By: Mahasiswa Unyu-Unyu Peduli IAIN
Berdirinya
IAIN Sunan Ampel Surabaya sebagai salah satu perguruan tinggi yang bernafas Islam,
tidak terlepas dari para tokoh masyarakat muslim jawa timur, yang bernaung di
bawah lembaga Departemen Agama. Pada akhir decade 1950, gagasan untuk
mendirikan IAIN di Surabaya dan Malang mensublimasi kepermukaan, dan pada tahun
1961 pertemuan para tokoh jawa timur yang bertempat di Jombang menghasilkan
beberapa keputusan. Keputusan yang di buat oleh para tokoh yang hadir pada
kesempatan tersebut yaitu: (1) membentuk panitia pendirian IAIN, (2) mendirikan
fakultas syariah di Surabaya, dan (3) mendirikan fakultas tarbiyah di malang.
Hadir pada waktu itu professor soenarjo, sebagai nara sumber untuk menyampaikan
pokok pemikiran yang di jadikan landasan berdirinya perguruan tinggi agama
islam tersebut. Dan di tahun 1965 berdirilah IAIN di atas tanah seluas 8
hektare yang bertempat di jalan A. Yani No. 117.
Dari
pemaparan di atas, kemunculan IAIN Sunan Ampel sebagai perguruan tinggi negeri
merupakan sebuah bentuk representasi pendidikan islam yang masih ingin
mempertahankan ciri khas keilmuan yang berorientasi terhadap al-quran dan
hadist serta pemikiran intelektual muslim. Ciri khas ini akan selalu menjadi
symbol keberadaan IAIN di tengah kampus-kampus umum yang berorientasi Sains semata.
Sehingga nuansa keilmuan tidak melulu berkiblat ke Negara barat sebagai poros
ilmu pengetahuan, melainkan bisa di gali melalui pemikiran muslim yang
“sempat”menelurkan beberapa karya fenomenal.
Namun,
angin perubahan nama IAIN menjadi UIN yang sedang berlangsung menimbulkan
keresahan yang begitu mendalam. Di mulai dari pembangunan yang masih tersendat,
aliran dana dari pihak asing yang turut mencampuri pembangunan kampus, atau
mungkin saja latar belakang twin towers sebagai paradigma yang menjadi landasan
wajah UIN Sunan Ampel “baru” ini menjadi noda awal proyek UINisasi pihak
pengelola kampus. Sehingga tidak sesuai dengan kehendak para mahasiswa yang
masih belum kehilangan “identitas”.
Pembangunan
yang masih “direncanakan” akan di mulai pada awal maret tahun 2014 ini dan
harus selesai juni awal 2015, seperti mengulang cerita Roro Jonggrang yang
menginginkan pembuatan seribu candi kepada Damar Wulan sebelum subuh membuka
cerita pagi. Konon, pembuatan seribu candi tersebut, hanya mampu di bangun
sebanyak 999 candi. Dan Damar Wulan tidak bisa menepati syarat yang di inginkan
Roro Jonggrang. Dan apa yang akan di lakukan oleh pihak rektorat, jika
pembangunan infratruktur proyek UINisasi ini tidak akan tepat pada waktunya?
Apakah harus mengundang salah satu “JIN”dari pihak Damar Wulan untuk
merampungkan proyek itu selesaidalam semalam? Atau mungkin saja lebih
mengandalkan sumbangan dana dari IDB (Islamic Development Bank) yang seakan
menjadi ketergantungan dari pihak pengelola kampus jika anggaran dana dari
proyek UINisasi tersendat. Padahal salah satu keinginan IDB ini adalah
memonopoli kebijakan kampus yang di danainya sebagai produk kapitalisme
industry yang bergaji murah. Dan pergeseran identitas dari IAIN ke “UIN”,
seakan mempertegas kormersialitas pendidikan. Dan yang harus lebih banyak di
soroti adalah integrated twin towers sebagai paradigm keilmuan mahasiswa ”UIN”.
Penyatuan antara dunia keilmuan islam dan pengetahuan umum, menjadi dikotomi
ketika keduanya berjalan berbarengan. Meski aksioma dari paradigm yang di anut
“UINSA, SAS, SBY, atau semacamnya” pada akhirnya akan melahirkan interdepedensi
keilmuan yang dialektis, akhirnya harus ada yang tergerus oleh zaman yang
semakin absurd ini seiring kapitalis-kapitalis industry pendidikan semakin
menjamur. Mansour fakih, dalam pengantar ideology pendidikan, memaparkan dua
konsepsi yang berbeda. Yang pertama, pendidikan yang berorientasi terhadap
dehumanisasi pendikan, yang di gagas oleh Paulo Feire, yang memperjuangkan
pendidikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia. Yang kedua, melalui kaca
mata teori yang di paparkan oleh boswel, yang menginginkan peserta didik
sebagai alat kapitalisme pendidikan semata. Lalu, dengan adanya integrated twin
towers sebagai paradigm dalam dunia pendidikan, akankah masih idealkah
cita-cita perumus paradigm keilmuan ini? Atau kita sebagai mahasiswa akan di
korbankan sebagai tumbal dari proyek ini.
Semua
kembali lagi kepada peran mahasiswa dalam mengontrol kebijakan yang terjadi,
apakah harus bersifat naïf terhadap keadaan sekitar atau kritis dalam
pengertian yang sedalam-dalamnya terkait penganyaan proyek UINisasi yang sedang
berlangsung. Atau mungkin kita bertingkah seolah-olah proyek ini sebagai salah
satu gagasan tepat untuk kemajuan mahasiswa dalam hal “keILMUan”. Atau mahasiswa saat ini hanyalah sekumpulan
manusia tanpa otak yang hanya meneruskan tradisi gelak tawa dan tubuh yang
rasis. Begitu!?