Selasa, 02 Juli 2013

Tasawuf Falsafi dalam Kritik Ibnu Taimiyyah




Oleh : ESSY RIZKY (E7121131) 
 PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Dalam sejarah banyak tercatat pemikiran para tokoh-tokoh muslim baik dari tokoh fiqhiyah,salafiyah,kalam dan lain-lain yang mana pada setiap tokoh tersebut pasti mempunyai pemikiran yang berbeda-beda. Namun tak jarang pemikiran satu tokoh tersebut ditolak ataupun dihujjat. Dalam pembahasan kali ini pemakalah mencoba untuk membahas suatu permasalahan didalam filsafat tasawuf.
Diketahui bahwa masing-masing tokoh yang pada akhirnya terjerumus dalam satu perselisihan antar antar tokoh filsafat tasawuf dan ilmu kalam diantara tokoh-tokoh tersebut ialah Ibnu Taimiyah.

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Biografi Ibnu Taimiyah
2.      Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap Tasawuf

C.      Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.            Untuk mengetahui ajaran tasawuf banyak dikritik oleh Ibn Taimiyyah
2.             Untuk mengetahui tanggapan Ibn Taimiyyah tentang tasawuf



PEMBAHASAN
A.    Biografi Ibnu Taimiyah
            Nama lengkapnya Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyyah al Harani yang biasanya disebut dengan ibnu Taimiyyah. Beliau lahir pada tanggal 22 januari 1263/10 Rabiul awal 661 H dan wafat pada tahun 1328/ 20 dzulhijah 728 H. Dia adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran,Turki.
            Ia berasal dari keluarga religious. Ayahnya adalah seorang Syeikh, hakim, dan khatib. Kakeknya adalah seorang ulama yang menguasai fiqih,hadist,tafsir,ilmu ushul dan penghafal Al-qur’an.
            Ibn Taimiyyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada dinasti abasiyyah. Ketika berusia tujuh tahun beliau dibawa ayahnya kedamaskus disebabkan serbuan tentara mongol atas irak.
            Ibn Taimiyyah sejak kecil dikenal sebagai anak yang jenius yang berkemauan keras dalam belajar,tekun, cermat, tegas dan teguh pendirian, ikhlas dan rajin beramal serta rela berkorban dan selalu siap dalam perjuangan membela kebenaran.
            Pada tahun 692 H/1293 M- dalam usia 30 tahun ibn taimiyyah menulis buku manasik al-hajj, sebagai koreksi terhadap praktik-praktik bid’ah yang dilihatnya sewaktu menunaikan ibadah haji di Mekkah setahun sebelumnya.[1]
            Setahun 693 H/1293 M, namanya makin menjelit karena keterlibatannya dalam kasus Assaf al-Nasrani yang telah menghina Nabi Muhammad saw. Ketika keputusan hukuman mati dicabut oleh Gubernur Syria setelah Assaf memilih masuk Islam, ibn taimiyyah mengajukan protes keras kepada pemerintah, akibatnya dia dimasukkan ke dalam penjara Adrawiyah di damaskus. Namun pengalaman pertamanya di penjara, ia memanfaatkan untuk menulis buku apologetiknya yang terkenal yaitu Sarim al-Mas’ul ‘alaSyatim ar-Rasul. [2]
           

B.     Kritikan Ibnu Taimiyah
a. Relasi ontologis.
            Dalam dunia sufi sebagian para tokohnya berpendapat bahwa manusia memiliki relasi ontologis substantif dengan tuhan.Pandangan tersebut tidak lain hasil dari pemahaman dari ayat-ayat Qur’an. Bahwa setelah proses terjadinya bentuk fisik maka kemudian Alloh meniupkan ruh kepadanya. Dalam pandangan kaum sufi ruh tersebut mempunyai hubungan langsung dengan Tuhan. Unsur ruh yang ada pada diri manusia memiliki subtansi yang terkait langsung dengan Tuhan, selanjutnya para sebagian sufi banyak membicarakan relasi ontologis Tuhan dan manusia yang melahirkan ragam pandangan, dalam hal ini kaum sufi merefleksikannya melalui mistis filosofi yang juga diilhami oleh ayat-ayat Al-qur’an diatas yang sudah disebutkan.
            Menurut Abu mansur al-hallaj Allah mempunyai 2 sifat dasar yaitu sifat keTuhanan (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Allah memberikan perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena pada diri Adam Allah menjelama sebagaimana Dia menjelma. Dengan kata lain Adam itu adalah copy dari diri Tuhan.[3]
            Al-ghazali yang di kenal tokoh tasawuf orang sunni. Pendapat bahwa relasi tuhan dan manusia agak sedikit sejalan dengan pandangan kaum sufi lainnya. Bahwa esensi subtansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari ‘alam al-amr/ Q. 17:85), tidak bertempat dalam badan bersifat sederhana, memiliki kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan dan bersifat kekal pada dirinya.
            Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa, terjadi atau terdapat problem dalam pandangan kaum sufi tentang relasi ontologis manusia dan tuhan. Selanjutnya ia menegaskan bahwa segala yang ada terdiri dari dua entitas, yakni tuhan dan alam.[4] Yang pertama tuhan sebagai yang al-khaliq (pencipta) dan yang kedua sebagai al-makhluq (yang dicipta),  menurut ibnu taimiyah terdapat perbedaan mendasar antara tuhan dan alam atau manusia. Baik esensi maupun eksistensinya. Perbedaan ini ditegaskan tuhan sendiri, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan dengan dia dan dialah yang maha melihat. (Q. Al-syura (42); 11) selanjutnya ibn taimiyyah mejelaskan secara sksiomatik, bahwa setiap yang baru pasti membutuhkan adanya pencipta  yang qodim, diantara keduanya pasti memiliki perbedaan. Meskipun terdapat kesamaan dalam wujud tapi tidak mengharuskan adanya kesamaan “cara ada”nya. Melainkan masing-masing memiliki wujud bagi dirinya.

b.      Problem teologis-filcsofis
            Dalam pembahasan ini problem teologis-filosofis dibagi menjadi menjadi beberapa bagian, salah satunya yakni, Al-ma’rifat. Dalam sejarah tasawuf mencatat bahwa yang  pertama kali mencetuskan nama ma’rifat tersebut adalah Ma’ruf al-karkhi, dia mengeluarkan nama ma’rifat ketika ia memberi definisi tasawuf dengan bersikap zuhud dan ma’rifat, selain Ma’ruf al-karkhi ada juga tokoh yang memakai istilah ma’rifat yaitu Abu sulaiman al-darani Ma’rifat adalah keadaan dekat dengan Tuhan atau pengetahuan Tuhan yang sebenarnya melalui hati sanubari. Berkaitan dengan hal ini hati atau jiwa menurut kaum sufi sebagai instrumen yang sangat penting. Karna dengan alat tersebut mereka (kaum sufi) dapat merasakan segala hal yang gaib. Kaum sufi berpendapat bahwa dalam hati sanubari terdapat kekuatan yang disebut ruh.
            Al-ghazali berpendapat kehidupan seorang Muslim dalam pengabdiannya keapada Allah SWT tidak akan dapat dicapai dengan sempurna, kecuali dengan mengikuti jalan sufi. Menurutnya, cara mendekatkan diri pada Allah melalui beberapa (maqamat), yaitu taubat, sabar, kefakirkan, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat dan ridha.[5]
            Menurut Al-ghazali sarana ma’rifat adalah kalbu, bukan perasaan, dan bukan pula akal budi. Kalbu pandangannya bukanlah bagian dari tubuh yang terletak pada dada kiri manusia, tetapi berupa percikan rohaniah keTuhanan dan sebagai realitas insan.
            Menurut Ibnu taimiyah terdapat problem dalam paham ma’rifat tersebut, meskipun  tidak semunya yang ia permasalahkan. Dia setuju kalau Tuhan itu dapat dilihat melalui hati sanubari dalam ma’rifat, karna pendahulu-pendahulunya juga berpendapat seperti itu. Seperti para sahabat, tabi’in. Mereka setuju bahwa Tuhan akan terlihat di akhirat kelak, sedangkan di dunia dapat disaksikan jika terbukanya tabir dan penyaksian batin, sedangkan penyaksian batin itu dapat di capai dengan iman dan taqwa seseorang..
            Problem keyakinan kaum sufi terhadap mukasyafah yang didasarkan pada doktrin penyucian jiwa. Dan kaum sufi berasusi bahwa bahwa ketika batin seorang sufi dalam keadaan suci maka akan mendapatkan ilham yang dibisikan kedalam hatinya. Atas argumen tersebut Ibnu taimiyah menolak keyakinan tersebut, sebab bisikan yang datang itu bisa saja datangnya dari setan. Karna yang di pertanggung jawabkan dalam hal ini bukan bisikanya tapi proses penyucian jiwa serta dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan selalu mengikuti tuntutanan syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah.
            Problem lain yang lain adalah ketika pengalaman ma’rifat di yakini sebagai ilmu ladduni, pengalaman seperti ini akan memberi implikasi munculnya ilmu gaib dan karomah bagi penerjemahnya yang dikenal dengan sebutan Wali (orang suci). Orang ini dapat mengetahui hal-hal yang gaib atau melahirkan perbuatan yang luar biasa, dan pada akhirnya akan berefek timbulnya kultus yang berlebihan terhadap wali. Ibnu taimiyah menegaskan bahwa, kebesaran wali bukan terletak pada karomahnya tapi pada ke ikhlasanya dalam beriman dan kekonsistenanya dalam menjalankan perintah-perintah agama. Bagi Ibnu taimiyah kaidah yang harus dipegang untuk membedakan mana wali Allah mana ahli sihit, itu dilihat dari tingkah lakunya sehari-hari, jika prilakunya sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadist maka ia adalah Wali Allah. Namun kalau sebaliknya dia tidak lain adalah sahabat dari nafsunya sendiri yaitu syetan. Meskipun ia mengalami keadaan mukasyafah.    





















PENUTUP
Menyimak kritik konsep ibnu taimiyyah terhadap ajaran tasawuf, terdapat beberapa hal mendasar yang dapat dipegangi untuk melihat sikap keseluruhan ibnu taimiyyah atas ajaran kaum sufi tersebut. Pertama, ibnu taimiyyah sesungguhnya bukanlah musuh sekaligus penentang keras tasawuf, ia memang melontarkan kritik tajam terhadap beberapa sufi seperti al-hallaj tetapi Beliau juga memberika apresiasi yang cukup tinggi terhadap sufi lainnya. Kedua, ia tidak mengabaikan adanya pengalaman spiritual para sufi seperti fana’ dan penyatuan, tetapi yang ia tentang ialah jika yang demikian itu menyebabkan pelakunya mengabaikan atau bahkan meninggalkan norma syariat.

           





DAFTAR PUSTAKA
-          H. masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, Surabaya: JP BOOKS bekerjasama dengan STAIN Press Kudus, 2007
-          Prof.Dr.H. Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001
-          www.wikipedia.com








[1] Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ), 32
[2] Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ),32-33
[3] Hamdi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),163
[4] Dr. H. Masyharuddin, M.Ag, Pemberontakan Tasawuf, ( Surabaya: JP Books kerjasama dengan Stain press kudus, 2007 ), hal. 106
[5] Ahamdi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001),195

Jumat, 28 Juni 2013

ARTHUR SCHOPENHAUER DAN METAFISIKA KEHENDAK



Oleh : Fifta & Izrin

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
 Tenggelamnya filsafat dalam dogmatisme abad pertengahan sudah cukup sebagai korban perkembangan intelektual. Descartes sebagai pelopor utama tentu sangat berjasa dalam mengembalikan filsafat ke dunia asalnya. Perubahan konsentrasi dari teosentrisme ke anthroposentrisme membawa manusia ke bentuk hakikinya sebagai khalifah.
Dunia pemikiran memang tak pernah usai. Suatu pemikiran boleh diterima sekarang sebagai sesuatu yang benar tapi pada hakekatnya untuk ditentang kemudian dalam perkembangannya. Hal ini sudah merupakan hal biasa dalam iklim pemikiran manusia yang dinamis. Yang salah di sini justru mereka yang fanatic dan bersikap apatis menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Sehingga mereka begitu eksklusif dan tak bias mendapat hal positif sebagi kritik dalam kesempurnaannya.
Dalam perkembangan metafisika modern, pesimisme dan optimisme menjadi dua bagian besar yang beroposisi. Schopenhauer yang pesimistis dan kurang ramah dalam hidupnya sangat menentang Hegel dalam sejarah. Dia yang terpengaruh Kant dalam soal noumena dan fenomena pada akhirnya berbeda dalam memandang dunia yang menurutnya ilusif.
Sebagai salah satu tokoh filsafat Barat, Schopenhauer  tampak unik dengan memadukan pola pikir filsuf Barat dan Timur. Bagaimana dia mengkombonasikan dua pola pikir yang jauh berbeda? Bagaimana dia yang hidup di Barat dan cenderung pesimistis? Beberapa hal ini memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk menelusuri ragam pemikirannya.





B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit banyak tentang :
1.      Bagaimana latar belakang Schopenhauer sebelum menjadi seorang pemikir besar?
2.      Bagaimana pemikiran filsafat Schopenhauer?

C.    Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang beberapa hal terkait:
1.      Latar belakang kehidupan Schopenhauer.
2.      Pemikiran filosofis Schopenhauer.




BAB II
FILSAFAT SCHOPENHAUER


A.    Biografi Arthur Scopenhauer
Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig Polandia. Keluarga Schopenhauer sangat kental dengan tradisi Belanda. Ayahnya, Heinrich Floris Schopenhauer (1747 – 1805) adalah seorang pengusaha sukses yang mengontrol keluarganya dengan gaya bisnis. Nama Arthur Schopenhauer mencerminkan luasnya jaringan sang ayah dalam perdagangan internasional, sehingga ia memilihkan nama untuk anak pertamanya itu dengan kolaborasi kosa kata Jerman, Perancis, dan Inggris. Pada bulan Maret 1793, ketika Schpenhauer masih berusia 5 tahun, keluarga pindah ke Hamburg, setelah Danzig diduduki oleh Prussia.[1]
Lahir di tengah keluarga pengusaha kaya, Schopenhauer sering melakukan kunjungan wisata ke berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1797 – 1799 ia tinggal di Perancis, dan sebentar tinggal di Inggris di tahun 1803. Kondisi inilah yang memungkinkan Schopenhauer mempelajari bahasa Negara-negara yang dikunjunginya. Schopenhauer dalam diarynya mengatakan, tinggal di Perancis adalah pengalaman paling menyenangkan. Meskipun sejak kecil sang ayah telah mendidiknya dengan bisnis, dan selama dua tahun ia mengikuti kursus dan magang bisnis di Hamburg, namun Schopenhauer merasa bisnis bukanlah jalan hidup yang cocok baginya. Pada usia 19 tahun, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809. Pada masa perkuliahannya, dia belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher[2]. 20 April 1805 adalah hari menyedihkan bagi Schopenhauer, karena sang ayah meninggal dunia, yang diduga kuat akibat bunuh diri.
Setelah kematian Floris, Ibu Schopenhauer, Johanna Troisiener Schopenhauer (1766 – 1838), memutuskan untuk pindah bersama anak-anaknya ke Weimar. Johanna adalah wanita cerdas dan memiliki pergaulan yang luas. Di Weimer ia bersahabat dengan Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Di Weimer, Johanna Schopenhauer aktif menulis essai, kisah perjalanan, dan novel.
Pada tahun 1809, Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di bidang Kedokteran, kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan pandangan seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833). Lewat Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Setelah melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian mendaftarkan diri di Universitu of Berlin. Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte (1762 – 1814), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Di dua universitas ini, Schopenhauer mempelajari banyak bidang keilmuan, antara lain: fisika, psikologi, astronomi, zoology, arkeologi, fisiologi, sejarah, sastra dan syair. Pada umur 25 tahun ia berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul “The Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason”. Pada tahun 1813, ia memutuskan pindah ke Rudolstadt, dan pada tahun yang sama ia menyampaikan disertasinya di University of Jena, kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat in absentia.
Arthur Schopenhauer adalah filsuf yang aktif menghasilkan karya. Adapun tulisan-tulisan itu adalah,
·         1813, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason)
·         1816, Über das Sehn und die Farben (On Vision and Colors)
·         1819 [1818], Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation
·         1836, Über den Willen in der Natur (On the Will in Nature)
·         1839, “Über die Freiheit des menschlichen Willens” (“On Freedom of the Human Will”)
·         1840, “Über die Grundlage der Moral” (“On the Basis of Morality”)
·         1841 [1840], Die beiden Grundprobleme der Ethik (The Two Fundamental Problems of Ethics)
·         1844, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)
·         1847, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason)  
·         1859, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)

B.     Pemikiran
Schopenhauer dikenal dengan sifat pesimisme dan gayanya yang tidak ramah. Ia sangat antipati kepada Hegel, sampai-sampai ia bersikeras mengadakan perkuliahan di waktu yang bersamaan saat Hegel memberikan kuliah. Malang bagi Schopenhauer, para mahasiswa lebih menyenangi kuliah Hegel dibandingkan kuliah yang ia berikan. Sehingga mahasiswa yang duduk mendengarkan ceramah Schopenhauer bisa dihitung dengan jari. Ia akhirnya memutuskan berhenti mengajar di universitas karena popularitas Hegel sangat sulit disaingi kala itu. Untunglah ia seorang yang kaya, sehingga memilih untuk mencurahkan diri untuk menulis buku. Dalam buku-bukunya Schopenhauer sering menyinggung tentang “penipu”, yang secara eksplisit ia sandarkan kepada Hegel.[3]
Tentu menarik, mengetahui apa yang membuat Schopenhauer begitu teramat benci kepada Hegel? Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins penulis buku “A Short History of Philosophy” mengatakan, “yang paling dibenci Schopenhauer pada Hegel adalah optimismenya, perasaannya bahwa umat manusia sedang maju”.
Sementara Schopenhauer berpendirian bahwa banyak orang, sebagian besar zaman, benar-benar tertipu. Manusia merasa mengetahui dunia yang sedang dihadapinya. Padahal banyak misteri-misteri yang tak terungkap dalam kehidupan ini. Atas dasar pemikiran seperti inilah, Schopenhauer mengagumi pemikiran-pemikiran Immanuel Kant. Schopenhauer mengatakan bahwa Kant telah bertindak benar ketika membagi realitas menjadi dunia fenomena dan dunia noumena.[4]
Tidaklah, seseorang dikatakan sebagai filsuf, ketika memiliki pemikiran yang sama persis dengan filsuf sebelumnya. Penyandangan gelar filsuf amat terkait dengan originalitas dan kreativitas berpikir. Oleh karena itu, Schopenhauer mengatakan filsafatnya sebagai koreksi dan upaya melengkapi filsafat Kant. Menurutnya, Kant benar dalam membagi realitas menjadi dua, tapi Kant keliru saat menjelaskan apa yang dimaksud kedua dunia itu.
Untuk dunia fenomenal, ada kesalahan yang dilakukan Kant. Meskipun Kant mengatakan semua pengetahuan manusia harus diderivasikan dari pengalaman, dalam kenyataannya Kant malah mengarahkan sebagai besar kerja investigasinya bukan pada hakikat pengalaman, tapi kepada hakikat berpikir konseptual. Dalam mengkoreksi kesalahan ini, Schopenhauer kemudian berupaya mencari jalan keluar dengan melakukan investigasi mengenai bagaimana manusia manusia menyadari kenyataan mengalami, mengetahui, dan mengomunikasikan realitas yang spesifik dan unik.
Terkait dengan dunia fenomenal, Schopenhauer menilai filsafat Kant memiliki dua kekeliruan mendasar. Pertama, Kant memandang dunia noumena terdiri dari hal-hal dalam-dirinya-sendiri (jamak). Kedua, Kant menganggap noumena sebagai penyebab dari persepsi manusia.
Bagi Schopenhauer, manusia mendapatkan ide tentang pembedaan (diferensiasi) jika dilingkupi oleh penerimaan akan konsep ruang dan waktu. Sementara Kant menunjukkan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk-bentuk sensibilitas manusia. Jadi, konsep ruang dan waktu tidak akan bisa ada dalam sebuah realitas tanpa subjek karena dalam realitas itu, semua yang-eksis, eksis dalam-dirinya-sendiri (Das Ding an sich) yang bersifat independen dari pengalaman. Oleh karena itu, diferensiasi hanya bisa dilakukan dalam dunia pengalaman dan tidak bisa dilakukan dalam dunia realitas noumena. Karena itu pula, tak mungkin ada benda-benda (jamak) dalam-dirinya- sendiri yang berbeda-beda dan eksis secara indenpenden dari subjek yang mengalaminya.
Pengetahuan pada hakikatnya bersifat dualistis, yaitu sesuatu yang menjadi isi dari pengetahuan itu dan sesuatu yang mengetahui. Jadi, jika ada sesuatu yang eksis secara tak terdiferensiasi (tak terbedakan dari yang lain), maka sesuatu itu tak akan bisa mengenali dirinya sendiri, karena pengenalan akan diri sendiri mengandaikan pembedaan dengan diri yang lain.
Schopenhauer memandang bahwa dalam realitas total terdapat realitas yang bersifat immaterial, tak terdiferensiasi, tak berwaktu, dan tak beruang, yang terhadapnya manusia tidak akan pernah bisa memiliki pengetahuan yang bersifat langsung, dan realitas itu memanifestasikan dirinya pada manusia dalam bentuk dunia fenomenal dari objek-objek materiil (termasuk manusia sendiri) yang terdiferensiasi dalam ruang dan waktu. Kesimpulan ini sama persis dengan arus utama agama Hindu dan Budha.
Atas pemikirannya ini, Schopenhauer diduga terpengaruh dengan tradisi Budha. Namun, jika melihat latar belakangnya sebagai seseorang yang bukan religius, tidak mempercayai kehidupan setelah mati, bahkan tidak mempercayai Tuhan atau ruh, maka pendapat yang benar adalah, Schopenhauer menemukan kesimpulan tersebut melalui argumentasi rasional dalam kerangka tradisi utama filsafat Barat. Baru setelah ia mengetahui bahwa para pemikir Hindu dan Budha telah mencapai kesimpulan yang sama dengan Kant dan dirinya sendiri, ia kemudian mempelajari karya-karya pemikir Hindu dan Budha dengan antusias dan ketertarikkan yang luar biasa.
Aspek lain yang berseberangan antara Schopenhauer dan Kant adalah terkait dasar etika. Menurut Schopenhauer, dalam dunia fenomena, manusia eksis sebagai individu-individu. Manusia eksis sebagai objek-objek materiil yang menempati ruang dan berada dalam suatu waktu. Diferensiasi sebagai individu ini hanya bisa diamati dalam dunia fenomena. Sedangkan secara noumena, tidak mungkin untuk mendiferensiasi diri sendiri. Oleh karena itu, manusia semuanya pastilah “yang satu”. Jadi, ada sebuah perasaan puncak bahwa jika aku melukaimu, maka aku melukai diri sendiri. Atas dasar itulah etika dibangun atas dasar kasih sayang, rasa persaudaraan, perhatian tanpa pamrih yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan lahir atas dasar rasionalitas sebagaimana yang disampaikan oleh Immanuel Kant.
Schopenhauer mengatakan, jika manusia memang ingin memahami hakikat batin, dan signifikansi dunia luar, maka ia harus melakukan investigasi atas proses yang dijalani atas proses yang dijalani oleh batin dan menelusuri pengalaman luar dirinya. Schopenhauer berpandangan, penjelasan-penjelasan hakiki mengenai realitas tidak bisa ditemukan dalam sains. Bukan berarti, manusia harus meninggalkan sains. Bahkan Schopenhauer mengatakan, dalam upaya memahami dunia, manusia harus memanfaatkan semaksimal mungkin dan penuh antusias semua sumber daya sains, tetapi jangan melupakan sumber-sumber selain sains.
Untuk karena itu, Schopenhauer mengajak pembacanya untuk memandang seni sebagai instrumen untuk memahami realitas yang tak semata-mata materiil tapi juga immaterial. Dalam buku catatannya Schopenhauer mengatakan, “Filsafat telah sejak lama menjalani proses pencariannya secara sia-sia karena ia memang lebih cendrung mencari dengan cara sains daripada dengan cara seni.”Pengalaman manusia tidak bisa diartikulasikan dalam bahasa universal yang berbentuk konsep-konsep. Namun, pengalaman bisa diartikulasikan dalam karya-karya seni.
Terkait pemikiran terkait dengan seni ini, Schopenhauer dipengaruhi oleh ide-ide Platonis tentang dunia ide dan dunia ini, dimana Plato berpandangan dunia ini adalah dunia semu dari dunia sebenarnya yang ada di dunia ide. Atas dasar inilah kemudian, ia membuat hierarkhi seni, yakni:
1.      Seni yang bertemakan tahap pertama dan terendah dari objektivikasi kehendak, yaitu unsur-unsur anorganik dari alam (sekumupulan batu besar, tanah, air, dan sebagainya). Seni ini adalah arsitektur.
2.      Seni yang mengambil tema objek kedua dari objektivikasi kehendak, seperti bunga-bunga, pohon-pohon, kehidupan tumbuh-tumbuhan secara umum. Seni ini adalah lukisan.
3.      Seni yang mengambil tema objek ketiga dari objektivikasi kehendak, yaitu kehidupan binatang yang terkait dengan bobot tubuh, ukuran, bentuk tubuh, dan gerak-geriknya. Seni ini adalah seni pahat.
4.      Seni yang mengambil tema pasang-surut perasaan manusia, perkembangan emosi, karakter, hubungan sosial, konflik, penciptaan, takdir, dan penyelesaian krisis. Seni ini adalah puisi dan drama.
Kecendrungan Schopenhauer untuk menelisik misteri batin manusia membuat ia sampai pada pemikiran bahwa manusia itu tetap eksis karena adanya kehendak untuk hidup (will of life). Semakin manusia menyelidiki berbagai perasaan dan emosinya, maka ia akan semakin melihat bahwa semua itu merupakan modifikasi dari kehendak. Schopenhauer tidak mengklaim pandangan ini original dari dirinya. Tapi sebenarnya sudah direnungkan oleh para pemikir hebat sejak St. Augustinus. Dalam “The City of God”, Augustinus mengatakan,
“Kehendak ada dalam semua perasaan ini; bahkan, perasaan-perasaan itu tak lain adalah kecendrungan-kecendrungan sang kehendak. Oleh karena itu, apakah sesungguhnya hasrat dan kegembiraan itu jika bukan kehendak yang mencapai keharmonisan dengan hal-hal yang kita hasratkan? Dan apakah rasa takut dan sedih itu jika bukan kehendak yang tengah berada dalam keadaan tidak selaras dengan hal-hal yang tidak kita sukai.”
Atas inspirasi dari St. Augustinus inilah Schopenhauer berpandangan bahwa intelek sebagai pelayan, bukan tuan bagi kehendak, dan dengan begitu, segenap kehidupan batin manusia terdiri atas, atau didominasi oleh kehendak dalam berbagai manifestasinya. Melangkah lebih jauh. Schopenhauer mencoba terus menelusuri tesis kehendak ini pada realitas fenomena dan noumena.
Bagi Schopenhauer, pikiran adalah sesuatu yang merujuk kepada sebuah subkelas kecil dari benda-benda objektif. Pikiran lebih terkait dengan yang materiil daripada dengan yang noumenal, dan pikiran muncul sebagai aktivitas ataupun sebagai epifenomena dari materi. Semua pikiran yang diketahui manusia adalah pembayangan dari objek-objek materiil. Dunia noumenal sebagai sumber manifestasi dunia fenomenal digerakkan oleh dorongan metafisis yang bersifat primitif dan memanifestasikan dirinya dalam eksistensi dengan sebutan “kehendak”. Kehendak di sini tidak sama dengan kehendak manusia berkaitan dengan kesadaran diri. Kehendak yang bersifat metafisis ini (metaphysical will) tak ada hubungannya dengan tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, atau maksud-maksud. Kehendak ini berkonotasi pada sesuatu yang bukan saja mendahului kehidupan, melainkan juga mendahului materi. Kehendak metafisis ini merupakan sebuah daya yang buta, nonmaterial, nonpersonal, dan nonbernyawa.[5]
Alam semesta merupakan kehendak yang bersifat metafisis ini. Kehendak mengada dan bertahan hidup yang dimiliki oleh manusia bukanlah kehendak noumenal dalam dirinya sendiri, tetapi manifestasi dari kehendak noumenal itu dalam dunia fenomena. Oleh karena itu, dia bisa menjadi objek dari pengetahuan manusia.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Arthur Schopenhauer memulai jejak filsafat dengan pengalaman pahit dengan kondisi masyarakat yang lebih menghargai filsafat Hegel. Lewat rasa “sakit hati” inilah, ia terus berkarya untuk membuktikan bahwa ia sejajar dengan Hegel bahkan melebihi Hegel dalam beberapa sisi. Hal ini akhirnya terbukti. Setelah kematiannya, karya-karya Schopenhauer telah menjadi inspirasi berharga bagi banyak filsuf-filsuf besar sekaliber Nietchze dan Karl Popper untuk memahami dunia. Bahkan Popper mengatakan, dari Schopenhauerlah ia sadar dan menemukan jalan berpikir sendiri. Schopenhauer telah membangun banyak orang bahwa dunia ini harus dilihat lebih kritis lagi, karena terjebak dalam sikap optimisme yang berlebihan akan membuat manusia kehilangan untuk memahami dirinya dan dunia yang melingkari kehidupannya.

B.     Saran
Berbagai pemikiran filsafat sebaiknya tidak ditanggapi dogmatis, apa lagi melihat sejarah dan diri yang berbeda. Tetapi bagaimana diambil sisi positifnya dalam membangun hidup yang sebenarnya. Apa lagi melihat ragam problematika yang semakin kompleks. Bagaimana para tokoh membuat analisa dan mencari solusi itu bias dicontoh walau tidak seluruhnya dengan saringan keyakinan seseorang.



DAFTAR PUSTAKA


Editor. First published Mon May 12, 2003; substantive revision Sat Nov 17, 2007. Arthur Schopenhauer. http://plato.stanford.edu/entries/schopenhauer/.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media: Jogjakata.
Magee, Bryan. Cetakan I Juni 2005. Memoar Seorang Filosof: Pengembaraa di Belantara Filsafat. Penerbit Mizan. Bandung.
Russel,. Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Tej. Sigit Jatmiko dkk. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta).
Solomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins. Cetakan I April 2002. Sejarah Filsafat. Penerbit Bentang: Yogyakarta.


[1]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Tej. Sigit Jatmiko dkk, (2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta)., 981-982.
[2] ,ibid.,   
[3]Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern, (2008. Jogjakata: Ar-Ruzz Media)., 187. Lihat juga Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell., 981.
[4]Ibid., 188.
[5]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 983-984.