Oleh : Abd. Shamad
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam bukanlah agama dengan satu warna. Di
dalamnya terdapat banyak disiplin keilmuan dan aliran-aliran baik dalam hal
keagamaan secara umum juga mazhab-mazhab teologi, hukum, akhlak dan lainnya
secara khusus. Hal ini merupakan wujud nyata dari universalisme Islam yang
terus berdinamika dalam menjawab tantangan zaman. Dengan ini, Islam tidak
tenggelam dalam stagnasi intelektual di tengah-tengah dogma agama yang tetap
sebagai titik persatuan.
Pada masa awal, Islam
memang hanya satu warna yaitu Islam yang bersumber dari Nabi. Pada waktu itu
tidak ditemukan perbedaan mengingat umat Islam masih dalam skala kecil dan
hanya keluar masuk dari pintu keilmuan Nabi. Pada masa ini perbedaan yang
bersifat serius belum ditemukan, dan kalaupun ada perbedaan masih dapat diredam
oleh Nabi sebagai satu-satunya tokoh sentral.
Kontroversi
dalam Islam baru menyeruak setelah wafatnya Nabi dengan puncaknya peristiwa
terbunuhnya Ustman dan peristiwa Tahkim. Sejak itu umat Islam mulai
pecah dalam beberapa kubu baik dalam hal politik, teologi dan semacamnya.
Perpecahan in terus berkembang disertai dengan munculnya berbagai disiplin ilmu
pengetahuan yang mengambil nilai positif dari sejarah.
Pada
masa-masa setelah wafatnya Nabi itu lah berbagai disiplin ilmu mengambil
konsentrasi masing-masing dalam berbagai dimensi Islam universal. Ilmu kalam
lahir dengan konsentrasi tentang iman dalam menjelaskan Tuhan dan manusia, ilmu
fikih tampil dengan menekankan dimensi eksoterik Islam (formal) dan tasawuf
mengambil coraknya sendiri sebagai manifestasi Ihsan dengan memperhatikan
esoteris Islam.
Berbagai
disiplin keilmuan di atas dengan sudut pandang dan konsentrasi yang berbeda
tidak bisa lepas dari kontroversi dalam memandang sebuah objek. Hal ini
merupakan sesuatu yang wajar melihat paradigma berfikir dan bangunan
epistemologi yang berbeda. Apa lagi pada masa-masa awal Islam ditemukan
beberapa penyusup yang mau menggerogoti Islam dari dalam dengan menyisipkan
ajaran-ajaran di luar Islam lewat berbagai disiplin tadi. Sehingga purifikasi
atau pemurnian Islam dari ajaran non-Islam memang perlu dilakukan. Hal ini lah
yang menjadi penggerak tampilnya beberapa pahlawan Islam dalam mengupayakan
kemurnian Islam.
Berangkat
dari fenomena di atas, seseorang akan lebih mudah mengerti bagaimana menanggapi
berbagai kontroversi dan kritik para ulama yang datang kemudian. Sehingga arah
kritik bisa ditemukan bukan lantas menghapus atau menolak sebuah disiplin
keilmuan secara keseluruhan. Tidak jauh berbeda ketika seseorang mau memahami kritik Ibnu Taimiyyah dan para
teolog lainnya terhadap tasawuf. Di sini seseorang tidak dibenarkan memahaminya
secara tekstual atau membawanya pada konteks sekarang yang jauh berbeda. Tetapi
mereka harus masuk pada sejarah Ibnu Taimiyyah dengan melihat kondisi sosial
dan model pemikiran pada waktu itu.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini kami akan membahas sedikit banyak tentang :
1.
Bagaimana
hubungan Syi’ah dengan tasawuf?
2.
Apa saja kritik
Ibnu Taymiyah terhadap tasawuf falsafi?
3.
Bagaimana
analisis penulis tentang kritikan Ibnu Taimiyyah?
C.
Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan
mengerti tentang beberapa hal terkait:
1.
Hubungan Syi’ah dan tasawuf.
2.
Kritik Ibnu Taymiyyah terhadap tasawuf falsafi.
3.
Analisis penulis tentang kritikan Ibnu Taimiyyah.
BAB
II
TASAWUF DALAM GUGATAN
A.
Syi’ah dan Tasawuf
Selain dua aliran tatsawuf falsafi dan sunni, sebagian kalangan
memasukkan tasawuf Syi’i sebagai aliran ketiga. Hal ini berbeda dengan
pandangan Azyumardi Azra yang cenderung memasukkan tasawuf Syi’i sebagai bagian
dari dua aliran tasawuf yang ada dengan berbagai pertimbangannya. Namun
terlepas dari perbedaan ini, dalam tasawuf Syi’ah tampak beberapa perbedaan
sebagaimana basis teologinya tentang konsep-konsep imamah dan kewalian
misalnya. Perbedaan-perbedaan ini menarik dibicarakan karena selain memberikan
pengaruh dalam pembentukan mursyid yang disinyalir berasal dari kaum syi’i,
sekaligus menanamkan problematika. Bahkan dari Syi’ah ini lah (khususnya Syi’ah
Ismailiyah) asal konsep-konsep hulul, ittihad dan penyatuan lainnya
sebagai corak tasawuf falsafi (menurut sebagian kalangan).[1]
Problematika yang dimaksud di atas terkait dengan pemujaan kalangan
syi’ah pada imam yang jelas-jelas menolak tawasul lewat selain imam Syi’ah
dengan Ali sebagai imam pertama. Dalam keyakinan pengikut aliran Syi’ah,
kewalian sepenuhnya dimiliki oleh imam dan melalui pancaran wujudnya bisa
dicapai oleh para pengikutnya yang setia.[2]
Seperti
diketahui termasuk ajaran Syi’ah adalah pemulyaan kepada imam secara
berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini
merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya sunni,
bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling
bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena kerohaniannya
yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi
Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib,
bahkan mengkafirkan mereka.
B.
Kritik Ibnu Taimiyyah terhadap Tasawuf Falsafi
Dalam perkembangan tasawuf dengan dua wadahnya berupa sunni dan
falsafi memiliki kecenderungan yang berbeda. Tasawuf sunni yang lebih
menekankan pada tataran praktis atau dikenal dengan tasawuf akhlaki dan tasawuf
falsafi yang lebih bersifat teoritis dan filosofis dengan pengaruh filsafat di
dalamnya. Model tasawuf yang kedua ini dengan intuisi dan narasinya melahirkan
ungkapan-ungkapan ganjil (syathahat) dan
lebih berorientasi pada penyatuan manusia dengan Tuhan.
Kontroversi di atas bahkan cukup serius dan memakan banyak korban.
Al-Hallaj dihukum mati dan
serangan-serangan terhadap tasawuf falsafi berdatangan bahkan yang mengarah
pada penyesatan dan pengkafiran. Hal ini juga tidak lepas dari berbagai
pengaruh luar yang disematkan pada tasawuf untuk menghancurkannya. Sehingga
tasawuf mengambil bentuk lain tidak
seperti pada awal pertumbuhannya.
Di antara para ulama’ yang getol menyerang tasawuf adalah Ibnu
Taimiyyah. Dia tampil bukan untuk menyerang tasawuf secara keseluruhan, tapi
lebih tepatnya lebih pada purifikasi atau pemurnian ajaran tasawuf dari
nilai-nilai non Islam yang telah dicampur adukkan. Semangat pembaruan ini
sejalan dengan beberapa tokoh lain dan diamini beberapa tokoh yang dating
setelahnya.
Dalam kritiknya, Ibnu Taimiyyah mengajukan beberapa problem tasawuf
falsafi yang disinyalir bukan bagian dari Islam. Meminjam bahasanya
Masyharuddin, problem-problem yang diajukan secara teologis ada yang bersifat
teologis ritualis dan ada yang bersifat teologis filosofis. Problem teologis
ritualis mencakup problem akidah tauhid, kewalian, karamah dan ibadah masyru’ah
atau bid’ah. Sedangkan problem teologis filosofis mencakup konsep-konsep fana’,
hulul, ittihad dan wihdatul wujud dengan berbagai ungkapan ganjilnya
(syathahat). Dengan berbagai problematika yang diajukan, Ibnu Taimiyyah
berusaha menghapus bid’ah dan khurafat yang melekat pada praktik-praktik
tasawuf pada waktu itu.[3]
Untuk memperjelas beberapa problem teologis yang diajukan Ibnu
Taimiyyah adalah sebagai berikut:
1.
Problem
Teologis Ritualis
Dalam
memahami berbagai problem yang diajukan, seseorang tidak bisa melihat fenomena
tasawuf yang ada sekarang. Tetapi harus kembali pada sejarah bagaimana kondisi
sosial keagamaan dan fenomena tasawuf pada masa Ibnu Taimiyyah sebagai sasaran
kritik.
Pada
masa Ibnu Taimiyyah tradisi tasawuf telah dicampur adukkan dengan paham-paham non
Islam. Pada masa itu tasawuf juga sudah mulai menjurus pada kecenderungan ekstatik atau kefanaan dan
persatuan hamba dengan Tuhan. Hal ini terwujud dalam berbagai macam tarekat
yang lahir sebagai benntuk lain dari tasawuf. Tariqah di sini memiliki peranan
penting dalam bidang spiritual keagamaan dan kehidupan sosial pengikutnya.
Tasawuf sebagai pencerahan rohani direduksi menjadi serangkaian rutinitas
spiritual melalui cara autohipnotis dan penglihatan hal-hal gaib. Di
masa ini, nilai-nilai esoteris Islam lebih diutamakan dari pada nilai
eksoterisnya. Sehingga kebanyakan dari mereka meninggalkan kehidupan duniawi
dan tenggelam dalam hal-hal gaib dengan harapan-harapannya. Kondisi ini lebih
rumit lagi dengan munculnya mitos-mitos manusia suci dengan ragam
keistimewaannya. Hal ini mengarah pada penghormatan berlebih dan pemujaan para
wali.
Melihat
fenomena di atas, Ibnu Taimiyyah tertusuk hatinya dan tampil untuk memurnikan
kembali Islam. dalam masalah tauhid Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa tuhid yang
sebenarnya adalah tidak menyekutukan Allah baik dalam Tauhid Uluhiyyah maupun
dalam Tauhid Rububiyah. Kesalahan para sufi menurut Ibnu
Taimiyyah adalah tidak bisa membedakannya dengan tegas antara kedua tauhid
tersebut. Sehingga mereka terseret pada masalah-masalah di antaranya
kesempurnaan fana’ pada maqam makrifat dengan tidak lagi memuji kebaikan apa
lagi mencela keburukan. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi mereka sebagai wali
Allah yang hakiki dengan yang gadungan.
Selain
beberapa hal di atas, para penempuh jalan spiritual banyak yang menggunakan sama’ atau mendengarkan bunyi-bunyian
merdu berupa music dan lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menggerakkan mahabbah
dalam hati. Hal tersebut sangat ditentang Ibnu Taimiyyah. Menurutnya cara-cara
sama’ ini hanya akan membawa pada mahabbah semu.[4]
Merujuk
pada kitab al Furqan bayna Auliya’i al
Rahman wa Auliya’i as Syaithan, para wali atau kekasih Allah yang
sebenarnya adalah mereka yang mencintai Allah dan ber-taqarrub dengan menjalankan
syari’at yang sebenarnya dan tidak ada
perbedaan dengan orang kebanyakan dari sisi dhzahirnya. Mereka adalah orang
yang mengikuti Rasulullah sebagai orang nomor satu dalam Islam, mencintai dan
membenci karena Allah, senang, kecewa dan melakukan atau meninggalkan sesuatu
karena Allah. Artinya hal-hal ganjil yang tampak dalam diri seseoramg bukanlah
sebuah ukuran kewalian yang banyak diyakini pada masanya. Apa lagi sudah keluar
dari jalur yang ditetapkan Rasul dalam Syari’at Islam. Hal ini justru
menunjukkan bahwa mereka tergolong wali-wali setan yang dipercaya sebagai wali
Tuhan. Jadi acuan seorang wali adalah apa yang dipraktikkan Rasul sebagai
paling utamanya manusia dan
sahabat-sahabatnya. Selain itu hanya sekedar kepalsuan untuk menutupi diri
mereka yang terperangkap jaring-jaring setan.[5]
2.
Problem
Teologis Filosofis
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, fenomena tasawuf falsafi yang lebih menekankan pada
penyatuan melahirkan ungkapan ganjil yang lahir dari maqam fana’ atau hilangnya kesadaran dan penyatuan dengan Tuhan.
Selain fana’ di sini ada hulul sebagai inkarnasi Tuhan, ittihad dan
wihdatul wujud sebagai penyatuan hamba dengan Tuhan. Kesemuanya merupakan
tingkat tertinggi yang di dalamnya hilang kesadaran dalam sebuah penyatuan.
Menanggapi
hal ini, Ibnu Taimiyyah dengan keras menentang. Terhadap konsep hulul
dia berkomentar dalam bukunya al
Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan bahwa hulul yang berasal dari Halla memastikan pada kebutuhan tempat dan zaman (masa).
Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hulul. Sementara Tuhan tidak membutuhkan tempat dan
tidak terikat dengan zaman atau waktu apapun. Jika iya, maka tidak ada bedanya
lagi dengan hawadits sementara Tuhan adalah qadim. Dan terkait dengan ittihad, Ibnu Taimiyyah melihat mereka sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang Nasrani dalam melihat kesatuan nabi Isa dan Allah.[6]
Masuk
dalam pembahasan fana’, Ibnu Taimiyyah membedakannya menjadi tiga. Pertama,
fana’ al iradah berupa hilangnya kehendak
seseorang karena mengikuti kehendak
Allah. Fana’ iradah juga disebut fana’ al-ibadah yakni lenyapnya kehendak seseorang karena focus dalam ibadah.
Kedua, fana’ as-syuhud berupa hilangnya kesadaran seseorang akan
dirinya sendiri karena telah terserap dalam yang mutlak. Ketiga. Fana’ al wujud yakni hilangnya kesadaran
seseorang tentang wujud Tuhan karena telah melebur dalam makhluk. Dalam
pandangan Ibnu Taimiyyah, dari ketiga fana’ ini, dua terakhir macam fana’
dialami oleh para sufi yang belum sempurna. Ketidak sadaran mereka diperoleh karena kelemahan jiwa
sehingga mengalalmi shock atau keterkejutan yang luar biasa yang
menyebabkan ketidaksadaran lantas keluarlah ungkapan-ungkapan ganjil tentang
dirinya dan Tuhan.[7]
Dalam
berbagai problematika yang diajukan ini, Ibu Taimiyyah menekankan untuk
meneladani Nabi yang tidak pernah mengungkap kata-kata ganjil dan sama saja
dengan orang kebanyakan secara eksoteris. Perbedaan hanya ada dalam tingkat
ketakwaan bagaimana menjalankan syari’at Islam dan keimanan seseorang. Bukan
pada penyatuan hamba dengan Allah yang membahayakan. Di sini Ibnu Taimiyyah
meyakini bahwa generasi salaf telah menyelesaikan denagan meyakinkan dasar
keberagamaan, dan mereka yang berseberangan dinyatakan bid’ah.[8]
C.
Analisis Penulis tentang Kritikan Ibnu Taimiyyah
Kebanyakan orang menganggap Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang
menolak tasawuf dengan hanya melihat kritikannya tanpa tahu kondisi sosial
keagamaan pada waktu itu. Mereka lupa pada pandangan-pandangannya tentang
tasawuf yang ada dalam bukunya al Furqan Bayna Awliya’i
al Rahman wa Awliya’i as Syaithan dan buku-buku lainnya. Di sana Ibnu
Taimiyyah menulis kategori-kategori para kekasih Allah dengan merujuk pada
Alquran dan hadis, bagaimana konsep tasawufnya yang syar’i, tentang Kasyf
(penyingkapan), karamah dan lainnya. Dengan tegas beliau membedakan antara wali
Allah dan wali setan (gadungan). Hal ini merupakan sebuah ketimpangan dengan
hanya melihat Ibnu Taimiyyah dari satu sisi saja tanpa memperhatikan
rekonstruksi yang dilakukannya terhadap tasawuf yang direduksi dan
terkontaminasi pada masanya..
Dalam melihat kritikan Ibnu Taimiyyah di sini juga tidak bisa
dilupakan bagaimana paradigma dan metode berpikirnya. Dia adalah salah satu pembesar salafy yang lebih
menekankan pada teks tanpa penafsiran dan mengembalikan semuanya pada Alquran
dan Hadis. Sehingga dalam menanggapi berbagai hal dia kembalikan pada
penafsiran tekstual akan Alquran dan hadis. Di sini jelas berbeda dengan mereka
yang tidak sealiran dengannya dalam menanggapi sebuah masalah.[9]
Membaca pemikiran Ibnnu Taimiyyah dalam tulisan-tulisannya atau
dalam tulisan orang lain tentangnya, sebenarnya kritik yang diajukannya bukanlah
sebuah penolakan terhadap tasawuf secara keseluruhan sebagai bagian dari Islam.
Tetapi lebih pada pemurnian kembali tasawuf Islam dan rekonstruksi bangunan tasawuf yang telah
direduksi dengan disematkannya nilai-nilai non Islam ke dalamnya. Dalam
karyanya dia menolak tasawuf falsafi al Hallaj dengan Hulul-nya, Ibnu
Arabi dan mereka yang sibuk bernostalgia dengan Tuhan lepas dari kehidupan yang
seharusnya dijalankan. Penekanan pada ibadah sebagai bentuk nyata taqarrub
dan menjalankan syari’at sebagaimana dicontohkan Rasul.
Dalam kritiknya, sebenarnya Ibnu Taimiyyah menawarkan sebuah konsep
baru tentang tasawuf yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai neo sufisme.
Hal ini sebagai reaksi terhadap tasawuf pada masanya yang terkontaminasi oleh
nilai-nilai non Islam yang menjadi sasaran kritikan. Konsep-konsep seperti hulul
dan ittihad misalnya yang menjadi orientasi para penempuh jalan spiritual
dengan dipelopori al Hallaj dan yang lain sudah jauh melenceng dari yang
diajarkan Rasul tentang keimanan dan ketakwaan seseorang. Di sini Ibnu
Taimiyyah menekankan keseimbangan esoteris dan eksoteris manusia. Bukan terlena
dalam sisi esoteris sementara mereka yang hidup di dunia lepas dari dimensi
eksoterisnya.[10]
Terkait dengan hulul, ittihad dan penyatuan lainnya, Zaki
Ibrahim Muhammad dalam bukunya Tasawuf
Hitam Putih menuliskan bahwa kesemua
hal tersebut ditolak sebagai bagian dari Islam. Selanjutnya dia menyebutkan
bahwa konsep-konsep tersebut merupakan bagian dari Syi’ah yang keluar dari
Ahlus sunnah wal jama’ah.[11] Dan Sayyid Nur dalam bukunya Tasawuf
Syar’i menyebutkan bahwa di kalangan para sufi tidak ada yang menyebut al
Hallaj sebagai sufi.[12]
Berbagai hal di atas merupakan hal yang wajar dalam tradisi
intelektual yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Kecuali ketika semuanya
telah terjangkit virus fanatisme yang berlebihan dan membahayakan. Sehingga
terjadi saling menyalahkan bahkan bisa sampai pada pembantaian. Hal ini perlu
dihindari dalam perkembangan pemikiran umat Islam. atau semuanya akan berubah
menjadi sebuah dogma dengan klaim kebenaran seolah mendapat garansi dari Tuhan
akan segala pemikirannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kondisi sosial kegamaan pada masa Ibnu Taimiyyah
jauh berbeda dengan era-era awal Islam, khususnya terkait dengan mistisme
Islam. bid’ah dan khurafat menjamur juga okultisme dan pemujaan para
wali. Kebanyakan orang tenggelam dalam dimensi batin dengan melupakan kehidupan
yang wajar. Dan tasawuf yang pada awalnya lebuh menekankan pada kualitas
keberagamaan seseorang pada akhirnya menjadi sebuah formalitas baru dengan
berbagai ritual dan tradisi yang belum pernah ditemukan pada masa Nabi, sahabat
dan ulama salaf.
Pada masanya, Ibnu Taimiyyah tampil ke depan dalam
memurnikan kembali Islam khususnya tasawuf dengan mengikis habis nilai-nilai
dan ajaran-ajaran yang diselewengkan. Tasawuf yang lebih mengarah pada
penyatuan hamba dengan Tuhan dikembalikan ke tempat asalnya dalam membangun
moral dan intelektual kaum muslimin dari pada tenggelam dalam romantisme
kebatinan.
Di antara beberapa hal yang disorot Ibnu Taimiyyah
adalah problematika teologis ritualis dan filosofis. Termasuk di dalamnya
adalah konsep hulul, ittihad dan peanyatuan lainnya sebagai orientasi
para penempuh jalan spiritual pada waktu itu. Mereka yang lebih suka
bernostalgia dengan Tuhan dari pada menjalani kehidupan secara wajar dengan
ketakwaan menjadi pusat perhatian. Dalam pandangan Ibnu Taimyyah mereka telah
timpang dalam menjalankan Islam dengan hanya memperhatikan dimensi esoterisnya,
sementara Rasul, para sahabat dan ulama’ salaf tidak pernah mecontohkan hal
tersebut.
B.
Saran
Dalam
menyikapi berbagai perbedaan, seseorang sebaiknya bersikap moderat dan tidak
apriori. Tetapi bagaimana memberikan respon positif agar tidak terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan. Dan dalam memahami sebuah kontroversi sebaiknya harus
benar-benar memahami konteks yang ada agar tidak terjadi kesalahpahaman.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Zaki Muhammad. 2006. Tasawuf Hitam Putih. Tiga
Serangkai: Solo.
Ibnu Taimiyyah. 1982. al
Furqan Bayna Aulillah wa Auliya’i as Syaithan. Al Maarif: Riyadh.
Masyaruddin, 2007. Pemberontakan Tasawuf. JP Books: Surabaya.
M. Sholiihin. 2011. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia: Bandung.
Nur, Sayyid. Tasawuf Syar’i. Terj. M. Yaniyullah. Hikmah:
Jakarta.
[1]Zaki
Muhammad Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih (2006. Tiga Serangkai: Solo)., 64.
[2]M. Sholihin
dkk, Ilmu Tasawuf, (2011. CV Pustaka Setia: Bandung)., 71-74.
[3]Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf, (2007. JP Books: Surabaya)., 101-171.
[5]Ibnu Taimiyyah,
al
Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan. (1982. Al-Ma’arif:
Riyadh)., 5-8.
[7]Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf., 146-151.
[8]Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf., 51.
[9]Masyharuddin, Pemberontakan
Tasawuf., 51.
[10]Ibnu Taimiyyah,
al
Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan., 5-8.
[11]Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih., 50 dan 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar