, Ibnu Arabi pergi ke Malatya dan bermukim sampai 618 H/1221 M. di sini ia sempat menikah dengan seorang janda Majiduddin Ishaq dan mempunyai seorang anak yang bernama Sa’addin Muhammad. Setelah itu, tercatat dalam sejarah, pada tahun 627 H/1230 M, Ibnu Arabi telah berada di Damaskus. Di masa tuanya, Ibnu Arabi menghabiskan waktunya dengan membaca, mengajar, dan menggubah syair. Di Damascus ini pula Ibnu Arabi menulis satu lagi karya monumentalnya yang menurutnya diterima langsung dari Rasulullah SAW melalui mimpinya, yaitu kitab Fushus al-Hikam (Permata Hikmah). Di sini pula Ibnu Arabi menyempurnakan kitab Futuhat al-Makiyyah.

B.  Karya-Karya Ibnu Arabi
Sebagaimana disebutkan oleh Abdurrahman al-Jami dalam buku Nafahat al-Uns (Sepoi-sepoi Kemesraan), diperkirakan karya Ibnu Arabi sekitar 500 buku. Atau sekitar 400 buku sebagaimana dinyatakan oleh asy-Sya’rani dalam al-Yawaqit wal-Jawahir (Batu-batuan dan Permata). Akan tetapi Prof. Dr. Abul A’la Afifi menyebutkan tak lebih dari 289 buku, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ibnu Arabi dalam sebuah catatannya yang ia tulis tahun 632 H. di antara karya-karya Ibnu Arabi yang cukup terkenal adalah:
1.      al-Futuhat al-Makkiyah (Penyingkapan-penyingkapan Ruhani di Mekkah) yang merupakan ensiklopedi dalam ilmu-ilmu Islam.
2.      Fushus al-Hikam (Permata-permata Hikmah).[2]
Al-Futuhat al-Makkiyah adalah salah satu bukunya yang ia tulis pada akhir-akhir masa hidupnya pada tahun 598 H dan baru selesai pada tahun 636 H. buku ini berisi bermacam-macam topic dalam kajian Islam yang isinya campur aduk satu sama lain, yang susunannya tidak tertib dan tidak teratur. Selain itu tidak hanya topic dari buku ini saja yang campur aduk, melainkan juga bahasa isyarat, symbol, dan bahasa biasanya yang juga terkesan campur aduk, sehingga cukup membingungkan bagi mereka yang tidak biasa dengan bahasa Ibnu Arabi. Dalam buku ini, penulis seperti hanya menumpahkan segala apa yang terbetik dalam benaknya setiap saat yang ia inginkan.
Sedangkan dalam buku Fushus al-Hikam, isyarat-isyarat maupun symbol-simbol yang digunakan juga tidak kalah pelik dan rumitnya dibandinding buku pertama tadi, yaitu Futuhat al-Makkiyah. Buku ini merupakan buku yang paling dalam dan paling jauh pengaruhnya bagi para pemikir serta para sufi semasa hidupnya, juga generasi-generasi sesudahnya. Dan buku Fushus al-Hikam ini pula banyak mendominasi tentang masalah wahdatul wujud. Selain kedua buku ini, kitab-kitab karya Ibnu Arabi yang tidak tidak diketahui secara pasti tempat penulisannya yaitu:
1.      Turjuman al-Asywaq (Terjemahan Rasa Cinta)
2.      Risalah al-Anwar (Risalah Tentang Nur)
3.      Musyahadah al-Asrar (Melihat Rahasia)
4.      Al-Mishbah fi al-Jam’I bain as-Sihhah (Penerang Untuk Mengumpulkan Hadits Shohih)
5.      Futuhat Madaniyyah (Penaklukan Madinah)
6.      At-Tadbirat al-Ilahiyyah (Pengaturan Tuhan)
7.      Tafsir asy-Syaikh al-Akhbar (Tafsir Simbolis al-Qur’an Versi Sufi)
8.      Sirr Asma’ Allah al-Husna (Rahasia dalam Asma’ al-Husna)
9.      Asrar al-Qulub al-‘Arifin (Rahasia dalam Kalbu Orang yang Arif)
10.  Al-Hikmah al-Ilahiyyah (Hikmah Tuhan)
11.  Al-Jadwat al-Muqtabisat (Anugerah yang Diperoleh)
12.  Al-Isra’ ila Maqam al-Asra (Perjalanan Menuju ke Tempat yang Mulia)
13.  Fada’il Abd al-‘Aziz al-Mahdawi (Kelebihan Abdul Aziz al-Mahdawi)
C.  Pemikiran
1.      Pengertian Wujud
Sebelum membahas doktrin yang pada umumnya disebut Kesatuan Wujud ( Wahdat al-Wujud) atau Phantheisme, lebih pentingnya untuk memperjelas dahulu apa yang dimaksud dengan Wujud (Being al-Wujud) dan perkataan “Tuhan adalah Wujud Mutlak” (Allah Huwa al-Wujuud al-Haqq).[3]
Terdapat dua pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami istilah Wujud: yang pertama yaitu, Wujud sebagai suatu konsep atau ide tentang Wujud eksistensi (Wujuud bil Ma’na al Masdari), dan yang kedua Bisa berarti yang mempunyai Wujud, yakni yang Ada (Exists) atau yang Hidup (subsists) (Wujuud bil Ma’na Maujud). Jadi istilah Wujud Mutlak (al-Wujuud al-Mutlaq) atau Wujud Uneversil (al-Wujuud al-Kulli) yang digunakan Ibnu Arabi dan Murid-muridnya, untuk menunjukkan Realitas yang merupakan puncaknya dari semua yang ada.
2.      Wihdatul Wujud Ibnu Arabi
Menurut Ibnu Arabi, wujud pada hakikatnya hanyalah satu, yakni wujud Allah yang mutlak (al-Wujud al-Muthlaq) atau wujud universal (al-Wujud al-Kulli) yang merupakan realitas puncak dari semua yang ada. Pengertian wujud dan kemutlakannya itu tidaklah definitive. Wujud, menurutnya bisa berarti konsep al-Wujud bi al-ma’na al-mashdari (wujud sebagai suatu yang ada) atau yang hidup (subsis). Sedangkan kemutlakan wujud itu sendiri mencakup 4 macam pengertian berikut:
a.       Mutlak dalam arti bahwa wujud itu tidak terbatas pada bentuk khusus apa pun, melainkan pada semua bentuk.
b.      Mutlak dalam arti bukan wujud dalam semua bentuk, melainkan wujud yang mentransendensikan semua bentuk.
c.       Mutlak dalam arti bukan sebagai suatu penyebab (‘illat) dari segala sesuatu, dan ini disebutnya sebagai wujud yang menghidupkan diri sendiri dan mutlak bebas.
d.      Mutlak dalam arti realitas dari segala realitas (baqiqat al-baqaiq).
Selain itu, Ibnu Arabi sering menyebut wujud mutlak sebagai “kebutaan” (al-A’ma), “titik diakritik” (al-Nuqthah), “pusat lingkaran” (markaz al-dairah) atau metaphor-metafor lain yang sulit dipahami. Karenanya banyak orang tidak memahami secara pasti apa yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu Arabi bahwa semua wujud adalah satu dan merupakan kesatuan mutlak.
Sehingga, menurut Ibnu Arabi semua yang kita ketahui hanya mempunyai eksistensi terbatas dan ini tidak dapat berasal dari dirinya sendiri. Karenanya, harus ada eksistensi Absolut yang menjadi sumber dari semua eksistensi terbatas. Dan eksistensi Absolut itu tidak lain adalah Tuhan.
Wujud dan eksistensi itu mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Eksistensi merupakan spesies dari wujud. Segala sesuatu yang mempunyai wujud, bisa dikatakan mempunyai eksistensi bila ia dimanifestasikan dalam salah satu di antara 4 tahapan atau tingkatan (‘awalim atau maartib) wujud, yakni:
a.       Wujud sesuatu di dunia eksternal (wujud al-syai’i fi’ ainibi).
b.      Wujud berakal (wujud al-syai’i fi al-‘ilm).
c.       Wujud sesuatu dalam ucapan (wujud al-syai’i fi al-alfadz).
d.      Wuwjud sesuatu dalam tulisan (wujud al-syai’I fi al-rasm).
Selanjutnya, segala sesuatu yang mempunyai wujud, baik yang sementara atau yang abadi, menurut Ibnu Arabi harus ada di dalam salah satu di antara empat tahapan tersebut. jika tidak, maka dia bukan wujud, tetapi:
1.      Sesuatu yangv tidak mempunyai eksistensi dalam salah satu tingkatan wujud, atau non-eksistensi murni (al-‘adam al-mahd).
2.      Sesuatu yang ada dalam satu tingkatan wujud tetapi tidak ada dalam tingkatan lainnya. Dan ini bisa berupa:
a.       Sesuatu yang hanya ada dalam pikiran sebagai idea tau konsep dan tidak mungkin ada dalam dunia eksternal.
b.      Sesuatu yang mungkin ada atau bahkan merupakan eksistensi, tetapi sebenarnya tidak ada di dunia eksternal.
Sehingga menurut Ibnu Arabi Tuhan bukanlah Tuhan dalam agama-agama lain yang dibayangkan oleh orang-orang menurut keinginannya masing-masing atau dari segi pahala dan siksa di akhirat nanti. Allah berada di atas semua itu dan bagaimana Dia sebenarnya, menurutnya, hanya dapat diketahui oleh orang sufi pada puncak pengalaman spiritualnya. Allah atau Wujud Mutlak itu bertajalli dalam tiga maqam (martabat)[4]:
1.      Martabat Abadiyyah (Zatiyyah)
Pada tingkatan ini, wujud Allah merupakan Zat Mutlak dan Mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karenanya, Dia tidak dipahami atau dikhayalkan.
2.      Martabat Wabidiyah
Tajalli Zat atau faidh aqdas (limpahan yang terkudus) melalui sifat dan asmaNya. Zat tersebut disebut Allah, pengumpul atau pengikat Sifat-sifat dan Nama-nama yang sempurna (Asma’ al-Husna).
Ibnu Arabi disini sebagaimana halnya kaum Mu’tazilah, menyebutkan Sifat dan Asma sebagai hakikat alam empirik (a’yan al-tsabitah) yang juga disebutnya sebagai proses ta’ayun al-awwal (perwujudan pertama) yang berupa wujud potensial.
3.      Martabat Tajalli Syuhudi
Ini disebutnya faidh muqaddas (limpahan kudus) sebagai ta’ayun al-tsani (perwujudan kedua).
Pada tingkat ini Allah bertajalli melalui Asma dan SifatNya dalam kenyataan empiric atau kenyataan actual. Dan ini terjadi melalui firmanNya yang berbunyi “Kun!” (jadilah).
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap, namun dalam hal ini Ibnu Arabi selaku penggagas konsep ini memberikan ilustrasi yang cukup jelas tentang bagaimana hubungan antara Tuhan dan alam dalam konsep kesatuan Wujudnya. Wajah sebenarnya adalah satu, tapi jika engkau perbanyak cermin, maka Ia menjadi banyak. Wajah disini merujuk pada Tuhan, sedangkan cermin merujuk pada alam. Jadi dalam khayal Ibnu Arabi hubungan Tuhan dan alam adalah seperti hubungan wajah dengan cermin, sedangkan berbagai makhluk yang ada didalamnya tidak lain dari pada baying-bayang wajah yang sama dan satu tetapi refleksi dalam banyak cermin sehingga mengesankan keanekaan.[5]
Pemikiran tasawuf Ibnu Arabi sendiri yang terkenal dan fenomenal ialah paham Wihdatul Wujud, yakni yang ada itu hanyalah satu, yaitu Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan hanyalah penampakan lahir (mazhar) dari yang satu itu. Keberadaan yang banyak (makhluk) tergantung pada keberadaan yang satu, sebagaimana keberadaan bayang-bayang tergantung pada keberadaan suatu benda. Tetapi keberadaan yang satu tidak harus ada bayang-bayangnya. Martabat sufi tertinggi dalam tasawuf Ibnu Arabi adalah menjadi yang mazhar atau “bayangan” tertinggi dari Tuhan yang disebut Insan Kamil (manusia sempurna), misalnya “bayangan” Tuhan yang paling ideal adalah Nabi Muhammad SAW.[6]
Selanjutnya secara lebih teknis para pendukung Wihdatul Wujud menyebut segala macam benda dan makhluk yang terdapat di alam semesta sebagai manifestasi (Tajalliyat) Tuhan. Tuhan di sini bukan dalam arti esensi (Dzat)-Nya yang transenden, tetapi dalam arti nama-nama atau sifat-sifat-Nya yang Indah.
Hubungan antara nama-nama (sifat-sifat) Tuhan trsebut dengan makhluk yang ada di jagat raya adalah seperti hubungan antara prototype dengan penjelmaannya, atau ide dengan realisainya dalam bentuk-bentuk nyata. Nama-nama itu disebut “entitas-entitas yang mapan” (al-a’yan al-tsabitah) yang menemukan aktualisasinya dalam bentuk-bentuk yang beraneka dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Jadi, apapun yang kita temukan dalam alam semesta ini tak lain daripada manifestasi sifat-sifat atau butir-butir ide dalam pengetahuan Tuhan. Semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat Tuhan, sehingga alam bisa disebut sebagai aspek lahiriah Tuhan, sedangkan sifat-sifat Tuhan sendiri merupakan aspek tersembunyi atau batiniah dari Realitas yang sama. Dalam al-Qur’an juga menyebut Tuhan sebagai yang lahir (al-Zhahir) dan yang Batin (al-Bathin). Jadi yang lahir dan yang batin adalah Tuhan yang sama, yang satu.
Ibnu Arabi menegakkan fahamnya yaitu Wahdatul Wujud dengan berdasarkan renungan fikir filsafat dan zauq tasawuf. Baginya Wujud (yang ada) itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya khalik. Pada hakikatnya tidaklah ada farak (perbedaan) diantara keduanya. Kalau dikatakan berlainan dan berbeda wujud makhluk dengan wujud khalik, itu hanya lantaran pendeknya faham dan singkat akal dalam mencapai pengetahuan hakikat. Dalam Futuhat dia pernah berkata: “Subhana man khalaka’l Asyya-a wahuwa ‘ainuha” (amat sucilah Tuhan yang menjadikan segala sesuatu, dan dialah ‘ain sesuatu itu).[7]
Disebutkan pula dalam perkataannya, wujud ‘ain adalah wujud Allah. Allah itulah hakikat Alam. Tidak ada disana perbedaan di antara Wujud yang Qadim yang digelari Khalik itu dengan Wujud yang baru yang dinamai makhluk. Tidak ada perbedaan ‘Abid dengan Ma’bud, bahkan ‘Abid dengan Ma’bud adalah satu. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang Esa.
Seperti bukunya yang telah dibicarakan sebelumnya, masalah Wahdat al-Wujud juga banyak mendominasi Kitab Fushush al-Hikam. Namun perlu diingat, apa yang dinyatakan Ibnu Arabi lain dengan yang dikatakan oleh abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, bahkan oleh penyair sufi yang sezaman dengannya yaitu Ibnu al-Faridh. Ketiga penyair tersebut lebih banyak mengungkapkan kefanaan diri mereka dalam mabuk cinta kepada Allah, tenggelam dalam kepayang yang menyirnakan selain-Nya, hingga yang tampak hanyalah Dia. Itulah yang disebut Wahdat asy-Syuhud (satunya penglihatan) yang lebih banyak merupakan luapan pengalaman emosional, ketimbang Wahdat al-Wujud (satunya wujud) yang lebih banyak merupakan teori kefilsafatan. Tentu saja teori tersebut juga ditopang oleh pengalaman ruhani yang dalam.
Di dalam Fushushnya Ibnu Arabi berkata:
Al-Haq dan al-khalq dalam wajah ini
Ketahuilah
Bukanlah al-khalq dalam wajah ini
Camkanlah
Satukan dan beraikan
Intinya hanyalah Satu
Dialah yang banyak
Tiada yang tersisa
Dan tiada yang dibiarkan
Di satu sisi al-Haq dan al-khalq dalam wajah yang sama, ketahuilah. Namun disisi lain al-khalq sama sekali berbeda dengan al-Haq, camkanlah. Baik disatukan maupun dicerai-beraikan, intinya hanya satu. Dialah yang banyak, yang tak sesuatu pun ditinggalkan tersisa dan dibiarkan.
Adapun Hubungan antara al-Haq dan al-khalq, dia menguraikannya melalui isyarat-isyarat, perumpamaan, kiasan-kiasan dan metafora yang remang-remang, hingga orang yang tidak hati-hati bisa terjebak dalam tafsiran-tafsiran yang keliru. Menurut Ibnu Arabi, al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Yang pertama adalah wujud hakiki yaitu wujud-Nya dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud idhafi (relatif) yang tak lain adalah wujud-Nya yang tampak di segenap apa yang ada di alam semesta ini selain-Nya.[8] Yang pertama adalah wujud-Nya yang batin, yang hanya diketahui oleh diri-Nya Sendiri, dan yang kedua adalah wujud-Nya yang lahir yang tampak pada segenap makhluk yang ada. Maka dalam al-Qur’an, al-Haq digambarkan sebagai “yang pertama dan Yang terakhir, Yang lahir dan Yang batin”. Kalau wujud yang pertama adalah wujud yang tetap sejak azal, maka wujud yang kedua adalah wujud yang senantiasa berubah dan berganti terus-menerus. Sebab itu pula penciptaan alam digambarkan oleh Ibnu Arabi sebagai tajalli (penampilan) Allah SWT. yang terus-menerus dan tak putus-putusnya dalam tampilan yang tak habis-habisnya. Begitu pula, yang pertama biasa disebut sebagai tanzih (transendental) dan yang kedua disebut sebagai tasybih (emanen).
Salah satu contoh, misalnya, tatkala Ibnu Arabi bicara tentang tanzih tampak seolah ia begitu melebih-lebihkan kesucian Allah SWT. dan kelainan-Nya dari semua yang ada, karena dalam ilmu Tauhid tidaklah dibenarkan kecuali menafikan segala apa yang ada pada selain-Nya. Kemudian Ibnu Arabi menyitir ayat, “Tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya”. (QS. asy-Syura:11). Dan ayat, “Maha suci Allah dari apa yang mereka gambarkan”. (QS. Ash-Shaffat: 159). Sebaliknya, tatkala ia membicarakan teori Asy’ariyah tentang jauhar dan ‘ardh, ia menyatakan bahwa Allah tidak lain adalah jauhar itulah, dan bahwa penampilan (tajalliyat) Allah dalam semua apa yang tampak ini tak lain adalah a’radh (jama’ dari ‘ardh) dari jauhar (al-fash al-luqmany) itu sendiri.
Betapapun Ibnu Arabi dikenal sebagai seorang yang menyatakan Wahdatul Wujud, namun ia tetap selalu beribadah kepada-Nya dan mencintai-Nya. Adapun ibada paling ideal menurutnya adalah tercapainya wahdah dzatiyah (keatuan diri) antara penyembah (‘abid) dan yang disembah (ma’bud) secara rasa terdalam (dzauqan). Ibadah juga merupakan ketergantungan (iftiqar) hamba kepada-Nya yang MahaKaya. Hanya Allahlah yang MahaKaya dan selalu jadi gantungan bagi siapapun. Ibnu Arabi kemudian menyitir ayat, “Wahai ummat manusia, kalian adalah fuqara’ (jamak faqir) terhadap Allah, dan Allah-lah yang MahaKaya lagi Maha Terpuji.”[9].
Jika Allah menampilkan diri (yatajalla) dengan nama-nama dan Sifat-sifat-Nya melalui segala sesuatu yang tampak dalam alam semesta, maka penampilan-Nya yang paling sempurna tidak lain adalah pada diri manusia. Manusia menurut Ibnu Arabi, adalah “miniature mulia” (al-Mukhtshar asy-Syarif) dari segenap hakikat wujud, karena ia adalah mikro kosmos dimana semua kesempurnaan makro kosmos tercermin darinya. Oleh sebab itu, ia berhak menyandang pangkat kekhalifahan dari Allah SWT. karena itu pula Adam a.s. yang merupakan prototype manusia disebut sebagai Insan Kamil, yang pada tingkat elitnya hanya terdapat pada para Nabi dan Rasul. Dan yang paling tinggi dari para Nabi dan Rasul itu tidak lain adalah Muhammad SAW. Namun, bukan Muhammad sosok sejarah yang kita ketahui, akan tetapi al-Haqiqah al-Muhammadiyah atau ar-Ruh al-Muhammady (al-Fash al-Muhammady).
Insan Kamil tak lain adalah cermin dimana al-Haq bisa melihat Diri-Nya, atau akal yang bisa mengetahui kesempurnaan Sifat-sifat-Nya, atau wujud dimana tersingkap di dalamnya misteri-misteri-Nya.
Dapat dikatakan bahwa tujuan utam Ibnu Arabi menulis Fushush al-Hikam adalah untuk menjelaskan hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber ilmunya yang tak lain adalah Insan Kamil atau al-Haqiqah al-Muhammadiyah. Yan ini merupakan memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap Nabi dipengaruhi oleh salah satu nama Ilahi yang juga disebut “hikmah”. Kecuali Rasulullah Muhammad SAW. Yang dipengaruhi oleh nama “Allah”, yang menghimpun segenap nama Ilahi. Dengan demikian, sedikit banyak dapat dipahami bahwa isyarat-isyarat dan symbol-simbol yang sering sekali digunakan Ibnu Arabi dalam karya-karyanya. Hal ini dengan sendirinya akan banyak mengurangi kesalahpahaman kita tentang jalan pikiran Sufi tersebut, yakni Ibnu Arabi.
Doktrin kesatuan wujud ternyata sangat berpengaruh baik terhadap perkembangan pemikiran tasawuf berikutnya maupun terhadap pemikiran filosofis pasca Ibnu Arabi. Ini bisa dilihat misalnya dalam ajaran-ajaran tasawuf sufi-sufi terkenal, seperti Shadr al-Din al-Qunawi (w. 1274), Fakhr al-Din al-‘Iraqi dan ‘Abd al-Karim al-Jilli, maupun filosof-filosof irfani-iluminisionis seperti Mulla Shadra (w. 1641). Shadr al-Din al-Syirazi atau Mulla Shadra mengembangkan konsep kesatuan wujud ini dari Ibnu Arabi yang kemudian ia padukan dengan penafsirannya terhadap filsafat iluminasi Suhrawardi (w. 1191) yaitu pendiri madzhab filsafat Isyraqi.











PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Arabi adalah seorang ulama’ sufi terkemuka yang hidup pada abad ke-11 M yang lahir pada tanggal 17 Ramadhan 638 H/1165 M di Andalusia, Spanyol dan wafat pada tanggal 28 Rabi’ul Awal 638 H/1240 M. ia merupakan seorang tokoh penggagas paham Wahdat al-Wujud, yaitu hubungan Tuhan dengan Alam dalam konsep kesatuan wujudnya. Yang dibaratkan dengan wajah dan cermin. Wajah disini merujuk pada Tuhan, sedangkan cermin adalah alam. Jika diperbanyak cermin, maka wajah itu akan menjadi banyak.
Pandangan Wihdatul Wujud menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tampak yang terdapat dalam alam semesta ini merupakan manifestasi  atau tajalliyat Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan hanyalah penampakan lahir (mazhar) dari yang satu, yaitu Tuhan. Sedangkan mengenai al-Haq Ibnu Arabi menjelaskan bahwa al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Yang pertama adalah wujud hakiki yaitu wujud-Nya dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud idhafi (relatif) yang tak lain adalah wujud-Nya yang tampak di segenap apa yang ada di alam semesta ini selain-Nya.
dalam kehidupan Ibnu Arabi juga banyak mengarang kitab-kitab. Kitabnya yang paling terkenal adalah kitab Futuhat al-Makiyyah dan Fushush al-Hikam, yang diantara kitab ini juga mendominasi tentang penikiran Wahdat al-Wujudnya Ibnu Arabi.






DAFTAR PUSTAKA
Armando, Nina M, Ensiklopedi Tematis Islam, (Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2005).
Affifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1995).
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniaannya, (PT Pustaka Panjimas: Jakarta:        1993).
Iskandar, Noer, Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Para sufi, (Jakarta: Srigunting,            2001).
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk tasawuf, (Erlangga: Jakarta, 2006).
Zaini, Fudholi, Sepintas sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, (Risalah Gusti: Surabaya,     2000).


                [1]Nina M. Armando, Ensiklopedi Tematis Islam, (Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2005), Hal. 66.
                [2]Fudholi Zaini, Sepintas sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, (Risalah Gusti: Surabaya, 2000), Hal. 104.
                [3]A. E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 1995), Hal. 13.
                [4]KH. Noer Iskandar, Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Para sufi, (Jakarta: Srigunting, 2001), Hal. 159.
                [5]Mulyadi kartanegara, Menyelami Lubuk tasawuf, (Erlangga: Jakarta, 2006), Hal. 36.
                [6]Nina M. Armando, Ensiklopedi Tematis Islam, (Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, 2005), Hal. 67.
                [7]Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniaannya, (PT Pustaka Panjimas: Jakarta: 1993), Hal. 140.
                [8]Fudholi Zaini, Sepintas sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya, (Risalah Gusti: Surabaya, 2000), Hal. 111.

[9]Al-Qur’an Surat Al-Fathir: 15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar