Selasa, 29 Oktober 2013

Tasawuf Abu Thalib al Makki



ABU THALIB AL MAKKI DAN TASAWUF

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tasawuf”



 







Oleh:
FIFTA PRAHARI PINILIH
E01211013


Dosen Pengampu:
Abd. Kadir Riyadi
197008132005011003


JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2013



BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang
Tasawuf dalam tahapnya yang paling awal mengambil bentuknya sebagai amal yang menjadi dasar dari tumbuh berkembangnya pada masa selanjutnya. Amal sebagai wujud nyata dari syari’at Islam merupakan prinsip-prinsip dasar tasawuf yang sudah ada bahkan semenjak masa Nabi. Benih-benih ini selnjutnya dikembangkan dengan kecenderungan masing-masing dan titik tekan yang berbeda.
Pada masa selanjutnya, tasawuf berkembang dan menjadi sebuah disiplin keilmuan dengan coraknya sendiri. Bahkan setelah masuknya filsafat, perkembangannya semakin tak terbendung. Tokoh-tokoh sufi banyak bermunculan baik yang teoritis maupun yang lebih menekankan pada praktek, dari yang paling ekstrim dalam mengungkap kondisi spiritualnya sampai yang paling moderat. Berbagai doktrin dan apa yang dicontohkan Nabi dengan segala kompeksitasnya diinterpretasi sedemikian rupa.
Sebagai sebuah disiplin keilmuan, tasawuf tidak bisa lepas dari teks yang terkait dengan teori atau konsep juga konteks yang melatar belakangi dan merupakan wujud nyata dari teks (praktik). Dan dalam perkembangannya, secara garis besar tasawuf tampak sebagai amal (tasawuf praktis) dan sebagai ilmu yang lebih teoritis meskipun tidak berarti mengesampingkan amal. Selain itu, masih ada tasawuf yang lebih filosofis sebagai hasil perkawinannya dengan filsafat.
Terkait dengan berbagai warna di atas, di sini sangat erat hubungannya dengan berbagai kontroversi yang ada antara tasawuf dan beberapa disiplin keilmuan lain yang menggugat keberadaannya. Dan tasawuf amali sebagai wujud awal kelahirannya kembali diangkat dengan lebih sistematis sebagai langkah solutif dalam menyikapi kontroversi fikih terhadap tasawuf.
Dalam tasawuf amali ini, Abu Thalib al-Makki sebagai pengarang kitab Qutu al Qulub yang digandrungi Al Ghazali sebagai acuan kitab monumentalnya Ihya Ulumuddin banyak memberikan sumbangsihnya dan pengaruh besar bagi para sufi setelahnya. Sehingga perlu kiranya mengungkap kembali apa yang telah dirintisnya pada perkembangan tasawuf.
A.    Rumusan Masalah
1.      Siapakah Abu Thalib al Makki ?
2.      Bagaimana dotrin Tasawuf Amali dan Nadzari?
3.      Tasawuf Amali apa saja yang dikembangkan Abu Thalib al Makki?

B.     Tujuan
Dari penjelasan yang singkat ini, penulis berharap pembaca mengerti sedikit banyak tentang apa-apa yang berhubungan dengan tasawuf secara umum, khususnya terkait dengan beberapa hal di atas dari biografi sampai konsep tasawuf Abu Thalib al Makki.



BAB II
TASAWUF AMALI ABU THALIB AL MAKKI


A.    Biografi Abu Thalib al Makki
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M.[1] Dia tumbuh  besar di Makkah sekitar abad ke-10, sebagian yang lain mengatakan dia dilahirkan di Jabal yaitu daerah antara Baghdad dan Wasith. Kehidupan dan pendidikan yang dijalani oleh Abu Thalib al-Makki tidaklah banyak disebutkan di dalam sejarahnya para tokoh Sufi.
Abu Thalib merupakan tokoh sufi yang sangat tekun dalam mengkaji ilmu agama. Penguasaannya dalam bidang agama sudah tidak diragukan lagi. Dalam menimba ilmu beliau banyak berguru kepada orang-orang alim. Seperti; Syekh Ali bin Ahmad bin al-Mashri, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-jarajarini al-Mufid dan kepada Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Ibnu Ahmad bin Salim al-Shaghir, di mana beliau memperdalam ilmu tasawufnya.
Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin Abdullah al-Tistari.
Sebagai seorang Sufi, Abu Thalib memiliki dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkannya. Pemikiranya banyak tertulis dalam karya monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq al-muriid ila maqaam al-tauhiid yang banyak dibaca secara luas dan dianjurkan selama beberapa abad. Kitab ini menjadi rujukan para sufi, bahkan al Ghazali sebelum menulis Ihya Ulumuddin. Dan sebagai sufi yang mengembangkan tasawuf amali, Abu Thalib memiliki jasa besar dalam dunia Thariqah.

B.     Tasawuf Amali dan Nadzari
Definisi tasawuf secara umum adalah mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan kerohanian. Tujuan tasawuf adalah membimbing manusia untuk mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya, ma’rifat, denga cara atau proses tarekat. Dahulu para sufi melihat tasawuf itu dengan lahir yang dilihat dengan panca indra, tetapi lama kelamaan pengelihatan dengan panca indra  beralih pada pengelihatan secara rohani, yang mana dunia itu tidak bisa diraba namun bisa dirasakan dengan perasaan yang halus. Seorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah roh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya  daripada keindahaan lahir, yang mana keindahan itu bisa di raba dengan pancaindra. 
Pada umumnya terdapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa model pemikiran dalam tasawuf secara garis besar terbagi pada dua kategori.[2] Pertama, pemikiran kelompok Sufi yang lebih menekankan pada aspek praktis, yang lebih cenderung pada dimensi penyucian jiwa (tazkiyyah an-nafs). Hal ini bukan berarti mereka sama sekali tidak mementingkan aspek pengetahuan. Kedua, pemikiran kelompok sufi yang lebih condong pada aspek metafisika, yang begitu banyak didominasi oleh wacana kesatuan eksistensial (tauhid wujudi). Atau dalam bahasa lain bisa dikatakan bahwa hasil dari kajian yang dilakukan para peneliti tentang pemikiran tasawuf terbagi pada dua kategori; tasawuf praktis ('irfan ‘amali) dan tasawuf teoritis  ('irfan nazhari), atau ada juga ahli yang membaginya menjadi tasawuf akhlaqi atau sunni dan tasawuf falsafi.[3]
Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Dari beberapa model tasawuf di atas, kesemuanya sama-sama ingin menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah sebagai tujuan tasawuf. Hanya saja cara yang digunakan berbeda-beda sesuai kecenderungan masing-masing dengan tetap dalam satu koridor.

C.    Tasawuf Amali Abu Thalib al Makki
Sebagaimana para sufi amali lainnya, Abu Thalib al Makki dalam tasawufnya juga menekankan pada aspek amaliyah. Tasawuf amali yang oleh beberapa kalangan disebut juga sebagai tasawuf syar’i, memaksimalkan perintah syari’at sebagaimana digariskan Syari’ (Allah) lewat Nabi Muhammad. Karena kedekatan pada Allah dan cinta-Nya hanya dapat diupayakan dengan pengamalan syari’at itu sendiri dengan sesungguhnya. Syari’at tidak dijadikan sekedar dijadikan hal instrumental belaka, tetapi diikuti dengan kemantapan hati. Shalat, puasa, haji, zakat dan lainnya yang dibarengi dengan keikhlasan dan kesungguhan seseorang dalam melaksanakan, tidak sekedar menunaikan kewajiban atau sekedar symbol keislaman.
Begitu pula dalam hal keyakinan. Tasawuf yang berangkat dari tauhid, harus benar-benar mentauhidkan Tuhan baik dalam ucapan, hati dan tindakan. Ketika seseorang bersaksi akan Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, maka dia harus siap dengan konsekuensi-konsekuensi logis keimanan dan keislamannya.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Tanpanya, dia tidak berarti apa-apa. Dan untuk mencapai dasar-dasar tersebut, maka seseorang harus melalui tujuh tahap sebagai berikut:
1.        Kehendak yang benar dan konsekuen
2.        Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat
3.        Memiliki pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri
4.        Selalu makrifat dan dzikir
5.        Banyak tobat nasuha
6.        Makan makanan halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’
7.        Selalu bergaul dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.[4]
Selanjutnya Abu Thalib al Makki menuliskan bahwa dalam penguatan tasawufnya ada empat penyangga untuk memprkuat kehidupan para sufi yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.
Melihat berbagai konsep dan ajaran Abu Thalib al Makki di atas, jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain tasawuf amali atau syar’i berupa maqam-maqam atau tingkatan jalan sufistik seseorang meliputi:
a.         Taubah: pembersihan diri dari dosa
b.        Zuhd: sederhana dalam hal duniawi
c.         Sabr: pengendalian diri
d.        Tawakal: berserah diri sepenuhnya kepada Allah
e.         Ridha: menerima qada dan qadar dengan rela
f.         Mahabah: cinta kepada Allah
g.         Ma'rifah: mengenal keesaan Tuhan
           Dalam tasawufnya yang menekankan pada amal, Abu Thalib banyak menekankan pada hakekat amal yang tampak di mata sebagai manifestasi dari Iman  yang tersimpan di dada. Dalam buku Tafsir Sufistik Rukun Islam yang diterjemahkan dari Quthu al Qulub karya Abu Thalib, Dia menuliskan bahwa perumpamaan iman dan amal itu tak ubahnya seperti hati dan tubuh, keduanya tidak terpisah. Tubuh tanpa hati tidak bisa hidup, begitu pula sebaliknya. Di sini dia mau menunjukkan hubungan iman yang ada di hati dan Islam yang tampak dalam berbagai ibadah. Hal ini merupakan penolakan terhadap mereka yang mengatakan Islam dan iman yang tak sejalan sekaligus menunjukkan bahwa tasawuf dan fiqih itu sejalan.[5] Hal ini jauh berbeda dengan para sufi falsafi dan mereka yang lebih melihat tasawuf sebagai kesatuan eksistensial dengan Tuhan.



BABIII
PENUTUP
1.            Kesimpulan
Nama lengkap Abu Thalib Hadalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Dia merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awal abad pertengahan yang cukup berpengaruh. Bahkan kitabnya menjadi rujukan banyak sufi yang datang setelahnya. Sebagaimana sufi-sufi lain, lahir dan wafat Abu Thalib tidak diketahui secara pasti. Bahkan makamnya pun masih belum jelas keberadaanya. Hanya saja dalam beberapa buku dijelaskan bahwa dia wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M. Ajaran tasawuf yang dipelajarinya ialah Taswuf Salafiyah yang didalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq.
Menurut Abu Thalib al Makki, Tasawuf hanya dapat ditegakkan di atas dasar-dasar yang kuat. Dan dasar-dasar itu ditempuh dalam tujuh tahap yaitu: Kehendak yang benar dan konsekuen, Membina hidup takwa dan menolak keburukan atau maksiat, Memiliki pengetahuan keadaan diri, mengetahui kelemaahan diri, Selalu makrifat dan dzikir, Banyak tobat nasuha(tobat yang tidak akan mengulanginya lagi), Makan makanan halal dan tahu hukumnya sebagaimana penjelasan syara’, Selalu bergaul dengan orang yang shaleh dan menegakkan takwa yang sejati.
Dan ada empat penyannga yang memperkuat kehidupan para sufi yang dalam menjalankan tujuh tahap diatas yaitu: pertama, membiasakan diri dengan keadaan yang lapar, karena pada saat itulah ia bisa bertaqaruf kepada tuhannya dan bisa mendapat hidayahnya. Kedua, dengan cara solat malam. Karena dengan cara itu kita bisa mendekatkan diri terhadap tuhannya tanpa ada gangguan dari siapaun. Ketiga, banyak berdiam diri dan menyebut namanya ,karena jalan itu bisa mendekatkan diri kepada tuhannya. Keempat, menyendiri dan banyak berzikir. karena dengan berzikir dapat mendekatkan diri kita kepadanya.


DAFTAR PUSTAKA


Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani, Solo).
Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002)
Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta, 2003)
http://books.google.co.id/books?id=jYeK_YpdUloC&pg=RA2-PA1-IA2&lpg=RA2-PA1-IA2&dq=tasawuf+abu+thalib+al-makki#v=onepage&q=tasawuf%20abu%20thalib%20al-makki&f=false






[1]Aboe Bakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (1990. CV. Ramdhani, Solo), 273.
[2]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Filosofis, dalam, Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), 157.
[3]Kautzar Azhari Noer, Tasawuf Perenial, Kearifan Tasawuf Kaum Sufi, (Serambi, Jakarta, 2003), 188-189.
[5]Abu Thalib al Makki, Qut al Qulub (Pasal 33).Terj. Khoiron Durori, Tafsir Sufistik Rukun Islam: Menghayati Makna-Makna Batiniah Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji. (2005. PT. Mizan Pustaka: Bandung),  245-247.

Senin, 02 September 2013

Kesadaran Diskursif dan Praktis dalam Bernegara (Strukturasi & Pancasila)




Oleh : Ts@_Ny

Indonesia adalah wilayah kepulauan yang terintergrasi secara nasional dari daerah daratan dan lautan ke dalam organisasi berbentuk negara kesatuan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi dalam mewujudkan masyarakat sejahtera sebagai realisasi impian yang di amanatkan oleh UUD 1945. Berdasarkan pendekatan yang diuraikan diatas, diharapkan dapat dipergunakan untuk menyusun suatu konsepsi yang dapat dipergunakan untuk menyatukan sudut pandang dalam kita merumuskan, apa yang telah tertuang dalam pasal 32 UUD ‘45 sebelum diadakan perubahan. Dengan sudut pandang itu, diharapkan kita dapat menyatukan pola berpikir dalam merumuskan visi, misi, tujuan, strategi dalam mengaktualisasikan BERBANGSA, BERNEGARA, INDONESIA sebagai pedoman dalam kita bersikap dan berperilaku dalam menjalankan fungsi, pekerjaan, kerja, jabatan, peran dan tanggung jawab dalam berbangsan dan bernegara.
Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat, bahasa, sejarah serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan berbangsa adalah manusia yang mempunyai landasan etika, bermoral , dan ber-ahklak mulia dalam bersikap mewujudkan makna sosial dan adil. Negara adalah suatu organisasi dari sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Sedangkan bernegara adalah manusia yang mempunyai kepentingan yang sama dan menyatakan dirinya sebagai satu bangsa serta berproses di dalam satu wilayah nusantara atau Indonesia dan mempunyai cita-cita yang berlandaskan niat untuk bersatu secara emosional dan rasional dalam membangun rasa nasionalisme secara eklektis kedalam sikap dan perilaku antar yang berbeda ras, agama, asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarah.
Membangun Kesadaran Berbangsa dan Bernegara kepada pemuda merupakan hal penting yang tidak dapat dilupakan oleh bangsa ini, karena pemuda merupakan penerus bangsa yang tidak dapat dipisahkan dari perjalan panjang bangsa ini. Akan tetapi kesadaran berbangsa dan bernegara ini jangan ditafsir hanya berlaku pada pemerintah saja, tetapi harus lebih luas memandangnya, sehingga dalam implementasinya, pemuda lebih kreatif menerapkan arti sadar berbangsa dan bernegara ini dalam kehidupannya tanpa menghilangkan hakekat kesadaran berbangsa dan bernegara itu sendiri. Kesadaran berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan bangsa mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak akan selalu positif. Bisa saja pada suatu masa kesadaran tersebut tidak seutuh dengan masa sebelumnya.
Banyak hal yang dapat berpengaruh terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara. Berbagai faktor dalam negeri seperti dinamika kehidupan warga negara, telah ikut memberi warna terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut. Demikian pula perkembangan dan dinamika kehidupan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, tentu berpengaruh pula terhadap kesadaran itu. Menjadi sebuah keharusan bagi pemuda untuk ikut bertanggung jawab mengemban amanat penting ini, bila pemuda sudah tidak memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara, maka ini merupakan bahaya besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengakibatkan bangsa ini akan jatuh ke dalam kondisi yang sangat parah bahkan jauh terpuruk dari bangsa-bangsa yang lain yang telah mempersiapkan diri dari gangguan bangsa lain.
Kondisi bangsa kita sekarang, merupakan salah satu indikator bahwa sebagian pemuda di negeri ini telah mengalami penurunan kesadaran berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa kita lihat dari segelintir persoalan ini,saya ambil contoh di perkotaan, karena bagian yang sangat cepat dengan informasi walaupun desa juga tidak bisa dilepakan dari konteks ini, hal ini bisa kita lihat semakin minimnya pemuda di perkotaan yang menghormati nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan lebih bangga dengan budaya atau simbol-simbol bangsa lain, semakin banyaknya pemuda yang melakukan perilaku menyimpang dan penggunaan narkoba, dan kondisi ini diperparah dengan minimnya kesadaran sosial dan perhatian kepada sesama yang ditunjukkan dengan semakin individualisnya pemuda itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, penguasaan IPTEK yang terbatas.
Budaya yang mereka tiru di perkotaan merupakan salah satu indikasi betapa kuatnya budaya asing merubah budaya kita dalam kehidupan pemuda lewat arus besar globalisasi. Pemuda kita tidak lagi bangga dengan kekayaan budaya yang dimilikinya, seolah-olah, segala sesuatu yang datangnya dari luar merupakan sesuatu yang paling baik, berupa bahasa, bertutur dan berpikir,tanpa melakukan penyaringan lebih dahulu. Kecenderungan pemuda menyebutnya dengan trend saat ini, padahal tidak kita disadari, ini merupakan bahaya laten yang akan merusak generasi kita (pemuda). Hal ini menandakan lemahnya kesadaran pemuda kita mempertahankan kekayaan nilai bangsa yang kita miliki.
Perilaku menyimpang lainnya, seperti free sex dan penggunaan narkoba,minum-minuman yang memabukan ini juga merupakan salah satu lemahnya pemuda dalam menyadari apa yang dilakukan dan apa dampaknya. Setiap hari kita mendengar, membaca dan melihat di media cetak dan elektronik bahwa selalu saja ada pemuda yang diringkus oleh aparat keamanan akibat perilaku diatas, bila hal ini terus menerus berlanjut dan tidak diantisipasi maka ketahanan negara ini ke depan sudah pasti terganggu.
Hal lain yang dapat mengganggu kesadaran berbangsa dan bernegara di tingkat pemuda yang perlu di cermati secara seksama adalah semakin tipisnya kesadaran dan kepekaan sosial di tingkat pemuda, padahal banyak persoalan-persoalan masyarakat yang membutuhkan peranan pemuda untuk membantu memediasi masyarakat agar keluar dari himpitan masalah, baik itu masalah sosial, ekonomi dan politik, karena dengan terbantunya masyarakat dari semua lapisan keluar dari himpitan persoalan, maka bangsa ini tentunya menjadi bangsa yang kuat dan tidak dapat di intervensi oleh negara apapun, karena masyarakat itu sendiri yng harus disejahterakan dan jangan sampai mengalami penderitaan. Di situ pemuda telah melakukan langkah konkrit dalam melakukan bela negara. Akan tetapi, kondisi itu nampaknya masih jauh dari apa yang diharapkan dari pemuda itu sesungguhnya, kebanyakan pemuda saat ini lebih cenderung untuk bersikap individualis atau mementingkan diri sendiri tanpa mau tahu akan persoalan di sekitarnya.
Penguasan IPTEK yang tidak merata bagi pemuda juga merupakan salah satu tantangan bagi kita, mau tidak mau segala sesuatu dalam hal penguasan informasi, jika pemuda kita tidak memiliki kompetensi dibidang ini, maka kita akan terus tertinggal dan digilas zaman sehingga dominasi negara luar semakin kuat menguasai negara kita.
Pemuda tidak dapat dilupakan dan dihilangkan dari perjalanan panjang bangsa ini. Sumpah pemuda sebagaimana telah diikrarkan oleh pendahulu kita pada tanggal 28 oktober 1928, merupakan salah satu bukti betapa peranan pemuda itu sangat vital dalam mempersatukan pemuda dan bangsa ini dan yang lahir dari pikiran-pikiran kaum muda adalah juga suatu peristiwa sejarah, peristiwa yang merupakan klimaks dari pencarian identitas baru yang telah bermula sejak awal abad ini dan manifestasi dari puncak peranan pemuda sebagai aktor sejarah yang sadar.
Fenomena-fenomena yang disinggung diatas merupakan tantangan bagi kita dan akan cenderung menjadi pemecah bila tidak segera diatasi, dicari jalan keluarnya. Kondisi pemuda yang seperti itu juga akan menjadikan pemuda kita menjadi pemuda yang kehilangan identitas dan krakter yang berdampak pada hilangnya perekat di masyarakat yaitu pemuda itu sendiri. Pemuda harus mengambil posisi terdepan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, dan terdepan pula menyuarakan kritik yang membangun, kepada pemerintah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena ini merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar, untuk menahan laju pengaruh asing yang mau menjajah atau membelenggu kita sehingga berdampak pada perpecahan ditengah masyarakat.
Persoalan yang sedang dialami oleh pemuda saat ini, tidak ada kata lain bahwa pemuda harus mempersiapkan diri dalam segala hal yang serta merta juga harus membangun kesadaran bahwa dengan mampu menjaga citra pemuda sudah merupakan bagian dari menjaga negara ini dari keterpurukanan tentunya memperkuat identitas kita.
Hal penting yang tidak bisa dlupakan oleh pemuda adalah bahwa Pancasila telah merumuskan semua pengalaman, pandangan hidup dan harapan bangsa. Tugas pemuda adalah untuk tetap menjaga Pancasila dan menjalankan amanat yang terkandung didalamnya. Tentunya,bagaimana menjalankan yang diamanatkan oleh Pancasila tersebut tidaklah hanya mengetahui saja dan menghafalnya, akan tetapi mengimplementasikannya dalam kehidupan kita sehinga menjadi Pancasila yang hidup. Tidak ada lagi kata lain, bahwa untuk menghidupkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini, maka pemuda harus turun ke tengah masyarakat membantu menyelesaikan persolan-persoalan yang ada karena disana banyak persolan yang membutuhkan perhatian para pemuda. Pemuda harus terdepan menyatakan penghormatan terhadap kemajemukan di negeri ini, terdepan dalam menghormati toleransi, dan banyak hal lagi yang dilakukan pemuda dalam mengimplementasikan Pancasila,  satu hal penting yang harus disadari pemuda adalah bahwa pemuda tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab atas problematika bangsa yang dihadapi saat ini. Pemuda harus berperan serta dan berada dalam garis terdepan, dalam melakukan perubahan, hanya dengan demikianlah pemuda menjaga keutuhan bangsa ini, mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan yang lebih besar, untuk mengantisipasi terjadinya penjajahan gaya baru disegala aspek, atas derasnya arus globalisasi yang tak terbendung juga merupakan salah satu menjaga negara ini. Hal lain yang tak kalah pentingnya, pemuda harus memiliki kepekaan sosial dan memiliki tanggung jawab atas kondisi masyarakat saat ini, maka harus turut serta mencari solusinya. Apabila kita membangun kesadaran berbangsa, bernegara, memahami hukum yang berlaku, dan pancasila sebagai pedoman hidup, tentu tidak akan ada generasi yang bisa dimanfaatkan oleh orang-orang untuk memecahkan bangsa dan negaranya sendiri serta tidak ada generasi muda yang memiliki perlakuan yang menyimpang dari norma-norma umum dimasyarakat. Dengan membangun kesadaran berbangsa dan bernegara itulah, maka pemuda telah melakukan salah satu dari sekian banyak aspek untuk menjaga keutuhan Negara ini yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesadaran bela negara adalah  dimana kita berupaya untuk mempertahankan negara kita dari ancaman yang dapat mengganggu kelangsungan hidup bermasyarakat yang berdasarkan atas cinta tanah air. Kesadaran bela negara juga dapat menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme di dalam diri masyarakat. Upaya bela negara selain sebagai kewajiban dasar juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, penuh tanggung jawab dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa. Keikutsertaan kita dalam bela negara merupakan bentuk cinta terhadap tanah air kita.
Nilai-nilai bela negara yang harus lebih dipahami penerapannya dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara antara lain:
1.      Cinta Tanah Air
Negeri yang luas dan kaya akan sumber daya ini perlu kita cintai. Kesadaran bela negara yang ada pada setiap masyarakat didasarkan pada kecintaan kita kepada tanah air kita. Kita dapat mewujudkan itu semua dengan cara kita mengetahui sejarah negara kita sendiri, melestarikan budaya-budaya yang ada, menjaga lingkungan kita dan pastinya menjaga nama baik negara kita.
2.      Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan sikap kita yang harus sesuai dengan kepribadian bangsa yang selalu dikaitkan dengan cita-cita dan tujuan hidup bangsanya. Kita dapat mewujudkannya dengan cara mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok dan menjadi anak bangsa yang berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional.
3.       Pancasila
Ideologi kita warisan dan hasil perjuangan para pahlawan sungguh luar biasa, pancasila bukan hanya sekedar teoritis dan normatif saja tapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tahu bahwa Pancasila adalah alat pemersatu keberagaman yang ada di Indonesia yang memiliki beragam budaya, agama, etnis, dan lain-lain. Nilai-nilai pancasila inilah yang dapat mematahkan setiap ancaman, tantangan, dan hambatan.
4.      Rela berkorban untuk Bangsa dan Negara
Dalam wujud bela negara tentu saja kita harus rela berkorban untuk bangsa dan negara. Contoh nyatanya seperti sekarang ini yaitu perhelatan seagames. Para atlet bekerja keras untuk bisa mengharumkan nama negaranya walaupun mereka harus merelakan untuk mengorbankan waktunya untuk bekerja sebagaimana kita ketahui bahwa para atlet bukan hanya menjadi seorang atlet saja, mereka juga memiliki pekerjaan lain. Begitupun supporter yang rela berlama-lama menghabiskan waktunya antri hanya untuk mendapatkan tiket demi mendukung langsung para atlet yang berlaga demi mengharumkan nama bangsa.
5.      Memiliki Kemampuan Bela Negara
Kemampuan bela negara itu sendiri dapat diwujudkan dengan tetap menjaga kedisiplinan, ulet, bekerja keras dalam menjalani profesi masing-masing. Kesadaran bela negara dapat diwujudkan dengan cara ikut dalam mengamankan lingkungan sekitar seperti menjadi bagian dari siskamling, membantu korban bencana sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sering sekali mengalami bencana alam, menjaga kebersihan minimal kebersihan tempat tinggal kita sendiri, mencegah bahaya narkoba yang merupakan musuh besar bagi generasi penerus bangsa, mencegah perkelahian antar perorangan atau antar kelompok karena di Indonesia sering sekali terjadi perkelahian yang justru dilakukan oleh para pemuda, cinta produksi dalam negeri agar Indonesia tidak terus menerus mengimpor barang dari luar negeri, melestarikan budaya Indonesia dan tampil sebagai anak bangsa yang berprestasi baik pada tingkat nasional maupun internasional. Beberapa faktor pendukung untuk terciptanya kesadaran berbangsa dan bernegara  :
1.Tingkat ke-amanahan seorang pejabat.
2.Pemerataan kesejahteraan setiap daerah.
3.Keadilan dalam memberikan hak dan kewajiban semua rakyat
4.Kepercayaan kepada wakil rakyat atau pemerintahan
5.Tegasnya hukum dan aturan pemerintahan.
6.Rasa memiliki dan bangga berbangsa Indonesia.
7.Menyadari bahwa berbangsa dan bernegara yang satu.
8.Mengetahui lebih banyak nilai positif dan kekayaan bangsa.

Sebagai sebuah ideology, pancasila menuntut sosok idealis sebagai bentuk nyata yang hidup atau replica pancasila dalam bentuk manusia ideal dalam kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang merefleksikan pancasila dalam jalan hidupnya baik dalam bersikap, bertutur dan mengambil kebijakan. Tanpanya, pancasila tidaklah berarti apa-apa selain susunan kata tanpa makna. Sementara esensinya adalah nilai-nilai  yang perlu diaktualisasikan atau akan tenggelam. Hal ini memang tak semudah yang dibayangkan apa lagi ketika di hadapkan dengan dinamika kehidupan dengan beragam kepentingan, tapi bukan tidak perlu direfleksikan. Karena pancasila bukan barisan kata-kata hiburan tetapi ideology dan dasar negara yang perlu pengamalan.
Dalam menumbuhkan kesadaran, dibutuhkan hasrat dan kesungguhan dalam penghayatan untuk kemudian diterapkan dalam keseharian. Selain itu, bisa juga dengan mengembalikan masing-masing pada eksistensinya dan mendengarkan suara nurani sebelum terkontaminasi. Dengan begitu mereka bisa menemukan identitas dirinya lepas dari penjajahan kesadaran. Karena manusia sebagai makhluk sejarah tidaklah berarti apa-apa tanpa tindakan bermakna seolah mereka mati sebelum waktunya. Kesadaran juga sangat berkaitan dengan pola pikir dan pengetahuan. Untuk itu, kajian-kajian filosofis perlu digalkkan khususnya dalam memahami seutuhnya nilai-nilai pancasila dan kajian historis dalam membentuk diri yang lebih apretiatif dan praktis.
Dalam teori social yang dideklarasikan Giddens, kesadaran manusia sebagai agen social dalam makna praktik sosialnya memiliki tiga tingkatan sebagai berikut:
1.      Kesadaran diskursif (discursive consciousness). Yaitu, apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif.
2.      Kesadaran praktis (practical consciousness). Yaitu, apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Bedanya dengan kasus ketidaksadaran (unsconscious) adalah, tidak ada tabir represi yang menutupi kesadaran praktis.
3.      Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition). Motif lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu.