Oleh: Abd Shamad
A. Latar
Belakang
Sebagai seorang mslim kita wajib
mengetahui tentang hukum-hukum Islam itu sendiri sebagai pedoman hidup agar
kita tidak keluar dari koridor-koridor Islam,baik yang terkait dengan ketuhanan
atau peribadatan dan lainnya. Tanpa mengetahuinya, kita akan mudah terjerumus
ke dalam lingkaran maksiat dan tak akan pernah sempurna keberagamaan kita. Sangat
aneh rasanya kalau orang beragama tidak tahu akan ajaran agamanya sendiri,
seakan beragama sebagai mainan belaka.
Untuk lebih mudahnya, dalam mengetahui
dan mengerti tentang hukum Islam perlu mempelajari dasar-dasarnya terlebih
dahulu sebagai bahan rujukan pengambilan (istinbath)
hukum-hukum Islam sendiri. Diantara dasar-dasarnya antara lain alqur’an, as-sunnah
(hadits), ijma’ dan qiyas. Namun, meskipun sudah mengetahui dasar-dasar
hukumnya kita tetap tidak boleh seenaknya sendiri dalam memutuskan sebuah hukum,
masih ada beberapa kriteria yang mesti dipenuhi dalam rangka menjaga kemurniaannya
dari hawa nafsu dan kepentingan belaka.
Berbagai hal di atas telah
menggelitik hati kami sebagai seorang muslim untuk membuat sebuah makalah yang
mungkin bermanfaat sebagai sebuah pengantar dalam memahami hukum Islam mulai
dari dasar-dasarnya. Dengan berbagai kekurangan yang kami miliki, kami akan mencoba
membahas sedikit banyak tentang hukum Islam dan dasar-dasarnya.
B. Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini,kami akan mencoba
untuk sedikit membahas tentang;
1) Apa
definisi dari hukum Islam?
2) Apa
saja dasar-dasar dalam penetapan hukum Islam?
C. Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca
diharapkan mengerti tentang;
1) Definisi
atau pengertian dari hokum Islam
2) Dasar-dasar
penetapan hukum Islam
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Islam
Secara etimologi, hukum berarti keputusan atau pemisahan,
jadi hukum islam secara etimologi adalah keputusan atau pemisahan dalam islam
baik pemisahan antar baik dan buruk atau pemisahan benar dengan salah. Secara
terminologi hukum islam memiliki derfinisi berbeda antara kaum mu’tazillah dan
kaum suni. Menurut kaum sunni, hukum islam adalah titah Allah yang berkaitan
dengan orang baligh dan mumayyiz (pintar) melalui tuntutan (muqtadhi), pilihan dan penentuan
sebab,syarat dan mani’. Sedangkan menurut kaum mu’tazillah, hukum islam adalah
segala yang ditetapkan Allah berupa perbuatan yang sesuai dengan akal. Kalau
merujuk pada sebuah buku, hukum islam itu sendiri adalah seperangkat peraturan
yang berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasulullah.
Dalam Islam, kita kenal syari’ah dan fikih yang terkait
dengan amaliah atau peribadatan dan hubungan-hubungan dengan sesama manusia dan
makhluk lainnya. Selain itu kita juga kenal akidah (teologi) yang terkait
dengan keimanan dan ketuhanan atau kehidupan setelah mati (eskatologi). Fikih
dan teologi ini sebagai manifestasi dari konsep Iman dan Islam dalam agama Islam. Sedangkan konsep
ketiga (Ihsan) yang terkait dengan
penghayatan keberagamaan selanjutnya berkembang dalam bentuk tasawuf yang lebih
menekankan pada aspek esoteris seorang muslim. Ketiga konsep inilah yang
membentuk kesejatian dan atau kemantapan dalam keberagamaan seseorang.
Meninggalkan salah satunya tidaklah mungkin sebagai dua sisi mata uang yang
tidak dapat dipisahkan.
Pada pembahasan bab ini kami lebih menekankan pada
pembahasan hokum formal dalam Islam yaitu fikih. Sehingga di dalamnya kita akan
menemukan ijma’ dan qiyas sebagai bagian dari dasar hokum. Sementara dalam
akidah landasan kita hanyalah alqur’an dan hadits juga tidak ada istilah taklid
di sana (karena terkait keimanan) kecuali bagi kalangan awam sebatas ketidak mampuannya
dalam ijtihad masih diperbolehkan. Kalau kita kaji terkait dengan hubungannya,
hukum fikih sendiri masih terbagi menjadi tiga yaitu yang terkait dengan
hubungan sesama, hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan lingkungan.
B. Dasar
Hukum Islam
Dasar utama hukum Islam adalah alqur’an dan hadis
Nabi,sebagaimana Nabi bersabda yang artinya “Aku tinggalkan kepada kalian dua
pedoman, jika kalian berpegang pada keduanya maka tidak akan tersesat”. Namun, alqur’an
dan hadist tersebut masih terlalu universal dan hanyalah orang-orang tertentu
yang bisa memahaminya dan pemahamannyapun berbeda-beda sesuai perspektif mereka
dalam memahaminya. Selain itu dalam menjawab massalah-masalah yang sebelumnya
pada masa Rasul belum pernah terjadi umat Islam dilanda kebingungan. Untuk
mengantisipasi hal tersebut maka lahirlah ijma’ sebagai sebuah hasil
kesepakatan para mujtahid atau orang yang mumpuni (pakar) dalam masalah
tersebut. Setelah para mujtahid wafat, banyak masalah-masalah baru terjadi lagi
sementara para mujtahid sudah tiada. Akhirnya para ulama’ melakukan qiyas
masalah tersebut dengan merujuk pada masalah sebelumnya yang memiliki persamaan
dalam illat atau muqtadhi-nya.Untuk
lebih jelasnya tentang hukum-hukum Islam sebagai berikut;
1. Alqur’an
Menurut ahli ushul alqur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad yang bersifat mu’jizat (melemahkan) dengan
sebuah surat darinya dan bagi yang membacanya bernilai ibadah. Mengenai
definisi Alqur’an ada sebagian lain dari ahli ushul yang mendefinisikannya demikian
“Firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan bahasa arab untuk diperhatikan dan
diambil pengajarannya oleh manusia,yang disampaikan pada kita dengan jalan
mutawatir,yang ditulis dalam mushaf,dimulai dengan sirat Al-fatihah dan disudahi
dengan surat an-Naas”.
Alqur’an di sini
sebagai rujukan pertama dalam hukum islam,selama masih ada keterangan hokum di
alqur’an maka tiga dasar yang lain hanya menjadi penjelas. Dalam alqur’an
sendiri telah dijelaskan tentang kedudukannya sebagai dasar hokum,seperti dalam
Al-Baqoroh ayat 2 yang artinya;
“Alqur’an itu, tak ada
syak wasangka di dalamnya menjadi petujuk bagi orang-orang bertakwa kepada
Allah”.
Dalam menafsiri alqur’an tidaklah sembarangan sesuai
pemikirannya sendiri,tetapi diperlukan beberapa syarat untuk menjaga
keotentikannya seperti;ahli balaghah, mantiq, menguasai tata bahasa arab (Nahwu Sharraf), mengetahui ulumul qur’an
dll. Mengenai penafsiran alqur’an Nabi pernah bersabda yang artinya;
“Barang siapa
mengartikan(menafsiri) alqur’an dengan pemikiran/pandangannya sendiri (biro’yihi) maka siap-siaplah untuk masuk
neraka”.
2. Assunnah
Secara etimologi assunnah berarti undang-undang atas
peraturan yang berlaku, jalan yang telah dijalani dan keterangan. Menurut
ulama’ ahli hadits dan ahli ushul fiqh assunnah adalah sabda-sabda Nabi, pekerjaan-pekerjaan
atau perbuatan dan persetujuan(taqrir)
Nabi, yaitu perbuatan seorang sahabat Nabi yang Beliau ketahui dan Beliau tidak
menegur atau menyalahkannya. Menurut Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat kata
assunnah ini bisa juga dipakai bagi perbuatan para sahabat Nabi baik perbuatan
ini sesuai dengan alqur’an dan assunnah ataupun tidak. Karena adanya pekerjaan
dengan mencontoh “sunnah” yang telah tetap pada mereka atau karena ijtihad
mereka denga disepakati keputusan para khalifah.Dari berbagai definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa dari segi penyampaiannya assunnah ada tiga yaitu; perkataan/sabda
Nabi (qouliyah),perbuatan Nabi (fi’liyah) dan persetujuaan Nabi (taqririyah).
Mengenai kedudukan assunnah ini alqur’an menjelaskan
dalam surat Al-Hasyr ayat 7 yang artinya;
“Apa-apa yang
didatangkan Rasul kepadamu, maka ambillah;dan apa-apa yang dicegahnya,maka
hentikanlah mengerjakannya”.
Imam asy-Syafi’i pernah
berkata; ”semua yang telah dihukumkan oleh Rasulallah itu semuanya dari apa-apa
yang dipahamkan dari alqur’an”. Dan menurut Imam Auza’i assunnah itu adalah
penjelasan bagi alqur’an. Lebih dari itu Imam Ahmad bin Hambal mengemukakan
bahwa mencari hokum dalam alqur’an itu haruslah dengan melalui assunnah, dan
mencari agama itu juga dengan melalui assunnah. Jalan untuk memperoleh fiqih
Islam dan syari’atnya yang besar ialah assunnah.
3. Ijma’
Ijma’ secara etimologi adalah menetapkan, sepakat dan
menetukan. Sedangkan ijma’ menurut ulama’ ahli ushul fiqh adalah kesepakatan
para ulama mujtahid umat Muhammad sesudah wafatnya Nabi pada suatu masa dari
sekian masa atas suatu urusan dari beberapa urusan, ada juga mereka yang
mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan umat Muhammad khusus atas urusan dari
beberapa urusan agama. Sedangkan menurut Imam an-Nadham ijmak adalah tiap-tiap
perkataan yang berdiri tegak alasannya.
Kedudukan ijma’ di sini di bawah alqur’an dan assunnah
dan tidak boleh menyalahi nash qath’I (keteranagn yang terang jelas) dalam
alqur’an dan assunnah. Terkait dengan ijma’ ini Imam Syafi’i menjelaskan dalam
kitab ar-Risalah bahwa ijma’ itu
hujjah di tempat yang tidak didapati nash dari alqur’an dan assunnah,dan tiada
ijma’ melainkan yang telah disepakati oleh segenap ulama’ Islam.Mengenai ijma’
ini Allah berfirman dalam surat al-A’raf 181 yang artinya;
“Dan diantara orang
yang Kami ciptakan itu,ada suatu umat yang memimpin(member petunjuk) dengan
kebenaran,dan dengan kebenaran itulah mereka melakukan keadilan”.
Dari ayat ini para
ulama’ berasumsi bahwa umat yang dikehendaki pada ayat ini adalah umat Muhammad
yang akan memimpin manusia dengan membawa kebenaran yang termasuk di dalamnya
keputusan-keputusan mereka dengan jalan ijma’.
4. Qiyas
Qiyas dalam bahasa arab adalah ukuran, timbangan atau
sukatan. Sedangkan qiyas menurut ahli ushul adalah mengeluarkan semisal hokum
yang disebutkan kepada yang tidak disebutkan dengan menghimpun antara
keduanya,ada juga yang mendefinisikannya sebagai menghasilkan hokum pokok pada
cabang karena bersamaan keduanya dalam illat
hokum di sisi mujtahid. Dari definisi-definisi ini dapat disimpulkan
bahwa qiyas adalah menetapakn suatu
hokum syari’at yang sudah tetap kepada benda atau urusan lain yang dianggap
sama sebab atau sifat-sifatnya.
Dalam melakukan qiyas tidaklah sembarangan tetapi ada
beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi diantaranya;
a. Ashal
ialah tempat mengiyaskan atau hukum yang menjadi bahan rujukan dalam qiyas.
b. Fara’ ialah
yang diqiyaskan atau dicari hukumnya dengan qiyas.
c. Illah
ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan
fara’ yang diqiyaskan.
d. Hukum
halal, haram, mubah atau lainnya.
Adapun syarat-syarat qiyas sendiri menurut ahli ushul
sangatlah banyak,antara lain;
a. Ashal dan
hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara’,bukan hukum yang didapati dari
qiyas juga.
b. Ashal termasuk
perkara yang tidak dapat di[ikirkan oleh akal tentang sebab-sebabnya.
c. Illah atau
sebab-sebab yang ada pada ahsal ada
pula pada fara’.
d. Fara’(cabang)
tidak mempunyai hokum sendiri sebelum diqiyaskan.
e. Fara’(cabang)
tidak bertentangan dengan hokum lain setelah qiyas.
KESIMPULAN
Hukum islam adalah titah Allah yang berkaitan dengan
orang baligh dan mumayyiz melalui tuntutan (muqtadhi),
pilihan dan penentuan sebab, syarat dan mani’. Hukum Islam di sini terdiri atas
hokum fiqih yang terkait dengan
peribadatan atau muamalah baik dengan manusia atau dengan Tuhan.Teologi yang terkait dengan ketuhanan
dan syari’h yang tertera dengan jelas
penentuan hukumnya dalam alqur’an.
Dasar-dasar hokum Islam adalah; alqur’an, hadits, ijma’
dan qiyas. Alqur’an sebagai dasar utama merupakan firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad yang bersifat mu’jizat (melemahkan) dengan sebuah surat
darinya dan bagi yang membacanya bernilai ibadah. Hadits atau as-sunnah sebagai dasar kedua setelah
alqur’an adalah sabda-sabda Nabi, pekerjaan-pekerjaan atau perbuatan dan
persetujuan (taqrir) Nabi, yaitu
perbuatan seorang sahabat Nabi yang Beliau ketahui dan Beliau tidak menegur
atau menyalahkannya. Ijma’ menurut ulama’ ahli ushul fiqh adalah kesepakatan
para ulama mujtahid umat Muhammad sesudah wafatnya Nabi pada suatu masa dari
sekian masa atas suatu urusan dari beberapa urusan,ada juga mereka yang
mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan umat Muhammad khusus atas urusan dari
beberapa urusan agama. Kedudukan ijma’ di sini di bawah alqur’an dan assunnah
dan tidak boleh menyalahi nash qath’I (keteranagn yang terang jelas) dalam
alqur’an dan assunnah. Qiyas adalah menetapakn suatu hokum syari’at yang sudah
tetap kepada benda atau urusan lain yang dianggap sama sebab atau
sifat-sifatnya.
Dalam melakukan qiyas tidaklah sembarangan tetapi ada
beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi diantaranya;
e. Ashal
ialah tempat mengiyaskan atau hukum yang menjadi bahan rujukan dalam qiyas.
f. Fara’ ialah
yang diqiyaskan atau dicari hukumnya dengan qiyas.
g. Illah
ialah sifat-sifat yang ada pada ashal dan
fara’ yang diqiyaskan.
h. Hukum
halal,haram,mubah atau lainnya.
Adapun syarat-syarat qiyas sendiri menurut ahli ushul
sangatlah banyak,antara lain;
f. Ashal dan
hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara’, bukan hokum yang didapati dari
qiyas juga.
g. Ashal termasuk
perkara yang tidak dapat di[ikirkan oleh akal tentang sebab-sebabnya.
h. Illah atau
sebab-sebab yang ada pada ahsal ada
pula pada fara’.
i.
Fara
’(cabang) tidak mempunyai hokum sendiri
sebelum diqiyaskan.
j.
Fara’
(cabang) tidak bertentangan dengan hokum
lain setelah qiyas.
Qiyas ini tidak berlaku
dalam urusan akidah atau ketuhanan (teologi),
tetapi hanya terkait dengan hokum-hukum fiqih begitu juga taklid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar