Oleh : Tanwiratul Barirah
A.
Biografi Ibnu Arabi
Ibnu Arabi dilahirkan pada tanggal 28 Juli 1165 M bertepatan pada
tanggal 17 Ramadhan tahun 560 H di kota Murcia, Andalusia, Spanyol. Dan wafat
pada tanggal 16 November 1240 M/ 28 Rabi’ul Awal 63 H di Damascus. Ibnu Arabi
adalah seorang sufi dan pemikir mistik terbesar dunia Islam. Nama lengkapnya
adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin
Abdullah Hatimi at-Ta’i. Ia sering mengemukakan pemikiran yang kontroversial
sehingga dikafirkan oleh beberapa ulama’ besar, antara lain Ibnu taimiyah dan
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.[1]
Pada usia 8 tahun keluarganya pindah ke sevilia, tempat Ibnu Arabi
kecil mulai belajar Al-Qur’an dan fikih. Karena kecerdasannya yang luar biasa,
dalam usia belasan tahun ia pernah menjadi sekretaris (katib) beberapa gubernur
di sevilia. Di kota ini pula ia berkenalan dengan Ibnu Rusyd, yang menjadi kadi
di sevilia, dan berguru kepadanya. Ibnu Rusyd juga menjadi teman ayahnya. Ini
menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga terpandang. Falsafah Ibnu Rusyd
kelak banyak mempengaruhi falsafahnya, sekalipun tidak sama dengan falsafah
tasawufnya.
Setelah usianya menginjak 30 tahun, Ibnu Arabi mulai berkelana
untuk menuntut ilmu. Mula-mula ia mendatangi kota pusat ilmu pengetahuan Islam
di semenanjung Andalusia. Kemudian ia pergi ke Tunis untuk menemani Abdul Aziz
al-Mahdawi (seorang ahli tasawuf). Pada 594 H/1198 M ia pergi ke Fez, Maroko.
Di sini ia menulis kitab al-Isra’ (Perjalanan Malam). Tahun berikutnya ia
kembali ke Gordoba dan sempat menghadiri pemakaman gurunya, Ibnu Rusyd.
Kemudian ia pergi ke Almeira dan disini ia menulis kitab Mawaqi’ an-Nujum
(Posisi Planet).
Pada 598 H/1202 M, Ibnu Arabi pergi lagi ke Tunis, Cairo Yerussalem
dan Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. ketika berada di Tunis, ia sempat
mempelajari kitab Khal’u an-Na’laini karya Abdul Qasim bin Qisyi yang kemudian
disyarah (diberi uraian penjelasan tertulis) olehnya. Menurut Ibnu Khaldun,
kitab yang sudah disyarah tersebut seharusnya dimusnahkan karena isinya penuh
dengan bid’ah yang dapat menyesatkan. Menurut pengakuan Ibnu Arabi,
keberangkatannya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji didasarkan pada ilham
yang diterimanya dari Allah SWT. ia tinggal di Mekah selama dua tahun.
Hari-hari kehidupannya dekat Ka’bah tersebut diisi dengan kegiatan tawaf,
membaca Al-Qur’an, dan itikaf (menciptakan suasana kerohanian yang syahdu,
membuat adanya kontak antara dia dan yang Gaib). Berdasarkan kontak itu, Ibnu
Arabi menulis kitabnya, yaitu Taj ar-Rasa’il (Mahkota Risalah), Roh
al-Quds (Roh Suci), dan Futuhat al-Makiyyah(Penaklukan Mekah).
Menurutnya, karya terakhir merupakan yang terbesar karena diterima langsung
dari Allah SWT melalui ilham samawi.
Tahun berikutnya Ibnu Arabi pergi ke Yerussalem, Cairo, dan Mekah
untuk kembali menunaikan ibadah haji. Pada 606 H/1209 M ia kembali ke Konya dan
Anatolia. Kali ini ia sempat menyelesaikan karyanya yang berjudul Risalah
al-Anwar (Risalah tentang Nur). Pada 608 H/1211 M ia kembali ke Baghdad bersama
Majiduddin Ishaq sebagai utusan kesultanan untuk melapor kepada pemerintah
pusat tentang bertahtanya Kay Ka’us I sebagai sultan Konya. Kemudian ia
bermukim di Aleppo dan Damaskus (609 H/1211 M-612 H/1215 M) serta sempat
mensyarah Kitab syair Turjuman al-Asywaq ke dalam pengertian mistik.
Pada tahun 612 H/1215 M, Ibnu Arabi pergi ke Malatya dan bermukim
sampai 618 H/1221 M. di sini ia sempat menikah dengan seorang janda Majiduddin
Ishaq dan mempunyai seorang anak yang bernama Sa’addin Muhammad. Setelah itu,
tercatat dalam sejarah, pada tahun 627 H/1230 M, Ibnu Arabi telah berada di
Damaskus. Di masa tuanya, Ibnu Arabi menghabiskan waktunya dengan membaca,
mengajar, dan menggubah syair. Di Damascus ini pula Ibnu Arabi menulis satu
lagi karya monumentalnya yang menurutnya diterima langsung dari Rasulullah SAW
melalui mimpinya, yaitu kitab Fushus al-Hikam (Permata Hikmah). Di sini pula
Ibnu Arabi menyempurnakan kitab Futuhat al-Makiyyah.
B.
Karya-Karya Ibnu Arabi
Sebagaimana disebutkan oleh Abdurrahman al-Jami dalam buku Nafahat
al-Uns (Sepoi-sepoi Kemesraan), diperkirakan karya Ibnu Arabi sekitar 500 buku.
Atau sekitar 400 buku sebagaimana dinyatakan oleh asy-Sya’rani dalam al-Yawaqit
wal-Jawahir (Batu-batuan dan Permata). Akan tetapi Prof. Dr. Abul A’la Afifi menyebutkan
tak lebih dari 289 buku, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ibnu Arabi dalam
sebuah catatannya yang ia tulis tahun 632 H. di antara karya-karya Ibnu Arabi
yang cukup terkenal adalah:
1.
al-Futuhat
al-Makkiyah
(Penyingkapan-penyingkapan Ruhani di Mekkah) yang merupakan ensiklopedi dalam
ilmu-ilmu Islam.
Al-Futuhat al-Makkiyah
adalah salah satu bukunya yang ia tulis pada akhir-akhir masa hidupnya pada
tahun 598 H dan baru selesai pada tahun 636 H. buku ini berisi bermacam-macam
topic dalam kajian Islam yang isinya campur aduk satu sama lain, yang
susunannya tidak tertib dan tidak teratur. Selain itu tidak hanya topic dari
buku ini saja yang campur aduk, melainkan juga bahasa isyarat, symbol, dan
bahasa biasanya yang juga terkesan campur aduk, sehingga cukup membingungkan
bagi mereka yang tidak biasa dengan bahasa Ibnu Arabi. Dalam buku ini, penulis
seperti hanya menumpahkan segala apa yang terbetik dalam benaknya setiap saat
yang ia inginkan.
Sedangkan dalam buku Fushus al-Hikam, isyarat-isyarat maupun
symbol-simbol yang digunakan juga tidak kalah pelik dan rumitnya dibandinding
buku pertama tadi, yaitu Futuhat al-Makkiyah. Buku ini merupakan buku yang
paling dalam dan paling jauh pengaruhnya bagi para pemikir serta para sufi
semasa hidupnya, juga generasi-generasi sesudahnya. Dan buku Fushus al-Hikam
ini pula banyak mendominasi tentang masalah wahdatul wujud. Selain kedua buku
ini, kitab-kitab karya Ibnu Arabi yang tidak tidak diketahui secara pasti
tempat penulisannya yaitu:
1.
Turjuman
al-Asywaq (Terjemahan Rasa Cinta)
2.
Risalah
al-Anwar (Risalah Tentang Nur)
3.
Musyahadah
al-Asrar (Melihat Rahasia)
4.
Al-Mishbah
fi al-Jam’I bain as-Sihhah (Penerang
Untuk Mengumpulkan Hadits Shohih)
5.
Futuhat
Madaniyyah (Penaklukan Madinah)
6.
At-Tadbirat
al-Ilahiyyah (Pengaturan
Tuhan)
7.
Tafsir
asy-Syaikh al-Akhbar (Tafsir
Simbolis al-Qur’an Versi Sufi)
8.
Sirr
Asma’ Allah al-Husna (Rahasia dalam
Asma’ al-Husna)
9.
Asrar
al-Qulub al-‘Arifin (Rahasia dalam
Kalbu Orang yang Arif)
10.
Al-Hikmah
al-Ilahiyyah (Hikmah Tuhan)
11.
Al-Jadwat
al-Muqtabisat (Anugerah yang
Diperoleh)
12.
Al-Isra’
ila Maqam al-Asra (Perjalanan
Menuju ke Tempat yang Mulia)
13.
Fada’il
Abd al-‘Aziz al-Mahdawi (Kelebihan
Abdul Aziz al-Mahdawi)
C.
Pemikiran
1.
Pengertian Wujud
Sebelum membahas doktrin yang pada umumnya disebut Kesatuan Wujud (
Wahdat al-Wujud) atau Phantheisme, lebih pentingnya untuk memperjelas
dahulu apa yang dimaksud dengan Wujud (Being al-Wujud) dan perkataan “Tuhan
adalah Wujud Mutlak” (Allah Huwa al-Wujuud al-Haqq).[3]
Terdapat dua pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami
istilah Wujud: yang pertama yaitu, Wujud sebagai suatu konsep atau ide tentang
Wujud eksistensi (Wujuud bil Ma’na al Masdari), dan yang kedua Bisa
berarti yang mempunyai Wujud, yakni yang Ada (Exists) atau yang Hidup
(subsists) (Wujuud bil Ma’na Maujud). Jadi istilah Wujud Mutlak (al-Wujuud
al-Mutlaq) atau Wujud Uneversil (al-Wujuud al-Kulli) yang digunakan
Ibnu Arabi dan Murid-muridnya, untuk menunjukkan Realitas yang merupakan
puncaknya dari semua yang ada.
2.
Wihdatul Wujud Ibnu Arabi
Menurut Ibnu Arabi, wujud pada hakikatnya hanyalah satu, yakni
wujud Allah yang mutlak (al-Wujud al-Muthlaq) atau wujud universal (al-Wujud
al-Kulli) yang merupakan realitas puncak dari semua yang ada. Pengertian wujud
dan kemutlakannya itu tidaklah definitive. Wujud, menurutnya bisa berarti
konsep al-Wujud bi al-ma’na al-mashdari (wujud sebagai suatu yang ada) atau
yang hidup (subsis). Sedangkan kemutlakan wujud itu sendiri mencakup 4 macam
pengertian berikut:
a.
Mutlak
dalam arti bahwa wujud itu tidak terbatas pada bentuk khusus apa pun, melainkan
pada semua bentuk.
b.
Mutlak
dalam arti bukan wujud dalam semua bentuk, melainkan wujud yang
mentransendensikan semua bentuk.
c.
Mutlak
dalam arti bukan sebagai suatu penyebab (‘illat) dari segala sesuatu, dan ini
disebutnya sebagai wujud yang menghidupkan diri sendiri dan mutlak bebas.
d.
Mutlak
dalam arti realitas dari segala realitas (baqiqat al-baqaiq).
Selain itu, Ibnu Arabi sering menyebut wujud mutlak sebagai
“kebutaan” (al-A’ma), “titik diakritik” (al-Nuqthah), “pusat lingkaran” (markaz
al-dairah) atau metaphor-metafor lain yang sulit dipahami. Karenanya banyak
orang tidak memahami secara pasti apa yang dimaksud dengan pernyataan Ibnu
Arabi bahwa semua wujud adalah satu dan merupakan kesatuan mutlak.
Sehingga, menurut Ibnu Arabi semua yang kita ketahui hanya
mempunyai eksistensi terbatas dan ini tidak dapat berasal dari dirinya sendiri.
Karenanya, harus ada eksistensi Absolut yang menjadi sumber dari semua
eksistensi terbatas. Dan eksistensi Absolut itu tidak lain adalah Tuhan.
Wujud dan eksistensi itu mempunyai pengertian yang berbeda satu
sama lain. Eksistensi merupakan spesies dari wujud. Segala sesuatu yang
mempunyai wujud, bisa dikatakan mempunyai eksistensi bila ia dimanifestasikan
dalam salah satu di antara 4 tahapan atau tingkatan (‘awalim atau maartib)
wujud, yakni:
a.
Wujud
sesuatu di dunia eksternal (wujud al-syai’i fi’ ainibi).
b.
Wujud
berakal (wujud al-syai’i fi al-‘ilm).
c.
Wujud
sesuatu dalam ucapan (wujud al-syai’i fi al-alfadz).
d.
Wuwjud
sesuatu dalam tulisan (wujud al-syai’I fi al-rasm).
Selanjutnya, segala sesuatu yang mempunyai wujud, baik yang
sementara atau yang abadi, menurut Ibnu Arabi harus ada di dalam salah satu di
antara empat tahapan tersebut. jika tidak, maka dia bukan wujud, tetapi:
1.
Sesuatu
yangv tidak mempunyai eksistensi dalam salah satu tingkatan wujud, atau
non-eksistensi murni (al-‘adam al-mahd).
2.
Sesuatu
yang ada dalam satu tingkatan wujud tetapi tidak ada dalam tingkatan lainnya.
Dan ini bisa berupa:
a.
Sesuatu
yang hanya ada dalam pikiran sebagai idea tau konsep dan tidak mungkin ada
dalam dunia eksternal.
b.
Sesuatu
yang mungkin ada atau bahkan merupakan eksistensi, tetapi sebenarnya tidak ada
di dunia eksternal.
Sehingga menurut Ibnu Arabi Tuhan bukanlah Tuhan dalam agama-agama
lain yang dibayangkan oleh orang-orang menurut keinginannya masing-masing atau
dari segi pahala dan siksa di akhirat nanti. Allah berada di atas semua itu dan
bagaimana Dia sebenarnya, menurutnya, hanya dapat diketahui oleh orang sufi pada
puncak pengalaman spiritualnya. Allah atau Wujud Mutlak itu bertajalli dalam
tiga maqam (martabat)[4]:
1.
Martabat
Abadiyyah (Zatiyyah)
Pada tingkatan ini, wujud Allah merupakan Zat Mutlak dan Mujarrad,
tidak bernama dan tidak bersifat. Karenanya, Dia tidak dipahami atau
dikhayalkan.
2.
Martabat
Wabidiyah
Tajalli Zat atau faidh aqdas (limpahan yang terkudus) melalui sifat
dan asmaNya. Zat tersebut disebut Allah, pengumpul atau pengikat Sifat-sifat
dan Nama-nama yang sempurna (Asma’ al-Husna).
Ibnu Arabi disini sebagaimana halnya kaum Mu’tazilah, menyebutkan
Sifat dan Asma sebagai hakikat alam empirik (a’yan al-tsabitah) yang juga
disebutnya sebagai proses ta’ayun al-awwal (perwujudan pertama) yang berupa
wujud potensial.
3.
Martabat
Tajalli Syuhudi
Ini disebutnya faidh muqaddas (limpahan kudus) sebagai ta’ayun
al-tsani (perwujudan kedua).
Pada tingkat ini Allah bertajalli melalui Asma dan SifatNya dalam
kenyataan empiric atau kenyataan actual. Dan ini terjadi melalui firmanNya yang
berbunyi “Kun!” (jadilah).
Konsep kesatuan wujud sendiri sangat kompleks dan sulit ditangkap,
namun dalam hal ini Ibnu Arabi selaku penggagas konsep ini memberikan ilustrasi
yang cukup jelas tentang bagaimana hubungan antara Tuhan dan alam dalam konsep
kesatuan Wujudnya. Wajah sebenarnya adalah satu, tapi jika engkau perbanyak
cermin, maka Ia menjadi banyak. Wajah disini merujuk pada Tuhan, sedangkan
cermin merujuk pada alam. Jadi dalam khayal Ibnu Arabi hubungan Tuhan dan alam
adalah seperti hubungan wajah dengan cermin, sedangkan berbagai makhluk yang
ada didalamnya tidak lain dari pada baying-bayang wajah yang sama dan satu
tetapi refleksi dalam banyak cermin sehingga mengesankan keanekaan.[5]
Pemikiran tasawuf Ibnu Arabi sendiri yang terkenal dan fenomenal
ialah paham Wihdatul Wujud, yakni yang ada itu hanyalah satu, yaitu Tuhan.
Segala yang ada selain Tuhan hanyalah penampakan lahir (mazhar) dari yang satu
itu. Keberadaan yang banyak (makhluk) tergantung pada keberadaan yang satu,
sebagaimana keberadaan bayang-bayang tergantung pada keberadaan suatu benda.
Tetapi keberadaan yang satu tidak harus ada bayang-bayangnya. Martabat sufi
tertinggi dalam tasawuf Ibnu Arabi adalah menjadi yang mazhar atau “bayangan”
tertinggi dari Tuhan yang disebut Insan Kamil (manusia sempurna), misalnya
“bayangan” Tuhan yang paling ideal adalah Nabi Muhammad SAW.[6]
Selanjutnya secara lebih teknis para pendukung Wihdatul Wujud
menyebut segala macam benda dan makhluk yang terdapat di alam semesta sebagai
manifestasi (Tajalliyat) Tuhan. Tuhan di sini bukan dalam arti esensi
(Dzat)-Nya yang transenden, tetapi dalam arti nama-nama atau sifat-sifat-Nya yang
Indah.
Hubungan antara nama-nama (sifat-sifat) Tuhan trsebut dengan
makhluk yang ada di jagat raya adalah seperti hubungan antara prototype dengan
penjelmaannya, atau ide dengan realisainya dalam bentuk-bentuk nyata. Nama-nama
itu disebut “entitas-entitas yang mapan” (al-a’yan al-tsabitah) yang
menemukan aktualisasinya dalam bentuk-bentuk yang beraneka dari makhluk-makhluk
ciptaan-Nya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Jadi, apapun yang kita
temukan dalam alam semesta ini tak lain daripada manifestasi sifat-sifat atau
butir-butir ide dalam pengetahuan Tuhan. Semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat
Tuhan, sehingga alam bisa disebut sebagai aspek lahiriah Tuhan, sedangkan
sifat-sifat Tuhan sendiri merupakan aspek tersembunyi atau batiniah dari Realitas
yang sama. Dalam al-Qur’an juga menyebut Tuhan sebagai yang lahir (al-Zhahir)
dan yang Batin (al-Bathin). Jadi yang lahir dan yang batin adalah Tuhan
yang sama, yang satu.
Ibnu Arabi menegakkan fahamnya yaitu Wahdatul Wujud dengan
berdasarkan renungan fikir filsafat dan zauq tasawuf. Baginya Wujud (yang ada)
itu hanya satu. Wujudnya makhluk adalah ‘ain wujudnya khalik. Pada hakikatnya
tidaklah ada farak (perbedaan) diantara keduanya. Kalau dikatakan berlainan dan
berbeda wujud makhluk dengan wujud khalik, itu hanya lantaran pendeknya faham
dan singkat akal dalam mencapai pengetahuan hakikat. Dalam Futuhat dia pernah
berkata: “Subhana man khalaka’l Asyya-a wahuwa ‘ainuha” (amat sucilah
Tuhan yang menjadikan segala sesuatu, dan dialah ‘ain sesuatu itu).[7]
Disebutkan pula dalam perkataannya, wujud ‘ain adalah wujud Allah.
Allah itulah hakikat Alam. Tidak ada disana perbedaan di antara Wujud yang
Qadim yang digelari Khalik itu dengan Wujud yang baru yang dinamai makhluk.
Tidak ada perbedaan ‘Abid dengan Ma’bud, bahkan ‘Abid dengan Ma’bud adalah
satu. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat yang Esa.
Seperti bukunya yang telah dibicarakan sebelumnya, masalah Wahdat
al-Wujud juga banyak mendominasi Kitab Fushush al-Hikam. Namun perlu diingat,
apa yang dinyatakan Ibnu Arabi lain dengan yang dikatakan oleh abu Yazid
al-Bisthami, al-Hallaj, bahkan oleh penyair sufi yang sezaman dengannya yaitu
Ibnu al-Faridh. Ketiga penyair tersebut lebih banyak mengungkapkan kefanaan
diri mereka dalam mabuk cinta kepada Allah, tenggelam dalam kepayang yang
menyirnakan selain-Nya, hingga yang tampak hanyalah Dia. Itulah yang disebut
Wahdat asy-Syuhud (satunya penglihatan) yang lebih banyak merupakan luapan
pengalaman emosional, ketimbang Wahdat al-Wujud (satunya wujud) yang lebih
banyak merupakan teori kefilsafatan. Tentu saja teori tersebut juga ditopang
oleh pengalaman ruhani yang dalam.
Di dalam Fushushnya Ibnu Arabi berkata:
Al-Haq dan al-khalq dalam wajah ini
Ketahuilah
Bukanlah al-khalq dalam
wajah ini
Camkanlah
Satukan dan beraikan
Intinya hanyalah Satu
Dialah yang banyak
Tiada yang tersisa
Dan tiada yang dibiarkan
Di satu sisi al-Haq dan al-khalq dalam wajah yang sama, ketahuilah.
Namun disisi lain al-khalq sama sekali berbeda dengan al-Haq, camkanlah. Baik
disatukan maupun dicerai-beraikan, intinya hanya satu. Dialah yang banyak, yang
tak sesuatu pun ditinggalkan tersisa dan dibiarkan.
Adapun Hubungan antara al-Haq dan al-khalq, dia menguraikannya
melalui isyarat-isyarat, perumpamaan, kiasan-kiasan dan metafora yang
remang-remang, hingga orang yang tidak hati-hati bisa terjebak dalam tafsiran-tafsiran
yang keliru. Menurut Ibnu Arabi, al-Haq mempunyai dua wujud yang berlainan satu
sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Yang pertama adalah wujud hakiki
yaitu wujud-Nya dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud idhafi
(relatif) yang tak lain adalah wujud-Nya yang tampak di segenap apa yang ada di
alam semesta ini selain-Nya.[8]
Yang pertama adalah wujud-Nya yang batin, yang hanya diketahui oleh diri-Nya
Sendiri, dan yang kedua adalah wujud-Nya yang lahir yang tampak pada segenap
makhluk yang ada. Maka dalam al-Qur’an, al-Haq digambarkan sebagai “yang
pertama dan Yang terakhir, Yang lahir dan Yang batin”. Kalau wujud yang pertama
adalah wujud yang tetap sejak azal, maka wujud yang kedua adalah wujud yang
senantiasa berubah dan berganti terus-menerus. Sebab itu pula penciptaan alam
digambarkan oleh Ibnu Arabi sebagai tajalli (penampilan) Allah SWT. yang
terus-menerus dan tak putus-putusnya dalam tampilan yang tak habis-habisnya.
Begitu pula, yang pertama biasa disebut sebagai tanzih (transendental)
dan yang kedua disebut sebagai tasybih (emanen).
Salah satu contoh, misalnya, tatkala Ibnu Arabi bicara tentang
tanzih tampak seolah ia begitu melebih-lebihkan kesucian Allah SWT. dan
kelainan-Nya dari semua yang ada, karena dalam ilmu Tauhid tidaklah dibenarkan
kecuali menafikan segala apa yang ada pada selain-Nya. Kemudian Ibnu Arabi
menyitir ayat, “Tak ada sesuatupun yang menyamai-Nya”. (QS. asy-Syura:11). Dan
ayat, “Maha suci Allah dari apa yang mereka gambarkan”. (QS. Ash-Shaffat: 159).
Sebaliknya, tatkala ia membicarakan teori Asy’ariyah tentang jauhar dan ‘ardh,
ia menyatakan bahwa Allah tidak lain adalah jauhar itulah, dan bahwa penampilan
(tajalliyat) Allah dalam semua apa yang tampak ini tak lain adalah a’radh
(jama’ dari ‘ardh) dari jauhar (al-fash al-luqmany) itu sendiri.
Betapapun Ibnu Arabi dikenal sebagai seorang yang menyatakan
Wahdatul Wujud, namun ia tetap selalu beribadah kepada-Nya dan mencintai-Nya.
Adapun ibada paling ideal menurutnya adalah tercapainya wahdah dzatiyah
(keatuan diri) antara penyembah (‘abid) dan yang disembah (ma’bud) secara
rasa terdalam (dzauqan). Ibadah juga merupakan ketergantungan (iftiqar)
hamba kepada-Nya yang MahaKaya. Hanya Allahlah yang MahaKaya dan selalu jadi
gantungan bagi siapapun. Ibnu Arabi kemudian menyitir ayat, “Wahai ummat
manusia, kalian adalah fuqara’ (jamak faqir) terhadap Allah, dan Allah-lah yang
MahaKaya lagi Maha Terpuji.”[9].
Jika Allah menampilkan diri (yatajalla) dengan nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya melalui segala sesuatu yang tampak dalam alam semesta, maka
penampilan-Nya yang paling sempurna tidak lain adalah pada diri manusia.
Manusia menurut Ibnu Arabi, adalah “miniature mulia” (al-Mukhtshar
asy-Syarif) dari segenap hakikat wujud, karena ia adalah mikro kosmos
dimana semua kesempurnaan makro kosmos tercermin darinya. Oleh sebab itu, ia
berhak menyandang pangkat kekhalifahan dari Allah SWT. karena itu pula Adam
a.s. yang merupakan prototype manusia disebut sebagai Insan Kamil, yang pada
tingkat elitnya hanya terdapat pada para Nabi dan Rasul. Dan yang paling tinggi
dari para Nabi dan Rasul itu tidak lain adalah Muhammad SAW. Namun, bukan
Muhammad sosok sejarah yang kita ketahui, akan tetapi al-Haqiqah
al-Muhammadiyah atau ar-Ruh al-Muhammady (al-Fash al-Muhammady).
Insan Kamil tak lain adalah cermin dimana al-Haq bisa melihat
Diri-Nya, atau akal yang bisa mengetahui kesempurnaan Sifat-sifat-Nya, atau
wujud dimana tersingkap di dalamnya misteri-misteri-Nya.
Dapat dikatakan bahwa tujuan utam Ibnu Arabi menulis Fushush
al-Hikam adalah untuk menjelaskan hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber
ilmunya yang tak lain adalah Insan Kamil atau al-Haqiqah al-Muhammadiyah. Yan
ini merupakan memberikan penjelasan kepada kita bahwa setiap Nabi dipengaruhi
oleh salah satu nama Ilahi yang juga disebut “hikmah”. Kecuali Rasulullah
Muhammad SAW. Yang dipengaruhi oleh nama “Allah”, yang menghimpun segenap nama
Ilahi. Dengan demikian, sedikit banyak dapat dipahami bahwa isyarat-isyarat dan
symbol-simbol yang sering sekali digunakan Ibnu Arabi dalam karya-karyanya. Hal
ini dengan sendirinya akan banyak mengurangi kesalahpahaman kita tentang jalan
pikiran Sufi tersebut, yakni Ibnu Arabi.
Doktrin kesatuan wujud ternyata sangat berpengaruh baik terhadap
perkembangan pemikiran tasawuf berikutnya maupun terhadap pemikiran filosofis
pasca Ibnu Arabi. Ini bisa dilihat misalnya dalam ajaran-ajaran tasawuf
sufi-sufi terkenal, seperti Shadr al-Din al-Qunawi (w. 1274), Fakhr al-Din
al-‘Iraqi dan ‘Abd al-Karim al-Jilli, maupun filosof-filosof
irfani-iluminisionis seperti Mulla Shadra (w. 1641). Shadr al-Din al-Syirazi
atau Mulla Shadra mengembangkan konsep kesatuan wujud ini dari Ibnu Arabi yang
kemudian ia padukan dengan penafsirannya terhadap filsafat iluminasi Suhrawardi
(w. 1191) yaitu pendiri madzhab filsafat Isyraqi.
PENUTUP
Kesimpulan
Ibnu Arabi adalah seorang ulama’ sufi terkemuka yang hidup pada
abad ke-11 M yang lahir pada tanggal 17 Ramadhan 638 H/1165 M di Andalusia,
Spanyol dan wafat pada tanggal 28 Rabi’ul Awal 638 H/1240 M. ia merupakan
seorang tokoh penggagas paham Wahdat al-Wujud, yaitu hubungan Tuhan dengan Alam
dalam konsep kesatuan wujudnya. Yang dibaratkan dengan wajah dan cermin. Wajah
disini merujuk pada Tuhan, sedangkan cermin adalah alam. Jika diperbanyak
cermin, maka wajah itu akan menjadi banyak.
Pandangan Wihdatul Wujud menyebutkan bahwa segala sesuatu yang
tampak yang terdapat dalam alam semesta ini merupakan manifestasi atau tajalliyat Tuhan. Segala yang ada selain
Tuhan hanyalah penampakan lahir (mazhar) dari yang satu, yaitu Tuhan. Sedangkan
mengenai al-Haq Ibnu Arabi menjelaskan bahwa al-Haq mempunyai dua wujud yang
berlainan satu sama lain, namun berhubungan antara keduanya. Yang pertama
adalah wujud hakiki yaitu wujud-Nya dalam diri-Nya, dan yang kedua adalah wujud
idhafi (relatif) yang tak lain adalah wujud-Nya yang tampak di segenap
apa yang ada di alam semesta ini selain-Nya.
dalam kehidupan Ibnu Arabi juga banyak mengarang kitab-kitab.
Kitabnya yang paling terkenal adalah kitab Futuhat al-Makiyyah dan Fushush
al-Hikam, yang diantara kitab ini juga mendominasi tentang penikiran Wahdat
al-Wujudnya Ibnu Arabi.
DAFTAR PUSTAKA
Armando, Nina M, Ensiklopedi Tematis Islam, (Ichtiar Baru
Van Hoeve: Jakarta, 2005).
Affifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (Gaya Media Pratama:
Jakarta, 1995).
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniaannya, (PT Pustaka
Panjimas: Jakarta: 1993).
Iskandar, Noer, Al-Barsany, Tasawuf Tarekat Para Para sufi,
(Jakarta: Srigunting, 2001).
Kartanegara, Mulyadi, Menyelami Lubuk tasawuf, (Erlangga:
Jakarta, 2006).
Zaini, Fudholi, Sepintas sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya,
(Risalah Gusti: Surabaya, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar