Oleh : Abd. Shamad
A. Latar Belakang
Sebuah agama lahir dengan beberapa
syarat, salah satunya adalah adanya Tuhan dan konsep ketuhanan dalam menanamkan
keyakinan yang dapat ditemukan dalam ilmu tauhid. Namun ketika masuk pada
wilayah konseptual, akan lahir banyak kontroversi sesuai dengan kacamata yang
dipakai dalam melihat dan mengkaji juga tak lepas dari pengaruh latar belakang
social politik, budaya dan pendidikan seseorang. Dan hal ini sudah menjadi hal
yang biasa juga tak dapat dihindari.
Pada masa Rasulullah, umat Islam
datar-datar saja dan mengembalikan semua urusan kepada Nabi baik urusan furu’iyah
atau yang terkait dengan prinsip-prinsip dasar Islam (akidah). Pada waktu
itu, selalu mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya juga terhindar dari
perselisihan paham.
Setelah Rasulullah wafat, keadaan
mulai berubah. Gejolak-gejolak keagamaan dan social politik mulai kentara.
Namun hal itu masih dapat diredam pada masa-masa awal kepemimpinan khulafaurrasyidin.
Baru pada masa Khalifah Ustman yang memicu banyak kontroversi, gejolak yang
tertanam sebelumnya tersaalurkan. Diawali dengan kematian Khalifah yang
dipertanyakan sampai lahirnya peristiwa tahkim pada masa pemerintahan
Ali.
Berawal dari persoalan politik,
kontroversi di kalangan umat Islam merembet pada persoalan akidah sebagai
prinsip umat Islam. Di sini politisasi kegamaan mulai dipermainkan dalam
memperoleh justifikasi agama yang memiliki potensi besar dalam menggalang umat.
Syi’ah, khawarij, murji’ah dan aliran-aliran lain berjamuran dengan satu
dasar dan satu Tuhan.
Berbagai fenomena di atas juga
dapat ditemukan dalam keberagamaan masyarakat Islam modern. Hanya saja dengan
berbagai polesan dan bentuk yang berbeda. Namun kalau menarik konteks tersebut
ke dalam sejarah, maka akan ditemukan berbagai kesamaan yang diadopsi atau bisa
saja disebutkan bahwa mereka sebagai perpanjangan tangan dan bentuk baru dari
berbagai aliran sebelumnya. Oleh karena itu, kami merasa tertarik untuk
meninjau ulang sejarah umat Islam dan menyusun makalah dalam menyingkap
fenomena sejarah khususnya yang berhubungan dengan perkembangan pemikiran
ketauhidan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan
membahas sedikit banyak tentang :
1.
Apa definisi dan
bagaimana pertumbuhan Ilmu Tauhid?
2.
Apa saja faktor-faktor
yang melatar belakangi lahirnya berbagai aliran dalam Islam?
C. Tujuan
Setelah membaca makalah ini,
pembaca diharapkan memahami sedikit banyak tentang :
1.
Definisi dan
fase pertumbuhan ilmu tauhid.
2.
Faktor-faktor yang
melatar belakangi lahirnya berbagai aliran dalam Islam
BAB II
SEJARAH
KELAHIRAN ILMU TAUHID
A. Definisi dan Fase Pertumbuhan Ilmu Tauhid
Menentukan awal
lahirnya ilmu tauhid tidak bisa lepas dari bagaimana seseorang
mendefinisikannya. Karena berangkat dari definisi lah semuanya akan menjadi
jelas, baik itu ruang lingkup dan kategori-kategori tertentu sesuatu dapat
masuk dalam wilayahnya. Ilmu tauhid di sini merupakan ilmu yang membicarakan
tentang cara-cara menetapkan akidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang
meyakinkan, baik dalil naqli, dalil aqli atau dalil wijdani (perasaan halus)[1].
Dan banyak lagi definisi lain yang dipaparkan dengan gaya bahasa dan sudut
pandang masu/ing-masing, akan tetapi kesemuanya tetap berkisar dalam persoalan
kepercayaan dan cara menguraikannya. Ilmu ini disebut juga dengan ilmu kalam,
ilmu ushuludin dan ilmu teologi.
Setelah mengetahui
definisi dari ilmu tauhid, maka baru dapat ditentukan awal sejarah dan
perkembangannya. Sebagai prinsip dasar agama, maka tauhid (akidah) atau apa-apa
yang masuk dalam bahasan ilmu tauhid sebenarnya datang dana tumbuh berkembang bersamaan
dengan agama itu sendiri.[2] Hanya
saja corak ketauhidan pada waktu itu tidak sama dengan yang dikenal sekarang
sebagaimana keadaan Islam itu sendiri. Dan sudah menjadi prasyarat dari
berdirinya suatu agama adalah adanya Tuhan yang diyakini dan atau konsep-konsep
ketuhanan dalam mengantarkan para pemeluknya mengenal Tuhan dan meyakininya. Di
sini corak ketauhidan yang berkembang lebih bersifat praktis, ditanamkan pada
jiwa tiap individu untuk diaplikasikannya. Ilmu tauhid yang dikenal sebagai
amaly syuhudi atau praktikal dan penghayatan ini selanjutnya dikembangkan oleh
para sufi dengan penyucian jiwa dan tarbiyah kerohanian.
Ada beberapa fase
perkembangan ilmu tauhid sampai menjadi sebuah disiplin keilmuan yang mandiri,
lebih teoritis sebagaimana yang dikenal sekarang. Adapun fase-fase tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Masa Rasulullah
Pada masa ini, merupakan
masa-masa awal penanaman ketauhidan, penetapan pokok-pokok akidah dan
penyusunan hukum. Pembentukan umat Islam menjadi perhatian pertama menanggapi
berbagai keyakinan yang berkembang di masanya. Di sini lah awal kemunculan Ilmu
tauhid yang dibawa Nabi dengan Islam dalam coraknya tersendiri.
Nabi sebagai pemimpin religio-politik
menjadi rujukan umat Islam dalam mengahadapi masalah, baik yang terkait dengan
keagamaan atau social kemasyarakatan. Nabi dengan didampingi Tuhan sanggup
menyatukan dan menjawab semuanya tanpa kontroversi. Berangkat dari yang satu
ini lah semua umat seragam. Dan pada akhirnya apa-apa yang disampaikan atau
dicontohkan Nabi menjadi rujukan umat setelahnya selain Alquran.
Pertentangan atau perdebatan
lebih-lebih sampai saling menyalahkan dan mengkafirkan adalah sesuatu yang
terlarang. Bahkan meskipun hal tersebut ditujukan kepada orang di luar Islam.
Dalam Alquran banyak ayat yang membahas hal tersebut seperti dalam surat Al
Anfal 46
وأطيعواالله
ولا تنازعوا فتفشلوا وتذههب ريحكم واصبروآ ان الله مع الصبرين. (الانفال ٤٦)
Artinya : “Dan
ta’atilah olehmu oleh Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantah
yang menyebabkan kamu gagal dan hilanglah kekuranganmu serta bersabarlah;
sesumgguhnya Allah beserta dengan orang yang sabar”. (Al Anfal 46)
Nabi juga
bersabda:
لاتصدقوا اهل الكتاب
ولاتكذبواهم،وقولوا: آمنا بالله وما أنزل إلينا وما أنزل إليكم، وإلهنا
وإلهكم واحد
ونحن له مسلمون.
Artinya : “Janganlah kamu membenarkan
ahlul kitab dan janganlah mendustakan mereka. Dan aktakanlah: “Kami telah
beriman kepada Allah, kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan kepada
apa yang telah diturunkan kepada kamu”. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Tuhan
yang Esa. Dan kami menyerahkan diri kepada-Nya”.
Ilmu tauhid yang
berkembang pada masa Nabi selanjutnya dimasukkan dalam kategori tauhid
amaly syuhudi/praktikal dan penghayatan di mana ketauhidan ditanamkan dalam
dada, dihayati dan dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan. Pembahasan
ketauhidan sendiri hanya ada dalam Alquran dan penyampaian Nabi baik lewat
sabda atau lainnya berbeda dengan yang ditemukan sekarang.
b.
Masa Khulafaurrasyidin
Pada masa awal kekhalifahan,
umat Islam disibukkan dengan pertahanan kesatuan dan persatuan umat Islam
sendiri yang sedikit goncang setelah wafatnya Rasul juga menghadapi
serangan-serangan baik dari luar atau umat Islam sendiri yang membangkang.
Karenanya, perhatian pada ilmu tauhid berkuarang dan mereka hanya melakukan
qudwah atau mengikuti apa yang telah disampaikan Rasul atau yang ada dalam
Alquran. Mereka juga cenderung tekstualis dalam memahami Alquran dan hadis
Nabi.
Fenomena di atas berubah
setelah khalifah Usman berkuasa. Berawal dari pengangkatannya yang menimbulkan
kontroversi juga pemerintahan yang banyak ditentang dengan tuduhan nepotisme
dan lainnya, dilanjutkan dengan pembunuhan Usman oleh para pemberontak
menimbulkan berbagai pertentangan di kalangan umat Islam. Hal ini memuncak
setelah terjadi tahkim dalam perang shiffin.[3]
c. Masa Umayyah
Dinasti umayyah merupakan masa
transisi pemerintahan dari system kekhalifahan ke system monarki absolute.
Tidak ada lagi musyawarah atau pemilihan dalam menentukan pemimpin, tetapi
kepemimpinan berjalan secara turun temurun. Dan usaha mempertahankan kedaulatan
Islam sudah terhenti. Sehingga umat Islam memiliki banyak kesempatan untuk
mempertanyakan kembali dan membahas hokum-hukum Islam dan dasar-dasar akidahnya
yang sudah lama didiamkan oleh ulama salaf.
Selain itu, perpecahan umat
Islam setelah terjadinya perang Shiffin juga memiliki peran besar bagi umat
Islam untuk meperhatikan dasar-dasar akidah. Sehingga mereka yang terpecah dan
sama-sama mengedepankan truth claim
dan mengkafirkan golongan lain mencari justisifikasi agama lewat tauhid sebagai
prinsip dasar agama. Persoalan-persoalan tauhid pun diketengahkan.
Pada masa ini juga mulai
timbul usaha untuk menyusun ilmu (kitab) terkait dengan akidah Islam. Hal ini
sebagaimana dilakukan oleh Wasil ibn Atha yang menyusun kitab Al-Futuya,
Kitabul Manzilati Bainal Manzilataini dan Kitabut Tauhid. Jadi, Ilmu tauhid
pada masa ini sudah mulai berkembang berbeda dengan masa sebelumnya.
d. Masa Abbasiyah
Kekuasaan Abbasiyah ditandai
dengan harmonisasi Bangsa Arab dengan Bangsa Ajam (non-Arab) yang sebelumnya
termarginalkan pan Arabisme Umayyah. Banyak orang-orang non-Arab (Persia)
diangkat menjadi pegawai Istana dan mendapat tugas menerjemahkan kitab-kitab
dengan bahasa mereka ke bahasa Arab. Namun, sebagian penerjemah ada yang
menyeleweng dan memasukkan maksud-maksud buruk tertentu dengan kedok agama
dalam penerjemahan.
Pada masa Abbasiyah ini
terjadi perkembangan intelektual dan budaya yang menjadi titik perhatian. Penerjemahan
kitab-kitab bahasa asing khususnya filsafat Yunani dilakukan besar-besaran.
Sehingga mempengaruhi paradigma berpikir umat Islam dalam membahas dan mengkaji
ulang agamanya.
Penggunaan filsafat dalam
penetapan akidah Islam memberikan warna baru dalam perkembangan ilmu tauhid
yang tidak ditemukan sebelumnya. Di sini tauhid dituangkan ke dalam tulisan
secara besar-besaran dengan rasionalisasi dalam pembelaan agama dari serangan
luar. Penggunaan filsafat ini pun tak lepas dari mengadopsi metode musuh dalam
menandinginya. Di sini tauhid yang dikemas dengan ilmu kalam lebih bersifat
teoritis (nadhari) sebagai akibat
dari pengaruh filsafat Yunani. Perkembangannya seiring dengan perdebatan dan
diskusi-diskusi yang terjadi di kalangan umat Islam.
e. Pasca Abbasiyah
Setelah kekuasaan Abbasiyah
berahir, maka berakhir pula masa keemasan Islam. Pada masa ini terjadi
kerancuan dalam ilmu kalam dengan pencampuradukan filsafat ke dalam ilmu kalam
sebagi warna baru ilmu tauhid. Prinsip-prinsip filsafat dimasukkan ke dalam
akidah Islamiyah. Hal ini dilakukan oleh sebagian pengikut Asy’ariyah yang
terlalu menceburkan diri dalam dunia filsafat.
Kemudian datanglah Ibn
Taimiyah yang mebela mazhab salaf dan memurnikan kembali akidah Islam dengan
mengembalikannya kembali pada Alquran dan hadis. Sebagaimana kaum salafy, Ibnu
Taimiyah lebih tekstual dan mengikuti makna dzahir ayat tanpa takwil.
Kedatangan Ibn Taimiyah
menimbulkan pro dan kontra. Sebagian kalangan menolak pemikirannya bahkan ada
yang menganggapnya sesat. Karena Ibn Taimiyah lebih berpegang pada makna dzahir
ayat tanpa takwil menanggapi ayat mutasyabihat
yang menjadi bahan perbincangan. Selain mereka yang menolak, sebagian yang lain
mengamininya dan mengikuti pendapatnya yang nantinya menjadi pemicu matinya
kreativitas (menurut sebagian kalangan).
Setelah masa ini, umat Islam
mulai tumpul kemauannya dan mati kreativitasnya. Mereka hanya mengatakan
makna-makna lafadz dan ibarat-ibarat yang ada dalam kitab warisan para
pendahulunya seakan mereka ahli penerjemah saja. Perkembangan intelektual Islam
berhenti di sini sampai datanganya Muhammad Abduh yang membangun kembali
ilmu-ilmu agama.
B. Faktor-Faktor Penyebab Lahirnya Aliran dalam Islam
Dalam perkembangan ilmu
tauhid sampai pada corak barunya yang lebih teoritis (ilmu kalam) dengan
berbagai aliran yang berkembang di dalamnya dipengaruhi oleh beberapa factor
yang secara global dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Internal
Faktor internal adalah factor
yang berasal dari dalam Islam dan umat Islam sendiri, di antaranya:
1.
Alquran selain membahas tentang akidah Islam juga membahas berbagai
keyakinan lain yang disesatkan, membahas tentang syirik, murtad, ahli kitab,
Nasrani dan Yahudi juga keyakinan lain yang membuat umat Islam bertanya-tanya
dan tertarik untuk mengkajinya.
2.
Banyak ayat-ayat mutasyabihat yang
disebutkan dalam Alquran dan ayat-ayat yang secara dzahir kontradiktoris.
3.
Adanya kesempatan besar kaum muslim untuk membahas kembali tentang
dasar-dasar akidah setelah sebelumnya diterima begitu saja. Dan kesempatan itu
datang setelah umat Islam sudah semakin besar.
4.
Peristiwa terbunuhnya Khalifah Usman yang menjadi pemicu perselisihan dan
perang saudara sampai terjadinya tahkim di Shiffin. Dari sini muncul berbagai
aliran dan perhatian lebih terhadap akidah dalam mencari justifikasi agama.[4]
b. Eksternal
Factor eksternal adalah factor
yang tidak berasal dari dalam Islam dan kaum muslimin, di antaranya:
1.
Banyak di antara umat islam yang dulunya Bergama Yahudi, Nasrani dan
lainnya bahkan menjadi pembesarnya, setelah masuk Islam dan keadaan sudah
tenang mereka mengingat kembali ajaran agamanya dan dicampuradukkan dengan
Islam. Sehingga butuh sebuah ilmu tentang akidah dalam memurnikannya.
2.
Masuknya budaya-budaya lain dengan mudah setelah terjadinya berbagai
penaklukan dan banyak diterjemahkannya kitab-kitab asing khususnya filsafat
Yunani yang mempengaruhi cara berpikir umat Islam.
3.
Mengimbangi musuh yang menyerang Islam dengan menggunakan filsafat.
Sehingga tidak boleh tidak umat Islam juga harus menggunakannya dalam
mengimbanginya.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu
tauhid di sini merupakan ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan
akidah agama dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil naqli,
dalil aqli atau dalil wijdani (perasaan halus). Sebagai prinsip dasar agama,
maka tauhid (akidah) atau apa-apa yang masuk dalam bahasan ilmu tauhid
sebenarnya datang dana tumbuh berkembang bersamaan dengan agama itu sendiri
Ada
beberapa fase perkembangan ilmu tauhid sampai menjadi sebuah disiplin keilmuan
yang mandiri, lebih teoritis sebagaimana yang dikenal sekarang. Adapun
fase-fase tersebut dengan karakternya masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Masa
Rasulullah
2. Masa Khulafaurrasyidin
3. Masa Umayyah
4. Masa
Abbasiyah
5. Pasca
Abbasiyah
Dalam perkembangan ilmu
tauhid sampai pada corak barunya yang lebih teoritis (ilmu kalam) dengan
berbagai aliran yang berkembang di dalamnya dipengaruhi oleh beberapa factor
yang secara global dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Internal
Faktor internal adalah factor
yang berasal dari dalam Islam dan umat Islam sendiri, misalnya, Alquran selain
membahas tentang akidah Islam juga membahas berbagai keyakinan lain yang
disesatkan, membahas tentang syirik, murtad, ahli kitab, Nasrani dan Yahudi
juga keyakinan lain yang membuat umat Islam bertanya-tanya dan tertarik untuk
mengkajinya. Selain itu, banyak ayat-ayat mutasyabihat
yang disebutkan dalam Alquran dan ayat-ayat yang secara dzahir kontradiktoris.
Di nsamping adanya kesempatan besar kaum muslim untuk membahas kembali tentang
dasar-dasar akidah setelah sebelumnya diterima begitu saja. Dan kesempatan itu
datang setelah umat Islam sudah semakin besar. Dari segi politik diwakili peristiwa
terbunuhnya Khalifah Usman yang menjadi pemicu perselisihan dan perang saudara
sampai terjadinya tahkim di Shiffin. Dari sini muncul berbagai aliran dan
perhatian lebih terhadap akidah dalam mencari justifikasi agama.
b. Eksternal
Factor eksternal adalah factor
yang tidak berasal dari dalam Islam dan kaum muslimin, misalnya, banyak di
antara umat islam yang dulunya Bergama Yahudi, Nasrani dan lainnya bahkan
menjadi pembesarnya, setelah masuk Islam dan keadaan sudah tenang mereka
mengingat kembali ajaran agamanya dan dicampuradukkan dengan Islam. Sehingga
akidahingga butuh sebuah ilmu tentang akidah dalam memurnikannya. Selain itu, masuknya
budaya-budaya lain dengan mudah setelah terjadinya berbagai penaklukan dan
banyak diterjemahkannya kitab-kitab asing khususnya filsafat Yunani yang
mempengaruhi cara berpikir umat Islam. Apa lagi musuh yang menyerang Islam
menggunakan filsafat. Sehingga tidak boleh tidak umat Islam juga harus
menggunakannya dalam mengimbanginya.
B. Saran
Umat Islam khususnya golongan-golongan ekstrem seharusnya belajar dari
sejarah dan tidak mengulangi sejarah kelam lagi. Bagaimana berbagai
pertentangan harus disikapi dengan fair sebagai sesuatu yang alami, bukan
lantas menjadi pemicu pertumpahan darah sesama umat Islam dan merusak
keutuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi.
1982. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis Perbandingan.
Jakarta: UI-Press.
Shiddieqy,
M. Hasbi. 1990. Sejarah Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
[1] M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, (Jakarta; PT. Bulan Bintang, 1990), 01
[2]Ibid., 03-06
[3]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisis
Perbandigan, (Jakarta; UI Press, 1986), 4-6
[4]A. Hanafi M, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta; Bulan Bintang, 1982), 13-18
[5]Ibid., 18-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar