Oleh :
Husnul
Khotimah & Abd.
Shamad
A.
Pengantar
Pada abad pertengahan, filsafat barat bisa dikatakan mati di tangan
gereja atau terpenjara di balik otoritas gereja yang memegang penuh kebenaran.
Pada waktu itu, pemikiran-pemikiran boleh lahir selama tidak bertentangan
dengan gereja dan apa yang ada dalam kitab Tuhan. Dan mereka yang tidak sejalan
lebih banyak berakhir di tiang gantungan. Hal ini berlangsung lama sampai
terjadinya aufklarung yang membebaskan filsafat dan mengantarnya pada fase
modern.
Berbicara tentang filsafat modern sendiri, tidak bisa lepas dari
seorang Rene Descartes sebagai bapak filsafat modern sendiri. Dia mulai membangun
kembali rasionalitas filsafat sekaligus merubah orientasinya. Filsafat yang
pada masa pertengahan berorientasi pada kitab suci dan hati, mengekang akal
untuk mengkritisi bahkan sampai dengan kekerasan fisik. Diawali dari Descartes
ini lah akan kembali bebas lewat berbagai pemikiran yang dihasilkannya.
Pada masa modern orientasi filsafat jauh berbeda dari sebelumnya
yang lebih mengerucut pada wilayah teologis dogmatis. Seiring perkembangan
IPTEK, Descartes dan yang lainnya lebih tertarik pada manusia sebagai pusat dan
aktor sejarah. Manusia yang karena akalnya menjadi tampil beda dengan yang
lainnya. Maka segala bentuk kebenaran yang sebelumnya di bawah otoritas gereja
dipertanyakan kembali dengan berbagai kecenderungan masing-masing.
B.
Biografi Rene Descares
Di
desa La Haye-lah tahun 1596 lahir jabang bayi Rene Descartes (1596-1650),
seorang filsuf, ilmuwan, fisikawan dan matematikus Prancis yang tersohor. Waktu
mudanya dia sekolah Yesuit, College La Fleche. Begitu umur dua puluh dia dapat
gelar ahli hukum dari Universitas Poitiers walau tidak pernah mempraktekkan
ilmunya sama sekali. Meskipun Descartes memperoleh pendidikan baik, tetapi dia
yakin betul tak ada ilmu apa pun yang bisa dipercaya tanpa matematik. Karena
itu, bukannya dia meneruskan pendidikan formalnya, melainkan ambil keputusan
kelana keliling Eropa dan melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Berkat
dasarnya berasal dari keluarga berada, mungkinlah dia mengembara kian kemari
dengan leluasa dan longgar.
Dari
tahun 1616 hingga 1628, Descartes betul-betul melompat ke sana kemari, dari
satu negeri ke negeri lain. Dia masuk tiga dinas ketentaraan yang berbeda-beda
(Belanda, Bavaria dan Honggaria), walaupun tampaknya dia tidak pernah ikut
bertempur samasekali.[1]
Dikunjungi pula Italia, Polandia, Denmark dan negeri-negeri lainnya. Dalam
tahun-tahun ini, dia menghimpun apa saja yang dianggapnya merupakan metode umum
untuk menemukan kebenaran.
Ketika
umurnya tiga puluh dua tahun, Descartes memutuskan menggunakan metodenya dalam
suatu percobaan membangun gambaran dunia yang sesungguhnya. Dia lantas menetap
di Negeri Belanda dan tinggal di sana selama tidak kurang dari dua puluh satu
tahun. (Dipilihnya Negeri Belanda karena negeri itu dianggapnya menyediakan
kebebasan intelektual yang lebih besar ketimbang negeri lain-lain, dan karena dia
ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan
ketenangan cukup).
Sekitar
tahun 1629 ditulisnya Rules for the Direction of the Mind buku yang memberikan
garis-garis besar metodenya. Tetapi, buku ini tidak komplit dan tampaknya ia
tidak berniat menerbitkannya. Diterbitkan untuk pertama kalinya lebih dari lima
puluh tahun sesudah Descartes tiada. Dari tahun 1630 sampai 1634, Descartes
menggunakan metodenya dalam penelitian ilmiah. Untuk mempelajari lebih mendalam
tentang anatomi dan fisiologi, dia melakukan penjajagan secara terpisah-pisah.
Dia bergumul dalam bidang-bidang yang berdiri sendiri seperti optik,
meteorologi, matematik dan pelbagai cabang ilmu lainnya.
Menjadi
keinginan Descartes sendiri mempersembahkan hasil-hasil penyelidikan ilmiahnya
dalam buku yang disebut Le Monde (Dunia). Tetapi, di tahun 1633, tatkala buku
itu hampir rampung, dia dengan penguasa gereja di Italia mengutuk Galileo
karena menyokong teori Copernicus bahwa dunia ini sebenarnya bulat, bukannya
datar, dan bumi itu berputar mengitari matahari, bukan sebaliknya. Meskipun di
Negeri Belanda dia tidak berada di bawah kekuasaan gereja Katolik, toh dia
berkeputusan berhati-hati untuk tidak menerbitkan bukunya walau dia pun
sebenarnya sepakat dengan teori Copernicus. Sebagai gantinya, di tahun 1637 dia
menerbitkan bukunya yang masyhur Discourse on the Method for Properly Guiding
the Reason and Finding Truth in the Sciences (biasanya diringkas saja Discourse
on Method).
Discourse
ditulis dalam bahasa Prancis dan bukan Latin sehingga semua kalangan
intelegensia dapat membacanya, termasuk mereka yang tak peroleh pendidikan
klasik. Sebagai tambahan Discourse ada tiga esai. Didalamnya Descartes
menyuguhkan contoh-contoh penemuan-penemuan yang telah dilakukannya dengan
menggunakan metode itu. Tambahan pertamanya Optics, Descartes menjelaskan hukum
pelengkungan cahaya (yang sesungguhnya sudah ditemukan oleh Willebord Snell).
Dia juga mempersoalkan masalah lensa dan pelbagai alat-alat optik, melukiskan
fungsi mata dan pelbagai kelainan-kelainannya serta menggambarkan teori cahaya
yang hakekatnya versi pemula dari teori gelombang yang belakangan dirumuskan
oleh Christiaan Huygens. Tambahan keduanya terdiri dari perbincangan ihwal
meteorologi, Descartes membicarakan soal awan, hujan, angin, serta penjelasan
yang tepat mengenai pelangi. Dia mengeluarkan sanggahan terhadap pendapat bahwa
panas terdiri dari cairan yang tak tampak oleh mata, dan dengan tepat dia
menyimpulkan bahwa panas adalah suatu bentuk dari gerakan intern. (Tetapi,
pendapat ini telah ditemukan lebih dulu oleh Francis Bacon dan orang-orang
lain). Tambahan ketiga Geometri, dia mempersembahkan sumbangan yang paling
penting dari kesemua yang disebut di atas, yaitu penemuannya tentang geometri
analitis. Ini merupakan langkah kemajuan besar di bidang matematika, dan
menyediakan jalan buat Newton menemukan Kalkulus.
Setelah
dia mendapatkan dasar filsafat yang pasti, yaitu dirinya yang sedang berfikir,
yang dalam bukunya Russell biasa disamakan dengan jiwa dan dalam tulisannya Ali
Masrur di sebut dengan akal budi, kemudian Descartes membuat suatu logika dalam
berfikir supaya terjamin kebenarannya, yaitu sebagai berikut :
Pertama, tidak pernah menerima apa saja sebagai Hal yang benar bila tidak
mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai keberadaannya. Orang harus
menghindari dengan cermat kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi-prakonsepsi
yang terburu-burudan tidak memasukan apa pun kedalam pertimbangannya lebih dari
pada yang terpapar, sehingga dengan begitu, tidak perlu diragukan lagi.
Kedua, memecahkan setiap kesulitan sebanyak mungkin menjadi bagian dari
sebanyak yang dapat dilakukan untuk
mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.
Ketiga, mengarahkan pemikiran secara tertib dari objek yang paling
sederhana dan mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit dan setahap
demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks dan dengan mengandaikan suatu
urutan di antara objek yang sebelumnya tidak memiliki ketertiban kodrati.
Keempat, membuat penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin
dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga orang dapat merasa pasti dan
tidak ada sesuatu pun yang ketinggalan.[2]
C.
Rasionalisme dan Filsafat Descartes
Secara general, rasionalisme adalah paham yang mengajarkan
bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi). Hal
ini merupakan pengembangan dari filsafat Plato tentang ide. Akal sebagai
komponen istimewa manusia yang membedakannya dengan makhluk lain memang patut
dijadikan landasan. Bahkan merupakan realitas yang sesungguhnya menurut
sebagian kalangan.
Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa
akal (resen) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengatahun dan mengetes
pengatahuan. Jika empirisme mengatakan bahwa pengatahuan diperoleh dari alam dengan
mengalami objek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengatahuan di
peroleh dengan cara berfikir. Alat dalam berfikir ini ialah kaidah-kaidah logis
atau kaidah-kaidah logika. [3]
Usaha manusia untuk memberi kemandirian kepada akal
sebagaimana yang telah dirintis oleh para pemikir renaissans, masih berlanjut
terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah era dimulainya pemikiran-pemikiran
kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya. Semakin lama manusia semakin menaruh
kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal, bahkan diyakini bahwa dengan
kemampuan akal segala macam persoalan dapat dijelaskan, semua permasalahan
dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh masalah kemanusiaan.
Keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah
berimplikasi kepada perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya,
terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad
pertengahan, terhadap norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja
yang tidak masuk akal termasuk keyakinan-keyakinan dan semua anggapan yang
tidak rasional.
Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir
suatu dunia baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat
manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang
filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori
suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang
sangat mendewakan kemampuan akal ini lah dalam filsafat dikenal dengan nama
aliran rasionalisme.
Secara garis besar, rasionalisme ada dua macam. Dalam bidang
agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan
otoritas. Sedangkan dalam bidang filsafat, rasionalisme adalah lawan empirisme
yang lebih menekankan pada hal-hal empiris lewat pengalaman dan observasi.[4]
Descartes sebagai salah satu tokoh rasionalis, membangun
filsafatnya di atas keraguan (skeptis). Untuk menemukan basis yang kuat bagi
filsafat, Descartes meragukan (lebih dahulu) segala sesuatu yang dapat
diragukan. Di dalam mimpi seolah-olah seorang mengalami sesuatu yang
sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (juga). Begitu pula pada
pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas
antara mimpi dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan mimpi.
Menurut Descartes, sesuatu baru bisa dikatakan benar jika
tahan uji. Dan untuk mengujinya, dia meragukannya terlebih dahulu sampai tidak
menemukan alasan untuk meragukan kembali. Di sini jelas bahwaa keraguan
Descartes bukan untuk menjatuhkan sebagaimana dilakukan kaum sopis modern.
Tetapi lebih pada keraguan metodis dalam mencari sebuah kebenaran yang pasti
dengan tidak menerima begitu saja kesan-kesan yang didapatkan sebelum dianalisa
dan ditelususri lebih dalam. Hal ini sebenarnya sejalan dengan pernyataan
Socrates bahwa kehidupan yang tidak diuji tak pantas dijalani.
Pada langkah pertama Descartes dapat meragukan semua benda
yang dapat diindera. Bahkan dirinya sendiri yang sedang duduk dan berjalan.
Dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi yang nyata dialami walau
sebenarnya tidak pernah terjadi. Namun, yang manakah sebenarnya yang nyata dan
benar?. Kemudian dia menemukan sesuatu yang ada dalam tiga keadaan (mimpi,
ilusi dan halusinasi) dan ketika terjaga. Yang selalu muncul ini adalah gerak,
jumlah dan besaran. Sehingga menurutnya ketiga hal ini lebih ada dan nyata dari
benda-benda.
Pada langkah selanjutnya, ketiga hal yang diyakini sebagai
yang benar-benar ada sebelumnya kembali diragukan. Gerak, jumlah dan besaran
yang masuk dalam kategori matematika masih mungkin salah. Sering terjadi
kesalahan dalam menjumlah dan mengukur. Sehingga ketiga hal tersebut yang masih
menerima keraguan tidak lagi meyakinkan sebagai sesuatu yang lebih nyata dan
ada. Belum tahan uji dengan dirinya sendiri. Hal ini menjadi jembatan pada
langkah selanjutnya. Sehingga dia dapat menemukan sesutau yang tidak dapat
diragukan lagi dari berbagai sisi, tahan uji dan pasti yaitu dirinya sendiri
yang sedang meragukan dan berpikir dalam mencari kebenaran.[5]
Dalam kesangsian metodis ini, didapatkan satu hal yang tidak
dapat diragukan berupa “saya yang ragu”. Hal ini bukan lagi hayalan tetapi
meru[pakan sebuah kenyataan yang tidak bisa diragukan bahwa seseorang sedang
ragu. Dengan kata lain keraguan menyatakan bahwa dia yang sedang ragu
benar-benar ada tanpa perlu pembuktian dan tidak dapat diragukan lagi. Dua hal
yang menjadi landasan diterimanya kebenaran adalah kejelasan dan
terpilah-pilah.[6]
Menurut Descartes apa yang dapat dipahami dengan sangat jelas dan nyata, itu
lah kebenaran.
Dengan cogito ergo sum, Descartes menerima tiga
realitas atau subtansi bawaan berupa realitas pikiran, realitas perluasan atau
materi dan Tuhan sebagai sebab pertama dari dua realitas sebelumnya. Pikiran
merupakan kesadaran yang tidak mengambil ruang dan tidak dapat dibagi dalam
bagian-bagian kecil sebagaimana menurut konsep atomisme logik. Materi sendiri
merupakan jasad, mengambil ruang dan dapat dibagi ke dalam bagian-bagian kecil.
Dan kedua subtansi tadi berasal dari Tuhan sebagai sebab pertama. Di sini
Descartes memberikan pembagian yang tegas antara pikiran dan materi.[7]
Konsep berpikir yang digunakan Descartes memiliki pengertian
yang sangat luas. Berpikir dalam pandangannya termasuk meragukan, memahami,
menolak, beerkehendak, menegaskan, membayangkan bahkan merasakan. Karena
perasaan ketika muncul dalam mimpi adalah sebuah bentuk berpikir. Menurutnya
berpikir adalah esensi dari pikiran, dan pikiran pasti selalu berpikir bahkan
ketika sedang tertidur nyenyak.[8]
Dari keterangan sebelumnya dapat diketahui bahwa Descartes
merupakan seorang dualis. Dia melihat manusia tersusun dari dua subtansi berupa
jiwa dan materi (tubuh). Berbeda dengan jasmani yang mengalami kematian, jiwa
sebagai komponen yang tidak meluas tetap dalam keabadian.
Pendapat Descartes tentang jiwa juga juga berawal dari
metode keraguaannya yang melahirkan Cogiyo Ergo Sum. Dia yang meragukan
sesuatu dengan membayangkan mimpi, ilusi dan halusinasi tidak dapat meragukan
pengalaman jiwanya sendiri yang begitu nyata mengalami ketiganya. Sampai dia
menyimpulkan bahwa aktivitas jiwa atau roh rasional itukenyataan yang tidak
dapat diragukan.
Selanjutanya Descartes berkesimpulan bahwa jiwa merupakan
sesuatu yang lain, berbeda dengan tubuh. Jiwa lebih mudah untuk mengetahui dan
tidak pernah berhenti untuk tetap berada walau tubuh telah mengalami aus dan
mati. Tubuh hanyalah sesuatu yang terdiri partikel yang bergerak dan mengalami
luas. Sedangkan jiwa yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir adalah
immateri sehingga tidak tergantung dengan ruang dan waktu.[9]
D.
Referensi
Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui
Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Masrur, Ali dan Zubaedi,
dkk. Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains
Ala Thomas Kuhn
Mustansyi, Rizal. 1987. Filsafat Analitik. Rajawali Pers;
Jakarta.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar
Filsafat. Ar-Ruz Media: Yogyakarta.
Russel, Bertrand. 2004, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit
Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tafsir, Ahmad. 2007. Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales
sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
[1] Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kodisi Sosio-Politik Zaman
Kuno hingga Sekarang, 733.
[2] Ali Masrur,
Zubaedi, dkk. Filsafat Barat: Dari logika baru rene descartes hingga revolusi
sains ala Thomas Kuhn, 24. Lihat juga Rizal Mustansyi, Filsafat Analitik.
(Rajawali Pers; Jakarta, 1987), 24 dan Ali Maksum, Pengantar Filsafat.
(Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 128-130.
[3]Ahmad Tafsir. Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra, (PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung. 2007), 127
[4] Ibid; 127-128
[5] Ibid;
130-132.
[6]Ali Maksum, Pengantar
Filsafat. (Ar-Ruz Media: Jogja, 2008), 126
[7] Ibid; 127
[8] Bertrand
Russel, Sejarah Filsafat Barat. Terj. Sigit Jatmiko
dkk, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 741.
[9]Zainal Abidin, Filsafat
Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (PT. Remaja Rosdakarya: Bandung.
2006), 62-63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar