Selasa, 02 Juli 2013

Tasawuf Falsafi dalam Kritik Ibnu Taimiyyah




Oleh : ESSY RIZKY (E7121131) 
 PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam sejarah banyak tercatat pemikiran para tokoh-tokoh muslim baik dari tokoh fiqhiyah,salafiyah,kalam dan lain-lain yang mana pada setiap tokoh tersebut pasti mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Namun tak jarang pemikiran satu tokoh tersebut ditolak ataupun dihujjat. Dalam pembahasan kali ini pemakalah mencoba untuk membahas suatu permasalahan didalam filsafat tasawuf.
Diketahui bahwa masing-masing tokoh yang pada akhirnya terjerumus dalam satu perselisihan antar antar tokoh filsafat tasawuf dan ilmu kalam diantara tokoh-tokoh tersebut ialah Ibnu Taimiyah.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Biografi Ibnu Taimiyah
2.      Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf

C.      Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.            Untuk mengetahui ajaran tasawuf banyak dikritik oleh Ibn Taimiyyah
2.             Untuk mengetahui tanggapan Ibn Taimiyyah tentang tasawuf



PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Taimiyah
            Nama lengkapnya Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al Harani yang biasanya disebut dengan ibnu Taimiyyah. Beliau lahir pada tanggal 22 januari 1263/10 Rabiul awal 661 H dan wafat pada tahun 1328/ 20 dzulhijah 728 H. Dia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran,Turki.
            Ia berasal dari keluarga religious. Ayahnya adalah seorang Syeikh, hakim, dan khatib. Kakeknya adalah seorang ulama yang menguasai fiqih,hadist,tafsir,ilmu ushul dan penghafal Al-qur’an.
            Ibn Taimiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada dinasti abasiyyah. Ketika berusia tujuh tahun beliau dibawa ayahnya kedamaskus disebabkan serbuan tentara mongol atas irak.
            Ibn Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak yang jenius yang berkemauan keras dalam belajar,tekun, cermat, tegas dan teguh pendirian, ikhlas dan rajin beramal serta rela berkorban dan selalu siap dalam perjuangan membela kebenaran.
            Pada tahun 692 H/1293 M- dalam usia 30 tahun ibn taimiyyah menulis buku manasik al-hajj, sebagai koreksi terhadap praktik-praktik bid’ah yang dilihatnya sewaktu menunaikan ibadah haji di Mekkah setahun sebelumnya.[1]
            Setahun 693 H/1293 M, namanya makin menjelit karena keterlibatannya dalam kasus Assaf al-Nasrani yang telah menghina Nabi Muhammad saw. Ketika keputusan hukuman mati dicabut oleh Gubernur Syria setelah Assaf memilih masuk Islam, ibn taimiyyah mengajukan protes keras kepada pemerintah, akibatnya dia dimasukkan ke dalam penjara Adrawiyah di damaskus. Namun pengalaman pertamanya di penjara, ia memanfaatkan untuk menulis buku apologetiknya yang terkenal yaitu Sarim al-Mas’ul ‘alaSyatim ar-Rasul. [2]
           

B.     Kritikan Ibnu Taimiyah
a. Relasi ontologis.
            Dalam dunia sufi sebagian para tokohnya berpendapat bahwa manusia memiliki relasi ontologis substantif dengan tuhan.Pandangan tersebut tidak lain hasil dari pemahaman dari ayat-ayat Qur’an. Bahwa setelah proses terjadinya bentuk fisik maka kemudian Alloh meniupkan ruh kepadanya. Dalam pandangan kaum sufi ruh tersebut mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan. Unsur ruh yang ada pada diri manusia memiliki subtansi yang terkait langsung dengan Tuhan, selanjutnya para sebagian sufi banyak membicarakan relasi ontologis Tuhan dan manusia yang melahirkan ragam pandangan, dalam hal ini kaum sufi merefleksikannya melalui mistis filosofi yang juga diilhami oleh ayat-ayat Al-qur’an diatas yang sudah disebutkan.
            Menurut Abu mansur al-hallaj Allah mempunyai 2 sifat dasar yaitu sifat keTuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam Allah menjelama sebagaimana Dia menjelma. Dengan kata lain Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.[3]
            Al-ghazali yang di kenal tokoh tasawuf orang sunni. Pendapat bahwa relasi tuhan dan manusia agak sedikit sejalan dengan pandangan kaum sufi lainnya. Bahwa esensi subtansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari ‘alam al-amr/ Q. 17:85), tidak bertempat dalam badan bersifat sederhana, memiliki kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan dan bersifat kekal pada dirinya.
            Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa, terjadi atau terdapat problem dalam pandangan kaum sufi tentang relasi ontologis manusia dan tuhan. Selanjutnya ia menegaskan bahwa segala yang ada terdiri dari dua entitas, yakni tuhan dan alam.[4] Yang pertama tuhan sebagai yang al-khaliq (pencipta) dan yang kedua sebagai al-makhluq (yang dicipta),  menurut ibnu taimiyah terdapat perbedaan mendasar antara tuhan dan alam atau manusia. Baik esensi maupun eksistensinya. Perbedaan ini ditegaskan tuhan sendiri, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan dengan dia dan dialah yang maha melihat. (Q. Al-syura (42); 11) selanjutnya ibn taimiyyah mejelaskan secara sksiomatik, bahwa setiap yang baru pasti membutuhkan adanya pencipta  yang qodim, diantara keduanya pasti memiliki perbedaan. Meskipun terdapat kesamaan dalam wujud tapi tidak mengharuskan adanya kesamaan “cara ada”nya. Melainkan masing-masing memiliki wujud bagi dirinya.

b.      Problem teologis-filcsofis
            Dalam pembahasan ini problem teologis-filosofis dibagi menjadi menjadi beberapa bagian, salah satunya yakni, Al-ma’rifat. Dalam sejarah tasawuf mencatat bahwa yang  pertama kali mencetuskan nama ma’rifat tersebut adalah Ma’ruf al-karkhi, dia mengeluarkan nama ma’rifat ketika ia memberi definisi tasawuf dengan bersikap zuhud dan ma’rifat, selain Ma’ruf al-karkhi ada juga tokoh yang memakai istilah ma’rifat yaitu Abu sulaiman al-darani Ma’rifat adalah keadaan dekat dengan Tuhan atau pengetahuan Tuhan yang sebenarnya melalui hati sanubari. Berkaitan dengan hal ini hati atau jiwa menurut kaum sufi sebagai instrumen yang sangat penting. Karna dengan alat tersebut mereka (kaum sufi) dapat merasakan segala hal yang gaib. Kaum sufi berpendapat bahwa dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang disebut ruh.
            Al-ghazali berpendapat kehidupan seorang Muslim dalam pengabdiannya keapada Allah SWT tidak akan dapat dicapai dengan sempurna, kecuali dengan mengikuti jalan sufi. Menurutnya, cara mendekatkan diri pada Allah melalui beberapa (maqamat), yaitu taubat, sabar, kefakirkan, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat dan ridha.[5]
            Menurut Al-ghazali sarana ma’rifat adalah kalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi. Kalbu pandangannya bukanlah bagian dari tubuh yang terletak pada dada kiri manusia, tetapi berupa percikan rohaniah keTuhanan dan sebagai realitas insan.
            Menurut Ibnu taimiyah terdapat problem dalam paham ma’rifat tersebut, meskipun  tidak semunya yang ia permasalahkan. Dia setuju kalau Tuhan itu dapat dilihat melalui hati sanubari dalam ma’rifat, karna pendahulu-pendahulunya juga berpendapat seperti itu. Seperti para sahabat, tabi’in. Mereka setuju bahwa Tuhan akan terlihat di akhirat kelak, sedangkan di dunia dapat disaksikan jika terbukanya tabir dan penyaksian batin, sedangkan penyaksian batin itu dapat di capai dengan iman dan taqwa seseorang..
            Problem keyakinan kaum sufi terhadap mukasyafah yang didasarkan pada doktrin penyucian jiwa. Dan kaum sufi berasusi bahwa bahwa ketika batin seorang sufi dalam keadaan suci maka akan mendapatkan ilham yang dibisikan kedalam hatinya. Atas argumen tersebut Ibnu taimiyah menolak keyakinan tersebut, sebab bisikan yang datang itu bisa saja datangnya dari setan. Karna yang di pertanggung jawabkan dalam hal ini bukan bisikanya tapi proses penyucian jiwa serta dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan selalu mengikuti tuntutanan syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah.
            Problem lain yang lain adalah ketika pengalaman ma’rifat di yakini sebagai ilmu ladduni, pengalaman seperti ini akan memberi implikasi munculnya ilmu gaib dan karomah bagi penerjemahnya yang dikenal dengan sebutan Wali (orang suci). Orang ini dapat mengetahui hal-hal yang gaib atau melahirkan perbuatan yang luar biasa, dan pada akhirnya akan berefek timbulnya kultus yang berlebihan terhadap wali. Ibnu taimiyah menegaskan bahwa, kebesaran wali bukan terletak pada karomahnya tapi pada ke ikhlasanya dalam beriman dan kekonsistenanya dalam menjalankan perintah-perintah agama. Bagi Ibnu taimiyah kaidah yang harus dipegang untuk membedakan mana wali Allah mana ahli sihit, itu dilihat dari tingkah lakunya sehari-hari, jika prilakunya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadist maka ia adalah Wali Allah. Namun kalau sebaliknya dia tidak lain adalah sahabat dari nafsunya sendiri yaitu syetan. Meskipun ia mengalami keadaan mukasyafah.    





















PENUTUP
Menyimak kritik konsep ibnu taimiyyah terhadap ajaran tasawuf, terdapat beberapa hal mendasar yang dapat dipegangi untuk melihat sikap keseluruhan ibnu taimiyyah atas ajaran kaum sufi tersebut. Pertama, ibnu taimiyyah sesungguhnya bukanlah musuh sekaligus penentang keras tasawuf, ia memang melontarkan kritik tajam terhadap beberapa sufi seperti al-hallaj tetapi Beliau juga memberika apresiasi yang cukup tinggi terhadap sufi lainnya. Kedua, ia tidak mengabaikan adanya pengalaman spiritual para sufi seperti fana’ dan penyatuan, tetapi yang ia tentang ialah jika yang demikian itu menyebabkan pelakunya mengabaikan atau bahkan meninggalkan norma syariat.

           





DAFTAR PUSTAKA
-          H. masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Surabaya: JP BOOKS bekerjasama dengan STAIN Press Kudus, 2007
-          Prof.Dr.H. Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
-          www.wikipedia.com








[1] Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ), 32
[2] Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ),32-33
[3] Hamdi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),163
[4] Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ), hal. 106
[5] Ahamdi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar