Selasa, 11 Maret 2014

PAUL KARL FEYERABEND; ANYTHING GOES METHODE



Oleh: Moch. Tasir Dkk

A.    Latar Belakang
Awal perkembangan baru filsafat sains di abad ke-20 adalah ketidakpuasan terhadap pandangan-pandangan neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis). Kelompok ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling gigih di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi (pemisahan) antara pernyataan-pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi, dapat dimasukkan ke dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris melalui verifikasi yaitu pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika, moral, dan metafisika.
Apa yang disebutkan di atas adalah bagian dari bebearapa ciri para positivis. Dalam perkembangannya positivism dan neo-positivisme ini mengalami banyak sekali pertentangan. Diantaranya dari tokoh-tokoh pemikir Eksakta yang merasa bahwa teori-tori positivistik sangatlah menghegemoni pemikiran mereka dan membuat ilmu pengetahuan menjadi stagnan. Diantara para Fisikawan yang melawan dan mengkritik dari positivisme ini adalah: Thomas Khun dengan Revolusi paradigmanya, Karl Pooper dengan teori falsifikasinya, kemudian juga Feyerabend dengan Anti metodenya dan masih banyak lagi tokoh yang mengkritik habis-habisan berkenaan dengan teori positivistik ini.[1]
Di sini filsafat sains ini tidak berhenti pada posisinya yang pertama. Ada tendensi kuat membawa persoalan pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu agama dan sains dibawa ke dalam satu arena. Dalam analisisnya atas sejarah perkembangan sains, Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak berlangsung linier, homogen, dan rasional seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran baru di dalamnya. Berbada dengan Kuhn yang memimpikan paradigma baru untuk menggantikan paradigma lama dan menghapusnya dalam perkembangan pengetahuan, Paul Karl Feyerabend yang mengakui semua metode dan paradigma yang ada dalam wilayah masing-masing. Di sini dia dikenal sebagai tokoh pluralis dalam hal metode. Dia tidak mendewakan satu teori dalam epistemologinya yang sebelumnya dihegemoni para positivis. Bagaimana bangunan epistemology Paul Feyerabend yang dikenal epistemology anarkisnya, anti metode dan anti sains?
Beberapa hal di atas terkait dengan Paul Karl Feyerabend memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk mengangkat sebuah tema tentang kerangka epistemologinya dengan makalah yang berjudul Anything Goes Philosophy.

B.     Biografi Singkat Feyerabend
            Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya.[2]
            Ia mempelajari Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat dan memperoleh gelar Doktor dalam bidang Fisika di Wina, Austria. Dalam hidupnya ia percaya bahwa ilmu pengetahuan itu paling hebat dan bahwa terdapat hukum-hikum universal yang berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
            Pada tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di London. Pada saat itu, ia masih memegang teguh keyakinan rasionalitasnya, namun akibat perkenalannya dengan Lakatos, pemikiran Feyerabend berubah drastis. Ia melihat keyakinan bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan telah dilanggar dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Di sini,kemudian Feyerabend melihat bahwa segala pencarian hukum universal adalah ilusi belaka.
            Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley dan berkenalan dengan Carl Freither van Weizsacker, seorang ahli matematika kuantum. Berkat perkenalannya dengan Weizsacker inilah pemikiran anarkisme ilmu pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970.
            Jika dilihat dari karakteristik pemikiran Feyerabend, dapat dikatakan, bahwa ia adalah tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu. Sebagai tokoh postmodernisme, maka pemikiran-pemikirannya merupakan bentuk kritik atas paradigma modernisme. Feyerabend, sebagaimana para pemikir postmodernisme lainnya, seperti Lyotard, mengkritik pemikiran abad modern Descartes (Renaissance) sampai dengan Hegel, yang dicap sebagai grand narratives yang di legimitasikan. Para pemikir postmodernisme menuduh, bahwa cara berpikir seperti ini adalah sebagai cara berpikir yang mentotalisasi dan mempunyai ambisi untuk menjelaskan segala aspek lewat grand theory (Teori dasar). Epistemologi Cartesian telah melahirkan keangkuhan epistemologi, bahwa realitas dapat ditaklukan melalui pendefinisian. Singkatnya, Postmodernisme menolak segala bentuk kemapanan.

C.    Latar Belakang Pemikiran
Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern.[3]
Pada masa Feyerabend masyarakat yang cenderung positivis menempatkan ilmu pengetahuan dengan metode mereka sama dengan agama bahkan di atasnya. Dalam lingkungan masyarakat tertentu pada waktu itu, seseorang boleh memilih agama apa saja tapi tidak bisa memilih mempelajari ilmu pengetahuan atau tidak. Ilmu pengetahuan tidak lagi berfungsi membebaskan manusia, tapi justru menguasai dan memperbudak manusia. Kedudukan ilmu penggetahuan seolah agama di abad pertengahan dengan hegemoni pemikitan positivis. Oleh karena itu, Feyerabend sangat menekankan kebebasan individu sebagaimana diperjuangkan John Stewart Mill dalam karyanya On Liberty. Dia melihat kemajuan ilmu pengetahuan dalam pengembangan kebebasan manusia dan terbebasnya ilmu pengegtahuan dari hegemoni para positivis.[4]

D.    Anarkisme Epistemologis Karl Feyerabend  
a.         Pengertian Anarkisme
Anarkisme secara umum didefinisikan sebagai filsafat politik yang memegang negara tidak diinginkan, tidak perlu, dan berbahaya, atau alternatif sebagai menentang otoritas dan organisasi hirarkis dalam melakukan hubungan manusia. Para pendukung anarkisme, yang dikenal sebagai "anarkis", advokat masyarakat bernegara berdasarkan non- hirarkis asosiasi sukarela .
Yang dimaksud oleh Feyerabend dengan istilah anarkisme, tidak lain adalah anarkisme epistemologis. Anarkisme Epistemologis dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk kemampuan (kekuasaan Negara, institusi - institusi, dan ideologi - ideologi yang menopangnya), mungkin anarkisme epistemologis tidak selalu punya loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu.
Pada awalnya, sebagai murid Popper, Feyerabend mendukung filosofi dan prinsip falsifikasi Popper namun kemudian dia berbalik menjadi salah seorang penentang Popper. Feyerabend berpendapat bahwa prinsip falsifikasi Popper tidak dapat dijalankan sebagai satu-satunya metode ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Prinsip dasar mengenai tidak adanya metodologi yang berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains disebut olehnya sebagai epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi apa pun, misal metodologi empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan memperlambat atau menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan ‘anything goes’ yang berarti hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. Sehingga ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, melainkan juga secara kontrainduktif.
Dalam pengembangan prinsip ini Feyerabend mengakui adanya penerapan prinsip liberalisme John Stuart Mills dalam konteks tertentu (sains) dalam metode sains. Feyerabend menganut liberalisme ini karena menurut dia, tidak ada satu hipotesa apa pun, bahkan yang tidak masuk akal, yang tidak berguna untuk kemajuan sains. Dengan pegangan ini, Feyerabend mengatakan bahwa sains dan mitos tidak dapat dibedakan dengan satu batas prinsip tertentu. Mitos adalah sains dengan tradisi tertentu dan sebaliknya sains hanyalah sesuatu tradisi mitos. Asumsi bahwa ada batasan antara sains dan mitos akan menimbulkan batasan-batasan yang menghalangi pemikiran kreatif dan kritis
Metode anarkis Feyerabend yang mempersoalkan metodologi ilmu pengetahuan secara mendasar ingin menghidupkan kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. Feyerabend mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun atas metodologi yang kaku, namun harus ada ruang bagi inisiatif ilmuwan. Karena selain kebenaran, kebebasan ilmiah harus merupakan norma ilmu pengetahuan. Sedangkan kontrol ilmu yang terlalu ketat akan mematikan kreativitas ilmuwan. Semua yang dibuat dietikakan, sehingga pada akhirnya orang takut akan kesalahan.
Dengan adanya metode anarkis Feyerabend yang bersemboyan “anything goes”, perkembangan ilmu pengetahuan akan terus meningkat. Seiring dengan tujuan Feyerabend yang berusaha memajukan ilmu pengetahuan, Metode anarkis ini juga menimbulkan pro dan kontra. Layaknya pisau bermata dua, metode anarkis juga memiliki efek negatif yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh, efek dari dijatuhkannya bom atom yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki masih dirasakan oleh penduduk didaerah tersebut hingga saat ini. Contoh lainnya adalah penelitian-penelitian ilmuwan yang berhubungan dengan senjata nuklir, biologi, dan kimia menjadi senjata pemusnah massal (mass destruction weapon) tentunya juga dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa mendatang. Dengan demikian, ada dua manfaat dari munculnya metode anarkis Feyerabend, yaitu ilmu pengetahuan itu akan tetap terus berkembang dan penggunaan ilmu pengetahuan itu sendiri yang sulit dikontrol oleh manusia.
b.        Anarkisme sebagai Kritik atas Ilmu Pegetahuan
Seluruh pemikiran Feyerabend yang diberi nama anarkisme epistemologis, merupakan suatu kritik. Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mengkritik dari dua sisi. Dalam sudut ini, keduanya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, Anti Metode. Kedua, Anti Ilmu Pengetahuan.  
a)         Anti – Metode
Atas nama kebebasan individu, Feyerabend mau melawan tubuh ilmu pengetahuan. Ia memegang semboyan Anti-Metode. Dengan semboyan itu, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang masa, lagi pula dapat membawahi semua fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend, Klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan seseorang dan dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha memaksakan hukum-hukun yang menghalangi berkembangnya kualitas-kualitas profesiaonal kita dengan mempertaruhkan kemampuan kita.
b)        Anti - Ilmu Pengetahuan
Atas nama kebebasan yang sama, Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan. Anti-ilmu pengetahuan tidak berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Dengan sikap ini, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul ketimbang bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti Sihir, Magic, Mitos dan lain sebagainya.
Dalam bangununan epistemologinya yang anarkis, ada beberapa hal yang diperjuangkan oleh Paul Karl Feyerabend sebagaimana berikut:
1.        Apa Saja Boleh
Feyerabend berkeras sekali pada klaimnya bahwa tidak ada metodologi ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Cara utama, walaupun bukan satu-satunya, yang ia gunakan untuk mendukung klaimnya ialah memperlihatkan bagaimana metodologi-metodologi tidak sejalan atau tidak bisa cocok dengan sejarah fisika. Banyak argumennya dalam menentang metodologi yang saya beri cap sebagai induktivisme dan falsifikasionisme, adalah serupa dengan argument-argumen yang sudah pernah dijelaskan sebelumnya. [5]
2.        Tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama
Suatu komponen penting dari analisa Feyerabend tentang ilmu, ialah pandangannya tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Dalam hal ini terdapat kesamaan dengan pandangan Kuhn mengenai masalah paradigma. Konsepsi Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama, adalah sebagai ketergantungan observasi pada teori. Makna dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan observasi yang digunakan akan tergantung pada konteks teoritis dalam mana makna dan keterangan observasi itu muncul.[6]
3.        Ilmu tidak harus mengungguli bidang-bidang lain
Aspek lain yang penting dari pandangan Feyerabend tentang ilmu menyangkut hubungan antara ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ia mengemukakan, bahwa banyak kaum metodologis sudah menganggap benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu (atau mungkin fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
4.        Kebebasan Individu
Banyak hal di dalam tesis Feyerabend Against Method adalah negativ. Ia menyangkal klaim, bahwa ada metode yang mampu menerangkan sejarah fisika. Ia menyangkal, bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat dikukuhkan dengan minta bantuan pada suatu metode ilmiah. Walaupun begitu, terdapat juga segi positif di dalam kasus Feyerabend itu. Feyerabend membela apa yang ia sebut sebagai “Sikap Kemanusiawian”. Menurut sikap ini, manusia individual harus bebas dan memiliki kebebasan kurang lebih seperti di dalam pengertian John Stewart Mill yang membelanya dalam esai “On Liberty” Feyerabend menyetujui “Usaha meningkatkan kebebasan,untuk menuju ke kehidupan yang penuh dan produktif”. Ia mendukung John Stewart Mill dalam membela  “Pembinaan individualitas yang secara pribadi berproduksi, atau dapat memproduksi manusia-manusia yang maju.

E.     Kesimpulan
            Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya, di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran ilmiahnya
Pemikiran Feyerabend tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern
Prinsip dasar mengenai tidak adanya metodologi yang berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains disebut olehnya sebagai epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi apa pun, misal metodologi empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan memperlambat atau menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan ‘anything goes’ yang berarti hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. Sehingga ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan proses induktif sebagaimana halnya sains normal, melainkan juga secara kontrainduktif.

F.     DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Teraju: Jakarta.
C. Verhak. 1995. Filsafat Ilmu. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Faradi, Abdul Aziz. 2012. (Tesis) Epistemologi Anarkhis Paul Feyerabend dan Implikasinya bagi Pemikiran Islam. Tidak diterbitkan. Yogyakarta.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: dari Masa Klasik hingga Postmodernisme. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
Santoso, Listiyono. 2006. Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.



[1]Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (2008. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 274-275.
[2]Listiyono Santoso, Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi Kiri (2006. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 149-150.
[3]Ibid.,150
[4]C. Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan (1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167.
[5]Donny Gahral Adian Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. (2002. Teraju: Jakarta)., 102-103

[6]C. Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan (1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167-168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar