Oleh : Abd. Shamad
A. Latar Belakang
Kehidupan Ibnu Rusyd
Sebelum
masuk pada pemikiran Ibnu Rusyd, terlebih dahulu harus mengetahui latar
belakang hidupnya. Karena setiap pemikiran tidak akan pernah lepas dari
pengaruh sejarah, baik keadaan politik, social dan ekonomi kemasyarakatan pada
masanya sebagai reaksi intelektual. Sehingga untuk memahami pemikirannya akan
sedikit lebih mudah dan lebih jauh dari kesalah pahaman. Hal ini sering
terlupakan oleh sebagian orang dengan hanya mengkonsumsi opini yang beredar.
Ibnu
Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibnu Rusyd. Dia lahir
di Cordova, Andalusia (sekarang Spanyol) pada tahun 520 H/1126 M dan wafat pada
tahun 595 H/1199 M. Pada waktu itu kekuasaan berada di bawah Dinasti Muwahhidun
yang menganut paham Asy’ariyah dengan pengaruh Al-Ghazali.[1]
Namun, pada masa ini kondisi politik Negara agak kurang stabil dan terganggu.
Ibnu
Rusyd berasal dari keluarga terpandang dan memiliki posisi penting di
pemerintahan. Sebagai pemerhati pendidikan dan memiliki keahlian yang diakui.
Bahkan kakeknya menjadi hakim agung Negara, keluarganya banyak disegani
masyarakat dan para praktisi hukum. Hal ini merupakan kesempatan besar bagi
Ibnu Rusyd dalam perjalanan hidupnya dan petualangan intelektualnya.
Tumbuh dan besar di
lingkungan para ilmuwan member pengaruh besar pada diri Ibnu Rusyd. Dia dengan
berbagai dukungan dan semangatnya banyak belajar macam macam pengetahuan. Apa
lagi sebagai keturunan keluarga ilmuwan yang disegani dia memiliki kans besar
dalam melanjutkan karir keluarganya di kepemerintahan.
Dalam
perjalanan intelektualnya, Ibnu Rusyd belajar berbagai macam keilmuan mulai
dari fikih, hadis, Alquran, matematika, fisika, filsafat dan banyak lagi
disiplin keilmuan yang ditekuninya. Sehingga pada masa al-Ma’mun yang ditandai
dengan penerjemahan filsafat Yunani besar-besaran tidak salah lagi jika Ibnu
Rusyd direkrut untuk menyelidiki dan mengoreksi karya-karya Aristoteles agar
lebih mudah dipahami dan dikonsumsi masyarakat.[2]
Pada masa
kehidupan Ibnu Rusyd ada dua kelompok yang berbeda pendapat dalam menyikapi
perkembangan intelektual khususnya filsafat Yunani yang diterjemahkan
besar-besaran. Ada kelompok yang menyenangi filsafat sebagai sebuah keilmuan,
dan sebagian lagi menolaknya terpengaruh pendapat para Ulama sebelumnya
khususnya Al-Ghazali yang mewanti-wanti filsafat walau tidak keseluruhan. Hal
ini nantinya menjadi corak tersendiri dari pemikiran Ibnu Rusyd yang berusaha
mendamaikan filsafat dan agama. Sehinggan dia menulis kitab Tahafatut
Tahafut sebagai reaksi dan sanggahan terhadap karya Al-Ghazali Tahafatu
al-Falasifah yang menyerang filsafat. Pemikirannya dalam menyanggah
Al-Ghazali ini lebih banyak dikenal umat Islam sebagai masalah yang actual
laykanya perebutan pengaruh dalam Islam.
B. Pemikiran
Filosofis Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd terlalu mengagungkan Arestoteles, memandangnya sebagai manusia sempurna
dan ahli pikir terbesar yang telah mencapai kebenaran yang tidak mungkin
bercampur kesalahan. Dalam keyakinannya, filsafat Arestoteles apabila dipahami
sebaik-baiknya maka tidak akan berlawanan dengan pengetahuan tertinggi yang
dicapai manusia. Bahkan perkembangan manusia telah mencapai tingkatan tertinggi
pada diri Aristoteles. Di sini kekaguman Ibnu Rusyd kepada Aristoteles begitu
besar. Bahkan menurutnya, Aristoteles adalah teladan, ilham Tuhan dan orang
yang dimaksudkan Tuhan dalam surat Ali Imran 73. Dari sini pengaruh Aristoteles
dalam filsafatnya tidak diragukan lagi.[3]
Pemikran
filsafat Ibnu Rusyd bisa dikatakan sebagai puncak dari kejayaan gelombang
pemikiran filsafat skolastik yang
radikal dan rasional dalam dunia Islam yang sebelumnya dipelopori Al-Farabi dan
Ibnu Sina. Pemikiran filsafatnya berada di tengah-tengah antara Al-Farabi dan
Ibnu Sina.
Dalam
pemikiran filsafatnya, Ibnu Rusyd jauh berbeda dengan Al-Ghazali. Dia
mendahulukan akal dari perasaan tidak seperti Al-Ghazali dengan intuisinya.
Dalam mengedepankan akal ini, Ibnu Rusyd mencari justisifikasi dari agama lewat
Alquran sebagi rujukan kaum muslimin. Berangkat dari Alquran dan
rasionalitasnya ini, Ibnu Rusyd mengkritisi pemikiran Al-Ghazali juga para
filsuf sebelumnya, seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi yang menurutnya telah
mereduksi ajaran Aristoteles dan mencampuradukkannya dengan Neo-Platonisme.[4]
Di antara
sekian banyak pemikiran Ibnu Rusyd, ada bebrapa pemikirannya yang lebih menarik
perhatian umum. Khususnya pembelaannya terhadap filsafat yang diserang
Al-Ghazali juga pemikirannya dalam mendamaikan agama dan filsafat yang dianggap
bertentangan dan membunuh kreativitas intelektual Umat Islam dalam sejarahnya,
di antara sekian banyak pemikirannya yang menarik perhatian adalah sebagai
berikut:
1. Qadimnya Alam dan Pemikiran Metafisika Ibnu Rusyd
Pendapat Ibnu Rusyd tentang Qadimnya lam ini merupakan salah satu
sanggahannya pada pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa alam itu baharu. Di
sini Ibnu Rusyd membela para filsuf muslim yang sebelumnya telah dianggap
kafir, seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi.
Menurut Ibnu Rusyd alam ini azali atau qadim. Hanya saja keazalian alam
tidak sama dengan keazalian Tuhan dalam pertimbangan pikiran. Karena Tuhan
menjadi sebab dari wujudnya alam. Keazalian ala mini mesuk dalam wajibul
wujud bi ghairihi. Dan hal ini merupakan sesuatu yang terlupakan leh
Al-Ghazali dengan serangan-serangannya yang mematikan.
Dalam membela pendapatnya, Ibnu Rusyd mengetengahkan dalil-dalil Alquran
dan beberapa argumen. Menrutnya, penciptaan alam dari ketiadaan adalah tidak
mungkin dan adanya dua keazalian dalam kategorinya merupakan suatu kemestian.
Sebab jika alam itu baharu, maka mesti ada yang membuatnya. Akan tetapi di sini
timbul keraguan tentang macamnya wujud zat pembuat tersebut dan adanya
perubahan pada Tuhan. Perubahan di sini adalah perubahan dai tiadanya kehendak
ke kehendak. Sementara Tuhan yang qadim tidaklah berubah. Selain itu, jika alam
tidak azali dan diciptakan dari ketiadaan, maka akan timbul kerancuan. Sebab
sesuatu yang baru, wujudnya harus berhubungan dengan yang baru pula. Sementara
jika Tuhan itu azali, maka yang diperbuatnya juga azali. Kecuali mereka yang menentang
mengakui adanya perbuatan yang baru dari pembuat yang qadim dan itu mustahil. Dalam
kaidahnya dikatakan bahwa apa yang bergandengan (berhubungan) dengan yang baru
juga baru dan begitu sebaliknya.[5]
Kalau melihat pendapat Ibnu Rusyd dalam fashl al-Maqal, di sana di
jelaskan bahwa perselisihan yang adabhanya terjadi dalam segi penamaan atau
semantiknya saja. Sementara semua sepakat untuk membagi segala yang ada (wujud)
dalam tiga jenis.[6]
a.
Jenis pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dan dari sesuatu, dengan
wujudnya ada pencipta dan diciptakan dari benda serta didahului oleh zaman.
Jenis ini adalah benda yang dapat diketahui dengan indera, seperti hewan,
tumbuhan dan lainnya yang dinamakan sebagai yang baharu.
b.
Jenis kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan
tidak didahului oleh zaman. Wujud ini sepakat dinamakan qadim yang hanay dapat
diketahui dengan bukti pikirsn. Dia lah yang menciptakan dan memeliharanya
(Allah).
c.
Wujud ketiga adalah wujud tengah-tengah antara kedua jenis sebelumnya,
yaitu wujud yang tidak berasal dari sesuatu, tidak didahului zaman, tetapi
terjadinya karena sesuatu. Wujud jenis ini adalah alam semesta.
2. Ilmu Tuhan
Masalah ilmu Tuhan sebenarnya sudah lam dibicarakan oleh Aristoteles.
Menurutnya, Tuhan tidak mengetahui apa yang terjadi di alam, yang selalu dalam
perubahan, datang dan pergi. Karena hal ini akan mengakibatkan perubahan pada
pengetahuan Tuhan yang qadim. Selain itu, ketika alam yang baharu menjadi objek
pengetahuan Tuhan sebagai akibat dari perubahan alam, maka bisa dikatakan bahwa
alam yang baru menjadi sebab dari adanya (illat) pengetahuan Tuhan. Hal ini
sangat berlawanan dengan ketidak tergantungan Tuhan sendiri. Apa lagi Tuhan
sebagai realitas tertinggi mengharuskan adanya objek ilmu yang setara agar ada
persesuaian antara yang diketahui dan yang mengetahui. Dan hal ini hanya
terbatas pada Zat Tuhan sebagai yang paling mulia.
Pandangan para filsuf tentang pengetahuan Tuhan diserang Al-Ghazali dan
dikecam sebagai kekafiran. Kemudian datang Ibnu Rusyd meluruskan pemahaman akan
pendapat para filsuf. Menurut Ibnu Rusyd Tuhan memang tidak mengetahui hal yang
kecil sebagaimana pengetahuan manusia. Tetapi pengetahuan Tuhan itu azali, jauh
sebelumnya dan tidak tergantung pada perubahan peristiwa objek pengetahuan. Di
sini jelas dibedakan perbedaan pengetahuan Tuhan dan manusia. Kalau pengetahuan
manusia merupakan akibat dari objek, maka pengetahuan Tuhan menjadi sebab dari
objek. Karena pengetahuannya sudah ada sejak zaman azali dan tidak berubah
sebagaimana pengetahuan manusia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak
mengetahui perkara yang wujud ketika terjadinya menurut keadaannya yang ada
sebagaimana pengetahuan yang dialami manusia. Tetapi Tuhan mengetahuinya dengan
pengetahuan yang qadim yang tidak berubah. Karena peerubahan ilmu itu hanya berlaku
ketika perubahan pada yang wujud menjadi illat atau sebab dari pengetahuan. Dan
itu tidak berlaku pada Tuhan dengan pengetahuaa-Nya yang azali dan menjadi
sebab pada yang wujud. Jadi Ibnu Rusyd tetap mengakui akan ke-Maha Tahuan Tuhan
hanya saja membedakan pengetahuan-Nya dengan pengetahuan manusia yang berubah.[7]
3. Hukum Kausalitas
Menurut pendapat Ibnu Rusyd hukum sebab akibat atau kausalitas merupakan
suatu keniscayaan. Hal ini berbeda dengan Al-Ghazali yang mengingkarinya. Dalam
bantahan Ibnu Rusyd dikatakan bahwa
pengingkaran ini merupakan sesuatu yang tidak logis. Karena sebenarnya para
pengingkar mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hati nuraninya sendiri.
Selanjutnya Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pada suatu benda atau segala
sesuatu yang ada di ala mini memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut
dengan sifat zatiyah. Dalam artian untuk terwujudnya suatu keadaan mesti ada
daya atau kekuatan yang telah ada sebelumnya. Dan menurutnya, bagaimana mungkin
seseorang mengingkari sebab akibat sementara semua yang maujud tidak dapat dipahami
kecuali dengan mengenali sebab-sebab zatiyat ini. Dan tanpa sebab zatiyat tidak
dapat dibedakan antara maujud yang satu dengan yang lain. Misalnya api, sifat
zatiyatnya membakar, air membasahi dan lainnya.
Dalam filsafatnya, Ibnu Rusyd menetapkanbahwa dalam tiap-tiap sesuatu
memilki sebab (illat) yang mempengaruhi paada apa yang datang sesudahnya dan
terpengaruh apa yang datang sebelumnya., dan begitu seterusnya sampai pada
sebab pertama (Tuhan). Dan mereka yang mengingkari sebab sama saja dengan mengingkariZat
pembuat yang Maha Bijaksana.
Lebih lanjut menurut Ibnu Rsyd, sebab wujudnya akibat dari sebab tidak
lebih dari tiga kemungkinan. Yaitu adakalnya wujudnya sebab bagi musabab
diperlukan sekali, seperti makannya seseorang. Atau adakalanya mencari yang
lebih utama dan lebih sempurna, seperti dua mata bagi manusia. Atau adakalanya
bukan dari segi keutamaan atau keharusan, dan dengan demikian wujud akibat dari
sebab adalah kebetulan. Dengan demikian maka tidak ada hikmat kebijaksanaan
sama sekali dan menunjukkan pada kebetulan.
Bahkan Ibnu Rsyd menyalahkan Ibnu Sina yang menetapkan dualism pada
kejadian alam, yakni dia mengakui satu wujud alam sebagai dua kejadian dari dua
pembuat yang berlainan. Pertama adalah persesuaian-persesuaian alami yang dan pembuatnya
adalah alam. Kedua adalah form dan pembuatnya adalah pemberi form. Menurut Ibnu
Rusyd apa yang mendorong Ibnu Sina mengatakan demikian adalah perlindungan diri
dari fitnah orang dan keinginannya untuk mendapat persetujuan ulama kalam.[8]
C. Pengaruh
Pemikiran Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di Eropa sebagai intelek yang telah
menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara
orisinil setelah lama terkubur di abad pertengahan. Sehingga muncullah
aufklarung (Renaissan) setelah lama terjadi kemandekan dan pergulatan.
Di sini Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar karya Aristoteles banyak
berperan.
Pengaruh
besar Ibnu Rusyd tidak lepas dari metode dan pendekatan yang dipakai dalam
pemikiran filosofisnya. Ibnu Rusyd yang datang di tengah-tengah penguasaan
dogma agama dan pertentangan besar agama (wahyu) dan filsafat (akal)
merekonsiliasikan antara agama dan wahyu atau mempertemukan pertentangan
tersebut dengan mengemukakan argument-argumen yang dapat diterima akal dan kaum
agamawan. Persamaan tujuan dalam pencarian kebenaran menjadi senjata dalam
menemukan benang merah pertentangan agama dan filsafat. Sebagai agamawan Islam,
Ibnu Rusyd dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi Alquran (agama)
terhadap filsafat yang sebelumnya ditolak. Lewat penyatuan akal dan wahyu ini
lah pengaruh Ibnu Rusyd terus membesar.
Menurut
Ibrahim Madkur, ada beberapa alas an yang menyebabkan perhatian Barat terhadap
filsafat Ibnu Rusyd demikian besar, yaitu; Ketertarikan Frederick II sebagai
pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat terhadap komentar-komentar Ibnu Rusyd
akan filsafat Arestoteles dan bagaiman dia dapat menjaga kemurniannya setelah tercampur
dengan Platonisme. Ketertarikan ini mendorongnya untuk menerjemahkan dan
menyebar luaskan pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa. Selain itu, banyak orang-orang
Yahudi penganut filsafat Ibnu Rusyd juga menerjemahkan pemikiran-pemikirannya.
Dan sebagai komentator besar Arestoteles, banyak para pengkaji filsafat membaca
karyanya demi mendapatkan keorisinilan pemikiran Arestoteles.[9]
Pengaruh
besar Ibnu Rusyd di Eropa ditandai dengan lahirnya gerakan Averroisme
yang menghidupkan dan mengembangkan pemikiran filosofis Ibnu Rusyd. Meskipun
apa yang mereka kembangkan pada akhirnya jauh berbeda dengan pemikiran asli
Ibnu Rusyd. Hal ini tidak lebih dikarenakan perbedaan latar belakang saja yang
mempengaruhi pemikiran. Kelahiran aliran ini telah membuktikan pengaruh besar
Ibnu Rusyd di Eropa. Meskipun banyak juga yang menentang pemikiran Ibnu Rusyd,
seperti Thomas Aquinas, Raymond Lull, Albert the Great dan lainnya. Bahkan para
gerejawan berusaha membendung pengaruh pemikiran rasional Averroisme dengan
berbagai cara. Salah satu ancaman yang paling tragis adalah ancaman pembunuhan
dan penjara.[10]
[1]Afrizal, Ibnu Rusyd Tujuh Perdebatan
Utama dalam Teologi Islam, (Jakarta; Penerbit Erlangga, 2006), 09
[3]A. Hanafi M, Theology Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta; Bulan Bintang, 1982), 80.
Lihat juga Filsafata Islam karya Abu Ahmadi dkk, 197-199
[4]Poerwantana
dkk, Seluk beluk Silsafat Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 1994),
200-2002
[5]Abu Ahmadi, Filsafat
Islam, (Semarang; CV. Toha Putra, 1982), 209-212
[6]Sirajuddin, Filsafat
Islam, PT. Raja Grafindo Persada, 228
[7]Abu Ahmadi, Filsafat
Islam, 216-224. Lihat juga Seluk Beluk Filsafat Islam karya
Poerwantana dkk, 219-222
[9]Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta; PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), 255
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal. 2006. Ibnu Rusyd Tujuh Perdebatan Utama
dalam Teologi Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ahmadi, Abu.1982. Filsafat Islam. Semarang:
CV. Toha Putra
Asmin, Wahyudi Yudian. 1995. Aliran dan Teori
Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi.
1982. Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang.
Poerwantana dkk. 1994. Seluk Beluk Filsafat Islam.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam Filsof dan
Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.