Oleh : Abd. Shamad
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibnu Arabi merupakan salah satu filsuf muslim yang berangkat dari tasawuf
dalam menelurkan filsafatnya. Sebagaimana filsuf sebelumnya, dia mencoba
membahasakan penglaman spiritualnya dengan filsafat agar dapat dikomunikasikan
dengan coraknya tersendiri. Melalui pemaduan akal dan intuisi dengan proporsi
yang berbeda ibnu Arabi berkarya. Dari sini banyak orang-orang yang tidak
memahami ungkapan-ungkapan metaforisnya.
Di antara sekian banyak pemikiran filsafat mistik (tasawuf falsafi) dalam
Islam, pemikiran Ibn ‘Arabi merupakan salah satu model yang unik karena
kepiawaiannya memformulasikan pengalaman mistisnya ke dalam bahasa filsafat,
atau juga merupakan pemaduan unsur-unsur mistis ke dalam filsafat, sehingga
filsafat yang disajikan tidak murni rasional, tetapi sudah dilengkapi
dzauqiyyah (intuitif).
Berangkat dari intuisi yang berawal dari penyucian diri untuk
mempersiapkannya mendapat pancaran Ilahi dan rasio dalam mengkomunikasikan
pengalaman batin, Ibnu Arabi mewarnai dunia intelektual muslim. Namun, keterbatasan
kata dalam mengungkapkan realita spiritual yang dialaminya menyebabkan banyak
kalangan menuduhnya sesat. Khususnya pemikrannya tentang wihdatul wujud yang
dianggap bertentangan dengan Islam menjadi sasaran ketidakmampuan akal memahami
keadaannya yang dimabuk cinta dengan Tuhan. Sementara kata tak pernah mampu
mengungkap realitas spiritual yang dialaminya tanpa masuk di dalamnya.
|
Berbagai
fenomena di atas yang hanya memandang satu sisi saja dari Ibnu Arabi sehingga
banyak yang mengamggapnya sesat. Pada hal mereka tidak tahu banyak tentang Ibnu
Arabi kecuali namanya saja. Dari sini kami tertarik untuk menulis makalah
dengan pembahasan teosofi Ibnu Arabi sesuai kemampuan dan literature yang
didapatkan.
B.
Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas
sedikit banyak tentang beberapa hal sesuai kemampuan kami, di antara bahasan
kami terkai tentang:
1. Bagaimana biografi Ibnu Arabi yang
melatar belakangi pemikirannya?
2. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Arabi?
C.
Tujuan
Setelah membaca makalah ini, kami harap para pembaca mengerti sedikit
banyak tentang beberapa hal terkait:
1. Biografi singkat Ibnu Arabi yang melatar
belakangi pemikirannya.
2. Pemikiran filosofis Ibnu Arabi.
BAB II
FILSAFAT IBNU ARABI
A.
Biografi Singkat Ibnu Arabi
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi
al-Tha’i al-Hatimi. Ia dilahirkan di Andalus, Murcia (Mursia) Spanyol pada
tahun 1165 M dalam keluarga berdarah Arab asli dari suku Tha’i. Ketika berusia
delapan tahun, ia ikut diboyong keluarganya pindah ke Lisbon dan kemudian ke
Seville. Di sanalah ia mulai mengecap pendidikan serta memperdalam ilmu
pengetahuan keislaman dari berbagai cabang dengan para ulama ataupun para sufi.[1]
Selama di Seville, pada masa berikutnya Ibn ‘Arabi menduduki jabatan
sebagai Sekretaris Gubernur Seville, hal ini tak terlepas dari kecemerlangan
prestasi pendidikannya. Kemudian ia menikah dengan seorang wanita shalehah yang
bernama Maryam. Selama di Seville ia didampingi isterinya, termasuk dalam
perlawatannya ke berbagai daerah di Spanyol ataupun Afrika Utara. Dalam masa
perlawatannya itulah ia banyak berjumpa dengan guru-guru sufi, dari perjumpaan
itu paling tidak mempercepat proses Ibnu ‘Arabi untuk menggeluti dunia sufi
sejak usia dua puluh tahun, hingga pada akhirnya ia lebih memilih jalur sufi
dan sekaligus menghantarkannya menjadi seorang sufi besar.
|
Dalam masa
hidupnya, Ibnu Arabi banyak melakukan perjalanan dan menemui para intelek juga
ulama sufi dan tak jarang timbul perdebatan di antara mereka dalam pertukaran
fikiran. Dalam petualangan intelektualnya ini lah Ibnu Arabi banyak mendapat
pengetahuan, baik itu pengetahuan teofanik
atau yang lainnya. Bahkan menurut Asin Palacios, dia mendapatkan pembaiatan
formal untuk memasuki dunia sufisme ketika berkunjung ke Almeria sebagai pusat
sekolah Ibnu Masarrah dan kemudian Ibnu al-‘Arif.[2]
Ibn ‘Arabi tidak hanya sebagai seorang sufi besar tetapi sekaligus sebagai
seorang filsuf mistis. Penguasaan ilmunya melampaui bidang mistis, ia juga
menguasai filsafat peripatetik serta merupakan salah satu guru pada bidang
tersebut. Dan latar belakang penguasaan disiplin ilmu yang luas (antara mistis
dan filsafat), Ibn ‘Arabi mampu memformulasikan pandangan-pandangannya yang
bercorak mistis dengan bahasa, filsafat, dengan kata lain pengalaman-pengalaman
mistis yang bersifat batini itu telah difilsafatkan dan menjadi sebuah
pandangan metafisis yang khas. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Wihdat
al-Wujud.
B.
Pemikiran Ibnu Arabi
Dalam filsafatnya, Ibnu Arabi berangkat dari tasawuf atau jalan sufi. Hal
ini sebagaimana Hakim al-Tirmidzi dan Bayazid al-Bastami dengan metafisiknya.
Selain itu ada Ibnu Masarrah dengan doktrin kosmologisnya. Namun berbeda dari
mereka yang tulisannya lebih pada petunjuk praktis bagi para pengikut jalan
tasawufnya atau sekedar ekspresi dari keadaan realisasi yang dicapai dengan
penjelasan teoritik tentang metafisika yang hanya memancarkan aspek partikular
realitas yang diperhatikan bersamaan dengan kaum sufi, pada masa Ibnu Arabi
telah terkandung secara implicit dalam pernyataan-pernyataan berbagai guru dan
terformulasi secara eksplisit. Ibnu Arabi memberi penjabaran yang sebenarnya
atas gnosis (tajalli) dalam Islam. Melaluinya, dimensi esoterik (batin)
dalam Islam menampakkan diri secara terbuka dan menerangi gari-garis jagad
spiritualnya.[3]
Di antara pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi adalah sebagai berikut:
1. Wihdatu al-Wujud
Doktrin wihdatu al-wujud sebenarnya bukanlah doktrin
yang dikeluarkan Ibnu Arabi. Hanya saja banyak dari pemikirannya yang
mengekspresikan kesatuan atau bisa dibilang Ibnu Arabi mendukung wihdatu
al-wujud walaupun istilah terebut lahir setelahnya dengan adanya perhatian
lebih murid-muridnya akan konsep kesatuan. Dan konsep ini lah kiranya yang
menjadi roh pemikiran Ibnu Arabi yang menentukan konsep-konsep lain baik dalam
epistemologi, ontologi, teologi dan lainnya.
Dalam konsep ini dikatakan bahwa tidak ada maujud
selain Allah sebagai wujud yang haq dan wujud seluruhnya. Adapun apa yang
tampak dari makhluk pada hakekatnya tidak ada, tetapi hanya merupakan bayangan
semu yang meminjam wujud Allah. Karena pada tingkatan tertinggi, wujud adalah
realitas Tuhan yang absolut dan tidak terbatas. Dan sebagai esensi al-Haqq
wujud adalah dasar segala sesuatu yang tidak dapat ditentukan dan diketahui
dari segala sesuatu yang ada di dalam bentuk apapun yang membuat dia dapat
ditemukan.[4]
Menurut pandangan ini, keragaman nyaris tidak ada
(tampak tunggal), tatkala ia juga berakar pada Tuhan. Dari pemikirannya, Ibnu Arabi
disimpulkan bahwa Ibnu Arabi menarik dunia intelektual atau ilmu ke dunia
tasawuf. Sehingga dia lebih menekankan pada hakekat dari pada pembahasan
rasional ilmu pengetahuan. Sehingga tidak banyak dapat diterima kecuali oleh
golongan-golongan tertentu saja yang benar-benar mengetahui arah dan tujuannya
juga lingkup bahasannya. Karena antara dunia tasawuf dan ilmu memiliki
karakteristik dan cakupan yang tidak sama.
2. Wihdatu al-adyan
Teori ini berangkat dari teori wihdatu al-wujudnya
yang menjadi roh hampr semua pemikirannya. Karena semuanya hanyalah meminjam
wujud Tuhan dan tidak benar-benar ada. Di sini tidak ada tempat lagi untuk
perbedaan. Dalam pandangan Ibnu Arabi Semua agama dari Nabi Adam sama saja
menuju kebahagiaan, hanya saja berbeda dalam membahasakan sesuai keadaan dan
tuntutan yang mempengaruhi. Sehingga tidak ada beda antara muslim dan
non-muslim, umat Musa dan Muhammad.
Dalam buku Dunia Imajinal Ibnu Arabi William
Chittick menuliskan beberapa hal tentang alasan perbedaan agama dengan runtutan
yang jelas. Di sana disebutkan bahwa agama-agama wahyu berbeda semata
disebabkan keragaman hubungan ketuhanan. Dan keragaman ini dikarenakan
keragaman pernyataan. Sedangkan pernyataan ini berbeda disebabkan keragaman
waktu agama itu diturunkan, gerakan, dan kadar perhatian. Semua itu disebabkan
bedanya tujuan dan keberbedaan penyingkapan diri (tajalli). Dari sini dapat
disimpulkan sebenarnya semua agama adalah sama, dengan jalan yang berbeda
menuju Tuhan yang satu.[5]
3. Epistemologi
Menurut Ibnu Arabi pengetahuan yang sebenarnya
adalah pengetahuan yang didapat dari intuisi dengan pensucian diri sebelum
mendapat pancaran Ilahi dan bertajalli. Dia lebih menekankan pada pengalaman
batin dengan pancaran Tuhan yang menurutnya tidak bisa disangsikan lagi. Sementara akal bagi Ibnu Arabi hanya untuk
mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan membawanya ke dalam
dunia fenomena. Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan
menyusun kembali serta menerjemahkan pengetahuan yang tidak bia diterangkan ke
dalam kerangka bentuk pengetahuan secara fenomenal representasional, maka ia
akan menjadi pengetahuan intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita
yang lain, bersifat konseptual dan biasa dipahami, dan karenanya, bisa
dibicarakan dalam bahasa sehari-hari dengan mudah. Karena itu, kemampuan
akallah kata Ibn ‘Arabi yang bisa melakukan transisi dari pengetahuan tentang
yang gaib ke pengetahuan intekelektual dunia fenomena seperti itu.
Dari pendekatan yang dipakai, Ibnu Arabi membagi
pengetahuan menjadi;
1) Pngetahuan intelektual (‘Ilm
al-Aql, The Science of reason) yang diperoleh melalui pendekatan investigatif serta
bersifat demonstratif. Pengetahuan jenis ini bisa merujuk pada objek empiris
atau objek yang sudah dikenal oleh akal.
2) Pengetahuan tentang kesadaran
akan keadaan-keadaan batin (The Science of States, Ahwal). Jenis pengetahuan
ini lebih menekankan pada kemampuan merasa sehingga tidak ada jalan untuk
mengkomunikasikan keadaan-keadaan yang sudah melampaui batas-batas nalar selain
merasakan sendiri jenis “keadaan-keadaan” tersebut. Karena akal tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan
kebenaran “keadaan-keadaan” dalam penyaksian batin.
3) Pengetahuan tentang yang gaib
(Knowledge is The Sciences of The Mysteries. ‘ilm al-asrar). Pengetahuan model ini bercorak
intelektual transenden, bentuk mengetahui lebih tergantung pada pencerahan yang
bersumber dari cahaya Ilahiah atau pancaran ruh suci kedalam pikiran.
Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqam
tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-orang suci.
4. Teori manifestasi Ibnu Arabi
Teori ini terkait dengan kosmologi atau alam dan
awal penciptaannya. Dalam teori ini disebutkan bahwa apapun yang ada di alam
hanyalah manifestasi-manifestasi ilahi yang tidak mungkin ada tanpa keberadaan
Tuhan sebagai wujud sejati. Dari Tuhan termanifestasi akal pertama sampai pada
tingkat manusia sebagai makhluk yang sangat potensial untuk menjadi tempat
tajalli seluruh sifat Tuhan. Di sini teori manifestasi terkesan hampir sama
dengan teori emanasi yang berkembang sebelumnya. Hanya saja bahasa yang
digunakan berbeda dengan penggunaan kata manifestasi atau cahaya Ilahi sebagai
ganti intelek dalam emanasi.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad Ibn
‘Ali Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi. Ia dilahirkan di Andalus,
Murcia (Mursia) Spanyol pada tahun 1165 M dalam keluarga berdarah Arab asli
dari suku Tha’i. Ketika berusia delapan tahun, ia ikut diboyong keluarganya
pindah ke Lisbon dan kemudian ke Seville. Di sanalah ia mulai mengecap pendidikan
serta memperdalam ilmu pengetahuan keislaman dari berbagai cabang dengan para
ulama ataupun para sufi.
Dalam masa hidupnya, Ibnu Arabi banyak
melakukan perjalanan dan menemui para intelek juga ulama sufi dan tak jarang
timbul perdebatan di antara mereka dalam pertukaran fikiran. Dalam petualangan
intelektualnya ini lah Ibnu Arabi banyak mendapat pengetahuan, baik itu
pengetahuan teofanik atau yang lainnya
Ibn ‘Arabi tidak hanya sebagai seorang sufi
besar tetapi sekaligus sebagai seorang filsuf mistis. Penguasaan ilmunya
melampaui bidang mistis, ia juga menguasai filsafat peripatetik serta merupakan
salah satu guru pada bidang tersebut. Dan latar belakang penguasaan disiplin
ilmu yang luas (antara mistis dan filsafat), Ibn ‘Arabi mampu memformulasikan
pandangan-pandangannya yang bercorak mistis dengan bahasa, filsafat.
|
Dalam
filsafatnya, Ibnu Arabi berangkat dari tasawuf atau jalan sufi. Hal ini
sebagaimana Hakim al-Tirmidzi dan Bayazid al-Bastami dengan metafisiknya.
Selain itu ada Ibnu Masarrah dengan doktrin kosmologisnya. Namun berbeda dari
mereka yang tulisannya lebih pada petunjuk praktis bagi para pengikut jalan
tasawufnya atau sekedar ekspresi dari keadaan realisasi yang dicapai dengan penjelasan
teoritik tentang metafisika yang hanya memancarkan aspek partikular realitas
yang diperhatikan bersamaan dengan kaum sufi, pada masa Ibnu Arabi telah
terkandung secara implicit dalam pernyataan-pernyataan berbagai guru dan
terformulasi secara eksplisit.
Di antara pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi adalah sebagai berikut:
1. Wihdatu al-Wujud
2. Wihdatu al-adyan
3. Epistemologi
4. Teori manifestasi Ibnu Arabi
B.
Saran
Dalam menyikapi seseorang yang kontroversial, sebaiknya tidaklah
memandang hanya satu sisi dari berbagai sisi yang ada. Karena bisa saja apa
yang dimaksudkan tidak bias dicerna orang lain karena belum sampai pada
tingkatannya. Sehingga tidak ada lagi yang dapat dipetik dari pemikirannya atau
bahkan menelan kerugian. Ada baiknya mengetahui latar belakang pemikiran
seseorang agar mengatahui landasan dan keadaan yang dihadapinya sampai
melahirkan pemikiran. Sehingga sedikit banyak orientasi berpikirnya dapat
terbaca dalam mempermudah pemahaman dan menghindari penyesatan tanpa
penelusuran.
DAFTAR PUSTAKA
Chittick William C. 2001. Dunia
Imajinal Ibnu Arabi Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama.
Terj. Achmad Syahid. Surabaya: Risalah
Gusti.
Kartanegara Mulyadi. 2006. Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Lentera hati.
Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nasr Sayyed Hossein. 2006. Tiga
Madzhab Utama Filsafat Islam. Jogjakarta: IRCiSoD.
[1]Sayyed Hossein
Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, (Jogjakarta, IRCiSoD, 2006),
158-159
[2]Ibid., 164-165
[3]Ibid.,156
[4]William C.
Chittick, Dunia Imajinal Ibnu Arabi Kreativitas Imajinasi dan Persoalan
Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid, (Surabaya, Risalah Gusti, 2001), 27-29. Lihat juga Aliran
dan Teori Filsafat Islam karya Ibrahim Madkour, 109-110
[5]William C.
Chittick, Dunia Imajinal Ibnu Arabi Kreativitas Imajinasi dan Persoalan
Diversitas Agama, Terj. Achmad Syahid, (Surabaya, Risalah Gusti, 2001), 270-275
[6]Mulyadi
Kartanegara, Gerbang Kearifan Sebuah Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta,
Lentera hati, 2006), 65-67
Tidak ada komentar:
Posting Komentar