Jumat, 28 Juni 2013

ARTHUR SCHOPENHAUER DAN METAFISIKA KEHENDAK



Oleh : Fifta & Izrin

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
 Tenggelamnya filsafat dalam dogmatisme abad pertengahan sudah cukup sebagai korban perkembangan intelektual. Descartes sebagai pelopor utama tentu sangat berjasa dalam mengembalikan filsafat ke dunia asalnya. Perubahan konsentrasi dari teosentrisme ke anthroposentrisme membawa manusia ke bentuk hakikinya sebagai khalifah.
Dunia pemikiran memang tak pernah usai. Suatu pemikiran boleh diterima sekarang sebagai sesuatu yang benar tapi pada hakekatnya untuk ditentang kemudian dalam perkembangannya. Hal ini sudah merupakan hal biasa dalam iklim pemikiran manusia yang dinamis. Yang salah di sini justru mereka yang fanatic dan bersikap apatis menganggap dirinya sebagai yang paling benar. Sehingga mereka begitu eksklusif dan tak bias mendapat hal positif sebagi kritik dalam kesempurnaannya.
Dalam perkembangan metafisika modern, pesimisme dan optimisme menjadi dua bagian besar yang beroposisi. Schopenhauer yang pesimistis dan kurang ramah dalam hidupnya sangat menentang Hegel dalam sejarah. Dia yang terpengaruh Kant dalam soal noumena dan fenomena pada akhirnya berbeda dalam memandang dunia yang menurutnya ilusif.
Sebagai salah satu tokoh filsafat Barat, Schopenhauer  tampak unik dengan memadukan pola pikir filsuf Barat dan Timur. Bagaimana dia mengkombonasikan dua pola pikir yang jauh berbeda? Bagaimana dia yang hidup di Barat dan cenderung pesimistis? Beberapa hal ini memberikan ketertarikan tersendiri bagi penulis untuk menelusuri ragam pemikirannya.





B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan membahas sedikit banyak tentang :
1.      Bagaimana latar belakang Schopenhauer sebelum menjadi seorang pemikir besar?
2.      Bagaimana pemikiran filsafat Schopenhauer?

C.    Tujuan
Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mengerti tentang beberapa hal terkait:
1.      Latar belakang kehidupan Schopenhauer.
2.      Pemikiran filosofis Schopenhauer.




BAB II
FILSAFAT SCHOPENHAUER


A.    Biografi Arthur Scopenhauer
Arthur Schopenhauer lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig Polandia. Keluarga Schopenhauer sangat kental dengan tradisi Belanda. Ayahnya, Heinrich Floris Schopenhauer (1747 – 1805) adalah seorang pengusaha sukses yang mengontrol keluarganya dengan gaya bisnis. Nama Arthur Schopenhauer mencerminkan luasnya jaringan sang ayah dalam perdagangan internasional, sehingga ia memilihkan nama untuk anak pertamanya itu dengan kolaborasi kosa kata Jerman, Perancis, dan Inggris. Pada bulan Maret 1793, ketika Schpenhauer masih berusia 5 tahun, keluarga pindah ke Hamburg, setelah Danzig diduduki oleh Prussia.[1]
Lahir di tengah keluarga pengusaha kaya, Schopenhauer sering melakukan kunjungan wisata ke berbagai negara di Eropa. Pada tahun 1797 – 1799 ia tinggal di Perancis, dan sebentar tinggal di Inggris di tahun 1803. Kondisi inilah yang memungkinkan Schopenhauer mempelajari bahasa Negara-negara yang dikunjunginya. Schopenhauer dalam diarynya mengatakan, tinggal di Perancis adalah pengalaman paling menyenangkan. Meskipun sejak kecil sang ayah telah mendidiknya dengan bisnis, dan selama dua tahun ia mengikuti kursus dan magang bisnis di Hamburg, namun Schopenhauer merasa bisnis bukanlah jalan hidup yang cocok baginya. Pada usia 19 tahun, ia memutuskan untuk mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi. Schopenhauer pun kuliah dan menjadi mahasiswa di Universitas Göttingen pada tahun 1809. Pada masa perkuliahannya, dia belajar tentang metafisika dan psikologi di bawah bimbingan Gottlob Ernst Schulze, penulis buku Aenesidemus, yang mengajurkannya agar berkonsentrasi pada pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Pada tahun 1811 sampai tahun 1812, dia mengikuti kuliah dari Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf post-Kant terkemuka dan dari seorang teolog Friedrich Schleiermacher[2]. 20 April 1805 adalah hari menyedihkan bagi Schopenhauer, karena sang ayah meninggal dunia, yang diduga kuat akibat bunuh diri.
Setelah kematian Floris, Ibu Schopenhauer, Johanna Troisiener Schopenhauer (1766 – 1838), memutuskan untuk pindah bersama anak-anaknya ke Weimar. Johanna adalah wanita cerdas dan memiliki pergaulan yang luas. Di Weimer ia bersahabat dengan Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Di Weimer, Johanna Schopenhauer aktif menulis essai, kisah perjalanan, dan novel.
Pada tahun 1809, Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di bidang Kedokteran, kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan pandangan seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833). Lewat Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Setelah melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian mendaftarkan diri di Universitu of Berlin. Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte (1762 – 1814), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Di dua universitas ini, Schopenhauer mempelajari banyak bidang keilmuan, antara lain: fisika, psikologi, astronomi, zoology, arkeologi, fisiologi, sejarah, sastra dan syair. Pada umur 25 tahun ia berhasil menyelesaikan disertasi dengan judul “The Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason”. Pada tahun 1813, ia memutuskan pindah ke Rudolstadt, dan pada tahun yang sama ia menyampaikan disertasinya di University of Jena, kemudian dianugerahi gelar doktor filsafat in absentia.
Arthur Schopenhauer adalah filsuf yang aktif menghasilkan karya. Adapun tulisan-tulisan itu adalah,
·         1813, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason)
·         1816, Über das Sehn und die Farben (On Vision and Colors)
·         1819 [1818], Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation
·         1836, Über den Willen in der Natur (On the Will in Nature)
·         1839, “Über die Freiheit des menschlichen Willens” (“On Freedom of the Human Will”)
·         1840, “Über die Grundlage der Moral” (“On the Basis of Morality”)
·         1841 [1840], Die beiden Grundprobleme der Ethik (The Two Fundamental Problems of Ethics)
·         1844, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)
·         1847, Über die vierfache Wurzel des Satzes vom zureichenden Grunde (On the Fourfold Root of the Principle of Sufficient Reason)  
·         1859, Die Welt als Wille und Vorstellung (The World as Will and Representation)

B.     Pemikiran
Schopenhauer dikenal dengan sifat pesimisme dan gayanya yang tidak ramah. Ia sangat antipati kepada Hegel, sampai-sampai ia bersikeras mengadakan perkuliahan di waktu yang bersamaan saat Hegel memberikan kuliah. Malang bagi Schopenhauer, para mahasiswa lebih menyenangi kuliah Hegel dibandingkan kuliah yang ia berikan. Sehingga mahasiswa yang duduk mendengarkan ceramah Schopenhauer bisa dihitung dengan jari. Ia akhirnya memutuskan berhenti mengajar di universitas karena popularitas Hegel sangat sulit disaingi kala itu. Untunglah ia seorang yang kaya, sehingga memilih untuk mencurahkan diri untuk menulis buku. Dalam buku-bukunya Schopenhauer sering menyinggung tentang “penipu”, yang secara eksplisit ia sandarkan kepada Hegel.[3]
Tentu menarik, mengetahui apa yang membuat Schopenhauer begitu teramat benci kepada Hegel? Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins penulis buku “A Short History of Philosophy” mengatakan, “yang paling dibenci Schopenhauer pada Hegel adalah optimismenya, perasaannya bahwa umat manusia sedang maju”.
Sementara Schopenhauer berpendirian bahwa banyak orang, sebagian besar zaman, benar-benar tertipu. Manusia merasa mengetahui dunia yang sedang dihadapinya. Padahal banyak misteri-misteri yang tak terungkap dalam kehidupan ini. Atas dasar pemikiran seperti inilah, Schopenhauer mengagumi pemikiran-pemikiran Immanuel Kant. Schopenhauer mengatakan bahwa Kant telah bertindak benar ketika membagi realitas menjadi dunia fenomena dan dunia noumena.[4]
Tidaklah, seseorang dikatakan sebagai filsuf, ketika memiliki pemikiran yang sama persis dengan filsuf sebelumnya. Penyandangan gelar filsuf amat terkait dengan originalitas dan kreativitas berpikir. Oleh karena itu, Schopenhauer mengatakan filsafatnya sebagai koreksi dan upaya melengkapi filsafat Kant. Menurutnya, Kant benar dalam membagi realitas menjadi dua, tapi Kant keliru saat menjelaskan apa yang dimaksud kedua dunia itu.
Untuk dunia fenomenal, ada kesalahan yang dilakukan Kant. Meskipun Kant mengatakan semua pengetahuan manusia harus diderivasikan dari pengalaman, dalam kenyataannya Kant malah mengarahkan sebagai besar kerja investigasinya bukan pada hakikat pengalaman, tapi kepada hakikat berpikir konseptual. Dalam mengkoreksi kesalahan ini, Schopenhauer kemudian berupaya mencari jalan keluar dengan melakukan investigasi mengenai bagaimana manusia manusia menyadari kenyataan mengalami, mengetahui, dan mengomunikasikan realitas yang spesifik dan unik.
Terkait dengan dunia fenomenal, Schopenhauer menilai filsafat Kant memiliki dua kekeliruan mendasar. Pertama, Kant memandang dunia noumena terdiri dari hal-hal dalam-dirinya-sendiri (jamak). Kedua, Kant menganggap noumena sebagai penyebab dari persepsi manusia.
Bagi Schopenhauer, manusia mendapatkan ide tentang pembedaan (diferensiasi) jika dilingkupi oleh penerimaan akan konsep ruang dan waktu. Sementara Kant menunjukkan bahwa ruang dan waktu merupakan bentuk-bentuk sensibilitas manusia. Jadi, konsep ruang dan waktu tidak akan bisa ada dalam sebuah realitas tanpa subjek karena dalam realitas itu, semua yang-eksis, eksis dalam-dirinya-sendiri (Das Ding an sich) yang bersifat independen dari pengalaman. Oleh karena itu, diferensiasi hanya bisa dilakukan dalam dunia pengalaman dan tidak bisa dilakukan dalam dunia realitas noumena. Karena itu pula, tak mungkin ada benda-benda (jamak) dalam-dirinya- sendiri yang berbeda-beda dan eksis secara indenpenden dari subjek yang mengalaminya.
Pengetahuan pada hakikatnya bersifat dualistis, yaitu sesuatu yang menjadi isi dari pengetahuan itu dan sesuatu yang mengetahui. Jadi, jika ada sesuatu yang eksis secara tak terdiferensiasi (tak terbedakan dari yang lain), maka sesuatu itu tak akan bisa mengenali dirinya sendiri, karena pengenalan akan diri sendiri mengandaikan pembedaan dengan diri yang lain.
Schopenhauer memandang bahwa dalam realitas total terdapat realitas yang bersifat immaterial, tak terdiferensiasi, tak berwaktu, dan tak beruang, yang terhadapnya manusia tidak akan pernah bisa memiliki pengetahuan yang bersifat langsung, dan realitas itu memanifestasikan dirinya pada manusia dalam bentuk dunia fenomenal dari objek-objek materiil (termasuk manusia sendiri) yang terdiferensiasi dalam ruang dan waktu. Kesimpulan ini sama persis dengan arus utama agama Hindu dan Budha.
Atas pemikirannya ini, Schopenhauer diduga terpengaruh dengan tradisi Budha. Namun, jika melihat latar belakangnya sebagai seseorang yang bukan religius, tidak mempercayai kehidupan setelah mati, bahkan tidak mempercayai Tuhan atau ruh, maka pendapat yang benar adalah, Schopenhauer menemukan kesimpulan tersebut melalui argumentasi rasional dalam kerangka tradisi utama filsafat Barat. Baru setelah ia mengetahui bahwa para pemikir Hindu dan Budha telah mencapai kesimpulan yang sama dengan Kant dan dirinya sendiri, ia kemudian mempelajari karya-karya pemikir Hindu dan Budha dengan antusias dan ketertarikkan yang luar biasa.
Aspek lain yang berseberangan antara Schopenhauer dan Kant adalah terkait dasar etika. Menurut Schopenhauer, dalam dunia fenomena, manusia eksis sebagai individu-individu. Manusia eksis sebagai objek-objek materiil yang menempati ruang dan berada dalam suatu waktu. Diferensiasi sebagai individu ini hanya bisa diamati dalam dunia fenomena. Sedangkan secara noumena, tidak mungkin untuk mendiferensiasi diri sendiri. Oleh karena itu, manusia semuanya pastilah “yang satu”. Jadi, ada sebuah perasaan puncak bahwa jika aku melukaimu, maka aku melukai diri sendiri. Atas dasar itulah etika dibangun atas dasar kasih sayang, rasa persaudaraan, perhatian tanpa pamrih yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri, bukan lahir atas dasar rasionalitas sebagaimana yang disampaikan oleh Immanuel Kant.
Schopenhauer mengatakan, jika manusia memang ingin memahami hakikat batin, dan signifikansi dunia luar, maka ia harus melakukan investigasi atas proses yang dijalani atas proses yang dijalani oleh batin dan menelusuri pengalaman luar dirinya. Schopenhauer berpandangan, penjelasan-penjelasan hakiki mengenai realitas tidak bisa ditemukan dalam sains. Bukan berarti, manusia harus meninggalkan sains. Bahkan Schopenhauer mengatakan, dalam upaya memahami dunia, manusia harus memanfaatkan semaksimal mungkin dan penuh antusias semua sumber daya sains, tetapi jangan melupakan sumber-sumber selain sains.
Untuk karena itu, Schopenhauer mengajak pembacanya untuk memandang seni sebagai instrumen untuk memahami realitas yang tak semata-mata materiil tapi juga immaterial. Dalam buku catatannya Schopenhauer mengatakan, “Filsafat telah sejak lama menjalani proses pencariannya secara sia-sia karena ia memang lebih cendrung mencari dengan cara sains daripada dengan cara seni.”Pengalaman manusia tidak bisa diartikulasikan dalam bahasa universal yang berbentuk konsep-konsep. Namun, pengalaman bisa diartikulasikan dalam karya-karya seni.
Terkait pemikiran terkait dengan seni ini, Schopenhauer dipengaruhi oleh ide-ide Platonis tentang dunia ide dan dunia ini, dimana Plato berpandangan dunia ini adalah dunia semu dari dunia sebenarnya yang ada di dunia ide. Atas dasar inilah kemudian, ia membuat hierarkhi seni, yakni:
1.      Seni yang bertemakan tahap pertama dan terendah dari objektivikasi kehendak, yaitu unsur-unsur anorganik dari alam (sekumupulan batu besar, tanah, air, dan sebagainya). Seni ini adalah arsitektur.
2.      Seni yang mengambil tema objek kedua dari objektivikasi kehendak, seperti bunga-bunga, pohon-pohon, kehidupan tumbuh-tumbuhan secara umum. Seni ini adalah lukisan.
3.      Seni yang mengambil tema objek ketiga dari objektivikasi kehendak, yaitu kehidupan binatang yang terkait dengan bobot tubuh, ukuran, bentuk tubuh, dan gerak-geriknya. Seni ini adalah seni pahat.
4.      Seni yang mengambil tema pasang-surut perasaan manusia, perkembangan emosi, karakter, hubungan sosial, konflik, penciptaan, takdir, dan penyelesaian krisis. Seni ini adalah puisi dan drama.
Kecendrungan Schopenhauer untuk menelisik misteri batin manusia membuat ia sampai pada pemikiran bahwa manusia itu tetap eksis karena adanya kehendak untuk hidup (will of life). Semakin manusia menyelidiki berbagai perasaan dan emosinya, maka ia akan semakin melihat bahwa semua itu merupakan modifikasi dari kehendak. Schopenhauer tidak mengklaim pandangan ini original dari dirinya. Tapi sebenarnya sudah direnungkan oleh para pemikir hebat sejak St. Augustinus. Dalam “The City of God”, Augustinus mengatakan,
“Kehendak ada dalam semua perasaan ini; bahkan, perasaan-perasaan itu tak lain adalah kecendrungan-kecendrungan sang kehendak. Oleh karena itu, apakah sesungguhnya hasrat dan kegembiraan itu jika bukan kehendak yang mencapai keharmonisan dengan hal-hal yang kita hasratkan? Dan apakah rasa takut dan sedih itu jika bukan kehendak yang tengah berada dalam keadaan tidak selaras dengan hal-hal yang tidak kita sukai.”
Atas inspirasi dari St. Augustinus inilah Schopenhauer berpandangan bahwa intelek sebagai pelayan, bukan tuan bagi kehendak, dan dengan begitu, segenap kehidupan batin manusia terdiri atas, atau didominasi oleh kehendak dalam berbagai manifestasinya. Melangkah lebih jauh. Schopenhauer mencoba terus menelusuri tesis kehendak ini pada realitas fenomena dan noumena.
Bagi Schopenhauer, pikiran adalah sesuatu yang merujuk kepada sebuah subkelas kecil dari benda-benda objektif. Pikiran lebih terkait dengan yang materiil daripada dengan yang noumenal, dan pikiran muncul sebagai aktivitas ataupun sebagai epifenomena dari materi. Semua pikiran yang diketahui manusia adalah pembayangan dari objek-objek materiil. Dunia noumenal sebagai sumber manifestasi dunia fenomenal digerakkan oleh dorongan metafisis yang bersifat primitif dan memanifestasikan dirinya dalam eksistensi dengan sebutan “kehendak”. Kehendak di sini tidak sama dengan kehendak manusia berkaitan dengan kesadaran diri. Kehendak yang bersifat metafisis ini (metaphysical will) tak ada hubungannya dengan tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, atau maksud-maksud. Kehendak ini berkonotasi pada sesuatu yang bukan saja mendahului kehidupan, melainkan juga mendahului materi. Kehendak metafisis ini merupakan sebuah daya yang buta, nonmaterial, nonpersonal, dan nonbernyawa.[5]
Alam semesta merupakan kehendak yang bersifat metafisis ini. Kehendak mengada dan bertahan hidup yang dimiliki oleh manusia bukanlah kehendak noumenal dalam dirinya sendiri, tetapi manifestasi dari kehendak noumenal itu dalam dunia fenomena. Oleh karena itu, dia bisa menjadi objek dari pengetahuan manusia.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Arthur Schopenhauer memulai jejak filsafat dengan pengalaman pahit dengan kondisi masyarakat yang lebih menghargai filsafat Hegel. Lewat rasa “sakit hati” inilah, ia terus berkarya untuk membuktikan bahwa ia sejajar dengan Hegel bahkan melebihi Hegel dalam beberapa sisi. Hal ini akhirnya terbukti. Setelah kematiannya, karya-karya Schopenhauer telah menjadi inspirasi berharga bagi banyak filsuf-filsuf besar sekaliber Nietchze dan Karl Popper untuk memahami dunia. Bahkan Popper mengatakan, dari Schopenhauerlah ia sadar dan menemukan jalan berpikir sendiri. Schopenhauer telah membangun banyak orang bahwa dunia ini harus dilihat lebih kritis lagi, karena terjebak dalam sikap optimisme yang berlebihan akan membuat manusia kehilangan untuk memahami dirinya dan dunia yang melingkari kehidupannya.

B.     Saran
Berbagai pemikiran filsafat sebaiknya tidak ditanggapi dogmatis, apa lagi melihat sejarah dan diri yang berbeda. Tetapi bagaimana diambil sisi positifnya dalam membangun hidup yang sebenarnya. Apa lagi melihat ragam problematika yang semakin kompleks. Bagaimana para tokoh membuat analisa dan mencari solusi itu bias dicontoh walau tidak seluruhnya dengan saringan keyakinan seseorang.



DAFTAR PUSTAKA


Editor. First published Mon May 12, 2003; substantive revision Sat Nov 17, 2007. Arthur Schopenhauer. http://plato.stanford.edu/entries/schopenhauer/.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern. Ar-Ruzz Media: Jogjakata.
Magee, Bryan. Cetakan I Juni 2005. Memoar Seorang Filosof: Pengembaraa di Belantara Filsafat. Penerbit Mizan. Bandung.
Russel,. Bertrand. 2004. Sejarah Filsafat Barat. Tej. Sigit Jatmiko dkk. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta).
Solomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins. Cetakan I April 2002. Sejarah Filsafat. Penerbit Bentang: Yogyakarta.


[1]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Tej. Sigit Jatmiko dkk, (2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta)., 981-982.
[2] ,ibid.,   
[3]Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa Klasik hingga Postmodern, (2008. Jogjakata: Ar-Ruzz Media)., 187. Lihat juga Sejarah Filsafat Barat karya Bertrand Russell., 981.
[4]Ibid., 188.
[5]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, 983-984.

Qasim Amin & Feminsme



Oleh : Diana & Fiftah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sebagai sebuah bangsa/negara yang berpendudukan mayoritas Muslim sudah saatnya pemikiran pembaruan Islam tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana. Indonesia adalah sebuah negara yang berpendudukan mayoritas Muslim. Karena itu, (tanpa prediksi yang berlebihan) kita harus yakin akan negara kita ini bahwa perkembangan pemikiran modern di dunia Islam, di masa depan akan tumbuh dan berkembang. Sekitar abad ke-18 hingga saat,seperti pemikir Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad abduh, dan lain sebagainya.
Mencoba menggagas agar umat islam di Indonesia tidak semakin mundur karena pihak dari luar Mereka berfikir dengan cara bagaimana umat Islam tidak selalu terpuruk dalam kebodohan dan romantisme. Berbeda dengan Qasim Amin. Di makalah ini akan kami coba membahas tentang pemikiran Qasim Amin.
Di makalah ini kita akan menjelaskan bahwasannya Amin ini pemikirannya tertuju pada pembebasan wanita Islam yang selalu diperlakukan semena-mena oleh masyarakat sekitar. Tapi Amin disini menegaskan bahwa wanita  juga berhak mendapatkan hak dan kebebasannya. Qasim Amin memandang kemunduran umat Islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan. Dalam Islam seakan-akan ada diskriminasi antara kaum laki-laki dan kaum perempuan sehingga derajat kaum laki-laki cenderung berada di atas derajat kaum perempuan. Menurut Qasim, pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena kaum perempuan lah yang berperan penting dalam kehidupan dan mereka patut untuk diberdayakan, paling tidak disejajarkan dengan kaum laki-laki. Mungkin Qasim lah tokoh pembaru Muslim yang pertama yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dalam Islam sehingga ia mendapatkan gelar “Bapak Feminisme Muslim/Arab” meskipun  ada tokoh-tokoh pembaru Muslim sebelumnya.

B.     Rumusan masalah:
1.      Bagaimana biografi Qasim Amin?
2.      Bagaimana riwayat pendidikan Qasim Amin?
3.      Apa Saja Karya-karya Qasim Amin?
4.      Bagaimana latar belakang pemikiran Qasim Amin?
5.      Bagaimana Pemikiran Feminisme Qasim Amin?

C.     Tujuan:
1.      Mengetahui biografi Qasim Amin.
2.      Mengetahui riwayat pendidikan Qasim Amin.
3.      Mengetahui karya-karya Qasim Amin.
4.      Mengetahui latar belakang pemikiran Qasim Amin.
5.      Memahami pemikiran tentang feminisme Qasim Amin.










BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi
Qasim Amin dilahirkan pada tahun 1863 di pinggiran kota Kairo, yang terkenal dengan nama Harrah. Ayah Qasim Amin bernama Muhammad Amin, ia adalah seorang komandan di Harrah pada masa pemerintahan Khadiw Ismail. Ketika ayahnya meninggal, Qasim Amin diasuh oleh keluarga ibunya hingga menjadi pemuda. Keluarga Qasim Amin adalah keluarga Mesir yang tingkat menengah dalam kedudukan sosial. Ayahnya menikah dengan ibunya dari anak putri Ahmad Beik Khatab atau saudara kandung Ibrahim Pasha Khatab, ibunya dan ayahnya yang kemudian memiliki beberapa anak, yang pertama adalah Qasim Amin.[1]

B.     Pendidikan
Pendidikan dasar diperoleh Amin di Madrasah Raksu at-Tin di Iskandariyah, kemudian pendidikan menengah diperoleh di Madrasah Tajhiziyah di Cairo Dan pendidikan tingginya ia mengambil jurusan hukum di Madrasah al Huquq al-Hudawiyah (Sekolah Tinggi Hukum).
Setelah tamat, sesuai dengan disiplin ilmu yang ia tekuni ayahnya mengirimnya ke kantor Advokat Mustafa Fahmi untuk bekerja. Namun tidak lama setelah itu ia dikirim ke Paris untuk menekuni studi hukum. Di sana ia tidak hanya menekuni studi hukum tetapi juga rajin membaca karya  ilmiah dan gagasan yang berhubungan dengan etika, sosiologi, ilmu jiwa dan disiplin ilmu lain.[2]
Sekembali dari Paris, ia bekerja di Niyabah Ammah (Perwakilan Rakyat) dan di badan peradilan. Pada 1892 ia diangkat menjadi Hakim Agung di beberapa kota di Mesir. Qasim Amin juga aktif dalam organisasi sosial dan menyampaikan gagasan pembaruan.
                       
C.     Karya-Karya
Ada 2 karya Amin yang sangat terkenal yaitu: Tahrir al Mar’ah (Emansipasi Perempuan), dan al Mar’at al Jadidah (Perempuan Modern). Sesuai dengan judul bukunya, dalam Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin menuliskan gagasan tentang kebebasan dan pengembangan daya perempuan untuk mencapai kemajuan.[3]

D.    Latar Belakang Pemikiran
Qasim Amin sejak kecil sudah senang belajar secara otodidak. Pada waktu merantau ke Prancis bakatnya bertambah dalam kesusastraan dan budaya Prancis. Hal itu dia gunakan dalam berbagai sumber pemikiran dan kurikulum seni dan keindahan pada saat itu. Ia juga puas dengan ide-ide patriotisme, revolusioner dan mengetahui wanita yang berpendidikan dan berbudaya, mereka bisa menjadi mentri, dokter, hakim, dosen, guru besar, pegawai, direktur, dan sebagainya. Ini semua mendukung upaya prestasinya dan kreasinya dalam merenungkan kaum lemah dan tertindas.[4]
Salah satu latarbelakang pembaruan Qasim Amin adalah karena kemunduran umat islam. Qasim Amin memandang kemunduran islam terletak pada pemberdayaan kaum perempuan. Dalam islam seakan-akan ada diskriminasi antara laki-laki dan perempuan serta karena kondisi perempuan di daerah Mesir yang lebih dipinggirkan oleh kaum laki-laki. Jumlah kaum perempuan yang sangat banyak hampir seperdua dari penduduk Mesir, sepertinya menghambat pembaruan yang akan dilakukan. Karena itu kebebasan  dan pendidikan wanita  perlu mendapat perhatian.

Setelah itu baru ia kembali kepada konsep pembaruannya tentang pemberdayaan kaum perempuan, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Sama-sama mendapatkan balasan amal shalih di sisi Allah. Tiada yang termulia di antara mereka kecuali dengan mengandalkan takwanya.
E.     Pembaruan Qasim Amin Tentang Feminisme
Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, Femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan, serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.[5]
Sebenarnya Qasim Amin bukanlah pemikir dan pembaru pertama yang melontarkan gagasan tentang pentingnya memperhatikan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan politik. Sebelum Qasim Amin, diantara jajaran pemikir Islam di Mesir yang telah memunculkan ide emansipasi perempuan adalah at-Tahtawi (1801-1873). Namun Qasim Amin adalah seorang pemikir yang tidak hanya mempunyai perhatian besar pada wacana emansipasi perempuan tetapi juga mengkhususkan diri padanya.
Sebelum menciptakan beberapa gerakan pembaharuan, Qasim Amin mencoba mencari penyebab dengan cara membandingkan budaya antara di Mesir dengan di Barat. Sebagai seorang cendekiawan yang pernah hidup di Paris untuk beberapa lama, Qasim Amin menyaksikan betapa maju dan modernnya peradaban Barat. Perempuan di Barat juga mengalami kemajuan, harkat dan martabat mereka setara dengan kaum pria. Mereka mendapat pendidikan yang sama dengan pria.
Pada saat yang sama Qasim Amin melihat dan menyadari betapa rendahnya peradaban di Mesir khususnya masalah perempuan. Ia berkesimpulan bahwa hal itu dikarenakan rendahnya kedudukan perempuan di Mesir. Mereka dipingit dan tidak mendapat kesempatan untuk belajar. Segala kebutuhan mereka disediakan oleh suami atau muhrim mereka. Karena itu, peluang perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan bangsa sangat kecil. Ia berpendapat bahwa Mesir akan tetap tertinggal dari dunia Barat kalau perempuannya dikucilkan menurut tradisi yang berlaku.
Adat dan tradisi itu menurutnya bukanlah ajaran Islam, tetapi adat istiadat yang berasal dari luar Islam. Menurutnya, ajaran Islam pada dasarnya menempatkan perempuan pada posisi tertinggi, sederajat dengan pria. Jadi menurutnya kalau suatu negara ingin maju maka tradisi yang menghambat perkembangan bangsa itu harus dirubah, disesuaikan dengan ajaran Islam yang murni, begitu juga Mesir. Dan menempatkan perempuan pada kedudukan tertinggi dan mengakui kemerdekaan serta kebebasan mereka. Hal itu dikarenakan sosok perempuan sangat penting dalam keluarga dan masyarakat yang nantinya akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan Qasim Amin tentang peran dan emansipasi perempuan, yaitu: 1) pendidikan, 2) hijab, 3) perkawinan.[6]
1.      Pendidikan
Dalam masalah pendidikan, menurut Qasim Amin perempuan perlu mendapat pendidikan yang baik, sesuai dengan tugas yang diembannya dalam rumahtangga dan di masyarakat. Misalnya dalam keluarga, perempuan bertugas mendidik putra-putrinya. Tentu saja perlu ilmu yang memadai untuk melakukan itu. Namun dalam budaya Mesir, perempuan seolah diremehkan dan dianggap hanya menjadi beban dalam kehidupan. Sehingga pada zaman dulu Sayyidina Umar bin Khattab sampai tega membunuh anak perempuannya karena persoalan yang sama.
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini peran perempuan sangat dibutuhkan dalam memimpin bangsa Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya seorang pemimpin perempuan seperti Megawati Soekarnoputri sebagai presiden RI ke 5, Khofifah Indar Parawansa sebagai ketua Umum Muslimat NU se-Indonesia. Dari situ diketahui bahwa perempuan juga memiliki potensi dalam perkembangan suatu bangsa.
Sebenarnya yang diinginkan oleh Amin adalah memanusiakan manusia, karena perempuan juga makhluk Allah yang berhak mendapat sesuatu yang menjadi haknya, tapi mengapa itu harus terhalang hanya oleh suatu tradisi kuno. Jika memang tradisi itu tidak sesuai dengan perkembangan zaman, maka apa tidak sebaiknya tradisi itu dihapuskan saja. Dia ingin merubah mainset orang Mesir agar tidak tertinggal dan bisa berkembang, dan salah satu caranya adalah memajukan generasi perempuan agar tidak selalu terpenjara di rumah sendiri.
Dan sudah saatnya untuk mempersiapkan pendidikan jiwa kita, yaitu pendidikan yang benar, kuat dan ilmiah yaitu pendidikan yang bisa mengembangkan para pemimpin yang berilmu pengetahuan dan berpendapat yang kokoh, mereka bisa memadukan dan mengerti tentang pengalaman, budi pekerti, ilmu pengetahuan dan prilaku.[7]
Untuk itu, Amin mencoba merumuskan beberapa strategi dan prinsip pendidikan sebagai berikut:
a.       Perempuan harus diberi pendidikan dasar yang setara dengan laki-laki, tujuannya untuk mendapat generasi yang  tanggap dan selektif dalam menerima pendapat yang datang dari luar, maka perlu diberikan pengetahuan yang layak dan diberikan di sekolah menengah.
b.      Selain memberikan pendidikan, maka pengetahuan umum dan keahlian-keahlian lain perlu diberikan kepada perempuan, agar mereka tidak terlalu bergantung pada laki-laki.
c.       Pendidikan Akhlaq dan budi pekerti juga harus diberikan sedini mungkin agar perempuan dapat menanamkan jiwa kemanusiaannya, pergaulan dalam keluarga dan kerabat  menjadi lebih sempurna.
d.      Pendidikan yang ideal menurut Amin adalah pendidikan yang berlangsung seumur hidup, karena pada hakikatnya pendidikan adalah proses belajar yang tidak boleh berhenti.
e.       Selain itu juga pendidikan seni perlu diberikan kepada perempuan, karena seni dalam pandangan Amin, dapat melatih jiwa menjadi halus dan peka.

2.      Hijab
Dalam masalah hijab, yaitu pakaian yang menutup seluruh tubuh perempuan, termasuk wajah dan kedua telapak tangan menurutnya bukanlah berasal dari syariat Islam. Busana seperti itu menghalangi perempuan melakukan aktivitasnya. Amin berseru kepada kaum perempuan agar menutup auratnya sesuai dengan syariat Islam.
Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan pada saat berinteraksi dengan orang lain akan mempersulit keadaan. Misalnya saja pada saat dalam persidangan seorang saksi wanita yang bercadar dan menutup kepala sampai matanya akan terlihat aneh. Atau aneh pula kalau wanita itu sedang menjual atau membeli yang hanya ada di balik pintu kemudian dikatakan oleh pria inilah si Fulan yang ingin menjual kepadamu atau yang menjadi wakil dalam perkawinannya. Kemudian wanita itu menjawab saya yang menjual dan saya yang menjadi wakil. Situasi dan kondisi itu tidak bisa menjamin ketenangan diantara kedua belah pihak bahkan peristiwa-peristiwa hukum akan lebih mudah melakukan penipuan dan kolusi kalau dilakukan seperti peristiwa di atas.[8]
Begitu banyak praktek-praktek dalam kehidupan sehari-hari yang membutuhkan keleluasaan pakaian seorang wanita dan kelihatan wajahnya. Jadi wanita tidak melulu memakai hijab dengan sangat tertutup dan beserta cadarnya. Karena itu akan menghambat aktivitas dan pekerjaan sehari-hari seorang wanita. Tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa wanita memang diwajibkan untuk berhijab, namun secukupnya saja menurut aturan syari’at yang ditentukan.
3.      Perkawinan
Dalam masalah perkawinan, Qasim Amin berpendapat bahwa dalam kenyataannya terdapat pandangan yang merendahkan derajat perempuan yang dianggap sebagai objek. Menurutnya, pandangan seperti itu tidak sesuai dengan ajaran AlQuran surat ar-Ruum ayat 21, yang menyatakan bahwa perkawinan itu adalah ikatan kasih sayang, masing-masing bertindak sebagai subjek. Oleh karena itu perempuan seharusnya berhak memilih jodoh dan minta cerai. Atas dasar itu ia menyatakan bahwa di dalam poligami terdapat unsur penghinaaan terhadap perempuan.
Namun pemikiran liberal Qasim Amin tidak dapat diterima sebagian besar umat, termasuk para ulama. Oleh karena itu idenya mendapat kritikan dan protes dari berbagai kalangan karena dianggap berbahaya, merusak sendi agama Islam, dan menimbulkan dekadensi moral. Buku keduanya, al-Mar’at al Jadidah (perempuan modern), merupakan jawaban Qasim Amin terhadap kritik yang dilontarkan terhadap buku pertamanya.
Meskipun pembaruan Qasim Amin tidak diterima oleh kalangan ulama karena dinilai ekstrim, tetapi di sisi lain hal itu membuahkan hasil yang sangat besar dalam rangka kemajuan bangsa Mesir khususnya, dan dunia Islam pada umumnya. Mesir adalah negara pertama yang perempuannya menyingkirkan kerudung sekitar tahun 1920-an dan masuk perguruan tinggi pada tahun 1930-an. Sejak itu kerudung dihapuskan, karena dianggap sebagai penghambat partisipasi dunia profesi dan pekerjaan. Hal itu juga berdampak besar pada masa pemerintahan Nasser (1953-1967), banyak perempuan yang berperan dalam masyarakat modern yang menanggalkan pakaian tradisional, apalagi kalangan generasi muda di kampus dan di sektor bisnis serta profesi.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Qasim Amin adalah seorang pembaharu Islam di Mesir. Beliau sangat memperhatikan nasib kaum perempuan karena kondisinya yang sangat memprihatinkan. Sebelum melakukan suatu gerakan pembaruan, beliau mencoba melakukan penelitian terhadap penyebab kondisi perempuan sehingga harus direndahkan. Lalu beliau memberikan suatu gerakan pembaruan untuk menyamakan derajat antara laki-laki dan perempuan bahwa perempuan juga berhak mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan lain serta perhatian dari semua pihak.
Konsep pembaruan beliau ada 3, pendidikan, hijab, perkawinan. Namun tampaknya gerakan Amin dinilai sangat ekstrim oleh kalangan para ulama’, karena hasilnya disalahgunakan oleh para perempuan Mesir. Mereka banyak yang tidak berkerudung padahal hijab yang maksudkan Amin bukan seperti itu. Yang diharapkan adalah tetap berkerudung tapi yang sewajarnya, dan sesuai dengan syariat Islam.
B.     Saran
Sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Qasim Amin di atas, dapat diambil pelajaran bahwa seorang perempuan selayaknya tidak dikucilkan dan dipelihara di rumah sehingga tidak diberi pendidikan. Seperti gerakan R.A Kartini tentang emansipasi wanita bahwa perempuan juga berhak dan wajib mendapatkan pendidikan berupa apapun, jadi disarankan agar semua perempuan di Indonesia wajib menuntut ilmu dan berhak bersaing dengan laki-laki sebagai tokoh yang terkemuka nantinya.


DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Juwairiyah. 2004. Qasim Amin & Reformis Mesir. Surabaya: alpha.
Ensiklopedia Islam. 2005. Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE.
Wikipedia.org/wiki/Feminisme.


[1]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 16-19
[2]Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324
[3]Ibid.,
[4]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 20
[5]Wikipedia.org/wiki/Feminisme.
[6]Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU VAN HOEVE, 2005), 324.

[7]Dr. Hj. Juwairiyah Dahlan, MA, Qasim Amin & Reformis Mesir, (Surabaya: Alpha, 2004), 119
[8]Ibid., 125