Rabu, 10 Juli 2013

Ibnu Taimiyyah, Menggugat Tasawauf Falsafi



Oleh : Abd. Shamad

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
 Islam bukanlah agama dengan satu warna. Di dalamnya terdapat banyak disiplin keilmuan dan aliran-aliran baik dalam hal keagamaan secara umum juga mazhab-mazhab teologi, hukum, akhlak dan lainnya secara khusus. Hal ini merupakan wujud nyata dari universalisme Islam yang terus berdinamika dalam menjawab tantangan zaman. Dengan ini, Islam tidak tenggelam dalam stagnasi intelektual di tengah-tengah dogma agama yang tetap sebagai titik persatuan.
Pada masa awal, Islam memang hanya satu warna yaitu Islam yang bersumber dari Nabi. Pada waktu itu tidak ditemukan perbedaan mengingat umat Islam masih dalam skala kecil dan hanya keluar masuk dari pintu keilmuan Nabi. Pada masa ini perbedaan yang bersifat serius belum ditemukan, dan kalaupun ada perbedaan masih dapat diredam oleh Nabi sebagai satu-satunya tokoh sentral.
Kontroversi dalam Islam baru menyeruak setelah wafatnya Nabi dengan puncaknya peristiwa terbunuhnya Ustman dan peristiwa Tahkim. Sejak itu umat Islam mulai pecah dalam beberapa kubu baik dalam hal politik, teologi dan semacamnya. Perpecahan in terus berkembang disertai dengan munculnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang mengambil nilai positif dari sejarah.
Pada masa-masa setelah wafatnya Nabi itu lah berbagai disiplin ilmu mengambil konsentrasi masing-masing dalam berbagai dimensi Islam universal. Ilmu kalam lahir dengan konsentrasi tentang iman dalam menjelaskan Tuhan dan manusia, ilmu fikih tampil dengan menekankan dimensi eksoterik Islam (formal) dan tasawuf mengambil coraknya sendiri sebagai manifestasi Ihsan dengan memperhatikan esoteris Islam.
Berbagai disiplin keilmuan di atas dengan sudut pandang dan konsentrasi yang berbeda tidak bisa lepas dari kontroversi dalam memandang sebuah objek. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar melihat paradigma berfikir dan bangunan epistemologi yang berbeda. Apa lagi pada masa-masa awal Islam ditemukan beberapa penyusup yang mau menggerogoti Islam dari dalam dengan menyisipkan ajaran-ajaran di luar Islam lewat berbagai disiplin tadi. Sehingga purifikasi atau pemurnian Islam dari ajaran non-Islam memang perlu dilakukan. Hal ini lah yang menjadi penggerak tampilnya beberapa pahlawan Islam dalam mengupayakan kemurnian Islam.
Berangkat dari fenomena di atas, seseorang akan lebih mudah mengerti bagaimana menanggapi berbagai kontroversi dan kritik para ulama yang datang kemudian. Sehingga arah kritik bisa ditemukan bukan lantas menghapus atau menolak sebuah disiplin keilmuan secara keseluruhan. Tidak jauh berbeda ketika seseorang mau  memahami kritik Ibnu Taimiyyah dan para teolog lainnya terhadap tasawuf. Di sini seseorang tidak dibenarkan memahaminya secara tekstual atau membawanya pada konteks sekarang yang jauh berbeda. Tetapi mereka harus masuk pada sejarah Ibnu Taimiyyah dengan melihat kondisi sosial dan model pemikiran pada waktu itu.

B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit banyak tentang :
1.      Bagaimana hubungan Syi’ah dengan tasawuf?
2.      Apa saja kritik Ibnu Taymiyah terhadap tasawuf falsafi?
3.      Bagaimana analisis penulis tentang kritikan Ibnu Taimiyyah?

C.    Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang beberapa hal terkait:
1.      Hubungan Syi’ah dan tasawuf.
2.      Kritik Ibnu Taymiyyah terhadap tasawuf falsafi.
3.      Analisis penulis tentang kritikan Ibnu Taimiyyah.



BAB II
TASAWUF DALAM GUGATAN


A.    Syi’ah dan Tasawuf
Selain dua aliran tatsawuf falsafi dan sunni, sebagian kalangan memasukkan tasawuf Syi’i sebagai aliran ketiga. Hal ini berbeda dengan pandangan Azyumardi Azra yang cenderung memasukkan tasawuf Syi’i sebagai bagian dari dua aliran tasawuf yang ada dengan berbagai pertimbangannya. Namun terlepas dari perbedaan ini, dalam tasawuf Syi’ah tampak beberapa perbedaan sebagaimana basis teologinya tentang konsep-konsep imamah dan kewalian misalnya. Perbedaan-perbedaan ini menarik dibicarakan karena selain memberikan pengaruh dalam pembentukan mursyid yang disinyalir berasal dari kaum syi’i, sekaligus menanamkan problematika. Bahkan dari Syi’ah ini lah (khususnya Syi’ah Ismailiyah) asal konsep-konsep hulul, ittihad dan penyatuan lainnya sebagai corak tasawuf falsafi (menurut sebagian kalangan).[1]
Problematika yang dimaksud di atas terkait dengan pemujaan kalangan syi’ah pada imam yang jelas-jelas menolak tawasul lewat selain imam Syi’ah dengan Ali sebagai imam pertama. Dalam keyakinan pengikut aliran Syi’ah, kewalian sepenuhnya dimiliki oleh imam dan melalui pancaran wujudnya bisa dicapai oleh para pengikutnya yang setia.[2]
Seperti diketahui termasuk ajaran Syi’ah adalah pemulyaan kepada imam secara berlebihan, bahkan tidak sedikit dari mereka yang menuhankan imam. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup kontras dengan tasawuf lainnya umpamanya sunni, bahkan pada masanya Syi’i dan Sunni adalah aliran atau tasawuf yang saling bertolak belakang dalam kecintaan kepada Ali Bin Abi Thalib dan karena kerohaniannya yang unggul. Di mana Syi’i karena kecintaannya yang berlebihan pada Ali Bin Abi Thalib, sehingga membatalkan kekhalifaan khalifah sebelum Ali Bin Abi Thalib, bahkan mengkafirkan mereka.

B.     Kritik Ibnu Taimiyyah terhadap Tasawuf Falsafi
Dalam perkembangan tasawuf dengan dua wadahnya berupa sunni dan falsafi memiliki kecenderungan yang berbeda. Tasawuf sunni yang lebih menekankan pada tataran praktis atau dikenal dengan tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi yang lebih bersifat teoritis dan filosofis dengan pengaruh filsafat di dalamnya. Model tasawuf yang kedua ini dengan intuisi dan narasinya melahirkan ungkapan-ungkapan ganjil  (syathahat) dan lebih berorientasi pada penyatuan manusia dengan Tuhan.
Kontroversi di atas bahkan cukup serius dan memakan banyak korban. Al-Hallaj dihukum  mati dan serangan-serangan terhadap tasawuf falsafi berdatangan bahkan yang mengarah pada penyesatan dan pengkafiran. Hal ini juga tidak lepas dari berbagai pengaruh luar yang disematkan pada tasawuf untuk menghancurkannya. Sehingga tasawuf  mengambil bentuk lain tidak seperti pada awal pertumbuhannya.
Di antara para ulama’ yang getol menyerang tasawuf adalah Ibnu Taimiyyah. Dia tampil bukan untuk menyerang tasawuf secara keseluruhan, tapi lebih tepatnya lebih pada purifikasi atau pemurnian ajaran tasawuf dari nilai-nilai non Islam yang telah dicampur adukkan. Semangat pembaruan ini sejalan dengan beberapa tokoh lain dan diamini beberapa tokoh yang dating setelahnya.
Dalam kritiknya, Ibnu Taimiyyah mengajukan beberapa problem tasawuf falsafi yang disinyalir bukan bagian dari Islam. Meminjam bahasanya Masyharuddin, problem-problem yang diajukan secara teologis ada yang bersifat teologis ritualis dan ada yang bersifat teologis filosofis. Problem teologis ritualis mencakup problem akidah tauhid, kewalian, karamah dan ibadah masyru’ah atau bid’ah. Sedangkan problem teologis filosofis mencakup konsep-konsep fana’, hulul, ittihad dan wihdatul wujud dengan berbagai ungkapan ganjilnya (syathahat). Dengan berbagai problematika yang diajukan, Ibnu Taimiyyah berusaha menghapus bid’ah dan khurafat yang melekat pada praktik-praktik tasawuf pada waktu itu.[3]
Untuk memperjelas beberapa problem teologis yang diajukan Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut:
1.        Problem Teologis Ritualis
Dalam memahami berbagai problem yang diajukan, seseorang tidak bisa melihat fenomena tasawuf yang ada sekarang. Tetapi harus kembali pada sejarah bagaimana kondisi sosial keagamaan dan fenomena tasawuf pada masa Ibnu Taimiyyah sebagai sasaran kritik.
Pada masa Ibnu Taimiyyah tradisi tasawuf telah dicampur adukkan dengan paham-paham non Islam. Pada masa itu tasawuf juga sudah mulai menjurus pada  kecenderungan ekstatik atau kefanaan dan persatuan hamba dengan Tuhan. Hal ini terwujud dalam berbagai macam tarekat yang lahir sebagai benntuk lain dari tasawuf. Tariqah di sini memiliki peranan penting dalam bidang spiritual keagamaan dan kehidupan sosial pengikutnya. Tasawuf sebagai pencerahan rohani direduksi menjadi serangkaian rutinitas spiritual melalui cara autohipnotis dan penglihatan hal-hal gaib. Di masa ini, nilai-nilai esoteris Islam lebih diutamakan dari pada nilai eksoterisnya. Sehingga kebanyakan dari mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan tenggelam dalam hal-hal gaib dengan harapan-harapannya. Kondisi ini lebih rumit lagi dengan munculnya mitos-mitos manusia suci dengan ragam keistimewaannya. Hal ini mengarah pada penghormatan berlebih dan pemujaan para wali.
Melihat fenomena di atas, Ibnu Taimiyyah tertusuk hatinya dan tampil untuk memurnikan kembali Islam. dalam masalah tauhid Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa tuhid yang sebenarnya adalah tidak menyekutukan Allah baik dalam Tauhid Uluhiyyah  maupun  dalam Tauhid Rububiyah. Kesalahan para sufi menurut Ibnu Taimiyyah adalah tidak bisa membedakannya dengan tegas antara kedua tauhid tersebut. Sehingga mereka terseret pada masalah-masalah di antaranya kesempurnaan fana’ pada maqam makrifat dengan tidak lagi memuji kebaikan apa lagi mencela keburukan. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi mereka sebagai wali Allah yang hakiki dengan yang gadungan.
Selain beberapa hal di atas, para penempuh jalan spiritual banyak yang menggunakan  sama’ atau mendengarkan bunyi-bunyian merdu berupa music dan lainnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menggerakkan mahabbah dalam hati. Hal tersebut sangat ditentang Ibnu Taimiyyah. Menurutnya cara-cara sama’ ini hanya akan membawa pada mahabbah semu.[4]
Merujuk pada kitab al Furqan bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan, para wali atau kekasih Allah yang sebenarnya adalah mereka yang mencintai Allah dan ber-taqarrub dengan menjalankan syari’at yang  sebenarnya dan tidak ada perbedaan dengan orang kebanyakan dari sisi dhzahirnya. Mereka adalah orang yang mengikuti Rasulullah sebagai orang nomor satu dalam Islam, mencintai dan membenci karena Allah, senang, kecewa dan melakukan atau meninggalkan sesuatu karena Allah. Artinya hal-hal ganjil yang tampak dalam diri seseoramg bukanlah sebuah ukuran kewalian yang banyak diyakini pada masanya. Apa lagi sudah keluar dari jalur yang ditetapkan Rasul dalam Syari’at Islam. Hal ini justru menunjukkan bahwa mereka tergolong wali-wali setan yang dipercaya sebagai wali Tuhan. Jadi acuan seorang wali adalah apa yang dipraktikkan Rasul sebagai paling utamanya  manusia dan sahabat-sahabatnya. Selain itu hanya sekedar kepalsuan untuk menutupi diri mereka yang terperangkap jaring-jaring setan.[5]
2.        Problem Teologis Filosofis
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, fenomena tasawuf falsafi yang lebih menekankan pada penyatuan melahirkan ungkapan ganjil yang lahir dari maqam fana’ atau  hilangnya kesadaran dan penyatuan dengan Tuhan. Selain fana’ di sini ada hulul sebagai inkarnasi Tuhan, ittihad dan wihdatul wujud sebagai penyatuan hamba dengan Tuhan. Kesemuanya merupakan tingkat tertinggi yang di dalamnya hilang kesadaran dalam sebuah penyatuan.
Menanggapi hal ini, Ibnu Taimiyyah dengan keras menentang. Terhadap konsep hulul dia berkomentar dalam bukunya al Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan bahwa hulul yang berasal dari Halla memastikan pada kebutuhan tempat dan zaman (masa). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari hulul. Sementara Tuhan tidak membutuhkan tempat dan tidak terikat dengan zaman atau waktu apapun. Jika iya, maka tidak ada bedanya lagi dengan hawadits sementara Tuhan adalah qadim. Dan terkait dengan ittihad, Ibnu Taimiyyah melihat mereka sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dalam melihat kesatuan nabi Isa dan Allah.[6]
Masuk dalam pembahasan fana’, Ibnu Taimiyyah membedakannya menjadi tiga. Pertama, fana’ al  iradah berupa hilangnya kehendak seseorang  karena mengikuti kehendak Allah. Fana’ iradah juga disebut fana’ al-ibadah yakni lenyapnya  kehendak seseorang karena focus dalam ibadah. Kedua, fana’ as-syuhud  berupa hilangnya kesadaran seseorang akan dirinya sendiri karena telah terserap dalam yang mutlak. Ketiga. Fana’ al wujud yakni hilangnya kesadaran seseorang tentang wujud Tuhan karena telah melebur dalam makhluk. Dalam pandangan Ibnu Taimiyyah, dari ketiga fana’ ini, dua terakhir macam fana’ dialami oleh para sufi yang belum sempurna. Ketidak sadaran  mereka diperoleh karena kelemahan jiwa sehingga mengalalmi shock atau keterkejutan yang luar biasa yang menyebabkan ketidaksadaran lantas keluarlah ungkapan-ungkapan ganjil tentang dirinya dan Tuhan.[7]
Dalam berbagai problematika yang diajukan ini, Ibu Taimiyyah menekankan untuk meneladani Nabi yang tidak pernah mengungkap kata-kata ganjil dan sama saja dengan orang kebanyakan secara eksoteris. Perbedaan hanya ada dalam tingkat ketakwaan bagaimana menjalankan syari’at Islam dan keimanan seseorang. Bukan pada penyatuan hamba dengan Allah yang membahayakan. Di sini Ibnu Taimiyyah meyakini bahwa generasi salaf telah menyelesaikan denagan meyakinkan dasar keberagamaan, dan mereka yang berseberangan dinyatakan bid’ah.[8]

C.    Analisis Penulis tentang Kritikan Ibnu Taimiyyah
Kebanyakan orang menganggap Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang menolak tasawuf dengan hanya melihat kritikannya tanpa tahu kondisi sosial keagamaan pada waktu itu. Mereka lupa pada pandangan-pandangannya tentang tasawuf  yang  ada dalam bukunya al Furqan Bayna Awliya’i al Rahman wa Awliya’i as Syaithan dan buku-buku lainnya. Di sana Ibnu Taimiyyah menulis kategori-kategori para kekasih Allah dengan merujuk pada Alquran dan hadis, bagaimana konsep tasawufnya yang syar’i, tentang Kasyf (penyingkapan), karamah dan lainnya. Dengan tegas beliau membedakan antara wali Allah dan wali setan (gadungan). Hal ini merupakan sebuah ketimpangan dengan hanya melihat Ibnu Taimiyyah dari satu sisi saja tanpa memperhatikan rekonstruksi yang dilakukannya terhadap tasawuf yang direduksi dan terkontaminasi pada masanya..
Dalam melihat kritikan Ibnu Taimiyyah di sini juga tidak bisa dilupakan bagaimana paradigma dan metode berpikirnya. Dia adalah salah  satu pembesar salafy yang lebih menekankan pada teks tanpa penafsiran dan mengembalikan semuanya pada Alquran dan Hadis. Sehingga dalam menanggapi berbagai hal dia kembalikan pada penafsiran tekstual akan Alquran dan hadis. Di sini jelas berbeda dengan mereka yang tidak sealiran dengannya dalam menanggapi sebuah masalah.[9]
Membaca pemikiran Ibnnu Taimiyyah dalam tulisan-tulisannya atau dalam tulisan orang lain tentangnya, sebenarnya kritik yang diajukannya bukanlah sebuah penolakan terhadap tasawuf secara keseluruhan sebagai bagian dari Islam. Tetapi lebih pada pemurnian kembali tasawuf Islam dan  rekonstruksi bangunan tasawuf yang telah direduksi dengan disematkannya nilai-nilai non Islam ke dalamnya. Dalam karyanya dia menolak tasawuf falsafi al Hallaj dengan Hulul-nya, Ibnu Arabi dan mereka yang sibuk bernostalgia dengan Tuhan lepas dari kehidupan yang seharusnya dijalankan. Penekanan pada ibadah sebagai bentuk nyata taqarrub dan menjalankan syari’at sebagaimana dicontohkan Rasul.
Dalam kritiknya, sebenarnya Ibnu Taimiyyah menawarkan sebuah konsep baru tentang tasawuf yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai neo sufisme. Hal ini sebagai reaksi terhadap tasawuf pada masanya yang terkontaminasi oleh nilai-nilai non Islam yang menjadi sasaran kritikan. Konsep-konsep seperti hulul dan ittihad misalnya yang menjadi orientasi para penempuh jalan spiritual dengan dipelopori al Hallaj dan yang lain sudah jauh melenceng dari yang diajarkan Rasul tentang keimanan dan ketakwaan seseorang. Di sini Ibnu Taimiyyah menekankan keseimbangan esoteris dan eksoteris manusia. Bukan terlena dalam sisi esoteris sementara mereka yang hidup di dunia lepas dari dimensi eksoterisnya.[10]
Terkait dengan hulul, ittihad dan penyatuan lainnya, Zaki Ibrahim Muhammad dalam bukunya Tasawuf Hitam Putih  menuliskan bahwa kesemua hal tersebut ditolak sebagai bagian dari Islam. Selanjutnya dia menyebutkan bahwa konsep-konsep tersebut merupakan bagian dari Syi’ah yang keluar dari Ahlus sunnah wal jama’ah.[11] Dan Sayyid Nur dalam bukunya Tasawuf Syar’i menyebutkan bahwa di kalangan para sufi tidak ada yang menyebut al Hallaj sebagai sufi.[12]
Berbagai hal di atas merupakan hal yang wajar dalam tradisi intelektual yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Kecuali ketika semuanya telah terjangkit virus fanatisme yang berlebihan dan membahayakan. Sehingga terjadi saling menyalahkan bahkan bisa sampai pada pembantaian. Hal ini perlu dihindari dalam perkembangan pemikiran umat Islam. atau semuanya akan berubah menjadi sebuah dogma dengan klaim kebenaran seolah mendapat garansi dari Tuhan akan segala pemikirannya.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Kondisi sosial kegamaan pada masa Ibnu Taimiyyah jauh berbeda dengan era-era awal Islam, khususnya terkait dengan mistisme Islam. bid’ah dan khurafat menjamur juga okultisme dan pemujaan para wali. Kebanyakan orang tenggelam dalam dimensi batin dengan melupakan kehidupan yang wajar. Dan tasawuf yang pada awalnya lebuh menekankan pada kualitas keberagamaan seseorang pada akhirnya menjadi sebuah formalitas baru dengan berbagai ritual dan tradisi yang belum pernah ditemukan pada masa Nabi, sahabat dan ulama salaf.
Pada masanya, Ibnu Taimiyyah tampil ke depan dalam memurnikan kembali Islam khususnya tasawuf dengan mengikis habis nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang diselewengkan. Tasawuf yang lebih mengarah pada penyatuan hamba dengan Tuhan dikembalikan ke tempat asalnya dalam membangun moral dan intelektual kaum muslimin dari pada tenggelam dalam romantisme kebatinan.
Di antara beberapa hal yang disorot Ibnu Taimiyyah adalah problematika teologis ritualis dan filosofis. Termasuk di dalamnya adalah konsep hulul, ittihad dan peanyatuan lainnya sebagai orientasi para penempuh jalan spiritual pada waktu itu. Mereka yang lebih suka bernostalgia dengan Tuhan dari pada menjalani kehidupan secara wajar dengan ketakwaan menjadi pusat perhatian. Dalam pandangan Ibnu Taimyyah mereka telah timpang dalam menjalankan Islam dengan hanya memperhatikan dimensi esoterisnya, sementara Rasul, para sahabat dan ulama’ salaf tidak pernah mecontohkan hal tersebut.
B.     Saran
Dalam menyikapi berbagai perbedaan, seseorang sebaiknya bersikap moderat dan tidak apriori. Tetapi bagaimana memberikan respon positif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan dalam memahami sebuah kontroversi sebaiknya harus benar-benar memahami konteks yang ada agar tidak terjadi kesalahpahaman.
DAFTAR PUSTAKA


Ibrahim, Zaki Muhammad. 2006. Tasawuf Hitam Putih. Tiga Serangkai:  Solo.
Ibnu Taimiyyah. 1982. al Furqan Bayna Aulillah wa Auliya’i as Syaithan. Al Maarif: Riyadh.
Masyaruddin, 2007. Pemberontakan Tasawuf.  JP Books: Surabaya.
M. Sholiihin. 2011. Ilmu Tasawuf. Pustaka Setia: Bandung.
Nur, Sayyid. Tasawuf Syar’i. Terj. M. Yaniyullah. Hikmah: Jakarta.


[1]Zaki Muhammad Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih (2006. Tiga Serangkai:  Solo)., 64.
[2]M. Sholihin dkk, Ilmu Tasawuf, (2011. CV Pustaka Setia: Bandung)., 71-74.
[3]Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, (2007. JP Books: Surabaya)., 101-171.
[4]Ibid., 117-124.
[5]Ibnu Taimiyyah,  al Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan. (1982. Al-Ma’arif: Riyadh)., 5-8.
[6]Ibid., 49.
[7]Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf., 146-151.
[8]Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf., 51.
[9]Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf., 51.
[10]Ibnu Taimiyyah,  al Furqan Bayna Auliya’i al Rahman wa Auliya’i as Syaithan., 5-8.
[11]Zaki Ibrahim, Tasawuf Hitam Putih., 50 dan 64.
[12]Sayyid Nur, Tasawuf Syar’i. Terj. M. Yaniyullah (Hikmah: Jakarta)., 212.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar