Selasa, 09 April 2013

PETA PEMIKIRAN RENE DESCARTES


Oleh :
Husnul Khotimah & Abd. Shamad           


A.    Pengantar
Pada abad pertengahan, filsafat barat bisa dikatakan mati di tangan gereja atau terpenjara di balik otoritas gereja yang memegang penuh kebenaran. Pada waktu itu, pemikiran-pemikiran boleh lahir selama tidak bertentangan dengan gereja dan apa yang ada dalam kitab Tuhan. Dan mereka yang tidak sejalan lebih banyak berakhir di tiang gantungan. Hal ini berlangsung lama sampai terjadinya aufklarung yang membebaskan filsafat dan mengantarnya pada fase modern.
Berbicara tentang filsafat modern sendiri, tidak bisa lepas dari seorang Rene Descartes sebagai bapak filsafat modern sendiri. Dia mulai membangun kembali rasionalitas filsafat sekaligus merubah orientasinya. Filsafat yang pada masa pertengahan berorientasi pada kitab suci dan hati, mengekang akal untuk mengkritisi bahkan sampai dengan kekerasan fisik. Diawali dari Descartes ini lah akan kembali bebas lewat berbagai pemikiran yang dihasilkannya.
Pada masa modern orientasi filsafat jauh berbeda dari sebelumnya yang lebih mengerucut pada wilayah teologis dogmatis. Seiring perkembangan IPTEK, Descartes dan yang lainnya lebih tertarik pada manusia sebagai pusat dan aktor sejarah. Manusia yang karena akalnya menjadi tampil beda dengan yang lainnya. Maka segala bentuk kebenaran yang sebelumnya di bawah otoritas gereja dipertanyakan kembali dengan berbagai kecenderungan masing-masing.

B.     Biografi Rene Descares
Di desa La Haye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf, ilmuwan, fisikawan dan matematikus Prancis yang tersohor. Waktu mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan ilmunya sama sekali. Meskipun Descartes memperoleh pendidikan baik, tetapi dia yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari dengan leluasa dan longgar.
Dari tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda (Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut bertempur samasekali.[1] Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum untuk menemukan kebenaran.
Ketika umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu tahun. (Dipilihnya Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negeri lain-lain, dan karena dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan cukup).
Sekitar tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah. Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik, meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Menjadi keinginan Descartes sendiri mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan ilmiahnya dalam buku yang disebut Le Monde (Dunia). Tetapi, di tahun 1633, tatkala buku itu hampir rampung, dia dengan penguasa gereja di Italia mengutuk Galileo karena menyokong teori Copernicus bahwa dunia ini sebenarnya bulat, bukannya datar, dan bumi itu berputar mengitari matahari, bukan sebaliknya. Meskipun di Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik, toh dia berkeputusan berhati-hati untuk tidak menerbitkan bukunya walau dia pun sebenarnya sepakat dengan teori Copernicus. Sebagai gantinya, di tahun 1637 dia menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse on Method).
Discourse ditulis dalam bahasa Prancis dan bukan Latin sehingga semua kalangan intelegensia dapat membacanya, termasuk mereka yang tak peroleh pendidikan klasik. Sebagai tambahan Discourse ada tiga esai. Didalamnya Descartes menyuguhkan contoh-contoh penemuan-penemuan yang telah dilakukannya dengan menggunakan metode itu. Tambahan pertamanya Optics, Descartes menjelaskan hukum pelengkungan cahaya (yang sesungguhnya sudah ditemukan oleh Willebord Snell). Dia juga mempersoalkan masalah lensa dan pelbagai alat-alat optik, melukiskan fungsi mata dan pelbagai kelainan-kelainannya serta menggambarkan teori cahaya yang hakekatnya versi pemula dari teori gelombang yang belakangan dirumuskan oleh Christiaan Huygens. Tambahan keduanya terdiri dari perbincangan ihwal meteorologi, Descartes membicarakan soal awan, hujan, angin, serta penjelasan yang tepat mengenai pelangi. Dia mengeluarkan sanggahan terhadap pendapat bahwa panas terdiri dari cairan yang tak tampak oleh mata, dan dengan tepat dia menyimpulkan bahwa panas adalah suatu bentuk dari gerakan intern. (Tetapi, pendapat ini telah ditemukan lebih dulu oleh Francis Bacon dan orang-orang lain). Tambahan ketiga Geometri, dia mempersembahkan sumbangan yang paling penting dari kesemua yang disebut di atas, yaitu penemuannya tentang geometri analitis. Ini merupakan langkah kemajuan besar di bidang matematika, dan menyediakan jalan buat Newton menemukan Kalkulus.
Setelah dia mendapatkan dasar filsafat yang pasti, yaitu dirinya yang sedang berfikir, yang dalam bukunya Russell biasa disamakan dengan jiwa dan dalam tulisannya Ali Masrur di sebut dengan akal budi, kemudian Descartes membuat suatu logika dalam berfikir supaya terjamin kebenarannya, yaitu sebagai berikut :
Pertama, tidak pernah menerima apa saja sebagai Hal yang benar bila tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai keberadaannya. Orang harus menghindari dengan cermat kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi-prakonsepsi yang terburu-burudan tidak memasukan apa pun kedalam pertimbangannya lebih dari pada yang terpapar, sehingga dengan begitu, tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, memecahkan setiap kesulitan sebanyak mungkin menjadi bagian dari sebanyak yang dapat dilakukan  untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
Ketiga, mengarahkan pemikiran secara tertib dari objek yang paling sederhana dan mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks dan dengan mengandaikan suatu urutan di antara objek yang sebelumnya tidak memiliki ketertiban kodrati.
Keempat, membuat penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga orang dapat merasa pasti dan tidak ada sesuatu pun yang ketinggalan.[2]

C.    Rasionalisme dan Filsafat Descartes
Secara general, rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi). Hal ini merupakan pengembangan dari filsafat Plato tentang ide. Akal sebagai komponen istimewa manusia yang membedakannya dengan makhluk lain memang patut dijadikan landasan. Bahkan merupakan realitas yang sesungguhnya menurut sebagian kalangan.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes pengatahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh dari alam dengan mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengatahuan di peroleh dengan cara berfikir. Alat dalam berfikir ini ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika. [3]
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaissans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal ini lah dalam filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Secara garis besar, rasionalisme ada dua macam. Dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan otoritas. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan empirisme yang lebih menekankan pada hal-hal empiris lewat pengalaman dan observasi.[4]
Descartes sebagai salah satu tokoh rasionalis, membangun filsafatnya di atas keraguan (skeptis). Untuk menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Di dalam mimpi seolah-olah seorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (juga). Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi.
Menurut Descartes, sesuatu baru bisa dikatakan benar jika tahan uji. Dan untuk mengujinya, dia meragukannya terlebih dahulu sampai tidak menemukan alasan untuk meragukan kembali. Di sini jelas bahwaa keraguan Descartes bukan untuk menjatuhkan sebagaimana dilakukan kaum sopis modern. Tetapi lebih pada keraguan metodis dalam mencari sebuah kebenaran yang pasti dengan tidak menerima begitu saja kesan-kesan yang didapatkan sebelum dianalisa dan ditelususri lebih dalam. Hal ini sebenarnya sejalan dengan pernyataan Socrates bahwa kehidupan yang tidak diuji tak pantas dijalani.
Pada langkah pertama Descartes dapat meragukan semua benda yang dapat diindera. Bahkan dirinya sendiri yang sedang duduk dan berjalan. Dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi yang nyata dialami walau sebenarnya tidak pernah terjadi. Namun, yang manakah sebenarnya yang nyata dan benar?. Kemudian dia menemukan sesuatu yang ada dalam tiga keadaan (mimpi, ilusi dan halusinasi) dan ketika terjaga. Yang selalu muncul ini adalah gerak, jumlah dan besaran. Sehingga menurutnya ketiga hal ini lebih ada dan nyata dari benda-benda.
Pada langkah selanjutnya, ketiga hal yang diyakini sebagai yang benar-benar ada sebelumnya kembali diragukan. Gerak, jumlah dan besaran yang masuk dalam kategori matematika masih mungkin salah. Sering terjadi kesalahan dalam menjumlah dan mengukur. Sehingga ketiga hal tersebut yang masih menerima keraguan tidak lagi meyakinkan sebagai sesuatu yang lebih nyata dan ada. Belum tahan uji dengan dirinya sendiri. Hal ini menjadi jembatan pada langkah selanjutnya. Sehingga dia dapat menemukan sesutau yang tidak dapat diragukan lagi dari berbagai sisi, tahan uji dan pasti yaitu dirinya sendiri yang sedang meragukan dan berpikir dalam mencari kebenaran.[5]
Dalam kesangsian metodis ini, didapatkan satu hal yang tidak dapat diragukan berupa “saya yang ragu”. Hal ini bukan lagi hayalan tetapi meru[pakan sebuah kenyataan yang tidak bisa diragukan bahwa seseorang sedang ragu. Dengan kata lain keraguan menyatakan bahwa dia yang sedang ragu benar-benar ada tanpa perlu pembuktian dan tidak dapat diragukan lagi. Dua hal yang menjadi landasan diterimanya kebenaran adalah kejelasan dan terpilah-pilah.[6] Menurut Descartes apa yang dapat dipahami dengan sangat jelas dan nyata, itu lah kebenaran.
Dengan cogito ergo sum, Descartes menerima tiga realitas atau subtansi bawaan berupa realitas pikiran, realitas perluasan atau materi dan Tuhan sebagai sebab pertama dari dua realitas sebelumnya. Pikiran merupakan kesadaran yang tidak mengambil ruang dan tidak dapat dibagi dalam bagian-bagian kecil sebagaimana menurut konsep atomisme logik. Materi sendiri merupakan jasad, mengambil ruang dan dapat dibagi ke dalam bagian-bagian kecil. Dan kedua subtansi tadi berasal dari Tuhan sebagai sebab pertama. Di sini Descartes memberikan pembagian yang tegas antara pikiran dan materi.[7]
Konsep berpikir yang digunakan Descartes memiliki pengertian yang sangat luas. Berpikir dalam pandangannya termasuk meragukan, memahami, menolak, beerkehendak, menegaskan, membayangkan bahkan merasakan. Karena perasaan ketika muncul dalam mimpi adalah sebuah bentuk berpikir. Menurutnya berpikir adalah esensi dari pikiran, dan pikiran pasti selalu berpikir bahkan ketika sedang tertidur nyenyak.[8]
Dari keterangan sebelumnya dapat diketahui bahwa Descartes merupakan seorang dualis. Dia melihat manusia tersusun dari dua subtansi berupa jiwa dan materi (tubuh). Berbeda dengan jasmani yang mengalami kematian, jiwa sebagai komponen yang tidak meluas tetap dalam keabadian.
Pendapat Descartes tentang jiwa juga juga berawal dari metode keraguaannya yang melahirkan Cogiyo Ergo Sum. Dia yang meragukan sesuatu dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi tidak dapat meragukan pengalaman jiwanya sendiri yang begitu nyata mengalami ketiganya. Sampai dia menyimpulkan bahwa aktivitas jiwa atau roh rasional itukenyataan yang tidak dapat diragukan.
Selanjutanya Descartes berkesimpulan bahwa jiwa merupakan sesuatu yang lain, berbeda dengan tubuh. Jiwa lebih mudah untuk mengetahui dan tidak pernah berhenti untuk tetap berada walau tubuh telah mengalami aus dan mati. Tubuh hanyalah sesuatu yang terdiri partikel yang bergerak dan mengalami luas. Sedangkan jiwa yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir adalah immateri sehingga tidak tergantung dengan ruang dan waktu.[9]

D.    Referensi
Abidin,  Zainal. 2006.  Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Masrur, Ali dan  Zubaedi, dkk. Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains Ala Thomas Kuhn
Mustansyi, Rizal. 1987. Filsafat Analitik. Rajawali Pers; Jakarta.
Maksum, Ali. 2008.  Pengantar Filsafat. Ar-Ruz Media: Yogyakarta.
Russel, Bertrand. 2004, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.




[1] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kodisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang, 733.
[2] Ali Masrur, Zubaedi, dkk. Filsafat Barat: Dari logika baru rene descartes hingga revolusi sains ala Thomas Kuhn, 24. Lihat juga Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik. (Rajawali Pers; Jakarta, 1987), 24 dan Ali Maksum, Pengantar Filsafat. (Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 128-130.
[3]Ahmad Tafsir. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2007), 127
[4] Ibid; 127-128
[5] Ibid; 130-132.
[6]Ali Maksum, Pengantar Filsafat. (Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 126
[7] Ibid; 127
[8] Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 741.
[9]Zainal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2006), 62-63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar