Minggu, 29 April 2012

Hukum Islam

-->

Oleh: Abd Shamad

A.    Latar Belakang
            Sebagai seorang mslim kita wajib mengetahui tentang hukum-hukum Islam itu sendiri sebagai pedoman hidup agar kita tidak keluar dari koridor-koridor Islam,baik yang terkait dengan ketuhanan atau peribadatan dan lainnya. Tanpa mengetahuinya, kita akan mudah terjerumus ke dalam lingkaran maksiat dan tak akan pernah sempurna keberagamaan kita. Sangat aneh rasanya kalau orang beragama tidak tahu akan ajaran agamanya sendiri, seakan beragama sebagai mainan belaka.

            Untuk lebih mudahnya, dalam mengetahui dan mengerti tentang hukum Islam perlu mempelajari dasar-dasarnya terlebih dahulu sebagai bahan rujukan pengambilan (istinbath) hukum-hukum Islam sendiri. Diantara dasar-dasarnya antara lain alqur’an, as-sunnah (hadits), ijma’ dan qiyas. Namun, meskipun sudah mengetahui dasar-dasar hukumnya kita tetap tidak boleh seenaknya sendiri dalam memutuskan sebuah hukum, masih ada beberapa kriteria yang mesti dipenuhi dalam rangka menjaga kemurniaannya dari hawa nafsu dan kepentingan belaka.

            Berbagai hal di atas telah menggelitik hati kami sebagai seorang muslim untuk membuat sebuah makalah yang mungkin bermanfaat sebagai sebuah pengantar dalam memahami hukum Islam mulai dari dasar-dasarnya. Dengan berbagai kekurangan yang kami miliki, kami akan mencoba membahas sedikit banyak tentang hukum Islam dan dasar-dasarnya.

B.     Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini,kami akan mencoba untuk sedikit membahas tentang;
1)      Apa definisi dari hukum Islam?
2)      Apa saja dasar-dasar dalam penetapan hukum Islam?

C.     Tujuan
            Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang;
1)      Definisi atau pengertian dari hokum Islam
2)      Dasar-dasar penetapan hukum Islam
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Islam
            Secara etimologi, hukum berarti keputusan atau pemisahan, jadi hukum islam secara etimologi adalah keputusan atau pemisahan dalam islam baik pemisahan antar baik dan buruk atau pemisahan benar dengan salah. Secara terminologi hukum islam memiliki derfinisi berbeda antara kaum mu’tazillah dan kaum suni. Menurut kaum sunni, hukum islam adalah titah Allah yang berkaitan dengan orang baligh dan mumayyiz (pintar) melalui tuntutan (muqtadhi), pilihan dan penentuan sebab,syarat dan mani’. Sedangkan menurut kaum mu’tazillah, hukum islam adalah segala yang ditetapkan Allah berupa perbuatan yang sesuai dengan akal. Kalau merujuk pada sebuah buku, hukum islam itu sendiri adalah seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah  dan Sunnah Rasulullah.
            Dalam Islam, kita kenal syari’ah dan fikih yang terkait dengan amaliah atau peribadatan dan hubungan-hubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Selain itu kita juga kenal akidah (teologi) yang terkait dengan keimanan dan ketuhanan atau kehidupan setelah mati (eskatologi). Fikih dan teologi ini sebagai manifestasi dari konsep Iman dan  Islam dalam agama Islam. Sedangkan konsep ketiga (Ihsan) yang terkait dengan penghayatan keberagamaan selanjutnya berkembang dalam bentuk tasawuf yang lebih menekankan pada aspek esoteris seorang muslim. Ketiga konsep inilah yang membentuk kesejatian dan atau kemantapan dalam keberagamaan seseorang. Meninggalkan salah satunya tidaklah mungkin sebagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
            Pada pembahasan bab ini kami lebih menekankan pada pembahasan hokum formal dalam Islam yaitu fikih. Sehingga di dalamnya kita akan menemukan ijma’ dan qiyas sebagai bagian dari dasar hokum. Sementara dalam akidah landasan kita hanyalah alqur’an dan hadits juga tidak ada istilah taklid di sana (karena terkait keimanan) kecuali bagi kalangan awam sebatas ketidak mampuannya dalam ijtihad masih diperbolehkan. Kalau kita kaji terkait dengan hubungannya, hukum fikih sendiri masih terbagi menjadi tiga yaitu yang terkait dengan hubungan sesama, hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan lingkungan.

B.     Dasar Hukum Islam
            Dasar utama hukum Islam adalah alqur’an dan hadis Nabi,sebagaimana Nabi bersabda yang artinya “Aku tinggalkan kepada kalian dua pedoman, jika kalian berpegang pada keduanya maka tidak akan tersesat”. Namun, alqur’an dan hadist tersebut masih terlalu universal dan hanyalah orang-orang tertentu yang bisa memahaminya dan pemahamannyapun berbeda-beda sesuai perspektif mereka dalam memahaminya. Selain itu dalam menjawab massalah-masalah yang sebelumnya pada masa Rasul belum pernah terjadi umat Islam dilanda kebingungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka lahirlah ijma’ sebagai sebuah hasil kesepakatan para mujtahid atau orang yang mumpuni (pakar) dalam masalah tersebut. Setelah para mujtahid wafat, banyak masalah-masalah baru terjadi lagi sementara para mujtahid sudah tiada. Akhirnya para ulama’ melakukan qiyas masalah tersebut dengan merujuk pada masalah sebelumnya yang memiliki persamaan dalam illat atau muqtadhi-nya.Untuk lebih jelasnya tentang hukum-hukum Islam sebagai berikut;
1.      Alqur’an
            Menurut ahli ushul alqur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang bersifat mu’jizat (melemahkan) dengan sebuah surat darinya dan bagi yang membacanya bernilai ibadah. Mengenai definisi Alqur’an ada sebagian lain dari ahli ushul yang mendefinisikannya demikian
“Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa arab untuk diperhatikan dan diambil pengajarannya oleh manusia,yang disampaikan pada kita dengan jalan mutawatir,yang ditulis dalam mushaf,dimulai dengan sirat Al-fatihah dan disudahi dengan surat an-Naas”.
Alqur’an di sini sebagai rujukan pertama dalam hukum islam,selama masih ada keterangan hokum di alqur’an maka tiga dasar yang lain hanya menjadi penjelas. Dalam alqur’an sendiri telah dijelaskan tentang kedudukannya sebagai dasar hokum,seperti dalam Al-Baqoroh ayat 2 yang artinya;
“Alqur’an itu, tak ada syak wasangka di dalamnya menjadi petujuk bagi orang-orang bertakwa kepada Allah”.
            Dalam menafsiri alqur’an tidaklah sembarangan sesuai pemikirannya sendiri,tetapi diperlukan beberapa syarat untuk menjaga keotentikannya seperti;ahli balaghah, mantiq, menguasai tata bahasa arab (Nahwu Sharraf), mengetahui ulumul qur’an dll. Mengenai penafsiran alqur’an Nabi pernah bersabda yang artinya;
“Barang siapa mengartikan(menafsiri) alqur’an dengan pemikiran/pandangannya sendiri (biro’yihi) maka siap-siaplah untuk masuk neraka”.

2.      Assunnah
            Secara etimologi assunnah berarti undang-undang atas peraturan yang berlaku, jalan yang telah dijalani dan keterangan. Menurut ulama’ ahli hadits dan ahli ushul fiqh assunnah adalah sabda-sabda Nabi, pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan dan persetujuan(taqrir) Nabi, yaitu perbuatan seorang sahabat Nabi yang Beliau ketahui dan Beliau tidak menegur atau menyalahkannya. Menurut Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat kata assunnah ini bisa juga dipakai bagi perbuatan para sahabat Nabi baik perbuatan ini sesuai dengan alqur’an dan assunnah ataupun tidak. Karena adanya pekerjaan dengan mencontoh “sunnah” yang telah tetap pada mereka atau karena ijtihad mereka denga disepakati keputusan para khalifah.Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dari segi penyampaiannya assunnah ada tiga yaitu; perkataan/sabda Nabi (qouliyah),perbuatan Nabi (fi’liyah) dan persetujuaan Nabi (taqririyah).
            Mengenai kedudukan assunnah ini alqur’an menjelaskan dalam surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya;
“Apa-apa yang didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah;dan apa-apa yang dicegahnya,maka hentikanlah mengerjakannya”.
Imam asy-Syafi’i pernah berkata; ”semua yang telah dihukumkan oleh Rasulallah itu semuanya dari apa-apa yang dipahamkan dari alqur’an”. Dan menurut Imam Auza’i assunnah itu adalah penjelasan bagi alqur’an. Lebih dari itu Imam Ahmad bin Hambal mengemukakan bahwa mencari hokum dalam alqur’an itu haruslah dengan melalui assunnah, dan mencari agama itu juga dengan melalui assunnah. Jalan untuk memperoleh fiqih Islam dan syari’atnya yang besar ialah assunnah.
3.      Ijma’
            Ijma’ secara etimologi adalah menetapkan, sepakat dan menetukan. Sedangkan ijma’ menurut ulama’ ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para ulama mujtahid umat Muhammad sesudah wafatnya Nabi pada suatu masa dari sekian masa atas suatu urusan dari beberapa urusan, ada juga mereka yang mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan umat Muhammad khusus atas urusan dari beberapa urusan agama. Sedangkan menurut Imam an-Nadham ijmak adalah tiap-tiap perkataan yang berdiri tegak alasannya.

            Kedudukan ijma’ di sini di bawah alqur’an dan assunnah dan tidak boleh menyalahi nash qath’I (keteranagn yang terang jelas) dalam alqur’an dan assunnah. Terkait dengan ijma’ ini Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitab ar-Risalah bahwa ijma’ itu hujjah di tempat yang tidak didapati nash dari alqur’an dan assunnah,dan tiada ijma’ melainkan yang telah disepakati oleh segenap ulama’ Islam.Mengenai ijma’ ini Allah berfirman dalam surat al-A’raf 181 yang artinya;
“Dan diantara orang yang Kami ciptakan itu,ada suatu umat yang memimpin(member petunjuk) dengan kebenaran,dan dengan kebenaran itulah mereka melakukan keadilan”.
Dari ayat ini para ulama’ berasumsi bahwa umat yang dikehendaki pada ayat ini adalah umat Muhammad yang akan memimpin manusia dengan membawa kebenaran yang termasuk di dalamnya keputusan-keputusan mereka dengan jalan ijma’.

4.      Qiyas
            Qiyas dalam bahasa arab adalah ukuran, timbangan atau sukatan. Sedangkan qiyas menurut ahli ushul adalah mengeluarkan semisal hokum yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan menghimpun antara keduanya,ada juga yang mendefinisikannya sebagai menghasilkan hokum pokok pada cabang karena bersamaan keduanya dalam illat hokum di sisi mujtahid. Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan bahwa  qiyas adalah menetapakn suatu hokum syari’at yang sudah tetap kepada benda atau urusan lain yang dianggap sama sebab atau sifat-sifatnya.

            Dalam melakukan qiyas tidaklah sembarangan tetapi ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi diantaranya;
a.       Ashal ialah tempat mengiyaskan atau hukum yang menjadi bahan rujukan dalam qiyas.
b.      Fara’ ialah yang diqiyaskan atau dicari hukumnya dengan qiyas.
c.       Illah ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan fara’ yang diqiyaskan.
d.      Hukum halal, haram, mubah atau lainnya.

            Adapun syarat-syarat qiyas sendiri menurut ahli ushul sangatlah banyak,antara lain;
a.       Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara’,bukan hukum yang didapati dari qiyas juga.
b.      Ashal termasuk perkara yang tidak dapat di[ikirkan oleh akal tentang sebab-sebabnya.
c.       Illah atau sebab-sebab yang ada pada ahsal ada pula pada fara’.
d.      Fara’(cabang) tidak mempunyai hokum sendiri sebelum diqiyaskan.
e.       Fara’(cabang) tidak bertentangan dengan hokum lain setelah qiyas.

KESIMPULAN

            Hukum islam adalah titah Allah yang berkaitan dengan orang baligh dan mumayyiz melalui tuntutan (muqtadhi), pilihan dan penentuan sebab, syarat dan mani’. Hukum Islam di sini terdiri atas hokum fiqih yang terkait dengan peribadatan atau muamalah baik dengan manusia atau dengan Tuhan.Teologi yang terkait dengan ketuhanan dan syari’h yang tertera dengan jelas penentuan hukumnya dalam alqur’an.

            Dasar-dasar hokum Islam adalah; alqur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Alqur’an sebagai dasar utama merupakan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang bersifat mu’jizat (melemahkan) dengan sebuah surat darinya dan bagi yang membacanya bernilai ibadah. Hadits atau as-sunnah sebagai dasar kedua setelah alqur’an adalah sabda-sabda Nabi, pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan dan persetujuan (taqrir) Nabi, yaitu perbuatan seorang sahabat Nabi yang Beliau ketahui dan Beliau tidak menegur atau menyalahkannya. Ijma’ menurut ulama’ ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para ulama mujtahid umat Muhammad sesudah wafatnya Nabi pada suatu masa dari sekian masa atas suatu urusan dari beberapa urusan,ada juga mereka yang mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan umat Muhammad khusus atas urusan dari beberapa urusan agama. Kedudukan ijma’ di sini di bawah alqur’an dan assunnah dan tidak boleh menyalahi nash qath’I (keteranagn yang terang jelas) dalam alqur’an dan assunnah. Qiyas adalah menetapakn suatu hokum syari’at yang sudah tetap kepada benda atau urusan lain yang dianggap sama sebab atau sifat-sifatnya.

            Dalam melakukan qiyas tidaklah sembarangan tetapi ada beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi diantaranya;
e.       Ashal ialah tempat mengiyaskan atau hukum yang menjadi bahan rujukan dalam qiyas.
f.       Fara’ ialah yang diqiyaskan atau dicari hukumnya dengan qiyas.
g.      Illah ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan fara’ yang diqiyaskan.
h.      Hukum halal,haram,mubah atau lainnya.

            Adapun syarat-syarat qiyas sendiri menurut ahli ushul sangatlah banyak,antara lain;
f.       Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara’, bukan hokum yang didapati dari qiyas juga.
g.      Ashal termasuk perkara yang tidak dapat di[ikirkan oleh akal tentang sebab-sebabnya.
h.      Illah atau sebab-sebab yang ada pada ahsal ada pula pada fara’.
i.        Fara ’(cabang) tidak mempunyai hokum sendiri sebelum diqiyaskan.
j.        Fara’ (cabang) tidak bertentangan dengan hokum lain setelah qiyas.
Qiyas ini tidak berlaku dalam urusan akidah atau ketuhanan (teologi), tetapi hanya terkait dengan hokum-hukum fiqih begitu juga taklid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar