Oleh: Moch. Tasir Dkk
A.
Latar Belakang
Awal perkembangan baru filsafat
sains di abad ke-20 adalah ketidakpuasan terhadap pandangan-pandangan
neopositivisme yang disebarkan oleh Lingkungan Wina (Wiener Kreis). Kelompok
ilmuwan dan filsuf ini merupakan salah satu pendukung positivisme yang paling
gigih di abad ke-20. Salah satu tesis sentral mereka mempersoalkan demarkasi (pemisahan)
antara pernyataan-pernyataan yang bermakna dan yang tak bermakna. Hanya pernyataan-pernyataan
yang dikeluarkan oleh sains, yaitu mengenai data-data yang dapat diobservasi,
dapat dimasukkan ke dalam wilayah hal-hal yang bermakna. Sementara itu, semua
pernyataan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris melalui verifikasi
yaitu pernyataan-pernyataan yang tidak mengenai data indrawi, dimasukkan ke
dalam wilayah non-sense. Termasuk ke dalamnya adalah estetika, moral, dan
metafisika.
Apa yang disebutkan di
atas adalah bagian dari bebearapa ciri para positivis. Dalam perkembangannya
positivism dan neo-positivisme ini mengalami banyak sekali pertentangan. Diantaranya
dari tokoh-tokoh pemikir Eksakta yang merasa bahwa teori-tori positivistik
sangatlah menghegemoni pemikiran mereka dan membuat ilmu pengetahuan menjadi
stagnan. Diantara para Fisikawan yang melawan dan mengkritik dari positivisme
ini adalah: Thomas Khun dengan Revolusi paradigmanya, Karl Pooper dengan teori
falsifikasinya, kemudian juga Feyerabend dengan Anti metodenya dan masih banyak
lagi tokoh yang mengkritik habis-habisan berkenaan dengan teori positivistik
ini.[1]
Di sini filsafat sains
ini tidak berhenti pada posisinya yang pertama. Ada tendensi kuat membawa
persoalan pencarian makna itu pada posisi kedua, yaitu agama dan sains dibawa
ke dalam satu arena. Dalam analisisnya atas sejarah perkembangan sains, Thomas
Kuhn dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidak
berlangsung linier, homogen, dan rasional seperti yang dikira orang sampai saat
ini. Sains berkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama
dan menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama
akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran
baru di dalamnya. Berbada dengan Kuhn yang memimpikan paradigma baru untuk
menggantikan paradigma lama dan menghapusnya dalam perkembangan pengetahuan,
Paul Karl Feyerabend yang mengakui semua metode dan paradigma yang ada dalam
wilayah masing-masing. Di sini dia dikenal sebagai tokoh pluralis dalam hal
metode. Dia tidak mendewakan satu teori dalam epistemologinya yang sebelumnya
dihegemoni para positivis. Bagaimana bangunan epistemology Paul Feyerabend yang
dikenal epistemology anarkisnya, anti metode dan anti sains?
Beberapa hal di atas
terkait dengan Paul Karl Feyerabend memberikan ketertarikan tersendiri bagi
penulis untuk mengangkat sebuah tema tentang kerangka epistemologinya dengan
makalah yang berjudul Anything Goes
Philosophy.
B.
Biografi
Singkat Feyerabend
Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia
belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of
Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang
hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya,
di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran
ilmiahnya.[2]
Ia mempelajari Astronomi, Matematika, Sejarah, Filsafat dan memperoleh gelar
Doktor dalam bidang Fisika di Wina, Austria. Dalam hidupnya ia percaya bahwa
ilmu pengetahuan itu paling hebat dan bahwa terdapat hukum-hikum universal yang
berlaku dalam segala tindakan yang secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
Pada tahun 50-an, ia mengikuti seminar-seminar filsafat dari Karl Popper di
London. Pada saat itu, ia masih memegang teguh keyakinan rasionalitasnya, namun
akibat perkenalannya dengan Lakatos, pemikiran Feyerabend berubah drastis. Ia
melihat keyakinan bahwa dalam sejarah mekanika kuantum, bermacam-macam patokan
telah dilanggar dan anehnya patokan itu dijunjung tinggi oleh para filsuf bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Di sini,kemudian Feyerabend melihat bahwa segala
pencarian hukum universal adalah ilusi belaka.
Pada tahun 1958, ia menjadi guru besar Universitas California di Berkeley dan
berkenalan dengan Carl Freither van Weizsacker, seorang ahli matematika
kuantum. Berkat perkenalannya dengan Weizsacker inilah pemikiran anarkisme ilmu
pengetahuan Feyerabend mencapai puncak. Puncak pemikiran anarkisnya tertuang
dalam Against Method yang terbit pada tahun 1970.
Jika dilihat dari karakteristik pemikiran Feyerabend, dapat dikatakan, bahwa ia
adalah tokoh postmodernisme dalam bidang filsafat ilmu. Sebagai tokoh
postmodernisme, maka pemikiran-pemikirannya merupakan bentuk kritik atas
paradigma modernisme. Feyerabend, sebagaimana para pemikir postmodernisme
lainnya, seperti Lyotard, mengkritik pemikiran abad modern Descartes
(Renaissance) sampai dengan Hegel, yang dicap sebagai grand narratives yang di
legimitasikan. Para pemikir postmodernisme menuduh, bahwa cara berpikir seperti
ini adalah sebagai cara berpikir yang mentotalisasi dan mempunyai ambisi untuk
menjelaskan segala aspek lewat grand theory (Teori dasar). Epistemologi
Cartesian telah melahirkan keangkuhan epistemologi, bahwa realitas dapat
ditaklukan melalui pendefinisian. Singkatnya, Postmodernisme menolak segala
bentuk kemapanan.
C.
Latar
Belakang Pemikiran
Pemikiran Feyerabend
tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma
pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai
pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang
mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi
dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru
setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan
mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan
kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan
kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran
yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern.[3]
Pada masa Feyerabend
masyarakat yang cenderung positivis menempatkan ilmu pengetahuan dengan metode
mereka sama dengan agama bahkan di atasnya. Dalam lingkungan masyarakat
tertentu pada waktu itu, seseorang boleh memilih agama apa saja tapi tidak bisa
memilih mempelajari ilmu pengetahuan atau tidak. Ilmu pengetahuan tidak lagi
berfungsi membebaskan manusia, tapi justru menguasai dan memperbudak manusia.
Kedudukan ilmu penggetahuan seolah agama di abad pertengahan dengan hegemoni
pemikitan positivis. Oleh karena itu, Feyerabend sangat menekankan kebebasan
individu sebagaimana diperjuangkan John Stewart Mill dalam karyanya On
Liberty. Dia melihat kemajuan ilmu pengetahuan dalam pengembangan kebebasan
manusia dan terbebasnya ilmu pengegtahuan dari hegemoni para positivis.[4]
D. Anarkisme Epistemologis Karl Feyerabend
a.
Pengertian
Anarkisme
Anarkisme secara umum didefinisikan sebagai filsafat
politik yang memegang negara tidak diinginkan, tidak perlu, dan berbahaya, atau
alternatif sebagai menentang otoritas dan organisasi hirarkis dalam melakukan
hubungan manusia. Para pendukung anarkisme, yang dikenal sebagai
"anarkis", advokat masyarakat bernegara berdasarkan non- hirarkis
asosiasi sukarela .
Yang dimaksud oleh Feyerabend dengan istilah
anarkisme, tidak lain adalah anarkisme epistemologis. Anarkisme Epistemologis
dipertentangkan dengan anarkisme politis atau religius. Dikatakannya, apabila
anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk kemampuan (kekuasaan
Negara, institusi - institusi, dan ideologi - ideologi yang menopangnya),
mungkin anarkisme epistemologis tidak selalu punya loyalitas ataupun permusuhan
terhadap institusi-institusi itu.
Pada awalnya, sebagai murid Popper, Feyerabend
mendukung filosofi dan prinsip falsifikasi Popper namun kemudian dia berbalik
menjadi salah seorang penentang Popper. Feyerabend berpendapat bahwa prinsip
falsifikasi Popper tidak dapat dijalankan sebagai satu-satunya metode ilmiah
untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Prinsip dasar mengenai tidak adanya metodologi yang
berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan sains disebut olehnya sebagai
epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi apa pun, misal metodologi
empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan memperlambat atau menghalangi
pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan ‘anything goes’ yang berarti
hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang tidak dapat diterima secara
rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku atau hasil eksperimen. Sehingga
ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan proses induktif sebagaimana
halnya sains normal, melainkan juga secara kontrainduktif.
Dalam pengembangan prinsip ini Feyerabend mengakui
adanya penerapan prinsip liberalisme John Stuart Mills dalam konteks tertentu
(sains) dalam metode sains. Feyerabend menganut liberalisme ini karena menurut
dia, tidak ada satu hipotesa apa pun, bahkan yang tidak masuk akal, yang tidak
berguna untuk kemajuan sains. Dengan pegangan ini, Feyerabend mengatakan bahwa
sains dan mitos tidak dapat dibedakan dengan satu batas prinsip tertentu. Mitos
adalah sains dengan tradisi tertentu dan sebaliknya sains hanyalah sesuatu
tradisi mitos. Asumsi bahwa ada batasan antara sains dan mitos akan menimbulkan
batasan-batasan yang menghalangi pemikiran kreatif dan kritis
Metode anarkis Feyerabend yang mempersoalkan
metodologi ilmu pengetahuan secara mendasar ingin menghidupkan kembali ilmu
pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan manusia. Feyerabend mengemukakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun atas metodologi yang kaku, namun harus ada ruang bagi
inisiatif ilmuwan. Karena selain kebenaran, kebebasan ilmiah harus merupakan
norma ilmu pengetahuan. Sedangkan kontrol ilmu yang terlalu ketat akan
mematikan kreativitas ilmuwan. Semua yang dibuat dietikakan, sehingga pada
akhirnya orang takut akan kesalahan.
Dengan adanya metode anarkis Feyerabend yang
bersemboyan “anything goes”, perkembangan ilmu pengetahuan akan terus
meningkat. Seiring dengan tujuan Feyerabend yang berusaha memajukan ilmu
pengetahuan, Metode anarkis ini juga menimbulkan pro dan kontra. Layaknya pisau
bermata dua, metode anarkis juga memiliki efek negatif yang dapat membahayakan
kelangsungan hidup manusia. Sebagai contoh, efek dari dijatuhkannya bom atom
yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Hiroshima dan Nagasaki
masih dirasakan oleh penduduk didaerah tersebut hingga saat ini. Contoh lainnya
adalah penelitian-penelitian ilmuwan yang berhubungan dengan senjata nuklir,
biologi, dan kimia menjadi senjata pemusnah massal (mass destruction weapon)
tentunya juga dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia di masa mendatang.
Dengan demikian, ada dua manfaat dari munculnya metode anarkis Feyerabend,
yaitu ilmu pengetahuan itu akan tetap terus berkembang dan penggunaan ilmu
pengetahuan itu sendiri yang sulit dikontrol oleh manusia.
b.
Anarkisme
sebagai Kritik atas Ilmu Pegetahuan
Seluruh pemikiran Feyerabend yang diberi nama
anarkisme epistemologis, merupakan suatu kritik. Atas nama kebebasan individu,
Feyerabend mengkritik dari dua sisi. Dalam sudut ini, keduanya tidak dapat
dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertama, Anti Metode. Kedua,
Anti Ilmu Pengetahuan.
a)
Anti – Metode
Atas nama kebebasan individu,
Feyerabend mau melawan tubuh ilmu pengetahuan. Ia memegang semboyan Anti-Metode.
Dengan semboyan itu, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan
dianggap mempunyai satu metode yang baku dan universal serta tahan sepanjang
masa, lagi pula dapat membawahi semua fakta dan penelitian. Menurut Feyerabend,
Klaim itu tidak realistis dan jahat. Tidak realistis, karena kenyataannya ilmu
pengetahuan hanya diambil dari pandangan sederhana atas dasar kemampuan
seseorang dan dari lingkungan tertentu. Jahat, karena ilmu pengetahuan berusaha
memaksakan hukum-hukun yang menghalangi berkembangnya kualitas-kualitas
profesiaonal kita dengan mempertaruhkan kemampuan kita.
b)
Anti - Ilmu
Pengetahuan
Atas nama kebebasan yang sama,
Feyerabend mempunyai sikap anti-ilmu pengetahuan. Anti-ilmu pengetahuan tidak
berarti anti terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan anti terhadap
kekuasaan ilmu pengetahuan yang kerap kali melampaui maksud utamanya. Dengan
sikap ini, ia mau melawan ilmu pengetahuan yang oleh para ilmuwan dianggap
lebih unggul ketimbang bidang-bidang atau bentuk-bentuk pengetahuan lain,
seperti Sihir, Magic, Mitos dan lain sebagainya.
Dalam bangununan epistemologinya yang anarkis, ada beberapa
hal yang diperjuangkan oleh Paul Karl Feyerabend sebagaimana berikut:
1.
Apa Saja Boleh
Feyerabend
berkeras sekali pada klaimnya bahwa tidak ada metodologi ilmu yang pernah
dikemukakan selama ini mencapai sukses. Cara utama, walaupun bukan satu-satunya,
yang ia gunakan untuk mendukung klaimnya ialah memperlihatkan bagaimana
metodologi-metodologi tidak sejalan atau tidak bisa cocok dengan sejarah
fisika. Banyak argumennya dalam menentang metodologi yang saya beri cap sebagai
induktivisme dan falsifikasionisme, adalah serupa dengan argument-argumen yang
sudah pernah dijelaskan sebelumnya. [5]
2.
Tidak bisa
saling diukur dengan standar yang sama
Suatu
komponen penting dari analisa Feyerabend tentang ilmu, ialah pandangannya
tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. Dalam
hal ini terdapat kesamaan dengan pandangan Kuhn mengenai masalah paradigma.
Konsepsi Feyerabend tentang ilmu-ilmu yang tidak bisa saling diukur dengan
standar yang sama, adalah sebagai ketergantungan observasi pada teori. Makna
dan interpretasi tentang konsep-konsep dan keterangan-keterangan observasi yang
digunakan akan tergantung pada konteks teoritis dalam mana makna dan keterangan
observasi itu muncul.[6]
3.
Ilmu tidak harus
mengungguli bidang-bidang lain
Aspek
lain yang penting dari pandangan Feyerabend tentang ilmu menyangkut hubungan
antara ilmu dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya. Ia mengemukakan, bahwa
banyak kaum metodologis sudah menganggap benar, tanpa argumentasi, bahwa ilmu (atau
mungkin fisika) membentuk paradigma rasionalitas.
4.
Kebebasan
Individu
Banyak
hal di dalam tesis Feyerabend Against Method adalah negativ. Ia
menyangkal klaim, bahwa ada metode yang mampu menerangkan sejarah fisika. Ia
menyangkal, bahwa superioritas fisika atas bentuk-bentuk pengetahuan lain dapat
dikukuhkan dengan minta bantuan pada suatu metode ilmiah. Walaupun begitu,
terdapat juga segi positif di dalam kasus Feyerabend itu. Feyerabend membela
apa yang ia sebut sebagai “Sikap Kemanusiawian”. Menurut sikap ini, manusia
individual harus bebas dan memiliki kebebasan kurang lebih seperti di dalam
pengertian John Stewart Mill yang membelanya dalam esai “On Liberty” Feyerabend
menyetujui “Usaha meningkatkan kebebasan,untuk menuju ke kehidupan yang penuh
dan produktif”. Ia mendukung John Stewart Mill dalam membela “Pembinaan
individualitas yang secara pribadi berproduksi, atau dapat memproduksi
manusia-manusia yang maju.
E.
Kesimpulan
Paul Karl Feyerabend dilahirkan pada tahun 1924 di Wina, Austria. Tahun 1945 ia
belajar seni theater dan sejarah theater di Institute for Production of
Theater, The Methodological Reform of the German Theater di Waimar. Sepanjang
hidupnya ia menyukai drama dan kesenian. Hal ini tampak dalam karya-karyanya,
di mana ia memasukan contoh-contoh dari dunia seni untuk menjelaskan pemikiran
ilmiahnya
Pemikiran Feyerabend
tentang anarkisme ilmu pengetahuan dilatar belakangi oleh dominasi paradigma
pemikiran positivistic yang telah dimulai pada abad ke-19. August Comte sebagai
pencetus paradigma positivisme terpengaruh Descartes yang menyatakan ilmu yang
mendasari segala macam ilmu adalah matematika-astronomika-kimia-fisika-biologi
dan puncaknya adalah fisika social (Sosiologi). Comte menyatakan, bahwa baru
setelah manusia mencapai penyelidikan-penyelidikan ilmiah, manusia akan
mendapatkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ilmu-ilmu pengetahuan non-alam akan
kesulitan mendapatkan legitimasi karena akan berhadapan dengan
kesulitan-kesulitan. Kesulitan-kesulitan itu berkaitan dengan tafsiran-tafsiran
yang tidak eksak, sehingga kurang memberikan kemanfaatan bagi manusia modern
Prinsip dasar mengenai
tidak adanya metodologi yang berguna dan tanpa kecuali yang mengatur kemajuan
sains disebut olehnya sebagai epistemologi anarkis. Penerapan satu metodologi
apa pun, misal metodologi empiris atau Rasionalisme Kritis Popper akan
memperlambat atau menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dia mengatakan
‘anything goes’ yang berarti hipotesa apa pun boleh dipergunakan, bahkan yang
tidak dapat diterima secara rasional atau berbeda dengan teori yang berlaku
atau hasil eksperimen. Sehingga ilmu pengetahuan bisa maju tidak hanya dengan
proses induktif sebagaimana halnya sains normal, melainkan juga secara
kontrainduktif.
F.
DAFTAR PUSTAKA
Adian,
Donny Gahral. 2002. Menyoal Objektivisme
Ilmu Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Teraju: Jakarta.
C.
Verhak. 1995. Filsafat Ilmu. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Faradi,
Abdul Aziz. 2012. (Tesis) Epistemologi
Anarkhis Paul Feyerabend dan Implikasinya bagi Pemikiran Islam. Tidak
diterbitkan. Yogyakarta.
Maksum,
Ali. 2008. Pengantar Filsafat: dari Masa
Klasik hingga Postmodernisme. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
Santoso,
Listiyono. 2006. Seri Pemikiran Tokoh:
Epistemologi Kiri. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta.
[1]Ali
Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa
Klasik hingga Postmodernisme (2008. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 274-275.
[2]Listiyono
Santoso, Seri Pemikiran Tokoh: Epistemologi
Kiri (2006. Ar-Ruzz Media: Jogjakarta)., 149-150.
[4]C.
Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan
(1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167.
[5]Donny
Gahral Adian Menyoal Objektivisme Ilmu
Pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. (2002. Teraju: Jakarta).,
102-103
[6]C.
Verhak, Filsafat Ilmu Pengetahuan
(1995. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta)., 167-168.