Oleh : Ts@_Ny
A. Pendahuluan
Sejarah
Islam pada masa awal penuh dengan berbagai cerita manis yang membanggakan.
Berbagai kemajuan dicapai, khususnya dalam bidang intelektual yang berkembang
pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir besar seperti Ibnu Sina,
Al Farabi, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Syafi’i dan masih banyak lagi
pemikir-pemikir lainnya yang mengantarkan Islam ke puncak peradaban. Tidak
mengherankan ketika pada masa itu lahir berbagai disiplin ilmu pengetahuan
mulai dari ilmu kalam, fiqih, ushul fiqh, tasawuf dan lain sebagainya.
Kemajuan
tersebut tidak bisa lepas dari masuknya rasionalitas filsafat Yunani yang
ditanggapi positif pada waktu itu. Dipadukan dengan Alquran, filsafat Yunani
menemukan bentuk barunya di dunia Islam. Dan universalitas Alquran melahirkan
jaring-jaring kecil kebenaran dalam interpretasi kaum muslimin menjawab
tantangan zaman membuktikan Islam Rahmatan Lil Alamin.
Perkembangan
pesat pemikiran Islam pada waktu itu menjadi kiblat pemikiran Barat yang
terjangkit penyakit stagnasi intelektual di bawah otoritas gereja. Pada
akhirnya mereka terinspirasi dan berhutang budi pada dunia Islam yang membantu
mereka untuk bisa mengenyam pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles dan
filsuf-filsuf Yunani lainnya.
Namun,
entah terkena badai apa era keemasan di atas tidak terus berlanjut sampai
sekarang. Dunia Islam tenggelam seiring runtuhnya Turki Usmani dan hanya
bernostalgia dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa awal. Orang-orang
islam terjangkit virus stagnasi menggantikan Barat. Dan mereka mau tidak mau
mulai berkiblat pada kemajuan Barat yang sebelumnya terinspirasi oleh dunia
Islam. Pemikiran-pemikiran tokoh terdahulu menjelma menjadi doktrin-doktrin
sakti yang suci dan tak bisa dikritisi. Tetapi diterima dan dijalani saja tanpa
memikirkan kembali dengan melihat perbedaan konteks. Di sini alquran-alquran
baru muncul menyembunyikan Alquran yang seharusnya menjadi rujukan awal dengan
berbagai pendekatan.
Stagnasi
pemikiran di dunia Islam yang banyak dilukiskan oleh para penulis pada akhirnya
membangunkan beberapa kalangan dari tidurnya untuk memikirkan kembali agama dan
menyelamatkannya dari stagnasi yang telah lama menjeratnya. Beberapa tokoh
bermunculan kembali walau mereka harus rela ditentang bahkan terkadang
dikafirkan ketika mencoba memikirkan kembali agama Islam.
Salah
satu di antara beberapa tokoh yang bermunculan dalam membangun kembali
pemikiran Islam dan dikecam beberapa kalangan adalah Nasr Hamid Abu Zaid yang
diangkat oleh penulis dalam karya kecil ini dalam mengkaji salah satu bukunya
yang berjudul Naqd al-Khithab al-Diny.
Buku ini
mengekspresikan kegundahan Abu Zayd atas penafsiran tekstualis para aktivis
militan Islam yang acap mempolitisasi ayat-ayat Alquran. Baginya, Alquran harus
dipahami secara objektif dan kontekstual dan sebaliknya Alquran tak boleh
dipahami secara harfiah demi kepentingan ideologis dan politis seperti yang
dilakukan kalangan Islam garis keras. Alquran bagi Abu Zayd adalah kitab yang
menganjurkan perdamaian, kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan nilai-nilai
kemanusiaan. Dengan demikian Alquran tak boleh dibajak guna melegalkan
kekerasan, diskriminasi, kedzaliman dan aksi-aksi lain yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan.
B. Biografi
Tokoh
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Thanta, Mesir pada 10 Juli 1943 dan menghembuskan nafas terakhir pada
Senin 5 Juli 2010, akibat serangan virus langka yang secara medis belum
ditemukan cara pengobatannya. Berasal dari keluarga yang taat beragama, sejak
dini beliau mendapat pengajaran agama dari keluarganya sebagai guru pertama
dalam perjalanan akademisnya.
Riwayat pendidikanya terbaca sejak menjadi pelajar
sekolah teknik Thanta yang diselesaikan pada tahun 1960. Delapan tahun kemudian,
pada tahun 1968 sambil bekerja sebagai teknisi di bidang elektronik pada
organisasi komunikasi nasioanal Kairo. Dia masuk fakultas sastra jurusan bahasa
dan sastra arab Universitas Kairo dan lulus dengan nilai cumlaud pada tahun
1972, lalu dia diterima sebagai asisten dosen pada almamaternya. Lima tahun
kemudian dia berhasil menyelesaikan gelar magisternya. sedangkan gelar Ph.D.
didapat pada tahun 1981 dengan judul disertasi: The Philosophy of
Interpretation: A Study of Ibn Araby’s Hermeneutics of Alquran selama periode
1976-1987, Nasr Hamid Abu Zaid juga memilki aktivitas mengajar bahasa arab
untuk orang asing di pusat diplomat dan menteri pendidikan.[1]
Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama
sejak 1982. Pada tahun 1992 dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak
karena hasil kerja dan pemikirannya yang kontroversial, yang menyebabkannya
divonis “murtad” yang dikenal dengan peristiwa Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd.
Baru pada Juni 1995 dia menjadi profesor penuh. “Pemurtadan” Nasr tidak
berhenti sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding
Kairo menetapkan Nasr harus menceraikan istrinya. Sernenjak peristiwa tersebut dia
meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands bersama istrinya. Di Netherland
Nasr semula rnenjadi profesor tamu studi Islam di Universitas Leiden sejak 26
Juli 1995-1998, hingga 27 Desember 2000 Nasr dikukuhkan sebagai Guru Besar
Tetap di Universitas Leiden.
Kecemerlangan Nasr Hamid Abu Zayd diperlihatkan dari
berbagai prestasi yang pernah dicapainya, antara lain :
1)
Meraih
beasiswa dari ford foundation untuk studi di universitas Amerika, Kairo, tahun
1975-1977.
2)
Meraih
beasiswa yang sama untuk studi pada Center For Middle East Studies Universitas
Pennsylvandia-Phildelpdia, USA tahun 1978.
3)
Tahun
1982 dia mendapat penghargaan Abd Al-Aziz Al-Ahwani Prize For Humanities.
4)
Menjadi
professor tamu di Osaka University Of Foreign Studies, Jepang selama tahun
1985-1989.
5)
Memperoleh
pengakuan pada tahun 1995 sebagai professor penuh di bidang studi islam yang diampunya
sejak tahun 1982.
6)
Menjadi
professor tamu di Leiden, Netherlands, dari tahun 1995-1998.[2]
Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni wacana
agama Islam yang terisolasi dari dunia ilmu pengetahuan Barat. Perhatiannya
yang sangat besar di bidang interpretasi Alquran rnendorongnya untuk
bereksplorasi dengan filsafat Barat, yaitu tentang hermeneutika, sebagai upaya
dialog keilmuan antara ilrnu ke-”Islarn”-an dengan ilmu Barat.
Nasr Hamid Abu Zayd ilmuwan muslim yang sangat produktif.
Dia menulis lebih dari dua puluh sembilan (29) tulisan sejak tahun 1964 sampai
1999, baik yang berbentuk buku, maupun artikel. Ada delapan karyanya yang penting yang sudah
dipublikasikan, yaitu:
1.
The
al- Qur’an: God and Man in Communication (Leiden, 2000).
2.
Al-Khitab
wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000)
3.
Dawair
al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Oar el-Beidah, 1999 )
4.
AI-Nass.
al-Sultah, al-Haqiqah: a/-Fikr al-Diniy bayna lrdaat alMa’rifah wa lradat
al-Haymanah (Cairo, 1995)
5.
AI-
Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa alKhurafah (Cairo,
1995)
6.
Naqd
al-Khitab al-Diny (Cairo, 1994)
7.
Mafhum
al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994)
8.
Falsafat
al-Ta’wil: Dirasah fi al-Ta’wil al-Qur ‘an ‘ind Muhyi al-Din Ibn ‘Arabiy
(Beirut, 1993)
9.
Al-Ittijah
al-’Aqli fi al-Tafsir: Dirasah. Qadiyyat al-Majaz fi al-Qur‘an (Beirut, 1982)
Di antara sekian banyak buku dan tulisan-tulisannya,
ada dua buku yang paling disoroti pada waktu itu bahkan mengancam karirnya.
Kedua buku tersebut adalah Naqdu al Khithab al Diny (Kritik Wacana
Agama) dan al Imam al Syafi’i wa
Ta’sis al Aidiulujiyyah al Wasatiyyah. Banyak kalangan menolak tulisan
tersebut bahkan sampai mengkafirkan Nasr Hamid dan membawanya ke pengadilan.
Tetapi banyak juga yang membelanya, mendukungnya dan memberikan apresiasi pada
tulisan-tulisannya. Pertentangan sengit kedua kubu dicerminkan dalam berbagai
tulisan yang saling menyerang. Dan karena pertentangan ini, Nasr Hamid pada
akhirnya harus meninggalkan kampong halamannya ke Belanda.[3]
Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai
produk latar belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr
sekolah di sekolah Teknik, bahkan dia pernah bekerja sebagai teknisi elektronik
di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi sebelum itu, dia telah hafal lengkap Alquran
sejak usia 8 tahun. Seringkali ini yang menjadi penyebab mengapa dia memiliki
perhatian yang cukup besar terhadap interpretasi Alquran. Sementara itu mengapa
Nasr tertarik untuk menafsirkan Alquran dengan meuggunakan teori kritik sastra?
Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa dan
sastra Arab pada fakultas sastra universitas Kairo. Kemudian dia melanjutkan
studi di bidang yang sama di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya dia juga
konsen melakukan kajian terhadap wacana keagamaan, karena studi pasca sarjananya,
baik S-2 maupun S-3nya mengambil konsentrasi bahasa Arab dan Islamic Studies.
Pemikiran keagamaannya mulai terbangun sejak usia
sebelas (11) tahun, ketika dia bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan
al-Muslimin adalah organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat.
Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut sedikit banyak berpengaruh terhadap
cara pandangnya terhadap Islam dan pemikiran Islam. Selanjutnya pergumulannya
dengan dunia sastra, mengantarkannya untuk bersentuhan dan bermesraan dengan
teori dan kritik sastra serta filsafat termasuk di dalamnya hermeneutika. Sementara,
perhatiannya terhadap pemikiran Islam membawanya untuk berdialog dengan
pendekatan-pendekatan ilmiah Barat, rasionalisme, kritisisme, dan fenomenologi.
C.
Fokus Persoalan
Buku ini
merupakan upaya penulis untuk memetakan secara umum trend-trend pemikiran
keagamaan yang berkembang secara khusus di Mesir. Namun, pemetaan ini tidak
dimasudkan untuk menjelaskan siapa-siapa saja yang masuk dalam kelompok trend
tertentu. Dan yang menjadi perhatian utama atau titik tekan penulis di sini
adalah aspek produksi makna dari masing-masing trend.
Lebih rinci
lagi, dalam pandangan penulis trend wacana keagamaan yang disoroti tersebut
secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu: Pertama, yang disebut dengan trend institusi keagamaan formal dan
oposisi agama yang biasa disebut dengan kanan agama. Kedua, kiri Islam. Ketiga,
trend yang sebenarnya mencoba menengahi kedua trend tersebut yang menyebutkan
dirinya sebagai trend kaum pencerahan. Namun oleh lawan-lawannya lebih banyak
disebut sebagai kaum sekuler.
Jadi secara
umum permasalahan yang disoroti dalam buku ini seputar wacana agama di mesir
tempat kelahiran sang tokoh. Tidak berhenti di ditu saja, mekanisme-mekanisme
pembentukan wacana diungkap secara kritis untuk mencari sekiranya ada
kepentingan atau faktor-faktor pembentuk wacana yang bernuansa ideologis praktis
dan bagaimana menyikapinya sesuai posisi Nasr Hamid dengan wacananya
sendiri yang mencoba keluar dari dua kubu ekstrim.
Dua kubu
ekstrim di atas dalam wacana keagamaan di mesir adalah ekstrim kanan yang
skriptual dan kiri yang lebih rasional. Dan Nasr Hamid sendiri mencoba
menjembatani dua ekstrim sebagai sintesa dari keduanya. Walaupun dia sendiri
pada akhirnya banyak dikecam dan disebut-sebut sebagai tokoh sekuler.
Persoalan
wacana sendiri tidak lepas dari Turats. Yaitu Alquran sebagai sumber
utama atau agama itu sendiri. Bagaimana memposisikan Turats dan
memproduksi hukum darinya sejak zaman dahulu sampai sekarang. Selain itu, yang
banyak disoroti di sini juga terkait dengan pemikiran keagamaan yang menjelma
menjadi doktrin-doktrin sakti.
D.
Definisi dan Pendekatan
Nasr Hamid menggunakan metode
Historic-Literary-Critic dengan menggunakan pendekatan hermeneutik linguistik yang memanfaatkan analisa mikro struktural dan analisa makro struktural. Dengan landasan konsep teks ini
beliau dapat merumuskan pemahaman ilmiah atas teks primer agama setelah itu.
Kritik wacana agama memperoleh kriteria yang jelas dalam membongkar
teks-teks sekunder yang menumpuk di sekitar teks primer tadi. Adapun dua analisa yang
dimaksud adalah:
1.
Analisa Mikro Stuktural: yaitu analisa tehadap system
intern wacana itu sendiri yang menyangkut status literernya. Pada pada
pemikiran dan pengungkapan pengertian tekstualnya. Sebelum beralih ke signifikasi sosio-politik-kritik
ideology. Hal ini digunakan untuk menghindari kesalahan-kesalahan anlisa mekanis-reflektif yang
gerak metodologisnya dari luar ke dalam.
2.
Analisa Makro Struktural : yaitu upaya untuk memfokuskan
perhatian kritik wacana yang ditujukan guna mengunkap signifikasi eksternal
dari wacana itu. Signifikasi itu merupakan berupa konteks bagi kelahiran wacana
itu sendiri. Dengan
ini maka setiap wacana
realitas dapat dirujukan pada setting histories dan lingkungan sosial budaya tertentu.
Dengan demikian maka menurut Nasr, kritik wacana itu sendri terdapat dua
fungsi. Pertama, berupaya
membuktikan bahwa setiap wacana merupakan bagian dari kesatuan pemikiran yang
lebih di mana dia hanya menjadi bagian dari penggal sejarah tertentu. Kedua,
harus dapat merekonstruksi wacana yang diam sehingga dapat menempatkan dalam
konteks idiologis yang membentuk dan dengan kata lain kritik wacana harus dapat
menampilkan signifikasi sosio-politik dari setiap produksi dan praksis
kekuasaan yang tengah dijalani dan dijalankan.
E.
Bidang Kajian
a)
Problematika Wacana Keagamaan
Wacana keagamaan yang berkembang dan
tumbuh subur di masyarakat Islam tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan
menyentuh ilmu pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat sejak abad XVI
hingga abad XX M. Terisolasinya wacana keagamaan dari ilmu pengetahuan tersebut
karena paradigma dan mekanisme berpikir yang digunakan oleh para cendekiawan
muslim. Di mata Nasr, baik Islamis radikal maupun Islamis moderat memiliki
paradigma dan mekanisme berpikir yang
sama. Paradigma berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah dan Pembacaan Nas,
teks yang subyektif :
1.
Hakimiyyah
Menurut Nasr, prinsip dakwah Islam
bertumpu pada penguatan peran akal dalam aspek berpikirnya, dan penegakan
keadilan pada aspek sosialnya. Dua hal tersebut harus mendapat perhatian serius
dan menjadi prinsip utama di kalangan dai muslim untuk kepentingan pemberdayaan
umat dari ketertinggalan dan kebodohan serta pembebasan dari tirani kedzaliman.
Dalam perjalanannya, peran akal
menjadi terkebiri oleh pemikiran yang menjadikan teks sebagai dasar hukum.
Pemikiran ini yang akhirnya mengubah kebebasan kemerdekaan berpikir menjadi
pengikut yang tunduk pada teks-teks. Pemikiran ini tumbuh subur dan hanya
mengarah pada upaya interpretasi terhadap teks dengan segala macam pola dan
bentuk, hingga akhirnya menjadi sebuah hegemoni terhadap wacana keagamaan. Dan peran akal
menjadi benar-benar terekskusi dan jumud pasca al-Makmun. Di sisi lain kajian
filsafat juga mengalami kemandegan setelah pukulan mematikan dilancarkan
al-Ghazali. Bersamaan dengan kejumudan berpikir dan kematian berfilsafat,
secara politik pemerintahan Islam juga mengalami kekalahan dengan jatuhnya
Baghdad.
Meski pada
akhimya ada upaya untuk kembali kepada kemurnian Islam dengan maraknya gerakan
pembaruan pemikiran Islam, namun masih saja berkutat pada belenggu tahkim
al-nas, menjadikan nas sebagai hukum (sumber segala sumber hukum). Padahal
untuk kembali pada Islam harus\dengan mengembalikan otoritas akal dalam
pemikiran dan kebudayaan.
Hilangnya
otoritas akal dan penolakan terhadap perbedaan dan keberagaman (pluralitas)
pendapat, bertumpu pada dua prinsip yang seharusnya tidak dimiliki umat Islam,
yaitu: mensejajarkan posisi Tuhan dengan manusia.
Tahkim al-nas adalah cara
berpikir yang selalu menjadikan nas sebagai legitimasi penyelesaian semua
persoalan yang dihadapi dalam masyarakat muslim, meski terkadang cenderung
dipaksakan. Atau tidak beranjak dari nas yang tersurat dan memaksakan
diberlakukannya hukum yang tertulis dalam nas tanpa ada kesediaan mencari makna
yang ada di balik yang tersurat, schingga nas-nas yang diklaim memiliki sifat
universal itu menjadi sempit kebermaknaannya dalam masyarakat yang plural.
Prinsip
terlarang yang kedua adalah mensejajarkan posisi Tuhan dengan manusia. Tuhan
dengan segala sifat kesempurnaannya diposisikan sejajar dengan manusia dengan
segala sifat kekurangan dan kealpaannya. Dengan kata lain, Kalam Allah dengan
segala kesempurnaannya, diturunkan dengan menggunakan bahasa yang dapat
dipahami oleh manusia. Sementara akal manusia dengan segala keterbatasannya,
mencoba memahami Kalam Allah tersebut. Proses yang demikian ini tidak mustahil
menjadikan Kalam Allah yang sempurna itu terdistorsi oleh keterbatasan akal
manusia dalam memahami pesan-pesannya. Muhammad (Nabi dan Rasul) meski lebih
sempurna dibanding dengan manusia lain, tetapi dia tidak lebih sempurna jika
dibanding dengan kesempurnaan Allah. Jadi tidak mustahil Kalam Allah yang
universal tidak kenal ruang dan waktu tersebut tidak tercover secara tuntas
oleh bahasa Muhammad yang mengenal ruang dan waktu. Terlebih para sahabat
(khususnya Usman Ibn ‘Affan) yang jaminan keterjagaannya dari dosa tidak
sebanding dengan Muhammad, tentu saja tidak memiliki otoritas untuk mengeksekusi
kreatifitas ilmiah para sahabat lain dalam upaya pembukuan, pembakuan, maupun
pemaknaan teks al-Qur ‘an.
2.
Pembacaan Nas, Teks yang
Subyektif
Menurut Nasr
Hamid Abu Zayd, kajian terhadap teks agama yang selama ini berkembang jauh dari
aspek kesejarahan. Yang dimaksud di sini bukan jauh dari peristiwa sejarah yang
menyertai turunnya nas, yang biasa disebut asbab al-nuzul, tetapi jauh
dari historisitas makna yang terkandung dalam teks. Kajian ini biasanya merupakan kajian
terhadap historisitas bahasa teks, termasuk di dalamnya masalah bahasa dan
budaya masyarakat yang memproduk, membangun, atau menyusun teks tersetut.
Seharusnya kajian terhadap sebuah teks tidak hanya berhenti pada makna yang
tersurat teks tersebut, tetapi apa yang dimaksud di balik makna teks
(signifikansi) yang tersurat.
Teks yang menjadi obyek kajian, juga
tidak disentuh secara menyeluruh. Meski semua wacana keagamaan membenarkan
dilakukannya kajian ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan menggunakan
pendekatan yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, namun hanya
terbatas pada persoalan perundang-undangan agama (fiqh), dan sama sekali tidak
menyentuh bahkan menolak kajian terhadap persoalan aqidah dan cerita-cerita
agama.
Teks-teks
tentang aqidah seharusnya diperlaukan sama sebagaimana teks perundangan (fiqh)
yang terus dikaji, sehingga ditemukan substansi makna bahkan yang ada di balik
subtansi tersebut, demikian juga dengan cerita-cerita dalam teks tersebut. Jika
teks agama (Alquran) dikaji secara menyeluruh tanpa ada diskriminasinya obyek
kajian, dengan menggunakan paradigma dan pendekatan ilmu pengetahuan yang
berkembang akhir-akhir ini, sebagaimana yang disarankan baik oleh M. Arkoun
maupun Ibrahim Ibn Rabi’, maka
universalitas Alquran akan dapat dirasakan oleh tidak hanya masyarakat muslim
tetapi oleh semua manusia.
Sementara persamaan mekanisme
pemikirannya terletak pada:[4]
a.
Pengidentikan antara pemikiran dan
agama dan pengabaian jarak antara subyek dan obyek.
b.
Penjelasan terhadap semua fenomena yang
beragam dengan mereduksinya menjadi prinsip atau sebab utama. Penjelasan tersebut mencakup semua
fenomena sosial atau ilmiah.
c.
Berpegang teguh pada belenggu atau tradisi masa lalu. Hal
ini dilakukan setelah mengubah teks tradisional yang menjadi literature (teks)
sekunder menjadi teks primer yang dianggap suci hampir sama dengan kesucian
teks primer.
d.
Keyakinan mental dan intelektual yang absolute dan menolak
perbedaan pemikiran, kecuali dalam persoalan yang detail atau sub-sub kajian,
bukan persoalan yang prinsip
e.
Pengabaian dan ketidakmau-tahuan terhadap aspek historis dan
terlena dalam tangisan masa lalu yang indah, masa keemasan khilafah
al-rashidah yang empat dan masa Ottoman Turki (Turki Usmani).
Berdasarkan persoalan tersebut, Nasr
Hamid Abu Zayd memberikan tawaran penggunaan paradigma hermeneutika dalam
mcngkaji teks agama.
b)
Hermeneutika Sebagai Paradigma Takwil
Kajian teks agama semula dilakukan,
dengan cara pembacaan dan penafsiran saja, dengan menggunakan pendekatan
ilmu-ilmu Alquran dan bahasa. Dalam perkembangannya kajian teks beralih
menggunakan paradigma ilmu humaniora dan ilmu sosial. Selanjutnya kajian teks
menggunakan, paradigma hermeneutika dalam filsafat. Salah satunya adalah kajian
teks agama dengan menggunakan pendekatan kritik sastra dan semiotik.
Dua paradigma terakhir tcrsebut
(ilmu humaniora, ilmu social, dan hermeneutika dalam filsafat) yang nampaknya
ingin dikembangkan oleh Nasr dalam melakukan takwil terhadap teks agama (Alquran),
yang dikenal dengan hermeneutika Alquran.
Takwil, secara etimologi kata takwil sepadan
dengan Interpretation, explanation dalam bahasa lnggris, penjelasan dalam
bahasa Indonesi.[5]
Secara terminology Nasr Hamid Abu Zayd mendefinisikan kata takwil sebagai
upaya mengembalikan sesuatu yang nampak dari topik kajian kepada alasan awal
atau asal sebab, menjelaskan makna peristiwa atau kejadian, menjelaskan alasan
atau sebab yang tersembunyi, penelitian dan pencapaian tujuan, atau meneliti
makna pertama atau pengertian semula.[6]
Kaitannya dengan kajian teks agama,
takwil adalah menjelaskan makna asal sebuah teks. Artinya menjelaskan makna
teks dengan segala macam historisitasnya, termasuk di dalamnya historisitas
penulis, (sumber/pemilik ide teks) budaya, juga bahasa. Itulah sebabnya perlu
menggunakan paradigma sejarah, sosiologi, antropologi, dan philology, untuk
mengungkap rnakna yang sesungguhnya dimaksudkan oleh author, penulis
teks agama. Pembacaan secara ekstrim dengan cara ini, tidak mustahil dapat
menyebabkan sebuah teks kehilangan kebermaknaannya. Hilangnya kebermaknaan teks
disebabkan karena mengabaikan, keberadaan interpreter dengan segala macam ideologi
yang ingin diperjuangkannya, tidak mendapat legitimasi dari teks agama yang
dikajinya.
Berbeda dengan takwil, talwin sepadan
maknanya dengan coloring dalam bahasa lnggris, memberi warna/corak dalam
bahasa Indonesia. Talwin rnencoba menjelaskan makna teks dari kacamata
pembaca (interpreter). Pembaca dengan segala macam historisitasnya, terutarna
ideologi yang dimilikinya memiliki daya dorong yang kuat untuk mcngungkap makna
yang terkandung di dalam sebuah teks sesuai dengan wama yang diinginkannya.
Pembacaan
yang demikian ini hasilnya akan sangat tendensius. Subyektifitas akan sangat
tampak jika interpreter lebih mengedepankan ideologi yang diperjuangkannya
dibandingkan dengan upaya tulus mengungkap maksud dan tujuan penulis yang
tersurat maupun tersirat dalarn teks.
Alquran, di satu sisi merupakan teks
agarna yang diklaim sebagai kitab suci yang sarat akan pesan-pesan universal,
di sisi lain Alquran adalah sebuah teks yang profan untuk dikaji scbagaimana
teks-teks lain, yang tidak satupun yang terlepas dari historisitasnya. Oleh
karena itu. Alquran seharusnya dipahami makna dan kandungannya dengan dua cara
tersebut. Karena itu Nasr menegaskan bahwa rnengkaji teks harus menggunakan dua
cara tersebut, takwil dan talwin sekaligus.[7]
Hal ini dimaksudkan agar proses interpretasi berjalan secara obyektif -meski
tidak dapat terlepas sarna sekali dari subyektifitas interpreter. Hasil
interpretasi yang obyektif tersebut akan menghasilkan interpretasi yang
produktif. Interpretasi yang paling tidak mendekati maksud dan tujuan penulis, author.
Dengan demikian takwil adalah sehuah proses bcrfikir yang melampaui
dua dunia, dunia penulis dan dunia interpreter, atau dcngan bahasa Nasr lakwil
adalah circle asal dan tujuan atau circle makna asal
dan signifikansi.
F.
Konstribusi Tokoh dalam Perkembangan
Pemikiran di Dunia Islam
“Pembacaan Nasr Hamid Abu Zayd terhadap teks agama
melampaui batas pemahaman teks agama (Alquran) yang mapan”, demikian komentar
John H. Meuleman, Staf Pengajar Universitas Leiden dan Guru Besar Luar Bdiasa
Universitas Islam Negeri Jakarta, sebagaimana yang dikutip oleh Moch. Nur
Ichwan dalam sampul bukunya yang berjudul Meretas Kesarjanaan kritis Alquran.
Nasr tidak hanya membongkar karya wacana keagamaan para ilmuwan muslim di
bidang keagamaan yang mayoritas hanya berputar dan/atau berhenti pada persoalan
fiqih dan ritual keagamaan saja, tetapi dia sampai menyentuh pada persoalan
“aqidah”. Alquran yang dianggap “suci” juga dia pertanyakan “keazaliannya”,
bahkan dengan berani dia menyatakan bahwa tekstualitas Alquran adalah produk
budaya.
Keberanian Nasr menggugah wacana keagamaan yang
sudah mapan, merupakan hasil kerja kerasnya yang cukup panjang dalam mengamati
realitas wacana keagamaan Islam disertai dengan dialog yang intens terhadap
paradigma ilmu humanities termasuk di dalamnya filsafat, bahasa dan sastra,
sains, dan ilmu sosdial.
Upaya yang dilakukan Nasr tersebut membuka wacana
keagamaan baru yang sudah lama tertutup rapat. Wacana keagamaan dapat
bermesraan dengan waeana ilmu lain yang berkembang di Barat maupun di belahan
dunia yang lain. Wacana keagamaan yang semula tidak tuntas mengupas seluruh
aspek hidup dan kehidupan masyarakat, dapat menyentuh dan berdiskusi dengan
aspek tersebut seeara tuntas. Dan yang paling esensial, bahwa universalitas Alquran
yang hanya sebatas wacana dapat dibuktikan melalui pembacaan yang
obyektif-produktif sebagaimana yang ditawarkan oleh Nasr.
G.
Penutup
Berdasarkan kajian terhadap tulisan
Nasr Hamid Abu Zayd yang berjudul Naqd al-Khitab al-Diniy dalam paparan
di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kerangka Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipengaruhi oleh dua
hal:
a.
Latar belakang pendidikannya Nasr hafal Alquran sejak usia 3
tahun, kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Arab, selanjutnya program
pascasarjananya mengambil konsentrasi Islarnic Studies
b.
Pergulatan pemikiran keagamaan Masuknya Nasr pada organisasi
lkhwan al-Muslimin, dialognya dengan wacana keagamaan di Mesir, Islamis
(Radikal & Moderat) dan Sekularis (Radikal & Moderat), dan dialognya
dengan ilmu Humaniora, sosial, serta ilmu alam
2.
Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari kegelisahannya menghadapi
wacana keagamaan yang berkembang dan tumbuh subur di masyarakat Islam. Wacana
keaganaan yang tidak dapat berhubungan, berdialog, bahkan menyentuh ilmu
pengetahuan yang berkembang pesat di dunia Barat. Terisolasinya wacana
keagamaan dari ilrnu pengetahuan tersebut menurutnya karena paradigma dan
mekanisme berpikir yang digunakan. Di mata Nasr, baik Islam is radikal maupun
Islamis moderat memiliki paradigma dan mekanisme berpikir yang sama. Paradigma
berfikirnya merujuk pada Hakimiyyah (Tahkim al-Nas) dan Pembacaan Nas,
teks yang subyektif.
3.
Nasr Hamid Abu Zayd menawarkan hermeneutika sebagai
paradigma takwil. Pembacaan teks melampaui dua dunia, dunia author, penulis
dan interpreter. Pembacaan teks tidak hanya berhenti pada yang
terkatakan dalam teks, makna asal, tetapi sampai pada signiiikansi (maghza),
makna yang tidak terkatakan.
4.
Kontribusi Nasr Hamid Abu Zayd terhadap wacana keagamaan
adalah:
a. Terbukanya wacana keagamaan baru
yang sudah lama tertutup rapat.
b. Wacana keagamaan dapat bermesraan
dengan wacana ilmu lain.
c. Wacana keagamaan dapat menyentuh dan
berdiskusi dengan aspek hidup dan kehidupan ummat manusia secara tuntas.
d. Universalitas Alquran yang hanya
sebatas wacana dapat dibuktikan melalui pembacaan yeng obyektif-produktif
sebagaimana yang ditawarkan oleh Nasr.
H.
Daftar Pustaka
Atabik
Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlo. 1996. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yayasan
Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak: Jokjakarta.
Hakim Taufik dan M. Aunul Abid Syah. 2001. Nashr Hamid Abu Zaid:
Reinterpretasi Pemahaman Teks Al-Quran. Dalam Islam Garda Depan: Mozaik
Pemikiran Islam Timur Tengah. Mizan: Bandung.
Hans
Wehr. 1980. A Dictionary of Modem Written Arahic; ed. J.. Milton Cowan
Bairut: Maktabah Lubnan.
Hilman Latief. 2003. Nasr Hamid
Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan. eLSAQ Press: Jogjakarta.
Nasr Hamid Abu Zayd. Naqd al-Khilab al-Diny.
[1]Hilman Latief, Nasr
Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, (2003,eLSAQ Press: Jogjakarta).,
38-39.
[3]Ibid., 48-53. Lihat juga
Hakim Taufik dan M. Aunul Abid Syah,
Nashr Hamid Abu Zaid: Reinterpretasi Pemahaman Teks Al-Quran. Dalam Islam
Garda Depan: Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah, (2001, Mizan: Bandung).,
294-297.
[5]Hans Wehr, A Dictionary of Modem
Written Arahic; ed. J.. Milton Cowan (Bairut: Maktabah
Lubnan, 1980), 35; Atabik AIi, Ahmad Zuhdi Muhdlo. , Kamus
Kontemporer Arab Indonesia (Jokjakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren
Krapyak, 1996),391.
[6]Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd
al-Khitab al-Diny, 140.