Oleh:Abd. Shamad
A. Latar
Belakang
Kajian
tentang Islam memberikan ketertarikan tersendiri sebagai agama universal
sepanjang zaman. Tidak hanya orang Islam sendiri yang terlibat dalam kajian
tentangnya, tetapi lebih dari itu orang-orang non-muslim juga tertarik untuk
mengkajinya walau dengan tujuan dan cara yang tak mungkin sama. Namun,
ketertarikan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Patut kiranya kita
telaah kembali sebagai kritik dan penyempurnaan pemahaman. Kita sebagai umat
beragama tidak bisa hanya menjustifikasi diri sendiri, butuh pihak luar dalam
rangka perpaduan demi obyektifasi justifikasi.
Masalah
pendekatan bukanlah masalah yang asing lagi bagi kita. Dalam sejarahnya kita
temukan tumpang tindih dan dinamisasi berbagai pendekatan setelah sebelumnya
stagnan dalam satu dua pendekatan. Secara historis sekitar abad 19 baru ada
kesepakatan atau ketetapan mengenai studi Islam interdisipliner. Sebenarnya
memang sangat janggal ketika universalisme Islam hanya dipahami dari satu sisi
atau sudut pandang dan melupakan sisi lain yang sebenarnya lebih penting.
Apalagi akhir-akhir ini banyak opini miring tentang Islam yang dikait-kaitkan
dengan isu-isu sosial politik keagamaan baik dalam skala regional maupun
internasional. Sangat menarik rasanya untuk kita kaji kembali tentang Islam dalam
penyempurnaan dan kemantapan keislaman kita sekaligus membersihkan Islam dari
berbagai kerancuan.
Dewasa ini, mengingat perkembangan zaman yang semakin
cepat dan memberikan tantangan dan tuntutan yang begitu kompleks dalam sosial
kemasyarakatan dan keberagamaan, sangat penting rasanya adanya pembaharuan dan
melakukan kajian keislaman kembali khususnya dalam mengembalikan citra Islam
yang sering dikait-kaitkan dengan terorisme dan isu-isu lain. Maka dari itu,
perlu adanya ratifikasi dan sosialisasi berbagai pendekatan. Apa lagi terkait
dengan keberadaan masyarakat yang majemuk dengan latar belakang sejarah dan
sosial kebudayaan yang berbeda.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini kami akan mencoba membahas sedikit banyak tentang hal-hal
berikut:
1) Bagaimana
kedudukan berbagai pendekatan pendekatan?
2) Apa
saja macam-macam pendekatan yang dapat digunakan dalam studi Islam?
3) Pendekatan
apakah yang relevan dalam studi
Islam kontemporer?
C. Tujuan
Setelah
membaca makalah ini, kami harapkan para pembaca dapat diantarkan sedikit banyak
dalam memahami:
1) Signifikansi
berbagai pendekatan.
2) Macam-macam
pendekatan dalam studi Islam.
3) Relevansi
berbagai pendekatan dalam studi Islam Kontemporer.
PEMBAHASAN
A. Signifikansi
Berbagai Pendekatan
Berbicara soal agama tentunya tidak bisa terlepas dari kajian tentang
pemeluknya yang dalam kelangsungan kehidupannya sangat tergantung atas kedaan
sosial, budaya dan politik pada zamannya. Keadaan sosial, budaya dan politik
tersebut juga sangat mempengaruhi keberagamaan manusia sebagai makhluk
bermasyarakat. Selain itu, dalam agama juga tak pernah lepas dari
doktrin-doktrin atau ajaran sebagai syarat dari berdirinya sebuah agama. Namun
antara doktrin dan hasil pemikiran yang situasional dan kondisional sebagai
jawaban atas tantangan zaman, perlu adanya pemisahan agar tidak terjadi
kerancuan. Karena dalam Islam tidak pernah ada sakralisasi (pentaqdisan) pemikiran sebagi hasil
interpretasi atas berbagai sumber ajaran yang sangat dinamis. Di sini diperlukan
berbagai pendekatan dalam meratifikasi dan harmonisasi.
Sejarah telah membuktikan dan memberikan banyak pelajaran
tentang pemahman keislaman secara parsial yang menimbulkan polemik. Mungkin apa
yang disebutkan dalam adagium arab memang benar bahwa “Metode pendekatan
terhadap suatu persoalan lebih penting dari materi persoalan itu sendiri (Al-Thariqatu Ahammu Min Al-Madah)”.
Karena pendekatan yang digunakan sangat menentukan sebuah justifikasi mengenai
suatu peroalan. Penggunaan pendekatan yang salah atau satu pendekatan saja
justru akan menimbulkan masalah dan banyak kontroversi. Bagaiman kita bisa
memandang dengan benar ketika kacamata yang kita gunakan buram?. Tentunya
hasilnya tidak akan obyektif dan tidak sesuai harapan, tetapi justru menimbulkan
masalah-masalah baru.
Studi Islam
interdisipliner sangat dibutuhkan mengingat keberadaan
Islam yang tidak hanya sekedar agama yang dihiasi berbagai ritual dan mengatur
hubungan-hubungan transindental. Islam terkait segala aspek kehidupan dengan
tiga dimensi ajarannya (Islam, Iman dan
Ihsan). Di dalamnya diatur hubungan vertical dan horizontal terkait dengan
hubungan sesama makhluk juga lingkungannya (hablun
min an-nas wa hablun min al-alam) dan hubungan dengan Tuhannya (hablun min Allah).
Kajian keislaman (Islamic studies) interdisipliner juga sangat penting dalam memantapkan
Islam kita (khususnya) dalam segala aspek.
Sebelumnya status keislaman kita mungkin hanyalah islam turunan atau
KTP dan tidak pernah eksis dalam menjalankan
Islam itu sendiri, ada unsur keterpaksaan dan kepentingan lain
di dalamnya. Dari sini kita akan lebih mengenal islam mulai dari sumber dan segala aspeknya.
Mengetahui Islam lebih dalam akan meningkatkan harga diri dan saling menghargai terhadap
Islam yang lain dan agama lain dengan mengikis fanatisme
yang berlebihan. Dari berbagai hal di atas dapat disimpulkan bahwa studi Islam
di sini merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, pemikiran dan institusi keislaman
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di
kalangan akademik dianggap ilmiah.[1]Jadi
studi Islam berbeda dengan pendidikan Islam yang lebih konvensional dan kognitif
(pengetahuan tentang ajaran-ajaran
Islam), tetapi studi islam lebih bersifat afektif dan psikomotorik
(menyangkut bagaimana sikap dan pengamalan atas ajaran
Islam).
B. Macam-Macam
Pendekatan
Kalau dilihat dari
pelakunya (subyek), kajian keislaman dapat dibagi dua. pertama, kajian yang dilakukan insider atau believer (orang Islam
sendiri). Kedua, outsider atau
historian (orang dari agama lain/ahli agama yang kritis). Keduanya memakai pendekatan
yang berbeda dalam memahami Islam dan sangat parsial. Insider menggunakan pendekatan
filologi atau pemahaman kebahasaan (tekstual) yang hanya dilakukan ahli-ahli bahasa
dan mengesampingkan fenomena
yang ada, mereka memahami Islam dengan berangkat dari keyakinan. Sehingga hasilnya
lebih berupa aktualisasi dan kurang kritis. Sedangkan outsider
menggunakan pendekatan sosial atau kajian atas pemeluk Islam sebagai aplikator ajaran-ajaran
Islam sesuai hasil interpretasi mereka. Sementara apa yang dilakukan mereka kaum muslimin tidak
selamanya selaras dengan nilai-nilai Islam sendiri dan cenderung beragam sebagai bentuk dari hasil interpretasi
yang berbeda. Sehingga mereka (outsider) cenderung lebih
kritis namun tidak implikatif pada ajaran. Mereka juga cenderung tidak objektif,
karena memahami Islam satu wajah dari Islam yang banyak wajah sesuai hasil interpretasi
masing-masing dan mengaitkannya dengan teori dan metodologi tertentu yang
mereka ciptakan sendiiri. Dari perbedaan pendekatan ini lahirlah
berbagai kontrofersi. Menanggapi mereka, umat
Islam cenderung bersifat apriori atau masa bodoh dan menolaknya tanpa adanya kajian
mendalam terlebih dahulu atau intropeksi diri. Namuan, sebenarnya apa yang dilakukan outsider memberikan
pengaruh yang lumayan besar pada perkembangan kajian keislaman ke depan dan menjadi
kritik pada realitas yang ada dan tak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
sendiri. Sehingga penting di sini adanya gabungan dua pendekatan tersebut berupa
keseimbangan iman, ilmu dan amal.[2]
Sebenarnya pendekatan-pendekatan di sini seluas aspek-aspek yang tercakup dalam
Islam, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Jadi selain menggunakan pendekatan filologi, dalam memahami Islam secara
integral harus menggunakan beberapa pendekatan lain tersebut. Masing-masing pendekatan-pendekatan ini memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri yang
jika digabungkan akan saling melengkapi
satu sama lainnya. Karena Islam yang kita kaji bukanlah Islam yang hanya
terkait dengan hubungan transindental dengan Tuhan. Tetapi lebih dari itu
menyangkut hubungan antar manusia yang beragam dalam segala hal dan atau terkait dengan penerapan nilai-nilai teologi
ke dalam lingkungan sosial. Namun, Pendekatan-pendekatan tersebut bisa dipetakan
sebagai berikut;
a) Pendekatan Filologi
Pendekatan filologi atau literal meliputi metode tafsir sebagai pendekatan filologi
terhadap alqur’an dalam menggali makna yang dikandungnya, pendekatan filologi
terhadap hadits atau sunnah Rasul dan pendekatan filologi terhadap teks-teks
klasik (hermeneutika) yang merupakan
refleksi kebudayaan kuno dalam tulisan-tulisan para intelek di masanya. Dalam
menerapkan pendekatan-pendekatan ini juga membutuhkan pendekatan atau metode
lain sesuai dengan disiplinnya, seperti sastra, filosofis dll.
b) Pendekatan Pemikiran
Pendekatan pemikiran di sini meliputi pendekatan
pemikiran Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Pendekatan pemikiran kalam
(teologi) berangkat dari sebuah
kepercayaan tentang kepercayaan dogmatis yang bersumber dari alqur’an
(khususnya terkait masalah Ketuhanan) dan kemudian diperkuat atau dibuktikan
oleh akal kebenarannya. Bagaimana kita bisa memasukkan nilai-nilai teologi ke ranah sosial itulah
yang terpenting. Pendekatan filsafat digunakan dalam menguak hikmah, hakekat, inti makna dan
pesan dari ajaran agama. Pendekatan tasawuf merupakan pendekatan yang
memfokuskan perhatiannya pada aspek esoterik berupa pembersiahan rohani atau
jiwa dalam membentuk akhlak-akhlak mulia. Dalam pendekatan tasawuf ada tiga
model pendekatan, baik tematik yang lebih pada penelusuran ajaran, pendekatan
tokoh dan gabungan dari keduanya.
c) Pendekatan Sejarah
Pendekatan sejarah bukan hanya mengetahui cerita-cerita
zaman dulu sebagaimana hikayat, mitos dan lainnya. Tetapi lebih dimaksudkan
agar dapat mengetahui dan mengambil nilai-nilai keislaman yang diterapkan orang
muslim dahulu, bagaimana mereka bersikap dan menempatkan Islam dalam
percampuran kebudayaan atau tentang cara-cara interaksi agama dengan berbagai
umat manusia yang memiliki latar belakang sosiologis, antropologis dan kultur
yang berbeda. Dari sini kita belajar bagaimana mentransformasikan nilai-nilai
keislaman dalam aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Selain itu kita bisa memonitor bagaiman perkembangan
Islam dri masa ke masa dan di berbagai daerah juga menangkap nilai-nilai
fundamental yang diselipkan dalam ranah sosial, politik dan kebudayaan dengan
bentuk dan pola yang bermacam-macam.
d) Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan fenomenologi berusaha
memperoleh gambaran yang lebih utuh dan lebih fundamental tentang fenomena keberagaman
manusia secara umum (universal, transidental dan inklusif) yang diilhami oleh pendekatan
filosofis yang dikembangkan Edmund Hussel yang berupaya untuk menemukan esensi dari
keberagaman manusia. Pendekatan fenomenologi mencoba untuk mengembalikan studi
agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalnya agar tidak terlalu jauh melampaui
batas-batas kewenangannya. Jika dalam studi agama yang bersifat historis empiris
para peneliti cenderung netral (value-neutral),
maka pendekatan fenomenologi lebih bersifat value-laden
(terikat nilai-nilai keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikutnya).[3]
C. Relevansi
Berbagai Pendekatan dalam Studi Islam Kontemporer
Dalam kajian Islam kontemporer kita bisa belajar dari sejarah sebagai acuan, dimana para insider terlibat polemik dengan para
outsider yang diakibatkan oleh penggunaan pendekatan yang berbeda. Insider
menggunakan pendekatan filologi (deduktif) atau
doktrinal-teologis sedangkan outsider menggunakan pendekatan cultural-historis (induktif). Akibatnya terjadi pemahaman yang berbeda tentang
Islam dan insider sendiri cenderung apriori terhadap justifikasi outsider. Pada hal sebenarnya tidak ada yang salah karena berangkat dari sebuah
penelitian dan hanya terjadi perbedaan sudut pandang. Tak perlu ada penghakiman
dan saling menyalahkan, tetapi satu sama lain seharusnya saling melengkapi
dalam menutupi kekurangan masing-masing. Di sini sangat
dibutuhkan penggabungan dan penyelarasan justifikasi berbagai
pendekatan dalam mencapai sintesa baru juga memurnikan Islam dari berbagai kerancuan.
Berbagai
pendekatan yang ada memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing sesuai
relevansinya dalam sebuah analisa. Maka dari itu, kita tidak bisa menggunakan
hanya satu pendekatan dalam menganalisa masalah yang begitu kompleks. Di sini
dibutuhkan dualisme atau semacamnya berupa penggunaan berbagai pendekatan dalam
pengupayaan keutuhan pemahaman. Diantara berbagai pendekatan yang ada saling
melengkapi dalam memberikan pemahaman sesuai kelas-kelasnya. Filologi
memberikan pemahaman secara tekstual, fenomenologi mencoba menganalisa berbagai
fenomena yang ada, pendekatan sejarah membawa kita pada kondisi-kondisi Islam
di berbagai daerah dalam kurun tertentu dan perkembanagannya dst. Jika hasil
semuanya dapat digabungkan dan disesuaikan, maka akan ada keutuhan pemahaman
dan kemantapan. Berbagai pemikiran dan hasil interpretasi yang mengalami
sakralisasi atau pencampuran dengan doktrin-doktrin juga akan dapat dipisahkan
dalam memurnikan ajaran.
Di sini juga dibutuhkan pendekatan kritis-filosofis sebagai tindak lanjut
dari fenomenologi yang bercorak kritis-analitis terhadap realitas kongkret
keberagamaan secara kultural-historis. Sebagai hasil kreasi manusia yang
tentunya tak lepas dari kelemahan dan kelebihan, dalam refleksinya pendekatan
kritis-filosofis di sini juga harus kritis terhadap apa yang dihasilkannya
(dirinya sendiri) tidak hanya terarah pada cara berpikir murni doktrinal-teologis atau historis empiris.
Dari pendekatan kritis-analitis ini diharapkan tercapainya klarifikasi keilmuan
menurut sudut pandang filsafat yang kemudian dapat menjernihkan hakikat dan
subtansi keberagamaan juga memurnikan ajaran yang sebelumnya tumpang tindih
dengan berbagai hasil pemikiran yang profan.[4]
Dari berbagai hal di atas dapat disimpulkan behwa semua
pendekatan sangat relevan untuk digunakan, semuanya ideal dengan berbagai
kelebihan dan kekurangannya. Sekarang tergantung pada kita-kita yang
menggunakan dan tergantung pada penguasaannya. Tingkat pemahaman dan keilmuan juga
sangat mempengaruhi sebagai landasan berpikir individu. Pendekatan boleh saja
sama, namun hasilnya akan tetap berbeda sesuai paradigma berpikir kita. Oleh
karena itu, kita tidak bisa bersikap apriori terhadap hasil pemikiran orang
lain. Tetapi kita kumpulkan dan pelajari dalam memperbaiki dan mengkritisi apa
yang kita ketahui. Apa lagi terkait dengan justifikasi pendekatan yang berbeda,
tentunya sangat penting di sini kajian ulang dalam penyempurnaan dan keutuhan.
KESIMPULAN
Berbicara soal
agama tentunya tidak bisa terlepas dari kajian tentang pemeluknya yang dalam
kelangsungan kehidupannya sangat tergantung atas kedaan sosial, budaya dan
politik pada zamannya. Keadaan sosial, budaya dan politik tersebut juga sangat
mempengaruhi keberagamaan manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Selain itu,
dalam agama juga tak pernah lepas dari doktrin-doktrin atau ajaran sebagai
syarat dari berdirinya sebuah agama. Namun antara doktrin dan hasil pemikiran
yang situasional dan kondisional sebagai jawaban atas tantangan zaman, perlu
adanya pemisahan agar tidak terjadi kerancuan. Karena dalam Islam tidak pernah
ada sakralisasi (pentaqdisan)
pemikiran sebagi hasil interpretasi atas berbagai sumber ajaran yang sangat
dinamis. Di sini diperlukan berbagai pendekatan dalam meratifikasi dan
harmonisasi.
Kalau
dilihat dari pelakunya (subyek), kajian keislaman dapat dibagi dua. pertama, kajian yang dilakukan insider
atau believer (orang Islam sendiri). Kedua,
outsider atau historian (orang dari agama lain/ahli agama yang kritis). Keduanya
memakai pendekatan yang berbeda dalam memahami Islam dan sangat parsial. Insider
menggunakan pendekatan filologi atau pemahaman kebahasaan (tekstual) yang hanya
dilakukan ahli-ahli bahasa dan mengesampingkan fenomena yang ada, mereka memahami Islam dengan berangkat dari keyakinan.
Sehingga hasilnya lebih berupa aktualisasi dan kurang kritis. Sedangkan outsider
menggunakan pendekatan sosial atau kajian atas pemeluk Islam sebagai aplikator ajaran-ajaran
Islam atau hasil interpretasi mereka. Sementara apa yang dilakukan mereka kaum muslimin tidak selamanya selaras
dengan nilai-nilai Islam sendiri dan cenderung beragam sebagai bentuk dari hasil interpretasi yang
berbeda. Sehingga mereka cenderung
lebih kritis namun tidak implikatif pada ajaran. Mereka juga cenderung tidak objektif,
karena memahami Islam satu wajah dari Islam yang banyak wajah sesuai hasil interpretasi
masing-masing dan mengaitkannya dengan teori dan metodologi tertentu yang
mereka ciptakan sendiiri.
Sebenarnya pendekatan-pendekatan di sini seluas aspek-aspek
yang tercakup dalam Islam, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Jadi selain menggunakan pendekatan filologi, dalam memahami Islam secara
integral harus menggunakan beberapa pendekatan lain tersebut. Masing-masing pendekatan-pendekatan
ini memiliki keunggulan dan kekurangan tersendiri yang jika digabungkan
akan saling melengkapi satu sama
lainnya. Karena Islam yang kita kaji bukanlah Islam yang hanya terkait dengan
hubungan transindental dengan Tuhan. Tetapi lebih dari itu menyangkut hubungan
antar manusia yang beragam dalam segala hal dan atau terkait dengan penerapan nilai-nilai teologi ke dalam
lingkungan sosial. Pendekatan-pendekatan tersebut bisa
dipetakan sebagai berikut;
1.
Pendekatan filologi meliputi metode tafsir terhadap alqur’an, hadits dan
kitab-kitab hasil karya ulama-ulama terdahulu dll.
2.
Pendekatan pemikiran meliputi pendekatan pemikiran kalam, filsafat dan
tasawuf dll.
3.
Pendekatan sejarah dan
4.
Pendekatan fenomenologi yang lebih
bersifat value-laden (terikat nilai-nilai
keagamaan yang dipercayai dan dimiliki oleh para pengikutnya).
Diantara
berbagai pendekatan yang ada saling melengkapi dalam memberikan pemahaman
sesuai kelas-kelasnya. Filologi memberikan pemahaman secara tekstual,
fenomenologi mencoba menganalisa berbagai fenomena yang ada, pendekatan sejarah
membawa kita pada kondisi-kondisi Islam di berbagai daerah dalam kurun tertentu
dan perkembanagannya dst.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar