Oleh : Abd.Shamad dkk
A.
Teologi Masyarakat Gunung Kawi
Masyarakat pegunungan biasa lebih dekat dengan alam. Hal ini selain mempengaruhi
pencaharian mereka juga fenomena sosial keagamaan dan lainnya. Sehingga ketika
masyarakat Gunung Kawi sebagaimana penjelasan Kuncen lebih memilih Islam
Kejawen itu bisa dimaklumi mengingat ajaran dan ritualnya lebih dekat dengan
alam. Misalnya selamatan dan ruwatan. Karena kekuatan alam yang tidak bisa
dikendalikan memang lebih akrab dengan mereka.
Keberadaan Kejawen sendiri dimanfaatkan Walisongo dalam penyebaran Islam
dengan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya dan memangkas atau mengganti
hal-hal yang bertentangan secara prinsip tanpa menghilangkan warna-warna khas
dari sebuah tradisi yang lebih lekat dengan masyarakat. Hal ini lebih mudah
diterima dan sejalan dengan keberadaan Islam yang luwes sebagai rahmatan lil
alamin.
Pada hakekatnya Kejawen merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
adat dan tradisi Jawa. Namun bersandingnya kata Kejawen dengan Islam jelas
berbeda dengan aliran Kejawen atau yang biasa disebut aliran kebatinan yang
dipahami sebelum masuknya Islam. Aliran ini sudah mengalami akulturasi dengan
Islam yang datang setelahnya. Dari segi istilah hal ini tampak dalam kata
selamatan yang diambil dari kata salima salamatan dalam bahasa Arab yang
artinya selamat. Sebelumnya tradisi tersebut oleh masyarakat Jawa disebut
dengan wilujeng.
Tidak cukup hanya dengan istilah, dalam
prakteknya pun demikian. Pelaksanaan ritual yang diawali dengan basmalah dan
ditutup dengan syahadat merupakan buah dari akulturasi. Selain itu,
mantra-mantra yang tidak sesuai diganti dengan doa-doa yang disalin dalam
bahasa Jawa agar lebih akrab. Dan yang lebih penting adalah keyakinan yang ada
di balik semuanya. Kalau sebelumnya Allah tidak dikenal dan pelaksanaan ritual
lebih tertuju pada para Dewa, setelah datangnya Islam keyakinan pada Allah
ditanamkan walau dalam warna yang berbeda. Dan keberadaan ritual hanya sebagai
media bukan satu-satunya tujuan.
Tetap lestarinya sebuah ritual atau tradisi memang tidak sepenuhnya
menjadi pertanda bahwa mereka setia pada Animisme dan Dinamisme. Dan dua hal
dalam bentuk yang sama secara kasat mata tidak selamanya bisa disamakan dalam
hal hakekat. Begitu juga ritual yang tidak bisa dilihat sekedar dari satu sudut
pandang. Yang paling penting dari semuanya adalah niat dan keyakinan.
Berbicara tentang keyakinan, maka hal ini menjadi privasi dan urusan
masing-masing dengan Tuhan. Karena semua itu terkait dengan hati yang sulit
dimengerti. Sehingga tidak perlu lagi justisifikasi yang ujung-ujungnya mau
menang sendiri. Sementara tidak ada yang bisa memberikan garansi akan
keselamatan dan kebenaran hakiki yang menjadi milik Tuhan. Dan semua orang
hanya mengupayakan untuk terus mendekatinya. Kecuali justisifikasi yang
dibutuhkan dalam pemberlakuan hukum duniawi yang ditetapkan dengan berbagai
pertimbangan dan kebutuhan.
Heterogenitas dan faktor geografis memaksa (mengantarkan) masyarakat Kawi
untuk lebih pluralis. Tidak mempermasalahkan perbedaan sementara tetap dalam satu
tujuan, Tuhan. Bukankah Tuhan hanya satu, yang menciptakan alam. Dan begitu
banyak jalan menujuNya. Dari sini kecenderungan untuk sinkretis lebih terbuka
mengingat lingkungan yang heterogen dan tidak terpisah.
Yang menarik lagi menurut keterangan Kuncen, di sana dalam satu RW
ada sekitar tiga agama yang hidup rukun
dan saling bekerja sama. Mereka saling membantu bahkan dalam pembangunan tempat
ibadah masing-masing. Ini merupakan bentuk nyata dari pluralisme atau wihdatul
adyan Ibnu Arab dalam kehidupan
sehari-hari
.
B. Makna
Teologis Ritual
Sebuah tradisi yang terus mengakar sampai
sekarang di mana perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi begitu
pesat tentunya memiliki makna yang tinggi bagi pelaksananya atau memiliki
ketahanan sangat kuat sampai tidak tergantikan. Begitu pula berbagai ritual
yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Terlepas dari kalangan agama atau
aliran apa yang melaksanakan, yang jelas ada sesuatu yang kuat mengikat
sehingga hal tersebut masih dirasa perlu dilaksanakan.
Sesuatu yang sudah tertanam begitu dalam
memang sulit untuk dihapus secara total atau bahkan tidak bisa. Paling tidak
hanya bisa dikikis pelan-pelan atau hanya diperbaharui dengan berbagai nilai
baru yang dimasukkan tanpa menghapusnya sebagaimana dahan pohon yang sudah tua
dan bengkong. Dan apa yang dilakukan Walisongo dengan akulturasi dalam
penyampaian Islam begitu tepat sehingga mudah diterima dari pada mengangkat
pedang dan menyeru dengan kekerasan yang kadang berakhir dengan balas dendam.
Dengan akulturasi, tanpa sadar Islam
ditelan dan menjadi bagian dari mereka. Sampai pada akhirnya tidak bisa
dibedakan lagi dan ddianggap sebagai sesuatu yang seharusnya demikian. Sehingga
untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya dalam memperkenalkan Islam akan lebih
mudah dan tahan.
Berbicara tentang makna selamatan tidak
lepas dari istilah yang digunakan sebagai perwakilan dalam mengungkap sebuah makna
ritual secara keseluruhan. Selain untuk melestarikan budaya sebagai sebuah
kekayaan, yang lebih penting mereka mengharapkan keselamatan atau kelanggengannya dengan menjadikan ritual
selamatan sebagai media yang dipercaya sejak sebelumnya. Dan sesuatu itu
dipercaya bukan tidak karena apa-apa, yang jelas mereka sudah merasakan
kemanfaatan baik langsung atau tidak langsung.
Di sini perlu di garis bawahi bahwa
antara kepercayaan dan keyakinan itu berbeda dan tidak selamanya selalu
bersama. Kalau dalam prinsip teologis la haula wa la quwwata, maka tidak
adanya kemampuan api untuk membakar tanpa kekuasaan dan kehendak Tuhan termasuk
dalam keyakinan. Sementara apa yang sudah menjadi kebiasaan dari sifat dasar
api yang membakar itu masuk dalam kepercayaan. Bedanya percaya pada sifat dasar
api ini bukanlah suatu kemusyrikan, tapi tidak keyakinan pada kekuatan api
sebagai penyebab yang masuk dalam kemusyrikan.
Kepercayaan pada sebuah ritual ini
sah-sah saja sebagaimana ketika seseorang lapar dan makan. Namun tidak semua
orang yang lapar memakan sesuatu yang sama dalam memuaskannya. Tetapi semua
masih dipengaruhi oleh faktor geografis, ekonomis dan sosial budaya. Begitu
pula tentang kepercayaan pada ritual dan keselamatan. Semua itu bukan
satu-satunya jalan bagi mereka, tetapi sebagai media atau fasilitator yang
dengan mengikuti prosedurnya diharapkan tujuannya lebih cepat dicapai. Dan
semua orang atau kalangan memiliki cara-cara sendiri yang tidak harus sama
terkait dengan hal ini sesuai dengan kondisi spiritual dan psikologis mereka
sebagai bagian dari usaha.
Selamatan sendiri biasa diiringi dengan
makanan yang di dalamnya mengandung nilai shadaqah. Dan hal ini sebagai
anjuran, dalam Islam sendiri diajarkan bahwa shadaqah selain mempermudah rizki
juga dapat menolak balak. Nabi dalam hadisnya menerangkan bahwa mereka yang
bershadaqah akan mendapat balasan sepuluh kali lipat juga anjuran
berlomba-lomba (berpagi-pagi) dalam melaksanakan shadaqah. Hal inilah yang
lebih penting dari sekedar melihat bentuk ritual dengan berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Kalau memperhatikan keterangan Ibu
Susianawati, dapat dipetik bahwa pelaksanaan ritual juga merupakan pelepasan
beban psikologis yang membuat seseorang tidak tenang. Apa lagi terkait dengan
nadzar yang pemenuhannya memang merupakan suatu kemestian. Karena walau
bagaimanapun ritual ini sudah lama melekat dan memenuhi otak pelakunya.
Sehingga ketika tidak dilaksanakan akan terasa seperti ada yang mengganjal.
Dari ketengan ini, semua akan menjadi lebih mudah.
Dalam sebuah hadis qudsi yang
artinya “Aku (Tuhan) sebagaimana apa yang dipersangkakan hamba kepada-Ku”. Jika
seseorang berprasangka baik pada Tuhan entah dengan jalan apa dia mendekatiNya,
maka Tuhan akan baik pula bahkan lebih baik lagi kepadanya. Yang terpenting
adalah tujuan bukan bungkus dari sebuah pekerjaan (ritual).
Sebuah ritual tidak bisa dipahami dari
sisi luarnya saja. Banyak simbol-simbol yang menjadi doa tanpa sajak di
dalamnya. Banyak pelajaran yang dapat diambil tanpa disuarakan. Terlepas dari
bagaimana seseorang memahaminya, semua tergantung kepada mereka. Dan di sinilah
yang sering terjadi kesalahan ketika tidak ada kemampuan untuk memahami yang
sesungguhnya. Dalam cerita pewayangan Batara Guru dan Batara kala misalnya,
bukan masalah percaya pada dewa atau tidak (bagi yang muslim). Tetapi yang
lebih penting adalah pelajaran sebagai wahana intropeksi diri bahwa seorang
Dewa pun tidak bisa mengendalikan nafsunya dan dapat menimbulkan kekacauan
dengan cinta yang berubah jadi amarah.
Beberapa hal secara umum sudah begitu
jelas terkait dengan selamatan dan keselamatan. Lebih spesifik lagi masuk pada
tataran ruwatan yang biasa diisi dengan tanggap wayang dan beberapa hal lain
yang dibutuhkan. Ruwatan ini dilakukan pada dasarnya sebagai media untuk
mendapat keselamatan juga. Hal ini biasa dilakukan sebelum terjadinya
malapetaka atau sesudahnya sebagaimana selamatan pada umumnya. Hanya saja
bentuknya lebih besar dengan tanggapan wayang.
Ruwatan sendiri dari segi makna merupakan
pelepasan kesalahan. Hal ini bisa disamakan dengan istilah tobat oleh kalangan
tertentu. Hanya saja cakupannya lebih luas dengan dibarengi makanan sebagai
shadaqah (mengikuti tobat dengan amal baik) dan tanggapan wayang yang tidak
sekedar untuk membahagiakan orang lain. Lewat cerita dalang yang pada masa
Walisongo diselipkan dakwah Islam, diharapkan mereka lebih mudah untuk
intropeksi diri dan melakukan perbaikan setelahnya.
Ruwatan di atas sebagaimana dilakukan
dalam peletakan batu pertama peribadatan Kwan Im yang sebelumnya rusak. Dalam
pandangan mereka kerusakan ini ada sangkut pautnya dengan letak Kwan Im yang
lebih tinggi dari pesarean. Sehingga pembangunan kedua dipindah ke tempat lain
dan dilakukan ruweatan dalam menebus kesalahan.
Karena analisa ini tidak hanya terkait
dengan makna teologis bagi umat Islam, maka apa yang ada di luar Islam juga
tidak bisa ditinggalkan. Apa lagi ruwatan ini sejatinya milik Hindu Budha.
Hanya saja sudah mengalami akulturasi oleh Walisongo.
Dalam pandangan hindu Budha, ruwatan
tidak bisa lepas dari mitos atau cerita Batara Guru (Dewa Syiwa) dan Batara
Kala secara utuh. Di sini pelaksaan ruwatan dilakukan agar apa yang diruwat
tidak menjadi korban Batara Kala yang selalu memangsa yang salah.
Tidak bisa ditinggalkan lagi di sini
tentang ziarah kubur yang selain sebagai untuk mengingat kematian yang nantinya
akan mendorong diri untuk lebih dekat dengan Tuhan juga mengenang jasa
perjuangan dua tokoh untuk kemudian dijadikan teladan dalam perbaikan diri. Menurut
keterangan mas Aji sebagai salah satu peziarah yang beragama Budha, dalam
ajaran agamanya sendiri ziarah kubur ini memang tidak ditentang. Berbeda dengan
tanggapan kaum muslim masih yang memperdebatkannya.
Selain itu, keadatangan peziarah ke
pesarean tertentu adalah untuk mendoakannya agar diampuni dosanya, diterima
amalnya dan nantinya akan mendapat limpahan berkahnya juga doa mereka. Dalam
literatur agama sendiri dijelaskan bahwa doa meraka yang ada di kubur (doa
orang mati) akan lebih mudah diterima oleh Tuhan. Dan berangkat dari hal ini,
anjuran untuk dekat dengan para ulama sebenarnya tetap berlaku sampai wafatnya.
Ziarah ke pesarean mana pun sebenarnya
sama saja dari segi teologis. Namun hal ini menjadi berbeda dalam segi
psikologis. Karena walau bagaimana pun mereka yang sebelum wafatnya memiliki
kontribusi besar dalam sebuah perjuangan juga lebih setia pada kebaikan akan
lebih meyakinkan. Apa lagi jika melihat kematian mereka yang ditangisi, yang
jelas-jelas berbeda dengan mereka yang dibanggakan akan kematiannya. Hal ini
menjadi alasan kenapa pesarean-pesarean tertentu lebih terpilih seperti
Pesarean Gunung Kawi.
Berbagai hal ini menandakan adanya
hubungan manusia dengan roh. Di mana roh mereka yang mati tidak bisa member
kemanfaatan pada dirinya sendiri dan membutuhkan yang hidup untuk mendoakannya.
Dan mereka yang hidup juga mengharapkan doa mereka yang lebih mudah terkabul.
Hal ini juga termasuk dalam bagian tiga amal yang tidk terputus berupa ilmu
yang bermanfaat. Mereka yang dengan ilmu dan amal baiknya semasa hidup,
pesareannya menjadi sebuah destinasi wisata religi yang dibanjiri peziarah
untuk mendoakannya. Dari sini peziarah dapat mengambil pelajaran dalam
perbaikan dan intropeksi diri.