Oleh : Fifta & Izrin
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenggelamnya filsafat dalam dogmatisme abad
pertengahan sudah cukup sebagai korban perkembangan intelektual. Descartes
sebagai pelopor utama tentu sangat berjasa dalam mengembalikan filsafat ke
dunia asalnya. Perubahan konsentrasi dari teosentrisme ke anthroposentrisme
membawa manusia ke bentuk hakikinya sebagai khalifah.
Dunia
pemikiran memang tak pernah usai. Suatu pemikiran boleh diterima sekarang
sebagai sesuatu yang benar tapi pada hakekatnya untuk ditentang kemudian dalam
perkembangannya. Hal ini sudah merupakan hal biasa dalam iklim pemikiran
manusia yang dinamis. Yang salah di sini justru mereka yang fanatic dan
bersikap apatis menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Sehingga mereka
begitu eksklusif dan tak bias mendapat hal positif sebagi kritik dalam
kesempurnaannya.
Dalam
perkembangan metafisika modern, pesimisme dan optimisme menjadi dua bagian
besar yang beroposisi. Schopenhauer yang pesimistis dan kurang ramah dalam
hidupnya sangat menentang Hegel dalam sejarah. Dia yang terpengaruh Kant dalam
soal noumena dan fenomena pada akhirnya berbeda dalam memandang dunia yang
menurutnya ilusif.
Sebagai
salah satu tokoh filsafat Barat, Schopenhauer tampak unik dengan memadukan pola pikir filsuf
Barat dan Timur. Bagaimana dia mengkombonasikan dua pola pikir yang jauh
berbeda? Bagaimana dia yang hidup di Barat dan cenderung pesimistis? Beberapa
hal ini memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk menelusuri ragam
pemikirannya.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam
makalah ini kami akan membahas sedikit banyak tentang :
1.
Bagaimana latar
belakang Schopenhauer sebelum menjadi seorang pemikir besar?
2.
Bagaimana
pemikiran filsafat Schopenhauer?
C.
Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan
mengerti tentang beberapa hal terkait:
1.
Latar belakang kehidupan Schopenhauer.
2.
Pemikiran filosofis Schopenhauer.
BAB
II
FILSAFAT
SCHOPENHAUER
A.
Biografi Arthur Scopenhauer
Arthur Schopenhauer
lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig Polandia. Keluarga Schopenhauer sangat
kental dengan tradisi Belanda. Ayahnya, Heinrich Floris Schopenhauer (1747 – 1805)
adalah seorang pengusaha sukses yang mengontrol keluarganya dengan gaya bisnis.
Nama Arthur Schopenhauer mencerminkan luasnya jaringan sang ayah dalam
perdagangan internasional, sehingga ia memilihkan nama untuk anak pertamanya
itu dengan kolaborasi kosa kata Jerman, Perancis, dan Inggris. Pada bulan Maret
1793, ketika Schpenhauer masih berusia 5 tahun, keluarga pindah ke Hamburg,
setelah Danzig diduduki oleh Prussia.[1]
Lahir di tengah
keluarga pengusaha kaya, Schopenhauer sering melakukan kunjungan wisata ke
berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1797 – 1799 ia tinggal di Perancis, dan
sebentar tinggal di Inggris di tahun 1803. Kondisi inilah yang memungkinkan
Schopenhauer mempelajari bahasa Negara-negara yang dikunjunginya. Schopenhauer
dalam diarynya mengatakan, tinggal di Perancis adalah pengalaman paling
menyenangkan. Meskipun sejak kecil sang ayah telah mendidiknya dengan bisnis,
dan selama dua tahun ia mengikuti kursus dan magang bisnis di Hamburg, namun
Schopenhauer merasa bisnis bukanlah jalan hidup yang cocok baginya. Pada usia
19 tahun, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809. Pada masa perkuliahannya, dia
belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst
Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun
1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher[2]. 20 April 1805 adalah
hari menyedihkan bagi Schopenhauer, karena sang ayah meninggal dunia, yang
diduga kuat akibat bunuh diri.
Setelah kematian
Floris, Ibu Schopenhauer, Johanna Troisiener Schopenhauer (1766 – 1838),
memutuskan untuk pindah bersama anak-anaknya ke Weimar. Johanna adalah wanita
cerdas dan memiliki pergaulan yang luas. Di Weimer ia bersahabat dengan Johann
Wolfgang von Goethe (1749-1832). Di Weimer, Johanna Schopenhauer aktif menulis
essai, kisah perjalanan, dan novel.
Pada tahun 1809,
Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di bidang Kedokteran,
kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan pandangan
seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833). Lewat
Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Setelah
melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian mendaftarkan
diri di Universitu of Berlin. Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte
(1762 – 1814), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Di dua universitas
ini, Schopenhauer mempelajari banyak bidang keilmuan, antara lain: fisika,
psikologi, astronomi, zoology, arkeologi, fisiologi, sejarah, sastra dan syair.
Pada umur 25 tahun ia berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul “The
Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason”. Pada tahun 1813, ia
memutuskan pindah ke Rudolstadt, dan pada tahun yang sama ia menyampaikan
disertasinya di University of Jena, kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat
in absentia.
Arthur Schopenhauer
adalah filsuf yang aktif menghasilkan karya. Adapun tulisan-tulisan itu adalah,
·
1813, Über die
vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of
the Principle of Sufficient Reason)
·
1816, Über das
Sehn und die Farben (On Vision and Colors)
·
1819 [1818], Die
Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation
·
1836, Über den
Willen in der Natur (On the Will in Nature)
·
1839, “Über die
Freiheit des menschlichen Willens” (“On Freedom of the Human Will”)
·
1840, “Über die
Grundlage der Moral” (“On the Basis of Morality”)
·
1841 [1840], Die
beiden Grundprobleme der Ethik (The Two Fundamental Problems of Ethics)
·
1844, Die Welt
als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)
·
1847, Über die
vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of
the Principle of Sufficient Reason)
·
1859, Die Welt
als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)
B.
Pemikiran
Schopenhauer dikenal
dengan sifat pesimisme dan gayanya yang tidak ramah. Ia sangat antipati kepada
Hegel, sampai-sampai ia bersikeras mengadakan perkuliahan di waktu yang
bersamaan saat Hegel memberikan kuliah. Malang bagi Schopenhauer, para
mahasiswa lebih menyenangi kuliah Hegel dibandingkan kuliah yang ia berikan.
Sehingga mahasiswa yang duduk mendengarkan ceramah Schopenhauer bisa dihitung
dengan jari. Ia akhirnya memutuskan berhenti mengajar di universitas karena
popularitas Hegel sangat sulit disaingi kala itu. Untunglah ia seorang yang
kaya, sehingga memilih untuk mencurahkan diri untuk menulis buku. Dalam
buku-bukunya Schopenhauer sering menyinggung tentang “penipu”, yang secara
eksplisit ia sandarkan kepada Hegel.[3]
Tentu menarik,
mengetahui apa yang membuat Schopenhauer begitu teramat benci kepada Hegel?
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins penulis buku “A Short History of
Philosophy” mengatakan, “yang paling dibenci Schopenhauer pada Hegel adalah
optimismenya, perasaannya bahwa umat manusia sedang maju”.
Sementara Schopenhauer
berpendirian bahwa banyak orang, sebagian besar zaman, benar-benar tertipu.
Manusia merasa mengetahui dunia yang sedang dihadapinya. Padahal banyak
misteri-misteri yang tak terungkap dalam kehidupan ini. Atas dasar pemikiran
seperti inilah, Schopenhauer mengagumi pemikiran-pemikiran Immanuel Kant.
Schopenhauer mengatakan bahwa Kant telah bertindak benar ketika membagi
realitas menjadi dunia fenomena dan dunia noumena.[4]
Tidaklah, seseorang
dikatakan sebagai filsuf, ketika memiliki pemikiran yang sama persis dengan
filsuf sebelumnya. Penyandangan gelar filsuf amat terkait dengan originalitas
dan kreativitas berpikir. Oleh karena itu, Schopenhauer mengatakan filsafatnya
sebagai koreksi dan upaya melengkapi filsafat Kant. Menurutnya, Kant benar
dalam membagi realitas menjadi dua, tapi Kant keliru saat menjelaskan apa yang
dimaksud kedua dunia itu.
Untuk dunia fenomenal,
ada kesalahan yang dilakukan Kant. Meskipun Kant mengatakan semua pengetahuan
manusia harus diderivasikan dari pengalaman, dalam kenyataannya Kant malah
mengarahkan sebagai besar kerja investigasinya bukan pada hakikat pengalaman,
tapi kepada hakikat berpikir konseptual. Dalam mengkoreksi kesalahan ini,
Schopenhauer kemudian berupaya mencari jalan keluar dengan melakukan investigasi
mengenai bagaimana manusia manusia menyadari kenyataan mengalami, mengetahui,
dan mengomunikasikan realitas yang spesifik dan unik.
Terkait dengan dunia
fenomenal, Schopenhauer menilai filsafat Kant memiliki dua kekeliruan mendasar.
Pertama, Kant memandang dunia noumena terdiri dari hal-hal
dalam-dirinya-sendiri (jamak). Kedua, Kant menganggap noumena sebagai penyebab
dari persepsi manusia.
Bagi Schopenhauer,
manusia mendapatkan ide tentang pembedaan (diferensiasi) jika dilingkupi oleh
penerimaan akan konsep ruang dan waktu. Sementara Kant menunjukkan bahwa ruang
dan waktu merupakan bentuk-bentuk sensibilitas manusia. Jadi, konsep ruang dan
waktu tidak akan bisa ada dalam sebuah realitas tanpa subjek karena dalam
realitas itu, semua yang-eksis, eksis dalam-dirinya-sendiri (Das Ding an sich)
yang bersifat independen dari pengalaman. Oleh karena itu, diferensiasi hanya
bisa dilakukan dalam dunia pengalaman dan tidak bisa dilakukan dalam dunia
realitas noumena. Karena itu pula, tak mungkin ada benda-benda (jamak)
dalam-dirinya- sendiri yang berbeda-beda dan eksis secara indenpenden dari
subjek yang mengalaminya.
Pengetahuan pada
hakikatnya bersifat dualistis, yaitu sesuatu yang menjadi isi dari pengetahuan
itu dan sesuatu yang mengetahui. Jadi, jika ada sesuatu yang eksis secara tak
terdiferensiasi (tak terbedakan dari yang lain), maka sesuatu itu tak akan bisa
mengenali dirinya sendiri, karena pengenalan akan diri sendiri mengandaikan
pembedaan dengan diri yang lain.
Schopenhauer memandang
bahwa dalam realitas total terdapat realitas yang bersifat immaterial, tak
terdiferensiasi, tak berwaktu, dan tak beruang, yang terhadapnya manusia tidak
akan pernah bisa memiliki pengetahuan yang bersifat langsung, dan realitas itu
memanifestasikan dirinya pada manusia dalam bentuk dunia fenomenal dari
objek-objek materiil (termasuk manusia sendiri) yang terdiferensiasi dalam
ruang dan waktu. Kesimpulan ini sama persis dengan arus utama agama Hindu dan
Budha.
Atas pemikirannya ini,
Schopenhauer diduga terpengaruh dengan tradisi Budha. Namun, jika melihat latar
belakangnya sebagai seseorang yang bukan religius, tidak mempercayai kehidupan
setelah mati, bahkan tidak mempercayai Tuhan atau ruh, maka pendapat yang benar
adalah, Schopenhauer menemukan kesimpulan tersebut melalui argumentasi rasional
dalam kerangka tradisi utama filsafat Barat. Baru setelah ia mengetahui bahwa
para pemikir Hindu dan Budha telah mencapai kesimpulan yang sama dengan Kant
dan dirinya sendiri, ia kemudian mempelajari karya-karya pemikir Hindu dan
Budha dengan antusias dan ketertarikkan yang luar biasa.
Aspek lain yang
berseberangan antara Schopenhauer dan Kant adalah terkait dasar etika. Menurut
Schopenhauer, dalam dunia fenomena, manusia eksis sebagai individu-individu.
Manusia eksis sebagai objek-objek materiil yang menempati ruang dan berada
dalam suatu waktu. Diferensiasi sebagai individu ini hanya bisa diamati dalam
dunia fenomena. Sedangkan secara noumena, tidak mungkin untuk mendiferensiasi
diri sendiri. Oleh karena itu, manusia semuanya pastilah “yang satu”. Jadi, ada
sebuah perasaan puncak bahwa jika aku melukaimu, maka aku melukai diri sendiri.
Atas dasar itulah etika dibangun atas dasar kasih sayang, rasa persaudaraan,
perhatian tanpa pamrih yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan lahir
atas dasar rasionalitas sebagaimana yang disampaikan oleh Immanuel Kant.
Schopenhauer
mengatakan, jika manusia memang ingin memahami hakikat batin, dan signifikansi
dunia luar, maka ia harus melakukan investigasi atas proses yang dijalani atas
proses yang dijalani oleh batin dan menelusuri pengalaman luar dirinya.
Schopenhauer berpandangan, penjelasan-penjelasan hakiki mengenai realitas tidak
bisa ditemukan dalam sains. Bukan berarti, manusia harus meninggalkan sains.
Bahkan Schopenhauer mengatakan, dalam upaya memahami dunia, manusia harus
memanfaatkan semaksimal mungkin dan penuh antusias semua sumber daya sains,
tetapi jangan melupakan sumber-sumber selain sains.
Untuk karena itu,
Schopenhauer mengajak pembacanya untuk memandang seni sebagai instrumen untuk
memahami realitas yang tak semata-mata materiil tapi juga immaterial. Dalam
buku catatannya Schopenhauer mengatakan, “Filsafat telah sejak lama menjalani
proses pencariannya secara sia-sia karena ia memang lebih cendrung mencari
dengan cara sains daripada dengan cara seni.”Pengalaman manusia tidak bisa
diartikulasikan dalam bahasa universal yang berbentuk konsep-konsep. Namun,
pengalaman bisa diartikulasikan dalam karya-karya seni.
Terkait pemikiran
terkait dengan seni ini, Schopenhauer dipengaruhi oleh ide-ide Platonis tentang
dunia ide dan dunia ini, dimana Plato berpandangan dunia ini adalah dunia semu
dari dunia sebenarnya yang ada di dunia ide. Atas dasar inilah kemudian, ia
membuat hierarkhi seni, yakni:
1.
Seni yang
bertemakan tahap pertama dan terendah dari objektivikasi kehendak, yaitu
unsur-unsur anorganik dari alam (sekumupulan batu besar, tanah, air, dan
sebagainya). Seni ini adalah arsitektur.
2.
Seni yang
mengambil tema objek kedua dari objektivikasi kehendak, seperti bunga-bunga,
pohon-pohon, kehidupan tumbuh-tumbuhan secara umum. Seni ini adalah lukisan.
3.
Seni yang
mengambil tema objek ketiga dari objektivikasi kehendak, yaitu kehidupan
binatang yang terkait dengan bobot tubuh, ukuran, bentuk tubuh, dan
gerak-geriknya. Seni ini adalah seni pahat.
4.
Seni yang
mengambil tema pasang-surut perasaan manusia, perkembangan emosi, karakter,
hubungan sosial, konflik, penciptaan, takdir, dan penyelesaian krisis. Seni ini
adalah puisi dan drama.
Kecendrungan
Schopenhauer untuk menelisik misteri batin manusia membuat ia sampai pada
pemikiran bahwa manusia itu tetap eksis karena adanya kehendak untuk hidup
(will of life). Semakin manusia menyelidiki berbagai perasaan dan emosinya,
maka ia akan semakin melihat bahwa semua itu merupakan modifikasi dari
kehendak. Schopenhauer tidak mengklaim pandangan ini original dari dirinya.
Tapi sebenarnya sudah direnungkan oleh para pemikir hebat sejak St. Augustinus.
Dalam “The City of God”, Augustinus mengatakan,
“Kehendak ada dalam semua perasaan ini;
bahkan, perasaan-perasaan itu tak lain adalah kecendrungan-kecendrungan sang
kehendak. Oleh karena itu, apakah sesungguhnya hasrat dan kegembiraan itu jika
bukan kehendak yang mencapai keharmonisan dengan hal-hal yang kita hasratkan?
Dan apakah rasa takut dan sedih itu jika bukan kehendak yang tengah berada
dalam keadaan tidak selaras dengan hal-hal yang tidak kita sukai.”
Atas inspirasi dari St.
Augustinus inilah Schopenhauer berpandangan bahwa intelek sebagai pelayan,
bukan tuan bagi kehendak, dan dengan begitu, segenap kehidupan batin manusia
terdiri atas, atau didominasi oleh kehendak dalam berbagai manifestasinya.
Melangkah lebih jauh. Schopenhauer mencoba terus menelusuri tesis kehendak ini
pada realitas fenomena dan noumena.
Bagi Schopenhauer,
pikiran adalah sesuatu yang merujuk kepada sebuah subkelas kecil dari
benda-benda objektif. Pikiran lebih terkait dengan yang materiil daripada
dengan yang noumenal, dan pikiran muncul sebagai aktivitas ataupun sebagai
epifenomena dari materi. Semua pikiran yang diketahui manusia adalah
pembayangan dari objek-objek materiil. Dunia noumenal sebagai sumber
manifestasi dunia fenomenal digerakkan oleh dorongan metafisis yang bersifat
primitif dan memanifestasikan dirinya dalam eksistensi dengan sebutan
“kehendak”. Kehendak di sini tidak sama dengan kehendak manusia berkaitan
dengan kesadaran diri. Kehendak yang bersifat metafisis ini (metaphysical will)
tak ada hubungannya dengan tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, atau
maksud-maksud. Kehendak ini berkonotasi pada sesuatu yang bukan saja mendahului
kehidupan, melainkan juga mendahului materi. Kehendak metafisis ini merupakan
sebuah daya yang buta, nonmaterial, nonpersonal, dan nonbernyawa.[5]
Alam semesta merupakan
kehendak yang bersifat metafisis ini. Kehendak mengada dan bertahan hidup yang
dimiliki oleh manusia bukanlah kehendak noumenal dalam dirinya sendiri, tetapi
manifestasi dari kehendak noumenal itu dalam dunia fenomena. Oleh karena itu,
dia bisa menjadi objek dari pengetahuan manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Arthur Schopenhauer
memulai jejak filsafat dengan pengalaman pahit dengan kondisi masyarakat yang
lebih menghargai filsafat Hegel. Lewat rasa “sakit hati” inilah, ia terus
berkarya untuk membuktikan bahwa ia sejajar dengan Hegel bahkan melebihi Hegel
dalam beberapa sisi. Hal ini akhirnya terbukti. Setelah kematiannya,
karya-karya Schopenhauer telah menjadi inspirasi berharga bagi banyak
filsuf-filsuf besar sekaliber Nietchze dan Karl Popper untuk memahami dunia.
Bahkan Popper mengatakan, dari Schopenhauerlah ia sadar dan menemukan jalan
berpikir sendiri. Schopenhauer telah membangun banyak orang bahwa dunia ini
harus dilihat lebih kritis lagi, karena terjebak dalam sikap optimisme yang
berlebihan akan membuat manusia kehilangan untuk memahami dirinya dan dunia
yang melingkari kehidupannya.
B. Saran
Berbagai
pemikiran filsafat sebaiknya tidak ditanggapi dogmatis, apa lagi melihat
sejarah dan diri yang berbeda. Tetapi bagaimana diambil sisi positifnya dalam
membangun hidup yang sebenarnya. Apa lagi melihat ragam problematika yang
semakin kompleks. Bagaimana para tokoh membuat analisa dan mencari solusi itu
bias dicontoh walau tidak seluruhnya dengan saringan keyakinan seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Editor. First published
Mon May 12, 2003; substantive revision Sat Nov 17, 2007. Arthur Schopenhauer. http://plato.stanford.edu/entries/schopenhauer/.
Maksum,
Ali. 2008. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern.
Ar-Ruzz Media: Jogjakata.
Magee, Bryan. Cetakan I
Juni 2005. Memoar Seorang Filosof: Pengembaraa di Belantara Filsafat. Penerbit
Mizan. Bandung.
Russel,.
Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Tej. Sigit Jatmiko dkk. (Pustaka
Pelajar: Yogyakarta).
Solomon, Robert C. dan
Kathleen M. Higgins. Cetakan I April 2002. Sejarah Filsafat. Penerbit Bentang:
Yogyakarta.
[1]Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat, Tej. Sigit Jatmiko
dkk, (2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta)., 981-982.
[2]
,ibid.,
[3]Ali Maksum, Pengantar
Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern, (2008. Jogjakata: Ar-Ruzz
Media)., 187. Lihat juga Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell.,
981.
[4]Ibid., 188.
[5]Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat, 983-984.