Oleh : ESSY RIZKY (E7121131)
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam sejarah
banyak tercatat pemikiran para tokoh-tokoh muslim baik dari tokoh
fiqhiyah,salafiyah,kalam dan lain-lain yang mana pada setiap tokoh tersebut
pasti mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Namun tak jarang pemikiran satu
tokoh tersebut ditolak ataupun dihujjat. Dalam pembahasan kali ini pemakalah
mencoba untuk membahas suatu permasalahan didalam filsafat tasawuf.
Diketahui bahwa
masing-masing tokoh yang pada akhirnya terjerumus dalam satu perselisihan antar
antar tokoh filsafat tasawuf dan ilmu kalam diantara tokoh-tokoh tersebut ialah
Ibnu Taimiyah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Biografi
Ibnu Taimiyah
2. Kritikan
Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf
C.
Tujuan
Makalah
Dari rumusan
masalah diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui
ajaran tasawuf banyak dikritik oleh Ibn Taimiyyah
2.
Untuk mengetahui
tanggapan Ibn Taimiyyah tentang tasawuf
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al Harani
yang biasanya disebut dengan ibnu Taimiyyah. Beliau lahir pada tanggal 22
januari 1263/10 Rabiul awal 661 H dan wafat pada tahun 1328/ 20 dzulhijah 728
H. Dia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran,Turki.
Ia
berasal dari keluarga religious. Ayahnya adalah seorang Syeikh, hakim, dan
khatib. Kakeknya adalah seorang ulama yang menguasai fiqih,hadist,tafsir,ilmu
ushul dan penghafal Al-qur’an.
Ibn
Taimiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya
Islam pada dinasti abasiyyah. Ketika berusia tujuh tahun beliau dibawa ayahnya
kedamaskus disebabkan serbuan tentara mongol atas irak.
Ibn
Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak yang jenius yang berkemauan keras
dalam belajar,tekun, cermat, tegas dan teguh pendirian, ikhlas dan rajin
beramal serta rela berkorban dan selalu siap dalam perjuangan membela
kebenaran.
Pada
tahun 692 H/1293 M- dalam usia 30 tahun ibn taimiyyah menulis buku manasik
al-hajj, sebagai koreksi terhadap praktik-praktik bid’ah yang dilihatnya
sewaktu menunaikan ibadah haji di Mekkah setahun sebelumnya.[1]
Setahun
693 H/1293 M, namanya makin menjelit karena keterlibatannya dalam kasus Assaf
al-Nasrani yang telah menghina Nabi Muhammad saw. Ketika keputusan hukuman mati
dicabut oleh Gubernur Syria setelah Assaf memilih masuk Islam, ibn taimiyyah
mengajukan protes keras kepada pemerintah, akibatnya dia dimasukkan ke dalam
penjara Adrawiyah di damaskus. Namun pengalaman pertamanya di penjara, ia
memanfaatkan untuk menulis buku apologetiknya yang terkenal yaitu Sarim
al-Mas’ul ‘alaSyatim ar-Rasul. [2]
B.
Kritikan
Ibnu Taimiyah
a. Relasi ontologis.
Dalam dunia sufi sebagian para tokohnya berpendapat bahwa
manusia memiliki relasi ontologis substantif dengan tuhan.Pandangan tersebut
tidak lain hasil dari pemahaman dari ayat-ayat Qur’an. Bahwa setelah proses
terjadinya bentuk fisik maka kemudian Alloh meniupkan ruh kepadanya. Dalam
pandangan kaum sufi ruh tersebut mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan.
Unsur ruh yang ada pada diri manusia memiliki subtansi yang terkait langsung
dengan Tuhan, selanjutnya para sebagian sufi banyak membicarakan relasi
ontologis Tuhan dan manusia yang melahirkan ragam pandangan, dalam hal ini kaum
sufi merefleksikannya melalui mistis filosofi yang juga diilhami oleh ayat-ayat
Al-qur’an diatas yang sudah disebutkan.
Menurut Abu
mansur al-hallaj Allah mempunyai 2 sifat dasar yaitu sifat keTuhanan (lahut)
dan sifat kemanusiaan (nasut). Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk
sujud kepada Adam karena pada diri Adam Allah menjelama sebagaimana Dia
menjelma. Dengan kata lain Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.[3]
Al-ghazali yang
di kenal tokoh tasawuf orang sunni. Pendapat bahwa relasi tuhan dan manusia
agak sedikit sejalan dengan pandangan kaum sufi lainnya. Bahwa esensi subtansi
immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari ‘alam al-amr/ Q. 17:85), tidak bertempat
dalam badan bersifat sederhana, memiliki kemampuan mengetahui dan menggerakkan
badan, diciptakan dan bersifat kekal pada dirinya.
Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa, terjadi atau terdapat problem dalam pandangan kaum sufi
tentang relasi ontologis manusia dan tuhan. Selanjutnya ia menegaskan bahwa
segala yang ada terdiri dari dua entitas, yakni tuhan dan alam.[4]
Yang pertama tuhan sebagai yang al-khaliq
(pencipta) dan yang kedua sebagai al-makhluq
(yang dicipta), menurut ibnu taimiyah
terdapat perbedaan mendasar antara tuhan dan alam atau manusia. Baik esensi
maupun eksistensinya. Perbedaan ini ditegaskan tuhan sendiri, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
dengan dia dan dialah yang maha melihat. (Q. Al-syura (42); 11) selanjutnya
ibn taimiyyah mejelaskan secara sksiomatik, bahwa setiap yang baru pasti
membutuhkan adanya pencipta yang qodim,
diantara keduanya pasti memiliki perbedaan. Meskipun terdapat kesamaan dalam
wujud tapi tidak mengharuskan adanya kesamaan “cara ada”nya. Melainkan
masing-masing memiliki wujud bagi dirinya.
b.
Problem
teologis-filcsofis
Dalam pembahasan ini problem teologis-filosofis dibagi
menjadi menjadi beberapa bagian, salah satunya yakni, Al-ma’rifat. Dalam sejarah tasawuf mencatat bahwa yang pertama kali mencetuskan nama ma’rifat
tersebut adalah Ma’ruf al-karkhi, dia mengeluarkan nama ma’rifat ketika ia
memberi definisi tasawuf dengan bersikap
zuhud dan ma’rifat, selain Ma’ruf
al-karkhi ada juga tokoh yang memakai istilah ma’rifat yaitu Abu sulaiman
al-darani Ma’rifat adalah keadaan dekat dengan Tuhan atau pengetahuan Tuhan
yang sebenarnya melalui hati sanubari. Berkaitan dengan hal ini hati atau jiwa
menurut kaum sufi sebagai instrumen yang sangat penting. Karna dengan alat tersebut
mereka (kaum sufi) dapat merasakan segala hal yang gaib. Kaum sufi berpendapat
bahwa dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang disebut ruh.
Al-ghazali
berpendapat kehidupan seorang Muslim dalam pengabdiannya keapada Allah SWT
tidak akan dapat dicapai dengan sempurna, kecuali dengan mengikuti jalan sufi.
Menurutnya, cara mendekatkan diri pada Allah melalui beberapa (maqamat), yaitu taubat, sabar,
kefakirkan, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat dan ridha.[5]
Menurut
Al-ghazali sarana ma’rifat adalah kalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal
budi. Kalbu pandangannya bukanlah bagian dari tubuh yang terletak pada dada
kiri manusia, tetapi berupa percikan rohaniah keTuhanan dan sebagai realitas
insan.
Menurut Ibnu
taimiyah terdapat problem dalam paham ma’rifat tersebut, meskipun tidak semunya yang ia permasalahkan. Dia
setuju kalau Tuhan itu dapat dilihat melalui hati sanubari dalam ma’rifat,
karna pendahulu-pendahulunya juga berpendapat seperti itu. Seperti para sahabat,
tabi’in. Mereka setuju bahwa Tuhan akan terlihat di akhirat kelak, sedangkan di
dunia dapat disaksikan jika terbukanya tabir dan penyaksian batin, sedangkan
penyaksian batin itu dapat di capai dengan iman dan taqwa seseorang..
Problem
keyakinan kaum sufi terhadap mukasyafah
yang didasarkan pada doktrin penyucian jiwa. Dan kaum sufi berasusi bahwa bahwa
ketika batin seorang sufi dalam keadaan suci maka akan mendapatkan ilham yang dibisikan kedalam hatinya.
Atas argumen tersebut Ibnu taimiyah menolak keyakinan tersebut, sebab bisikan
yang datang itu bisa saja datangnya dari setan. Karna yang di pertanggung
jawabkan dalam hal ini bukan bisikanya tapi proses penyucian jiwa serta
dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan selalu mengikuti tuntutanan
syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah.
Problem lain
yang lain adalah ketika pengalaman ma’rifat di yakini sebagai ilmu ladduni,
pengalaman seperti ini akan memberi implikasi munculnya ilmu gaib dan karomah
bagi penerjemahnya yang dikenal dengan sebutan Wali (orang suci). Orang ini
dapat mengetahui hal-hal yang gaib atau melahirkan perbuatan yang luar biasa,
dan pada akhirnya akan berefek timbulnya kultus yang berlebihan terhadap wali.
Ibnu taimiyah menegaskan bahwa, kebesaran wali bukan terletak pada karomahnya
tapi pada ke ikhlasanya dalam beriman dan kekonsistenanya dalam menjalankan
perintah-perintah agama. Bagi Ibnu taimiyah kaidah yang harus dipegang untuk
membedakan mana wali Allah mana ahli sihit, itu dilihat dari tingkah lakunya
sehari-hari, jika prilakunya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadist maka ia
adalah Wali Allah. Namun kalau sebaliknya dia tidak lain adalah sahabat dari
nafsunya sendiri yaitu syetan. Meskipun ia mengalami keadaan mukasyafah.
PENUTUP
Menyimak
kritik konsep ibnu taimiyyah terhadap ajaran tasawuf, terdapat beberapa hal
mendasar yang dapat dipegangi untuk melihat sikap keseluruhan ibnu taimiyyah
atas ajaran kaum sufi tersebut. Pertama, ibnu taimiyyah sesungguhnya bukanlah
musuh sekaligus penentang keras tasawuf, ia memang melontarkan kritik tajam
terhadap beberapa sufi seperti al-hallaj tetapi Beliau juga memberika apresiasi
yang cukup tinggi terhadap sufi lainnya. Kedua, ia tidak mengabaikan adanya
pengalaman spiritual para sufi seperti fana’ dan penyatuan, tetapi yang ia
tentang ialah jika yang demikian itu menyebabkan pelakunya mengabaikan atau
bahkan meninggalkan norma syariat.
DAFTAR PUSTAKA
-
H. masyharuddin,
Pemberontakan Tasawuf, Surabaya: JP
BOOKS bekerjasama dengan STAIN Press Kudus, 2007
-
Prof.Dr.H.
Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
-
www.wikipedia.com
[1]
Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan
Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ),
32
[2]
Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, (
Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ),32-33
[3]
Hamdi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, (
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),163
[4]
Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan
Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ),
hal. 106
[5] Ahamdi
Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,2001),195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar